28 | Ombak Sejinak Bayi yang Terlelap Tidur

Teman-teman yang nanyain IG atau sosial mediaku yang lain itu semuanya sama namanya ya, template banget @nauraini dari mulai twitter, ig, tumblr, askfm, steller kalau facebook, facebook.com/nauraini23 haha sudah dijawab ya yang nanya ini.

ps. aku ada pertanyaan penting di catatan nanti, boleh dibaca dan ditanggapi hehe :3

Enjoy reading 😉

●●●

Bara api tiki torch yang dibuat sang Bunda di banyak titik di halaman rumah menjadikan pagi selepas Subuh itu bagaikan dingin yang bersahabat. Sejak Ayahnya mendapat proyek di Australia, mereka sekeluarga sudah jarang ke Bandung menghabiskan waktu bersama.  Dulunya setiap dua minggu atau satu bulan sekali tak pernah absen.

Aurora menjejakkan kaki di rumput basah dengan kaki telanjang. Merasai dinginnya pagi di Bandung dan perlahan membandingkannya dengan dingin hatinya. Orangtuanya pasti sedih dan kecewa. Kali ini, dia yang biasanya paling semangat kalau sudah liburan, harus menjadi orang yang membekukan suasana.

Selepas bangun tidur setelah kejadian semalam, belum ada yang mengajaknya bicara secara serius lagi. Lagipula, kesan yang dirasakan Aurora adalah liburan kali ini merupakan arena persidangan untuknya. Jadi sudah sepantasnya untuk tidak ber haha hihi kan?

"Dek, lari pagi yuk!" sapa suara di belakangnya, milik Ayahnya. Ayahnya sudah siap dengan celana training, sepatu olahraga dan kaos biru muda-nya.

Aurora mengangguk dan sejenak berlari ke dalam rumah untuk mengambil asics running shoes favoritnya. Sepatu yang selalu dipakainya kalau lari pagi dengan ayah dan kakaknya kala berlibur di Bandung. Pagi itu, tak terlihat ada kakaknya bersama ayahnya.

Tadi, Aurora sengaja salat duluan di kamar agar tidak diajak salat berjamaah. Entah apa yang dia hindari. Padahal salat berjamaah bagi keluarganya adalah ritual paling sakral yang harus terus diusahakan untuk dilakukan bersama.

Aurora, Aurora. Entah apa maunya dia.

Menarik diri dari dunia, lalu dia mau kemana?

Lari-lari menolak dan menyangkal, hanya bukti dia tak beranjak dari fase denial.

Sepanjang jalan berbatu yang dilaluinya dan ayahnya, Aurora hanya diam. Sesekali napasnya memburu dan terengah. Sesekali dia menarik napas panjang menghirup udara pagi yang masih menyisakan basah.

Mereka berdua sudah lumayan jauh dari rumah. Kanan dan kiri hanya nampak perkebunan warga yang banyak diisi tanaman sayuran dari mulai sawi, lobak, wortel, tomat dan cabai. Juga satu dua ada polybag-polybag stroberi berjajar seperti di kebunnya.

Di ujung jalan ada pertigaan kecil melewati garis pematang kebun. Ayahnya berbelok. Jalan pintas untuk menuju rumahnya melewati perkebunan. Biasanya di sini karena tidak bisa berlari-lari, Aurora, Ayah dan Antariksa akan berjalan pelan sambil berbicara ini itu dan sesekali diselingi banyolan Aurora dan godaan Ayah. Antariksa seringnya hanya menjadi pendengar yang baik dan sebagai penyumbang tawa.

Sebelum mereka berbelok pada pematang itu, Ayah berjongkok di depan Aurora. Aurora mengernyitkan dahi bingung atas perlakuan Ayahnya yang menyediakan punggung dalam pandangannya. Tak ada tanggapan selama beberapa saat, Ayah menepukkan tangan kanannya ke arah punggungnya.

"Yah...," suara Aurora pelan tak yakin.

Sekali lagi ayah menepuk punggungnya sambil mendongak ke belakang menatap Aurora memberi isyarat. Aurora masih ragu-ragu. Berat badannya berapa? Yakin nih Ayah kuat? Ngga bakal oleng gitu? Nanti yang ada mereka malah nyungsep ke tanah lagi.

Ayah kembali menatapnya lagi. Dengan tatapan teduhnya bagaikan tatapan 'kasih putihnya' Glenn Fredly akhirnya Aurora mengangguk. Dan pelan-pelan menaiki punggung Ayahnya.

"Kamu berat badannya berapa sih Dek?" Tanya Ayah dengan nada geli.

Aurora tergelak, "Ayah ih. Sensitif tahu ngomongin berat badan ke cewek." Apapun alur yang sedang dimainkan Ayahnya, Aurora berhasil terbawa suasana. Aura Ayahnya memang ngga main-main. Langsung saja Aurora merasakan perasaan hangat begitu tubuhnya ada di belakang punggung Ayahnya.

Pickaback andalan Ayahnya untuk memanjakan Aurora. Untuk membuat Aurora nyaman dan... merasa terlindungi. Aurora kecil menjadikan punggung Ayah sebagai tempat favorit. Hingga dewasa pun ternyata perasaannya masih sama.

Di antara gelak tawa Ayahnya karena tanggapan berat badan tadi, setitik air mata jatuh dari mata Aurora.

Perlahan dieratkannya pelukan tangannya di leher Ayahnya dan mulai ikut tertawa.

"Perempuan ya selalu aja sensitif. Orang Ayah mau bilang kok kamu enteng banget gitu. Jatah nyemilmu dikurangin sama Bunda apa gimana?"

Aurora tergelak lagi, "Duh Bapak Auriga jangan sesumbar deh. Ini baru lima meter. Sampai di kebun kita tuh masih ada 400 meter lagi. Awas nanti malem kalau minta ditempelin salonpas ya."

"Ih apasih Aurora, emang kenapa kalau Ayah suka salonpas? Kan Ayah suka yang hangat-hangat gitu. Enak tahu pakai salonpas. Lebih enak lagi balsem geliga trus dipijetin sama Bunda."

Tawa Aurora meledak. Segala balsem geliga sama salonpas dibawa-bawa! Sekalian aja ngomongin harga cabe naik!

"Christoffer Collin kalau diajak ke sini yang bakal difoto apa ya Dek?" Tanya Ayah lagi saat tawanya sudah mulai mereda.

Aurora excited menjawab saat mendengar nama fotografer idolanya disebut. "Ya standar Yah yang ijo-ijo pasti yang difoto. Paling mentok juga petani yang lagi di kebun gitu."

"Kan, kerenan juga Steve Mccurry," sahut Sang Ayah.

Aurora berdecak keras, "Ck masih keukeh ya Bapak ini. Beda fokus ya Pak tolong. Mccurry kan lebih ke profil kali spesifik Afghan profil. Collin mah landscape."

"Ada juga dia landscape-nya."

"Pokoknya Collin tetap the best!" Ujar Aurora gemas membela idolanya yang merupakan Ambassador Hasselblad tersebut. "Lagian kalau mau perbandingan yang sepadan dong."

Ayah terkekeh, "Ini kalau ngomongin sama Bundamu pasti udah debat kalian antara Collin sama Hämäläinen kerenan siapa."

"Ih... Bunda mah fanatik kalau sama Juuso males aku. Portofolio membuktikan kali siapa yang lebih berpengalaman." Aurora membayangkan waktu dirinya berdebat dengan sang Bunda yang nyaris fanatik tentang Juuso Hämäläinen, fotografer landscape spesialis sky photography itu. Pernah waktu mereka pertama ke Finlandia dan Bundanya nekat mengirim email kepada Juuso untuk bertemu. Kalau bukan karena Helshinki dan Ruovesi begitu jauh, pasti Bunda sudah nekat menemuinya sendirian. Untungnya, atau malangnya, Juuso sedang berada jauh dari kota. 

Matahari mulai meninggi mengiringi pembicaraan seru Aurora dan Ayahnya tentang dunia yang sangat disukainya, fotografi. Dan Aurora senang Ayahnya selalu menjadi lawan bicara yang sepadan untuk membicarakan hobi dan kecintaannya. Mereka berbicara banyak hal tentang National Geographic, Vogue, Kinfolk dan Design Antology sampai Vanity Fair dan World Press Photo Exhibition.

Sudah lumayan lama berjalan dengan Aurora masih digendongan mulai terdengar napas berat Ayahnya. Aurora langsung nyeletuk, "Ciye ada yang udah ngos-ngosan nih. Kalau udah ngga kuat bilang lho," ujar Aurora menggoda Ayahnya.

Ayahnya tertawa, "Kamu doang mah kecil. Kamu tambah Bunda juga Ayah kuat."

Aurora langsung ngakak, "Banyak gaya ya Bapak ini. Coba itu nanjak dikit jangan oleng ya."

Dasar Aurora iseng!

Dipandangnya luas perkebunan yang tampak subur dengan berbagai tanamannya. Aurora tak pernah bosan memandang keindahan itu. Pagi hari, matahari dan hijau tumbuhan tak pernah mengecewakan indera pengelihatannya. Itulah kenapa Aurora suka sekali memotret pemandangan. Selain sebagai investasi memori, juga sebagai rasa syukur ke Tuhan atas alam indah yang diciptakannya. Menurut teorinya, segala potret itu akan membawanya memutar kembali memori saat pemandangan itu disaksikannya.

"Sampai," seru Ayahnya ketika mereka berdua sampai di kebun stroberi milik mereka. Ayah sedikit berjongkok dan Aurora langsung turun. Tapi masih tak melepaskan kedua tangannya dari tubuh Ayahnya. Dipeluknya Sang Ayah dari belakang oleh Aurora. Gerakan reflek karena Aurora tak ingin melepaskan kehangatan secepat itu. Diusapnya kedua tangan Aurora oleh Ayahnya. Dan mereka berdua saling menyampaikan kasih sayang dengan cara yang tidak bisa diucapkan secara verbal. Rasa terimakasih yang tulus dari Aurora untuk Ayahnya yang senantiasa ada untuknya.

Aurora melepas pelukan itu dan segera menyeka air matanya yang sempat turun. Perlahan Aurora mendongak dan menatap Ayahnya yang juga sudah berbalik menghadapnya. Ada satu pertanyaan yang dari dulu selalu ingin Aurora tanyakan sekaligus tidak ingin dia dengar jawabannya. Kini dia siap menanyakannya. "Yah, Ayah pernah kecewa sama aku?"

Ayah menggeleng langsung nyaris seperti tanpa berpikir. Digandengnya tangan Aurora untuk duduk di atas tanah dengan pamandangan perkebunan warga di depan mereka.

Sambil tersenyum beliau bicara, "Ngga pernah Dek. Justru sebaliknya, Ayah ngga pernah ngga bangga sama kamu."

Aurora mengerjap, "Apa yang bisa dibanggain dari aku?"

"Apa yang ngga bisa dibanggain dari kamu?" Tanya Ayah balik sambil berniat menggoda Aurora. "One hundred percent music, one hundred percent pure art and one hundred percent talent."

Aurora tertawa, "Ayah ih serius aku. Itu yang seratus persenan semua mah Aurora yang mana haha," jawab Aurora dan kepalanya langsung teringat Aurora penyanyi asal Norwegia kesukaan dia dan Ayahnya. By the way dia akan sangat senang disamakan dengan Aurora yang ini dibanding Princess Aurora Disney. Bayangan Princess Aurora yang bau mulut setelah tidur bertahun-tahun dan giginya yang jadi kuning tak bisa terlepas dari imajinasi Aurora.

"Ya berarti kalau kamu, buat musiknya diganti sama one hundred percent of kindness," sahut Ayahnya sambil tersenyum.

"Bukan seratus persen bulir jeruk alami Minute Maid Pulpy Orange?" Canda Aurora yang dibalas tawa Ayahnya. Kalau sama Ayah ketawa mulu kerjaan Aurora.

"Yah..."

"Iya?"

"Aku kan ngga sepinter Mas."

Akhirnya pernyataan itu tercetus juga dari mulut Aurora.

Ayah memandang Aurora dengan senyumnya yang lembut dan menenangkan hati itu. Dielusnya puncak kepala puteri bungsunya yang sedang berada di masa krisis identitas. "Dek, dengarkan Ayah. Menurut Ayah kamu mencintai begitu banyak hal yang bahkan tidak terpikir oleh anak seusimu itu adalah prestasi yang luar biasa. Potensi kamu, keterampilan kamu, didukung dengan karakter dan kebaikan kamu itu semua lebih dari pintar. Kamu cerdas, Dek."

"Tapi aku ngga pernah bawa pulang piala Yah, ngga satu pun dari dulu."

Ayah nelangsa melihat pandangan Aurora yang terkesan menyempit saat dia mengalami krisis kepercayaan diri seperti ini. Kalau-kalau Aurora lupa, dia juga tak pernah mengikuti lomba apapun. Tidak pernah mau. Kini benang itu terurai, mungkin Aurora takut sebelum bertanding.

"Kamu cuma perlu lebih berani Dek. Inget ngga berapa kali kamu bilang ditunjuk guru buat ngewakilin sekolah lomba seni rupa? Kalau waktu itu kamu maju, kelar semua itu anak yang lain."

Aurora menunduk. Secara tidak langsung Ayahnya menyindirnya karena tidak pernah berani mencoba dan hanya berspekulasi kalau dia tidak akan menang. "Kalau aja aku berani coba ya Yah," jawab Aurora akhirnya.

"Masih banyak waktu Dek. Terlepas dari itu, yang terpenting adalah bukan kamu menang atau tidak. Kamu bawa piala dan juara satu atau tidak. Itu hanya kompetisi Dek. Yang penting dari semuanya adalah bahwa kamu senang, kamu semangat, dan implikasi itu semua untuk orang di sekitarmu. Karena mau sehebat apapun kamu memenangkan sebuah kejuaraan kalau apa yang kamu bisa itu tidak bisa kamu deliver dan bermanfaat buat orang lain ya buat apa. Kemenangan itu cuma semu dan kepuasan ego semata."

Aurora menganggukkan kepalanya paham. "Apa menurut Ayah aku pengecut selama ini?"

"Tidak sama sekali. Kamu hanya belum punya motivasi kuat untuk mencoba...."

"Tapi Yah...," potong Aurora saat Ayahnya belum selesai bicara.

"Dengarkan Ayah dulu," jawab Ayahnya lembut, "kamu dan pikiran kamu itu satu paket Dek. Pikiran kamu yang menggerakkan kamu. Kamu punya logika dan hati, kalau ditanya mana yang harus didahulukan, dahulukan logika kamu. Buat sebanyak mungkin kemungkinan baik dan buruk. Bandingkan. Kalau persentasenya bilang itu baik, lakukan. Hati itu berlaku sebagai kontrol, bukan sebagai motor. Jangan sampai ketakutan itu mengontrol hati terlebih pikiran kamu."

Aurora mengangguk. Dari sekian pembicaraan Ayah dan anak itu sedari dulu, baru kali ini Aurora diberikan nasehat sedalam ini. Sebenarnya ini nasehat basic, tapi dari dulu Ayahnya cenderung jarang memberinya nasehat. Seringnya itu jadi bagian Bundanya. Ayah lebih senang memberinya pemahaman melalui diskusi-diskusi dengan memainkan fungsi pikir Aurora. Bagaimana harus berpikir sistematis dan kritis.

"Yah, aku ngga tahu siapa yang salah dari ini semua. Aku ngga memungkiri kalau aku pun banyak salah. Tapi, aku sakit hati sama sikap Mas akhir-akhir ini. Ayah sadar kalau dari dulu aku sama Mas...."

"Saling menahan diri?" Gantian Ayah yang memotong pembicaraan Aurora yang sempat memelan di akhir.

Aurora mengangguk lagi. "Dari dulu, sejak SD aku selalu dibandingin sama Mas karena aku ngga sepinter dia. Ayah tahu kan kalau aku lemah di sains. Aku juga belajar Yah, tapi semua orang ngga liat itu. Yang mereka tahu cuma Antariksa selalu menang lomba Matematika, IPA, dokter kecil dan Aurora disuruh mengerjakan pembagian aja ngga bisa. Aku benci kenapa di dunia ini semua hal harus dinilai dari apa yang kelihatan. Mereka ngga pernah tahu gimana aku juga belajar mati-matian. Tapi tujuan aku juga bukan ikut lomba tapi karena aku pengen bisa. Emang salah kalau aku cukup bisa aja dan ngga harus sepinter Mas yang lomba kemana-mana?"

Sungguh, Ayah bukannya tidak tahu beban yang dirasakan Aurora kecil saat itu. Di antara sikapnya yang selalu ceria dan selalu heboh saat kakaknya membawa pulang piala, ada luka yang dia tahan sendiri. Bukan karena dia iri, tapi karena persepsi orang lain yang menanggapinya dengan dangkal.

"Dek, kamu tahu kenapa akhirnya Ayah lebih memilih kamu untuk belajar banyak tentang manajemen kurun waktu terakhir?"

"Karena Mas ngga mungkin nerusin perusahaan Ayah," bilangnya yang terdengar seperti pertanyaan.

Ayah menggeleng, "Karena potensi kamu lebih besar untuk perusahaan sejenis punya Ayah." Ayah melanjutkan, "Ayah pernah bahas sama Mas dan memang dari awal kita berdua sepemikiran kalau kamu lebih potensial. Ayah pun ngga pernah memaksa kamu, tapi ngga dipungkiri juga kalau Ayah menaruh harapan besar sama kamu."

Aurora mengerutkan dahinya, apa yang dia miliki sampai dibilang berpotensi lebih besar? "Apa yang bikin Ayah mikir kaya gitu?"

"Kedinamisan kamu dalam memandang sesuatu."

"Maksudnya Yah?"

"Kamu cenderung dinamis dalam melihat banyak hal. Rasa penasaran kamu segitu besarnya akan banyak hal. Kalau Kakak kamu cenderung statis yang suka hal yang itu-itu saja, dalam hal ini contohnya sains. Tapi kamu menang dalam pengembangan diri ke arah skill, mencoba banyak hal baru dan menyukai banyak hal."

"Itu menjamin apa?" Tanya Aurora lagi.

"Kamu tahu Dek kenapa Ayah dari dulu lebih senang ngobrol sama kamu tentang art and science dibanding sama Masmu dan Bunda?"

Aurora menggeleng.

"Karena isi kepala kamu itu unik. Kalau Mas sama Bunda cenderung akan bertanya kalau 'yang ini bagaimana' setelah mendapatkan penjelasan akan sesuatu tetapi kamu bertanya 'kalau begini bagaimana'. Pertanyaan kamu semuanya out of the box dan bahkan sering without the box bahkan yang orang lain tidak terpikir tentang itu. Itu menunjukan satu hal bahwa kamu itu kreatif luar biasa dan nalar kamu jalan. Dan di konsultan hal itu adalah harta yang paling berharga. Ngga cuma di konsultan sih tapi di banyak bidang."

"Tapi Yah...," jeda Aurora karena dia masih memikirkan jawaban Ayahnya yang luar biasa tadi dan berpikir tentang pernyataan ini, "kalau udah mulai belajar manajemen aku juga ngga sejago itu." Dan Aurora masih merasa inferior saat Ayahnya sudah mengapresiasi dia segitu tingginya.

"Kamu tahu Dek kenapa Ayah dari kecil membiasakan membawa kalian petualang di alam?"

"Karena dari alam kita belajar banyak hal?"

"Betul. Kalau kata Albert Einstein, look deep into nature and then you will understand everything better. Kenapa Ayah mengajak kamu petualang adalah biar kamu menilai sendiri kalau alam mengajarkan kita banyak hal dan kalau kamu sudah bisa menumbuhkan rasa cinta kamu kepada alam, kamu sudah menjadi pribadi yang pasti mencintai dengan tulus. Maka Ayah ngga meragukan sama sekali kebaikan hati dan kesatunan kamu."

Lagi-lagi Aurora merasa takjub dengan apresisasi Ayah yang segitu tinggi untuk dirinya. Dipeluknya Ayah dari samping dan berujar, "Kalau kata George Santayana, family is one of  nature's masterpieces. Aku ngga meragukan itu sama sekali. Terimakasih banyak Yah buat kesabarannya selama ini ngebimbing aku. Aku janji akan belajar lebih baik lagi, belajar manajemen lebih serius lagi."

Ayah tersenyum, "Masih banyak waktu Dek. Ayah lebih senang kamu banyak main di alam dan main dengan DIY, fotografi, art drawing, art decoration, coba-coba motion graphic, sculpture art, ikut kegiatan fundraising, coba cari uang di DBD, nonton konser, nonton dan dengerin film sama musik indie because...."

"We speak fluent indie," jawab Aurora dan Ayah bersamaan. Lalu mereka tertawa bersama dilatarbelakangi oleh matahari pagi yang sudah bersahaja di tempatnya.

Aurora rindu perasaan sehangat ini bersama Ayahnya. Juga Bundanya. Juga... Kakaknya.... Akan selalu rindu. Dan terus rindu.

"Terimakasih Yah...," bisik Aurora lagi sambil mengeratkan pelukan pada Ayahnya.

Di saat banyak orang tua di luar sana yang tidak terbuka dengan pendapat anaknya, Ayahnya selalu menjadi orang yang paling antusias mendengarkan apapun isi kepala Aurora. Di saat banyak orang tua yang masih bersifat feodal dan otoriter serta jarang terbuka akan berbagai hal, Ayahnya justru yang paling sering membuka ruang diskusi untuknya. Kalau akhirnya banyak orang di luar sana anak seumur dirinya bangga akan asumsi, intusi dan ego maka dirinya juga akan berlaku sama tetapi bukan karena kebebasan yang sempat terpenjara tapi justru merupakan privilese untuk dirinya karena diberikan kepercayaan sepenuhnya dari orangtuanya, terlebih Sang Ayah.

Aurora mengagumi figur Ayahnya melebihi siapapun. Tidak Christoffer ataupun Aurora yang mampu menandingi sosok Ayahnya sebagai idola Aurora di hidupnya. Ayah yang bijak, Ayah yang keren, Ayah yang trendy, Ayah yang suka mengajaknya mancing dan berkuda, Ayah yang mengajarinya survival dan memanjakannya dengan glamping, Ayah yang nyambung kalau ngobrolin musik indie dan sering nemenin dia nonton film, Ayah yang suka ngajarin dia matematika dan berbagai diskusi berkualitas maupun konyol setiap malamnya.

Aurora tidak pernah berhenti bersyukur dilahirkan sebagai seorang puteri dari Auriga Bintang Septario ini.

"Dek..."

"Hadir hehe..."

"Kamu tahu seberapa besar potensi kamu sebagai generasi penerus? Dibanding semua hal tentang piala dan perlombaan yang kamu bicarakan tadi, Ayah dan Bunda akan jauh lebih bangga kalau kamu tetap punya hati yang rendah dan menyalurkan segala potensi kamu itu untuk membuat perubahan yang besar. Ayah harap kamu sama Mas bisa jadi seperti Butet Manurung dengan kesederhanaan dan kegigihannya buat pendidikan atau Iman Usman sama Belva Devara dengan startup penggerak perubahannya di bidang yang sama. Kamu dan Mas harus jadi orang yang peduli dengan nasib Bangsa ini. Dan untuk itu semua, Ayah tidak akan pernah lelah mengingatkan."

Aurora merekam semua nasehat pagi ini ke dalam alam sadarnya. Untuk terus diingat dan akan dia biarkan menghantui hari-harinya.

Pada suatu hari saat Aurora dan keluarganya berpetualang di Pantai Ora, ada percakapan yang menarik saat menjelang fajar. Pagi itu di atas bungalo terapung Pantai Ora tempat mereka menginap yang katanya tak kalah bagus dari Kepulauan Bora-Bora itu, Ayah sedang membaca buku setelah selesai salat malam. Tenyata Bunda juga tak bisa tidur lagi dan memilih melihat jutaan gemintang di atas langit. Lalu Aurora dan Antariksa yang tidak ingin terlelap lagi juga ikut bergabung. Mereka merayakan udara yang manis yang terbawa dari hutan lebat di belakang bungalo.

Aurora tiba-tiba nyeletuk, "Emang beneran ya ikan ngga pernah tidur?" Tanyanya karena terdengar jelas sekali kecipak ikan di sekitar mereka.

Bunda langsung tertawa, "Ya tidur lah Dek."

"Ih ikan ngga pernah merem perasaan."

"Ikan emang ngga punya kelopak mata kaya manusia kecuali ikan hiu," jawab Antariksa, "makannya dia pas lagi lelap tidur juga kaya melek."

"Trus mereka tidurnya di mana?" Tanya Aurora lagi, polos.

"Bisa melayang-layang di air kaya ikan tuna, ada yang di balik terumbu karang atau di dasar laut."

Oh.. Aurora manggut-manggut.

"Kasihan ya kalau pas lagi tidur tiba-tiba kena ombak."

Kali ini giliran Ayahnya yang menjawab, "Ikan juga punya mekanisme perlindugan diri Dek. Dia tahu di mana posisi yang aman buat dia beristirahat."

"Tuh, manusia juga harus gitu. Pandai memposisikan diri dan mengambil peluang yang ada. Ikan kan bisa tidur siang atau malam hari. Dan saat dia cari makan, dia ngga pernah takut ombak. Ikan punya kebebasan yang dia manfaatkan sebaik mungkin. Ikan bebas berenang di tempat dangkal atau laut tercuram sekali pun. Hidupnya juga penuh resiko. Dia menikmati saat ombak jinak tapi selalu siap saat ombak pasang."

Dan di antara debur ombak yang jinak seperti bayi yang terlelap tidur itu, Aurora belajar tentang keberanian. Bahwa akan begitu banyak hal bahaya dan menyakitkan dari dunia ini. Tapi dia cuma butuh berani.

●●●

Lalala yeyeye akhirnya aku update. Seharusnya part sama Bapak Auriga ngga sepanjang ini sih hm tapi yasudahlah ya semoga kalian ngga ngantuk dan bosen bacanya hehe. Part depan gantian sama Bunda Alfa (tuh dispoilerin duluan) jadi jangan hapus cerita ini dari library kalian dulu saking gedeknya nunggu ceritanya update hehehe 😆 tenang aja ini cerita bakal ditamatin di wattpad kok wkwk. Dan juga akan segera tamat jadi komohon bertahanlah sebentar lagi bersamaku haha

Oh iya, aku ada pertanyaan penting ngga penting sih hehehe
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kalau I [Never] Give Up on You diterbitin, ada yang mau beli ngga? Hehehehe 😊

Jan, 26 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top