Day 30 : Wedding (GiyuuShino)

Putih sering diasosiakan sebagai warna sederhana dengan sejuta makna yang indah. Pernikahan, salah satunya. Karena hanya terjadi sekali seumur hidup, Mitsuri menyebut pernikahan sebagai keajaiban yang mampu menyihir setiap orang yang hadir merasa bahagia.

Kurasa bukan hanya orang-orang saja, tapi juga alam sekitar. Saat ini Jepang memasuki bulan Juni yang identik dengan musim hujan. Tapi kali ini tidak ada hujan dan awan mendung yang dibawa angin dingin. Matahari tersenyum hangat dari balik awan putih lembut. Bunga-bunga khas bulan Juni seperti hortensia dan iris bermekaran di sepanjang jalan menuju kuil. Seakan alam ikut berbahagia dan mengucapkan selamat untuk pernikahanku.

Mitsuri juga bilang, keajaiban dan kebahagiaan dilambangkan dengan warna putih, karena itu pernikahan dihiasi beraneka jenis warna putih. Gaun pengantin, tudung kepala berenda, buket bunga, dan dekorasi lainnya … Hanya sekali dalam satu hari, bagian kecil dari tanah di bawah langit akan diwarnai dengan warna putih yang indah.

Daylight Daybook

Kimetsu no Yaiba © Gotouge Koyoharu

Fiksi ini ditulis oleh 2U3ShiRo dengan mengambil prompt "Wedding"

Words count: 927

Warning : GiyuuShino! AU!

No commercial profit taken.

Disarankan untuk memutar lagu Masanori Otoda - Wedding (yang ada di media) ketika membaca fanfik ini.
.

“Saat ditanya mengenai impian, kebanyakan gadis Jepang akan memberi jawaban seperti ini, ‘Impianku adalah menjadi seorang pengantin!’. Kedengaran manis, ya! Bagaimana menurutmu, Shinobu?”

Aku yang sejak tadi menatap burung merpati terbang di langit dari luar jendela, beralih ke cermin yang memantulkan dua bayangan di depanku. Bayanganku berbalut kimono putih yang duduk di kursi dan bayangan Nee-san yang berdiri di belakang. Tangan Nee-san masih setia berkutat dengan rambutku, menanti jawaban atas pertanyaan sebelumnya.

“Aku rasa mereka cuma mau pakai gaun pengantin saja, nggak benar-benar ingin menikah dengan seseorang,” kataku, kurang yakin dengan jawabanku dan sedikit panik karena Nee-san mulai memasangkan aksesoris yang tidak seharusnya ada di rambutku saat ini (yang untungnya segera dilepaskan).

“Berbicara soal gaun pengantin,” Nee-san mengisyaratkan agar aku (dan kursiku) berbalik ke belakang, mengambil alat-alat make-up dari tas penyimpanan, kemudian melanjutkan. “Kenapa Shinobu memilih pernikahan bergaya tradisional?”

Sambil mati-matian menahan tawa, aku berusaha menjawab. “Soalnya Tomioka-san nggak cocok pakai jas. Ini seperti memasangkan dasi kupu-kupu pada ikan salmon.” Dan akhirnya tawaku meledak bersama Nee-san.

“Aku bisa dengar itu, Kochou.”

Aku berhenti tertawa dan melempar cengiran ke wajah cemberut Tomioka-san yang terpantul dari cermin. Iguro-san—yang sedang memasangkan obi pada hakama milik Tomioka-san—mencubit perutnya lalu mendengkus sebal.

“Jangan banyak bergerak, Tomioka. Kamu mau hakamamu melorot pas masuk kuil, hah?!”

“Maaf.”

Sebenarnya aku masih ingin menertawakan Tomioka-san, tapi segera kututup rapat bibirku begitu tangan Nee-san mendekat. Dengan hati-hati, dia mulai mengoleskan lipstik merah dan merapikan sisa riasan lain menggunakan tisu. Terakhir, dia memasangkan wataboushi—tudung di atas kepalaku dan tersenyum sangat puas.

“Saatnya berangkat, Shinobu-hime.” 

***


Sekali lagi, ini soal warna putih dan pernikahan. Baik dalam pernikahan bergaya tradisional dan modern, pengantin wanita selalu diselimuti dengan warna putih. Khusus untuk gaya tradisional, pengantin wanita dirias putih sekali seperti mochi. Ini melambangkan kesucian ketika akan menghadap dewa di dalam kuil nanti.

Nee-san menggandeng tanganku sepanjang perjalanan menuju ruangan utama, sementara Tomioka-san berjalan di depan kami, lalu para tamu mengikuti dari belakang. Kurasakan tangan Nee-san yang sedikit basah mulai gemetar. Dan aku sadar, kalau matanya kini ikut basah. Nee-san menangis lembut sekali. Lembut sekali, tanpa suara sampai aku tahu kalau seluruh tubuhnya ikut menangis bersama matanya.

Tapi wajahnya tersenyum, seperti orang paling bahagia di dunia.

“Nee-san?” panggilku khawatir. “Nggak apa-apa?”

Nee-san menghapus air matanya dengan sebelah tangan lalu menggeleng pelan. “Nee-san baik-baik saja, Shinobu.” Dia mengeratkan genggaman tangan kami lalu menempelkannya di pipi. “Nee-san terlalu bahagia hari ini.”

“Meski bukan Nee-san yang menikah?”

Nee-san mengangguk. “Soalnya Shinobu telah memberikan Nee-san kesempatan untuk sedikit membenci anak laki-laki karena telah merebut Shinobu dari sisi Nee-san. Seharusnya ini diucapkan oleh Otou-san, tapi izinkan Nee-san untuk mengucapkannya. Nee-san mencintaimu, Shinobu.”

Aku mengecup tangan Nee-san dengan hidung dan tersenyum. “Aku juga, Nee-san.”

Kami menaiki tangga kecil yang terhubung dengan ruang utama. Sepasang kursi telah disiapkan di depan, menghadap tempat pemujaan Shinto. Nee-san melepaskanku dan melempar senyum kepada anak laki-laki yang sedikit dia benci karena telah merebutku darinya. Samar-samar kulihat bibir Nee-san bergerak, mengucapkan sepatah kata paling manis yang pernah kudengar selama hidup.

“Berbahagialah.”

Aku berdiri berdampingan dengan Tomioka-san sedikit membungkuk ke depan, membiarkan sang pendeta melakukan ritual penyucian dengan ranting harai-gushi, sebelum menyesap tiga cawan sake bergantian.

Sake sebanyak ini hanya boleh minum tiga teguk setiap satu cawan? Pelitnya,” gumamku pelan-pelan.

Tomioka-san meletakkan tangan di mulut, menahan diri untuk tidak tertawa. “Kamu bisa minum lebih banyak nanti,” bisiknya lembut.

Aku tersenyum kecil menatap sosok menawan Tomioka-san yang dibalut montsuki haori hakama. Kuulurkan tangan ke arahnya, agar dia bisa memasangkan cincin di jari manisku.

“Tomioka-san, tahu? Pengantin wanita mengenakan tudung putih agar hanya sang pengantin pria yang dapat melihat kecantikan wajahnya, tapi karena bentuknya begini, aku merasa seperti stroberi yang disimpan di dalam kue ichigo daifuku.”

“Bagiku itu sama sekali tidak masalah karena sekarang, hanya aku yang bisa melihat wajahmu yang cantik,” kata Tomioka-san. “Karena sekarang kita berbagi marga yang sama untuk selamanya, kamu bisa berhenti memanggiku ‘Tomioka-san’.”

Aku tertawa pelan. “Benar juga, ya.” Kuterima uluran tangannya yang terjulur dan mulai memasangkan cincin di jari manis.

“Tomi—Giyuu-san gugup?”

“Sedikit.”

“Bohong ah, sepanjang pembacaan janji suci tadi suaramu bergetar,” ledekku.

“Oke aku sedikit bohong soal gugup. Maksudku, ‘sedikit lebih banyak’ bohong.”

“Nggak apa-apa. Mulai sekarang, aku akan selalu bersamamu. Di mana pun kamu berada. Selamanya.”

Dia berdiri diam di hadapanku, lalu pelan-pelan tersenyum. Aku menahan napas sebentar saat dia meletakkan tanganku di pipinya.

“Kamu tahu, di Jepang warna ungu adalah warna cinta?”

Aku menyeringai. “Aku tahu. Persis dengan gradasi rambutku, bukan?”

Giyuu-san mengecup tanganku dan tersenyum lagi. Matanya memandangiku, merenungi sempitnya jarak di antara kami. “Aku membutuhkanmu selamanya, karena itu aku menikahimu. Dan aku mencintaimu selamanya.”

Aku ikut memandanginya, berharap waktu berhenti sedikit lebih lama agar kami selalu sedekat ini. lalu aku memejamkan mata, menarik napas, dan kembali tersenyum.

“Selamanya.”

FIN!

A/N:

Diawali dengan angka 3 dan diakhiri dengan angka 30. Fict ini adalah entri terakhir dari Niumi untuk project ini, terima kasih telah setia membaca *bow. Kritik dan saran akan sangat dihargai, mengingat Niumi sangat buruk dalam penulisan romance.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top