Bab 6 - Orang Tua Rangga
“Thank you, Rangga.” Aku menjauh dari pelukannya sambil mengusap wajah, membersihkannya dari sisa-sisa air mata.
“Sama-sama,” ucapnya yang kemudian memijit pelan ujung bibir yang luka.
“Maaf. Ini hari pertama kita kenal, tapi wajahmu udah babak belur karena belain aku.”
Rangga tersenyum begitu manis. Tatapannya sangat meneduhkan hati yang sempat kacau beberapa waktu lalu karena Adit.
“Nggak usah dipikirin,” dia melihat jam tangan yang melingkar ganteng di pergelangan tangannya. “Oh ya, ini udah sore ....”
“Kamu mau balik?” tanyaku memotong ucapannya.
“Saya mau ajak kamu keluar cari angin lanjut makan malam. Kalau kamu bersedia, sih,” tawarnya.
Aku sedikit mendesah dengan kasar. Bukan ingin menolak, tetapi apa yang dia tawarkan sepertinya memang baik untukku malam ini. Dalam kondisi ini, aku hanya akan menangis semalaman, memikirkan kenangan indah bersama Adit dulu.
Aku mengangguk pelan sambil mengulum bibir. “Oke deh, aku temenin. Aku buatin kamu kopi dulu, setelah itu siap-siap.”
“Tapi, Ra ....” Dia menghentikan kegiatanku yang sedang membuka toples kecil berisi kopi, dan berbalik badan menghadap padanya. “Sebenernya saya kurang suka kopi. Kamu punya teh?”
“Ah, i see. Kamu suka teh. Oke, aku bikin teh dulu kalau gitu.” Aku membuka lemari penyimpan makanan, dan mengambil dua buah kantung teh untukku dan Rangga. “Tapi Rico, aku punyanya teh chamomile ....”
“Nggak masalah. Tetep saya minum, kok.” Rangga terlalu murah senyum. Apa mungkin kepada banyak wanita dia juga melakukan hal yang sama? Ah, pasukan ‘Halo, Dek’ sepertinya memang seperti itu. Salah satu jurus memikat lawan jenis.
Dua cangkir teh chamomile sudah siap. Aku meminumnya beberapa tegukan saja, lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh dan berganti baju.
Kali ini aku harus tampil lebih cantik dari biasanya. Bukan untuk Rangga, melainkan salah satu self healing saat sedang patah hatiku adalah dengan memanjakan diri, tampil cantik untuk mengaburkan perasaan yang sedang tak keruan.
“Siap, Bang. Mungkin jam delapan saya sudah kembali.” Terdengar jelas dari dalam kamar, suara Rangga sedang mengobrol dengan seseorang.
Polesan terakhir di bibir mungilku dengan sebuah liptint berwarna pink, makin menambah rasa percaya diri.
Tak lupa, ponsel yang sebelumnya aku charge, aku masukkan lagi ke dalam tas. Setelah itu keluar kamar dengan penampilan yang berbeda dari sebelumnya.
Kali ini aku memilih memadukan celana jins dengan tie front shirt warna putih berlengan pendek. Rambut panjang kembali kubiarkan terurai, hanya saja sekarang aku menyiapkan tali rambut lengkap dengan jepit untuk poni, supaya nggak berantakan saat naik motor nanti.
“Aku udah, siap. Yuk,” ajakku yang kemudian disambut Rangga dengan tatapan aneh. Dia memperhatikanku dari atas hingga bawah.
“Kenapa? Ada yang salah?” tanyaku memastikan karena pria ini belum juga merespons ajakanku.
“O-oh nggak kok.” Seperti biasa, dia kembali tersenyum. Ya ampun, mungkin dia datang paling awal saat dulu malaikat sedang membagikan senyum. “Oh ya, Ra, apa saya boleh pinjam kamar mandi kamu dulu? Mau cuci muka.”
“Silakan. Nggak mau mandi sekalian? Biar seger?”
“Tadinya gitu, tapi saya kan nggak bawa baju ganti.”
Dia pun masuk ke kamar mandi yang ada di samping kamar. Sedangkan aku menunggunya di satu-satunya sofa yang aku miliki sambil bermain ponsel, mengecek aplikasi berbalas pesan yang sejak siang tadi nggak aku buka.
Sekitar 10 menit kemudian, Rangga keluar dari kamar mandi. Aroma mawar dari facial wash milikku menyeruak seketika. Wajah tampan yang tadi mulai berminyak kembali terlihat lebih segar.
“Ra, maaf ya, aku minta sabun wajahmu barusan.”
“Nggak ada yang gratis di dunia ini, Rangga. Sebagai gantinya, malam ini aku mau makan apa pun yang aku mau, tapi kamu yang bayar. Deal?” Aku mengulurkan telapak tangan padanya.
“Deal ....” Rangga hendak membalas, tetapi segera kutarik tanganku, lalu tertawa.
“Bercanda. Udah ayo berangkat. Kamu harus segera kembali sebelum jam 8 kan? Paling nggak, jam 7 kamu sudah harus bawa aku balik ke sini.”
Kami berangkat tanpa tujuan yang jelas awalnya. Aku nggak mau bikin dia balik ke mesnya telat, tapi sekaligus ingin memberi tahunya tempat makan yang enak dan ramah kantong.
“Rangga, kamu suka makanan apa?” tanyaku agar memudahkanku memberi rekomendasi untuknya.
“Saya suka nasi goreng, sambal goreng daging pete, makanan lain juga suka, tapi lebih suka dua makanan itu sih.”
“Kalau gitu, di depan itu ada pertigaan, ke kiri ya. Sekitar sana ada nasi goreng yang enak banget, tapi kaki lima. Nggak pa-pa, ka”
“Nggak pa-pa. Makan seadanya aja bisa. Justru awalnya saya pikir kamu yang nggak suka makanan pinggir jalan.”
Benar juga. Abdi negara sepertinya sudah pasti diajarkan susah dan beradaptasi dengan situasi apa pun. Bodoh banget aku mengira kalau dia akan masalah saat diajak makan dipinggir jalan.
Tiga puluh meter di depan kami, Rangga menuruti permintaanku untuk belok kiri di pertigaan. Nggak jauh dari sana, sebuah warung nasi goreng sudah mulai ramai pengunjung, padahal baru saja buka.
Aku dan Rangga memutuskan untuk duduk di salah satu meja menghadap ke jalan raya setelah memesan dua nasi goreng dengan tambahan satu telur mata sapi, satu telur dadar, dan dua gelas es jeruk.
“Kamu sering makan di sini?” tanya Rangga.
“Lumayan kalau lagi laper dan males masak. Biasalah, kalau pulang kerja bawaannya capek, apalagi kalau diajak sidang sampai malam.”
“I see ....”
“Oh ya, kamu belum jawab pertanyaanku, kamu asli orang mana?”
“Bali.”
“Oh iya, bener. Logatmu bali banget. Kok bisa sih, kamu nyasar tugas di sini? Biasanya kan banyak yang minta tugas deket rumah.”
“Atasan saya pindah ke sini, dan beliau merekomendasikan saya pindah ke sini juga.”
“Orang tua kamu ada di Bali juga? Bali mana?”
“Nggak semua. Papa saya ada di Lombok, NTB. Kamu pernah ke sana?”
Aku menggeleng. “Kalau ke Bali pernah, tapi kalau ke NTB belum pernah.”
“Kapan-kapan kamu harus banget ke sana. Nggak kalah cantik dari Bali, kok.”
Sejenak aku terdiam, berusaha mencerna perkataan Rangga tentang orang tuanya. Ingin sekali rasanya bertanya kondisi mama dan sang papa. Tapi, apakah itu cukup sopan?
Menyadari kebungkamanku, Rangga pun menyenggol lengan seraya meletakkan es jeruk yang kami pesan di hadapanku.
“Kenapa bengong, Ra?”
“Oh, nggak, nggak pa-pa kok. Aku cuma kepikiran sesuatu aja tentang mama dan papamu.” Astaga... andai bisa, rasanya ingin kupotong saja lidah ini yang begitu lancang berkata seperti itu kepada Rangga.
“Kepikiran kenapa? Ada yang mau kamu tanyakan?”
“Tapi, takut salah, Rangga.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top