Bab 13
"Seruni! Ma, Seruni mana, ada tamu ini!" Suara papanya terdengar dari ruang tamu.
"Tuh, Kak! Buruan temui! Hastari menyenggol lengan Seruni.
Mengangguk cepat, dia bangkit.
"Runi, kenapa bos kamu ke rumah? Kamu nggak ngundang dia, kan?" selidik Ida.
Menggeleng, Seruni berkata, "Nggaklah, Ma. Lagian ngapain ngundang dia?"
Mata Ida membulat jenaka.
"Itu artinya, ada hal istimewa yang membawa bos kamu itu ke sini! Begitu, kan, Tari?" selorohnya seraya mengalihkan pandangan kepada putri keduanya.
"Nah! Betul, Ma! Hastari sepakat soal itu!" balas sang adik antusias.
"Ish, Tari! Mama. Bos Seruni itu ke sini, bukan karena apa-apa! Iya memang dia ke sini karena alasan istimewa, karena ponselnya tertukar dengan ponsel punya Seruni!" jelasnya lalu mengambil benda pipih dari dalam tas.
"Ini yang istimewa, Ma. Bukan seperti yang Mama pikirkan," sambungnya lagi sambil menunjukkan ponsel Banyu.
"Ponsel kalian tertukar? Kok bisa?" cetus Ida heran.
"Pasti karena keteledoran anak Mama ini, Ma. Yang jelas bukan karena bosnya," celetuk Hastari yang sudah hapal kebiasaan sang kakak.
Mendengar penuturan adiknya, Seruni hanya bisa melotot, karena memang tidak salah apa yang diucapkan Hastari tentang dirinya.
"Udah, udah! Sana buruan! Temui bos kamu, Runi! Nanti keburu datang tamu kita!" titah Ida.
Seruni mengangguk, sambil merapikan rambutnya dia berjalan menuju ruang tamu. Dari arah tempat dia berjalan, terdengar Banyu sedang mengobrol dengan papanya.
Entah apa yang diobrolkan, tetapi reaksi sang papa membuat dia terkejut. Papanya tersenyum lebar menyambut Seruni saat sudah berada di ruang tamu.
"Nah ini Seruni," sambut Heru. "Nak Banyu, nanti kalau pulang jangan terlalu malam ya. Kalau acara selesai, segera kembalikan anak Papa," tuturnya.
Sekilas matanya bersirobok dengan mata Banyu. Pria tampan itu seperti tak lelah memindainya. Merasa Banyu terus menatapnya, Seruni mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Dia menggeleng tak mengerti. Berulang kali Seruni menatap Banyu dan papanya bergantian, tetapi tak menemukan jawaban.
"Sudah siap, Runi? Kita bisa berangkat sekarang?" Banyu menatapnya hangat.
"Berangkat sekarang? Tapi ke mana?" tanyanya ragu.
"Bukannya kamu memang sudah punya janji sama Banyu? Kenapa kamu nggak bilang, Runi?"
"Janji? Janji apa ya?"
Giliran Heru yang heran. Dia lalu menatap pria yang mengenakan jas hitam di depannya.
"Kamu lupa ya. Malam ini ada undangan makan malam bareng klien yang kemarin kamu berhasil ajak untuk kerja sama."
"Janji? Undangan?" gumamnya lirih masih tak mengerti.
Sentuhan di bahu membuatnya menoleh.
"Seruni, udah sana ambil tas tangan kamu. Hastari benar, kamu kadang memang suka teledor. Masa ada undangan sepenting itu lupa?" Mamanya menatap Seruni intens.
"Tapi, Ma, Seruni ...."
Ida memberi isyarat agar putrinya tak lagi beralasan. Melihat ekspresi sang mama, Seruni menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.
"Sebentar, Pak. Saya ambil tas dulu."
Banyu tersenyum lebar dan mengangguk ekspresi bahagia.
"Sumpah itu orang kenapa sih! Itu Papa sama Mama juga kenapa coba! Seinget Kakak, nggak pernah ada undangan makan malam atau apalah gitu!" gerutunya saat di kamar.
Hastari yang masih berada di ruangan itu menatap heran.
"Kenapa sih, Kak?"
Membuang napas perlahan, Seruni menatap sang adik.
"Aneh!"
"Apanya yang aneh?"
"Udah deh! Gue cabut dulu, Tari! Nanti aja ceritanya. Bye!"
Dia menyambar tas putih kecil kemudian melangkah meninggalkan Hastari yang bengong tak mengerti ucapan sang kakak.
**
"Silakan masuk!" titah Banyu setelah membukakan pintu untuk Seruni.
Sejenak dia ragu, tetapi tatapan mata Banyu membuat dirinya tak sanggup berlama-lama berdiri.
"Makasih, Pak!"
Kembali pria itupun tersenyum.
"Makasih ya. Kamu mau ikut saya," tuturnya saat mobil mulai bergerak menjauh.
Mata Seruni membeliak kemudian menoleh ke samping.
"Jadi Bapak udah bohong ke Papa saya? Benar, kan, Pak? Nggak ada undangan makan malam?" selidiknya.
Banyu membalas tatapan Seruni lalu kembali tersenyum.
"Saya nggak bohong. Benar kok ada undangan makan malam dan saya mau kamu temani saya," jawabnya santai.
Kembali mata Seruni membulat.
"What? Tapi nggak begini juga konsepnya, Pak! Bapak udah bohong ke Papa itu!" protesnya.
"Saya bilang saya nggak bohong, Seruni. Kita malam ini akan datang ke acara makan malam keluarga, dan saya sebenarnya ingin mengucapkan terima kasih karena kamu sudah bekerja dengan baik di perusahaan kita, lalu ...."
"Lalu?"
"Ya saya mau kita makan malam. Karena kebetulan ada acara keluarga, nggak ada salahnya, kan? Kalau kamu saya ajak? Sekalian biar kenal dengan keluarga saya," paparnya seraya terus mengemudi.
Kening Seruni berkerut. Dia hampir tak bisa mencerna kejadian yang dia alami.
"Bapak apa-apaan sih! Bapak ke rumah sebenarnya mau mengambil ponsel Bapak, kan?" tanyanya seraya menyerahkan telepon genggam Banyu.
"Nggak! Kamu bisa bawa ponsel saya. Itu ponsel pribadi, bukan untuk bisnis," jawabnya dengan ekor mata melirik ke Seruni.
"Buat apa saya pegang? Saya bukan asisten pribadi Bapak," balasnya meletakkan benda itu ke dashboard.
Banyu tertawa kecil kemudian menggeleng.
"Mau saya jadikan asisten pribadi?" tanyanya. "Saya serius!"
Seruni menelan ludahnya. Pria di sampingnya itu benar-benar membuat dirinya mati gaya.
"Karena kamu diam, itu saya artikan sebagai jawaban iya."
Lagi-lagi ucapan Banyu membuat mulutnya terkunci. Tak menyangka ternyata pria yang jadi atasannya itu lebih ngaco dari yang dia bayangkan. Menyamar jadi tukang ojek saja sudah cukup membuat Seruni heran, dan jika kini dengan santai Banyu meminta untuk menjadi asisten pribadinya.
"Mulai besok berarti kamu punya dua kerjaan sekaligus. Setuju?"
"Bapak jangan ngaco, Pak! Saya, kan belum menjawab apa pun."
Banyu tertawa kemudian memelankan laju kendaraan karena di depan lampu merah menyala.
Sejenak mereka saling diam.
"Ponsel saya ...." tanyanya menyadari telepon miliknya belum dikembalikan.
"Ada. Kamu tenang aja, kita makan malam dulu."
Membuang napas perlahan, Seruni mengubah posisi duduknya. Dia berusaha rileks dengan duduk bersandar, meski berulangkali dia merutuk nasibnya malam ini. Sementara Banyu justru menikmati momen kebersamaan itu.
"Sebentar lagi kita sampai."
"Makan malam di rumah Bapak?" tanyanya menyelidik, karena mereka memasuki area komplek perumahan mewah. "Bapak nggak bohong soal makan malam dengan klien, kan?"
Banyu menggeleng. "Soal makan malam, aku nggak bohong, tapi soal makan dengan klien, aku pikir juga bukan suatu kebohongan."
"Maksud Bapak?"
Banyu memasuki gerbang yang sudah dibuka oleh satpam rumah itu. Ada mobil papanya sudah terparkir di halaman rumah Wina. Bibirnya terangkat miring kemudian mematikan mesin mobilnya.
"Kita turun sekarang!" titahnya mengabaikan pertanyaan Seruni.
Seruni bergeming membiarkan Banyu turun lebih dulu.
"Silakan, Seruni," ujar Banyu saat membuka pintu mobil untuknya.
"Ini apa-apaan sih, Pak? Saya sama sekali nggak ngerti," keluhnya lebih pada nada sedih dan kesal.
"Sini. Kamu akan baik-baik saja. Ada aku!" Banyu meraih tangan Seruni lalu menggenggamnya erat. "Ikut aku! Percayalah, kamu akan baik-baik saja. Aku tidak sedang mempermainkanmu, Seruni."
Tanpa ada penolakan, Banyu melangkah memasuki rumah keluarga Wina. Pelayan rumah itu mengarahkan ke halaman belakang.
"Mas Banyu sudah ditunggu sejak tadi. Mari ikut saya."
Masih dengan menggenggam tangan Seruni, Banyu mengayun langkah mengikuti pelayan di depannya.
"Selamat malam semuanya," sapanya saat tiba di tempat makan malam yang dimaksud.
Mendengar suara Banyu, semua yang tengah duduk melingkari meja sontak menoleh ke arah yang sama.
Seruni memejamkan mata sejenak mencoba berpikir waras. Jika tak menghargai Banyu, pastilah dia sudah berlari meninggalkan tempat itu. Seruni merasa wajah mereka semua memiliki ekspresi yang sama, seolah mengintimidasinya untuk bersikap serba salah.
**
Nah, cem mane nih? pak Banyu godain Seruni teroooooos, wkwkw
Finally ... apa kabar semua ... selalu jaga kesehatan ya. Semoga kita bisa selalu sehat sekeluarga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top