Bab 2

***

"Rindra ingin ... mempekerjakan pengasuh untuk Toni, pa."

Niat mendadak Rindra spontan membuat pria paruh baya dengan uban sebagian itu nyaris tersedak saat akan menyesap kopi.

Hendra sampai terkejut dengan apa yang didengarnya. Padahal dia jadi ada kesempatan dekat dengan cucu laki-lakinya.

"Apa yang membuatmu berniat seperti itu, nak?" tanya Hendra lembut, seraya menaruh cangkir kopi di meja kaca hadapannya. "Papa tahu kamu punya banyak kesibukan sebagai dosen dan pekerja kantoran. Tapi, jika kamu mempekerjakan pengasuh, apa tidak masalah meninggalkan Toni dengan seseorang yang bahkan bukan keluarga kita?"

Rindra menarik napas lalu menanggapi ucapan mertuanya. "Rindra mengerti risiko itu. Makanya untuk meminimalisirnya, tiap ada yang minat nantinya Rindra bakal mewawancarai calon pengasuh itu. Apa bisa berkomitmen menjaga Toni, apa bisa bermain dengannya dan memenuhi kebutuhan Toni?"

"Tapi papa jadi takut kalau saja kamu mempekerjakan orang yang salah, nak," ujar Hendra merasa cemas. "Jika kamu mempekerjakan pengasuh cuma karena kamu nggak enak sama papa, kamu nggak usah berpikir begitu. Ada papa yang bisa jaga Toni."

Hendra mencondongkan sedikit tubuhnya mendekati Rindra yang duduk di sofa panjang sebelah kirinya.

"Papa tidak masalah bila kamu minta papa mengurus Toni. Lagipula Toni juga berbaur dengan beberapa sekretaris papa, termasuk office boy dan office girl yang tiap kali membersihkan ruangan papa. Pun, sekretaris papa juga suka sekali dengan anak kecil yang ceria seperti Toni."

"Tapi, Rindra jadi mengganggu papa juga," ucapnya pelan sedikit menaikkan intonasi suara. "Rindra nggak enak kalau terus mengganggu waktu kerja papa."

Hendra sempat menelaah kegelisahan sang menantu. Siapa yang menyangka suami mendiang putrinya sangat bersikap dewasa, bahkan tak ingin merepotkan orang lain terutama dirinya? Sekilas senyum kecil Hendra terbit.

"Kalau memang itu jadi keputusan kamu, tidak apa. Asalkan, setiap akhir pekan, bawa Toni pada papa. Papa akan terus rindu dengan keceriaan Toni di ruang kerja papa. Terlebih, Toni anaknya juga nurut. Ke sekretaris papa, malah dia sopan banget. Menurun ke Aurel sopannya."

Menyebut nama istrinya seketika membuat tubuh Rindra bergetar. Betapa rindunya Rindra kepada Aurel sejak sangat lama. Nyaris setahun Aurel pergi meninggalkannya juga Toni dan Hendra. Mengingat Aurel justru air matanya tumpah begitu saja tanpa diminta pun.

"Maaf kalau papa mengungkit Aurel," ucap Hendra peka melihat menantunya mulai mengeluarkan air mata. "Papa mengerti kamu pasti merindukan Aurel, bahkan di setiap malam. Papa juga, ingat Aurel yang terus minta bantuan saat dirawat di rumah sakit, begitu kamu sempat tidak menjaganya karena pekerjaanmu. Tapi yah, kita harus ikhlas. Aurel bahagia bersama mamanya."

Rindra mengusap air matanya cepat kemudian menyungging senyum mendengar kata-kata hiburan itu.

"Rindra ikhlas kok, pa. Kehadiran Toni menyembuhkan Rindra. Toni yang juga ikhlas menerima, justru Rindra suka. Toni seperti mengerti keadaan. Bahkan Toni tidak pernah rewel setelah mamanya tidak ada."

"Papa ingat saat Toni bertanya tentang kondisi mamanya ketika berziarah ke makam Aurel. Toni sempat menangis begitu papa bicarakan kebenarannya, namun hanya sebentar saja, Toni menghampiri papa dan bilang Toni ikhlas seraya memeluk erat papa. Toni mengingatkan papa saat mama mertua kamu meninggal, Aurel menangis selama beberapa hari. Namun setelahnya, Aurel mengikhlaskannya. Sama persis dengan Toni."

"Tapi Rindra juga terus menguatkan Toni, hingga dia bisa seperti sekarang."

Ayah dan anak tidak sedarah itu terus berbagi cerita tentang Aurel, hingga obrolan mereka terbawa suasana. Hendra tampak mengeluarkan sarung tangan dari saku baju lalu mengusap air mata yang sempat mengalir.

"Yang penting Aurel sudah bahagia di atas sana," ujar Hendra. "Kita sama-sama melihat perkembangan Toni sampai besar. Walau kamu memutuskan untuk mencari pengasuh untuk Toni, asal dia bisa dipercaya dan tidak menyakiti Toni."

Rindra mengangguk menerima ucapan papa mertuanya.

"Papa hanya takut saja, pengasuh yang kamu pekerjakan justru berbuat aneh. Banyak loh sekarang pengasuh yang tidak bisa dipercaya." Raut cemas Hendra terlihat, kemudian Rindra menimpali cepat agar Hendra tidak terlalu khawatir.

"Papa tidak usah takut, karena setiap calon pengasuh akan Rindra wawancarai. Kalaupun pengasuh itu bakal macam-macam, Rindra akan pantau di CCTV. Lama sekali terpasang sejak Toni umurnya 6 bulan."

Hendra manggut-manggut mendengar penjelasan Rindra.

"Iya, nak. Papa paham."

Rindra tak menanggapi. Tangannya terentang mengambil piring kecil yang tertata cangkir berisi kopinya. Lalu menyesap perlahan kopi buatan OB di perusahaan sang papa mertua.

"Kamu ada jadwal mengajar?" tanya Hendra sebagai selingan, kala mereka tidak punya topik obrolan lagi.

"Tadi pagi jam 10, ada satu mata kuliah. Multimedia Lanjutan. Siangnya Rindra ke sini untuk menemani papa. Mungkin sekitar jam 3 sore, Rindra akan kembali ke kampus untuk satu kelas lagi," jawab Rindra sambil tetap menyesap kopi miliknya.

"Oh iya, papa dikabari sekretaris papa kalau dia bersama Toni sedang makan burger di dekat kantor. Tepatnya di seberang. Toni juga makannya lahap sekali."

Hendra menaruh ponsel di meja dan memperlihatkan foto terkini yang dikirim barusan oleh sekretarisnya.

Rindra mengangkat ponsel tersebut dan melihat baik-baik foto Toni yang menatap intens kamera di depan.

"Padahal Toni sempat minta beliin burger, tapi Rindra tidak penuhi." Pria itu bahkan terperangah ketika melihat lampiran video di paling bawah, menonton Toni yang asik melahap kentang dan menyesap minumannya.

"Ukurannya sesuai sama umurnya," sela Hendra. "Kamu nggak usah takut. Sekretaris papa membelikannya yang ukuran mini, apalagi ada hadiah mainannya lagi."

Rindra menyungging senyum ringan seraya mengembalikan ponsel kepada Hendra. "Terima kasih banyak, pa. Rindra jadi banyak merepotkan papa lagi."

Hendra mulai berdiri dari kursi dan berpindah posisi duduk di samping Rindra, menepuk bahu menantunya beberapa kali.

"Kamu nggak usah sungkan begitu, nak. Papa ini bukan orang lain. Walau kamu menantu papa, papa tetap anggap kamu sebagai anak papa sendiri. Ya?"

Tarikan napas tak terhindarkan, Rindra berusaha mengatur diri. Lihatlah wajah pria paruh baya itu, bahkan tidak ada protes atau mengajukan keberatan sama sekali begitu Rindra menitipkan sang putra padanya setiap saat. Bukankah hal tersebut menguntungkan bagi Rindra?

Meski demikian, tidak selamanya Rindra akan terus menerus membawa Toni pada Hendra. Dia harus menghargai kesibukan papa mertuanya sebagai direktur pemasaran. Bayangkan jika Hendra lebih mementingkan waktunya untuk keberlangsungan pemasaran perusahaan dibanding Toni. Tentu dia tak ingin Toni ditinggalkan oleh orang-orang di sektiarnya.

"Oh iya, Rindra harus cepat-cepat kembali ke kampus. Terima kasih sebelumnya, papa tidak keberatan menitipkan Toni lagi ke sini. Di sela kesibukan papa, bahkan tadi pagi Rindra dengar papa ada rapat dengan pimpinan lain."

Rindra berdiri dari duduknya dan mengambil tas punggung yang dia taruh di bawah sofa sebelah kiri.

"Papa antar kamu sampai depan lobby." Hendra mendadak mengekori Rindra ketika kaki sang menantu terayun lurus menjauh dari sofa panjang.

"Nggak usah, pa." Rindra menahan papa mertuanya. "Rindra bisa turun sendiri, papa tidak perlu repot-repot."

Selagi Hendra kembali ke mejanya, Rindra mulai menarik gagang pintu warna cokelat muda dan melangkah cepat menuju lift untuk dibawa ke lantai khusus parkir basement.

Menunggu pintu kotak besi terbuka, Rindra mengecek jam. Baru pukul 14.40, setidaknya masih bisa ke kampus tepat waktu. Jarak antara perusahaan papa mertuanya menuju kampus butuh waktu setidaknya 15 menit jika tidak terjebak macet. Bagus baginya, dia tidak perlu buru-buru.

***

Rindra sudah sampai di pelataran kampus. Dia memarkirkan mobil tepat di depan gedung fakultas ilmu komputer Universitas Teknologi Junjungan. Cepat-cepat Rindra turun dari kendaraan roda empat seraya mengambil tas punggung dari jok samping.

Begitu menentengi tasnya, tiba-tiba Rindra melihat sesosok gadis tidak asing baginya. Entah kenapa mata Rindra memicing dari tempat parkir, memandangi gadis yang sedang membawa tote bag warna krem terang.

Seorang gadis berambut pendek sebahu, bahkan rambutnya berwarna hitam kecokelatan. Pipi gadis itu juga bulat, bahkan tampak bulatan pipi ketika tertawa.

"Tunggu. Bukannya dia ... Naura Aneisha?"

Rindra mengenali gadis cardigan merah muda itu. Dia tidak salah, gadis yang sedang melempar tawa bersama teman di samping adalah Naura. Yang katanya izin sakit bahkan sejak semalam mengirimkan permintaan izin melalui grup. Tak lupa, surat sakit dikirim padanya.

"Dia sudah sembuh?" tanya Rindra bingung sambil menggaruk kepalanya. "Atau jangan-jangan ... dia sakit tapi menyempatkan diri datang ke kampus?"

Rindra kini berkacak pinggang, malah berkutat dengan pikirannya yang acak. Alih-alih mengejar Naura dan menanyakan sesuatu, Rindra masih diam di tempat.

"Sudahlah, kalau memang dia Naura, aku tanyakan nanti saja tentang tugasnya yang asal-asalan itu. Sampai sekarang, aku masih belum memberikan nilai untuknya, hingga dia jujur. Walau aku kasih tugas tambahan supaya jera," gumam Rindra seraya membuang napas kasar.

Sementara itu, Naura sibuk menertawakan lelucon Kania yang menurutnya sangat lucu. Bahkan saat masuk dalam gedung kampus.

"Bentar, Nau. Bukannya itu mobilnya Pak Rindra?" Kania bertanya ketika tak sengaja menoleh ke belakang, melihat mobil hitam model SUV terparkir manis dekat palang keluar.

Naura ikut menoleh. Bola matanya spontan membesar. "Loh, iya. Itu memang mobilnya Pak Rindra."

Baik Naura maupun Kania hafal betul mobil-mobil dosennya, termasuk mobil milik Rindra. Terkadang mereka melihat beberapa dosen berjalan cepat menuju kendaraan yang terparkir untuk keluar dari pelataran kampus. Bahkan Rindra pun.

"Hayo, jangan sampai ketangkap Pak Rindra karena bohong." Kania justru menakut-nakuti Naura dari posisi belakang.

"Padahal surat sakit itu dibuat untuk dua hari. Gue kirim juga ke dosen pengampu buat matkul besok. Kalau sampai tahu, gimana ini?" Naura mendadak panik namun masih bisa mengendalikan dirinya.

Kania tidak menjawab, hanya diam seraya berpikir. "Lo mahasiswi terpintar di kampus tapi kalau sampai ketangkap Pak Rindra dan menyebarkan kalau lo berani berbohong pada para dosen, bisa habis lo."

"Bukan saatnya untuk menakut-nakuti gue, ayo kita naik tangga habis itu naik lift. Kelas kita ada di lantai lima."

Naura tak ingin membuang waktu, segera tangan Kania ditariknya lalu ketukan tinggi pada sepatu mereka terdengar nyaring ketika menapaki beberapa anak tangga.

Dengan cepat, Naura memencet tombol naik ketika berada di depan lift lantai dua.

"Kita nggak akan ketahuan karena wilayah dosen dan staf berada di lantai bawah, tepatnya di sebelah kiri kalau kita masuk dalam gedung. Jadi Pak Rindra tidak akan menemukan gue," jelas Naura terengah-engah.

"Lo sampai segitunya ya supaya nggak ketahuan," celetuk Kania seraya protes. "Tapi ya mau bagaimana lagi, lo pasti kehabisan kata-kata untuk klarifikasi sejujurnya pada beliau. Lo perlu mengumpulkan beberapa kalimat yang tepat agar bisa lo ucapkan lancar ke Pak Rindra."

Naura tak menjawab celotehan panjang lebar Kania, dia justru mengatur napas setelah berlarian diburu oleh waktu.

"Kita ada tugas presentasi nggak sih?" tanya Naura memastikan, beralih topik.

Kania mengecek di ponsel, lebih tepatnya di aplikasi catatan.

"Masih ada dua pekan lagi. Kita masih ada tenggat waktu untuk mempresentasikan hasil kerja kita," jawab Kania lancar.

"Pak Haidar sungguh misteri, untung aja ketua tingkat kita memberitahu tenggat waktunya. Takutnya tidak kekejar sama tugas mata kuliah lain."

Beruntunglah Naura bisa sering masuk di mata kuliah Rekayasa Perangkat Lunak yang diampu Pak Haidar, tanpa izin sakit atau izin apa pun. Jadi dia tidak perlu khawatir. Meskipun Naura harus sering tanya pada ketua tingkat perihal tugas yang diberikan beliau. Bahkan barusan dia membicarakan dosen pengampu tersebut.

"Sudah, Nau. Pokoknya kita sudah tepat waktu ke ruangan 508. Ini sudah kurang 10 menit jam 3 sore," jelas Kania.

Pintu kotak besi mulai terbuka. Kedua gadis itu langsung masuk dalam lift secara cepat. Mereka dikejar waktu agar tepat waktu sampai di ruang kelas. Pak Haidar tidak pernah mengenal kata telat. Begitu jam tiga sore, Pak Khadiar akan menunggu dalam ruangan sampai penuh dengan beberapa mahasiswa.

Di sisi lain, Rindra sedang duduk di pojok sebelah kiri ruang dosen. Barusan dia melihat mahasiswinya namun urung dia kejar sebab kedua gadis itu tadi berlari cepat sekali sampai ke lantai 2.

Dikiranya mereka takut padanya, makanya mereka berusaha menghindar.

Tapi Rindra tak perlu memikirkan hal tersebut lebih jauh. Rindra lebih mementingkan pesan yang masuk melalui ponselnya semenit lalu. Nomor anonim.

Ternyata ada satu tertarik dengan lowongannya. Baru sehari saja disebarkan. Rindra membaca perkenalan dari calon pengasuh.

Dari seorang wanita paruh baya usia 50-an. Mengaku bisa menjaga seorang balita bahkan bayi.

Setelah merenung, Rindra pun membalas dengan kata-kata formal yang biasa digunakan.

"Apa Anda punya waktu untuk saya wawancara? Saya ingin melihat kemampuan Anda."

Begitulah isi pesannya kemudian dia kirimkan cepat pada si pelamar.

Entah kenapa Rindra kembali dibuat tidak enak sebab harus mempekerjakan pengasuh untuk putra kecil satu-satunya itu. Apakah nantinya Toni akan terbiasa dengan bibi pengasuh, atau Toni akan merengek jika tidak ada sang ayah di sekitarnya?

Tak lama kemudian, balasan dari calon pengasuh pun muncul kurang dari semenit.

"Saya ada waktu."

Mengetahui hal itu, Rindra membalas pesan tersebut dengan ketikan cepat.

"Baik, saya tunggu di alamat yang sudah saya cantumkan saat Anda melihat lowongannya."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top