13). Cross Over You

Not gonna have anymore gaps that are like parallel lines
You break your rules
I'm gonna cross that line starting with me first
-Y.Z.

*****

Clara berusaha mengendalikan diri, tepatnya seperti berusaha menenangkan 'monster' yang seakan mengalihfungsikan otaknya sebab dia khawatir jika makhluk yang bangkit tersebut akan melakukan hal lain yang jauh tidak masuk akal.

Seperti membalas ciuman Tristan, misalnya.

Faktanya memang iya, mengingat Clara hampir lupa diri dan dia merasa kewarasannya mulai berkurang selagi ciuman Tristan semakin agresif jika ditilik dari cara bibirnya mengeksplorasi.

Oleh sebab itu, Clara berpikir harus dia yang menghentikan duluan sebelum kesadarannya mati total. Cewek itu meremas kedua bahu Tristan, lantas mendorong dengan kekuatan penuh.

Beruntung, usahanya berhasil meski cewek itu clueless setelahnya. Wajahnya pasti telah semerah saga yang merambat hingga ke telinga dan tengkuk selagi jantungnya berpacu seakan-akan dia berlari mengitari satu stadion olahraga.

Tristan sebenarnya ingin memaksakan ciuman lagi, tetapi dia sadar kalau dia harus menahan diri. Bisa berabe kan jika Clara pingsan saking malunya?

"Aku suka sama kamu, Clara Zeminna." Tristan tersenyum bahagia selagi mengucapkan kalimat tersebut. "Kita pacaran, yuk?"

Sayangnya, pertanyaan yang diajukan terasa salah bagi Clara karena dia kelihatan sedang menahan tangisnya.

"Gue nggak mau dan nggak bakalan bisa. Udah gue bilangin, kita nggak bakalan mungkin bisa, Tristan Aditya."

"Clara, dengerin—–"

"Plis, Tris, gue mohon," pinta Clara, sepasang netranya terlihat berkilau karena ada lapisan bening. "Tiap melihat lo, gue ngebayangin penderitaan adik gue yang udah deket sama lo selama tujuh tahun. Menurut lo, apa gue masih bisa memandang lo sebagai gebetan?"

"..."

"I'll consider it as a mistake. I won't forgive if you dare do the same."

"Ra...."

Namun, Clara tidak lagi mendengarkan. Dia meneruskan langkah, bertepatan dengan tangan Tristan yang hendak menjangkaunya tetapi itu semua menjadi niatan semata karena tangan tersebut menggantung di udara selagi punggung Clara semakin menjauh, mengabaikannya di belakang.

Seakan ada benda tajam yang menghambat tenggorokan Tristan, rasanya seperti tercekat. Namun, itu tidak sebanding dengan luka yang dirasakannya sebab mulai detik tersebut dia telah kehilangan Clara sebagai sahabatnya.

Derita friendzone di saat perasaan terungkap; hubungan persahabatan lawan jenis harus dipertaruhkan.

*****


Sudah lumrah hukumnya kalau realita tidak pernah selaras dengan ekspektasi, tak terkecuali kata yang terucap. Itulah sebabnya, tidak jarang orang lebih suka menunjukkan aksi denial atau munafik supaya setidaknya bisa menghibur diri sendiri.

Yoana termasuk salah satu korbannya, padahal dia baru saja mengakui kalau dia tidak takut menjadi sadgirl.

Jika saja Yoga tidak bersikeras memilih jalan pintas sebagai alternatif untuk menghindar dari mahasiswa julid atau jika saja dia dan Yoana tidak terlibat acara danus-an hari ini, bisa dipastikan keduanya tidak akan menyaksikan ciuman antara Tristan dengan Clara.

Namun sayangnya, waktu tidak bisa diputar ulang bahkan direvisi seenak jidat sehingga Yoana hanya bisa melongo sebelum mengerjapkan mata dan beberapa tetes air mata mengalir turun begitu saja.

Lagi-lagi seakan tidak ada habisnya, Yoga bisa mengerti bagaimana rasa sakitnya meski dia sadar sepenuhnya kalau apa yang dia alami tidak mungkin separah Yoana.

Karena cowok itu belum pernah menyaksikan Luna berciuman dengan Ferdian secara langsung seperti ini. Jika membayangkan saja sudah berasa efek hancurnya, bagaimana dengan melihat sendiri?

"Gue baru tau rasanya jadi Kak Clara," bisik Yoana.

Yoga hanya mengalihkan atensinya, menanti.

Yoana balas menatap. Ditilik dari bagaimana air matanya yang semakin deras mengalir ke bawah, dia sama sekali tidak menutupi kesedihannya. "Saat ngelihat cowok yang kita sukai menjalin asmara sama cewek lain, terutama saudara sendiri."

"Lo bilang, lo nggak takut jadi sadgirl." Kata-kata Yoga sarat akan memperingatkan. Bisa jadi, dia berusaha mengalihkan topik supaya Yoana bisa kembali ke mode stabilnya.

"Lo bener. Gue ini pengecut, munafik, trus apa lagi—–oh ya, gue juga pembohong," tambah Yoana dengan tawa getir. Beruntung posisi keduanya berdiri cukup jauh dari jarak pandang duo Tristan dan Clara yang masih berciuman. Dari sini, bisa terlihat jelas seberapa mesranya dia merengkuh kakak Yoana ke dalam pelukannya.

Yoana menolak untuk melihat, tetapi mata dan tubuhnya seakan disetel untuk tetap berada di tempat.

"Nggak salah, karena kita manusia yang punya perasaan," ujar Yoga refleks. "Lo bukan robot."

Tanpa sadar, Yoga juga melakukan kemunafikan yang sama karena pada kenyataannya, dia tulus memberikan penghiburan pada Yoana. Lantas, cowok itu kaget sendiri sewaktu dia mawas diri karena spontan melanggar prinsipnya.

Lo memang simpatik sama Yoana, tapi lo nggak boleh terlalu menghayati. Jangan terlena hanya karena nasibnya sama kayak lo, Yoga.

Oleh karenanya sebelum Tristan atau Clara menyadari eksistensi keduanya, Yoga memutar haluan dan memilih jalur utama untuk kembali ke gedung fakultas.

Meski lamban, Yoana akhirnya menyusul dan mengekori langkah Yoga. Setidaknya, dia masih memiliki pertahanan untuk tidak berlarut dalam zona patah hatinya.

"Yoga." Yoana memanggil, berhasil menghentikan langkah Yoga bersama dua kardus yang ditumpuk ke atas.

Isinya adalah aneka kue dan gorengan yang tadinya dia dan Yoana sepakat untuk dikembalikan ke Divisi Danus berhubung mereka tidak berhasil menjualnya. Jelas, Yoga tidak merasa harus bertanggung jawab karena sebagian rencana adalah akal-akalan dari Virga yang baru diketahuinya seperempat jam yang lalu.

"Ya?"

"Let's create our own happiness now."

"Hmm... sori, gue nggak paham."

"Let's start what we want to focus, from now. As sad couple—–ayo kita sama-sama saling membahagiakan."

Yoga membuang napas pendek. "Udah gue bilang, Yoana. Pelarian nggak akan menyembuhkan sakit hati, juga nggak akan membantu buat move on."

"Lo bisa jadi distraksi gue, Ga."

"Maaf, gue nggak bersedia. Bukan gini konsepnya."

"Gue nggak tahan lagi, Ga. Gue nggak bisa lupain Tristan. Plissss...."

"Yo—–"

"Gue beda sama Luna. Luna beruntung karena usaha bucinnya nggak sia-sia, berhubung Ferdian juga punya perasaan yang sama. Sedangkan gue, lo lihat sendiri kan sebesar apa rasa sukanya Tristan ke kakak gue? Jadi... gue bakal buat lo suka sama gue, gue bakal bikin kita jadi sad couple yang paling bahagia, dan gue bakal buat lo move on sepenuhnya dari Luna."

"Gue nggak mau terlibat friendzone lagi, Yoana. Gue mau hidup tenang sampai wisuda. Maaf, ya."

Yoga sengaja meneruskan langkah sesudahnya, tetapi sesuai dengan karakter Yoana yang barbar, tentu cewek itu tidak menyerah. Dia merebut paksa dua kardus yang dibawa oleh Yoga, lantas meletakkannya begitu saja di tanah.

"Break the stupid rule, Mr. Pradipto. You deserve to love and be loved. You are human, not robot. Semua peraturan aja diciptakan untuk dilanggar, apalagi prinsip lo?"

Yoana jelas menyindirnya balik gegara Yoga sempat mengungkit korelasi antara robot dan perasaan beberapa menit yang lalu.

Maka dari itu, Yoga terdiam sejenak sebelum menemukan kata-kata yang cocok untuk membalas sindiran Yoana. "Ada. Hukum dalam teori akademik nggak pernah bisa dilanggar. Parallel line is truly represent me."

Yoana melipat bibirnya dengan geregetan.

"Disebut garis sejajar karena prinsipnya yang akan selalu berterusan dan nggak akan pernah berpotongan satu sama lain. Jadi, sama seperti garis paralel, gue tetap bertahan pada pendirian gue."

"Oke, kalo gitu sama seperti pendirian lo, gue juga punya prinsip mulai sekarang. If you said so, let me cross that line. Let me cross over you."

"Yoana!" Yoga berekspresi seperti terkena tamparan sekarang. Saking syoknya, tidak ada lagi mimik wajah ramah yang biasa menghiasi wajahnya. "Lo jangan gila gini, dong!"

"Coba ngasih tau gue, ruginya apa? Nggak munafik, lo nggak jelek. Lo juga manis manis ganteng sekaligus mahasiswa teladan di kampus. Kalo lo suka sama gue dan gue suka sama lo, kenapa nggak? Gue malah bisa jadi pasangan yang berguna buat lo. Kita bisa saling memanfaatkan."

Situasi dejavu yang entah ke berapa kalinya dirasakan oleh Yoga setelah mendengar penuturan Yoana. Sekali lagi, cowok itu diingatkan pada momennya bersama Luna. Memori itu sudah lama, tetapi setidaknya dia masih ingat kalau dia pernah menawarkan solusi yang sama pada mantan gebetannya itu.

"... itu artinya gue bisa jadi teman yang berguna buat lo dan gue nggak keberatan kok dimanfaatin sama lo.

"Kalo kita pikirkan dari sudut pandang yang realistis, lo itu cantik banget, Na. Jadi, siapa sih yang bakal nolak walau dimanfaatkan sekali pun?

"Poin plusnya kalo ending-nya kita jadian beneran, gue pasti bakal jadi cowok yang paling bahagia."

"Trus kalo nggak jadian beneran, gimana?" Yoga bertanya tiba-tiba setelah jeda yang cukup lama di antara keduanya sementara angin semilir memainkan rambut mereka seenaknya. Berkali-kali, Yoana memperbaiki rambutnya supaya bisa melihat cowok itu dengan saksama.

Yoga sengaja mempertanyakan itu untuk memastikan. Benar saja, apa yang dijawab oleh Yoana setelahnya benar-benar mewakili jawabannya di masa lampau meski tidak persis sama.

"Setidaknya gue udah berusaha. Patah hati karena cinta itu sakit, Ga. Gue mau mengobati lo, sama seperti lo tulus melibatkan diri lo di antara gue dan Tristan."

"..."

"Pacaran sama gue, Yoga Pradipto. Gue serius nembak lo."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top