(3)

"Transplantasi?" Brian melongo setelah sang ayah mengucapkan sesuatu.

"Iya. Beruntung sudah ada pendonor yang cocok saat kamu dibawa ke rumah sakit."

"Syukurlah, Tuhan ...." Brian berucap dengan raut bahagianya. "Boleh minta identitas pendonor, Pa?" Pemuda itu berniat untuk berterimakasih kepada pendonor dan keluarganya. Namun, Rudi menggeleng.

"Kalau kondisi kamu sudah benar-benar pulih, nanti papa beri," tukas Rudi.

"Oke." Brian manggut-manggut. "Oh, iya. Lusi mana, Pa? Dia pasti senang kalau—"

"Brian," potong Rudi. "Kamu tahu, kenapa kira-kira kamu bisa masuk ke rumah sakit, waktu itu?"

"... iya. Itu karena Brian melanggar pantangan dari dokter. Brian lari-larian naik tangga." Pelan pemuda itu menjabarkan ingatannya.

"Saat itu kamu mengejar Lusi yang isengin kamu, kan?"

"Bukan salah dia, Pa."

"Tapi, dia merasa begitu. Sehari setelah kamu masuk RS, dia pamit untuk kembali ke panti."

"Hah?" Brian tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya.

"Papa tidak bisa mencegah atau menghentikan kemauannya," ucap Rudi.

Brian memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa tidak nyaman. Nyeri, sesak, dan berdenyut. Melihat gelagat putranya,  Rudi langsung mengambil tindakan.

Ketika tangan sang ayah sekaligus sang dokter hampir sampai ke arah area bekas operasi, tangan Brian menghentikan gerakan Rudi dengan cepat.

"Jangan sentuh," ucap Brian sambil menatap wajah ayahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top