Bab 2 - Orang Baru

Aku menoleh pada asal suara seraya merapikan rambut yang berantakan karena tiupan angin yang cukup kencang. “Maaf, siapa yang mau bunuh diri?”

“Bukannya Anda mau bunuh diri? Kalau nggak, ngapain tadi mau naik ke pembatas jembatan?” tanyanya balik dengan sikap yang menyebalkan, berkacak pinggang sambil menatap ke arah laut. Dia seorang pria bertubuh jangkung yang mungkin tingginya sekitar 178 cm, badannya terlihat proporsional.

Aku ingin marah padanya, tapi rasanya energiku sudah terkuras habis oleh kekesalanku terhadap Adit. Lagi pula, pria ini tidak sepenuhnya salah.

“Saya nggak ada niat untuk bunuh diri. Tapi, terima kasih. Setidaknya karena ulah Anda, es krim saya harus jatuh ke laut,” ucapku dengan nada datar.

Sepertinya aku memang harus pulang ke apartemen. Menenangkan diri di sana dan memikirkan apa yang harus kulakukan pada Adit. Aku pun berjalan menuju taksi yang masih setia menunggu.

Namun, saat aku hendak membuka pintu, sang sopir keluar dengan wajah yang cemas. “Mbak, maaf, apa saya boleh pulang? Soalnya barusan istri saya telepon, kalau anak saya sakit,” ucapnya seperti tak enak hati padaku. “Atau, saya teleponkan teman saya untuk jemput Mbaknya di sini kalau memang masih mau nenangin hati.”

Aku tak terkejut saat sang sopir mengatakan hal itu. Dia mendengar dan melihat apa yang Adit lakukan, dan mungkin dia merasa iba pada nasibku yang sial hari ini.

“Nggak usah, Pak. Nanti biar saya pesan taksi online yang lain. Bapak pulang aja, bawa anaknya berobat,” ucapku.

“Makasih, Mbak. Oh ya, Mbak, jangan pernak menangisi laki-laki yang udah nyakitin Mbak. Rugi. Percaya sama saya, suatu saat Tuhan pasti mengirimkan pria baik untuk Mbak,” kata sopir itu sebelum akhirnya kembali masuk ke mobil dan mengendarainya untuk pulang.

Aku masih mematung. Dalam hati membenarkan apa yang sopir itu katakan. Untuk apa meratapi kesedihan karena pengkhianatan Adit? Banyak pria yang jauh lebih baik darinya. Kalaupun kami harus putus, itu bukan berarti hidupku juga harus berakhir.

“Ini buat Anda.” Seseorang menyodorkan dua buah es krim coklat padaku.

Mataku menelisik, memastikan pemilik tangan besar berbalut jaket. Aku mendengkus saat melihat wajahnya, bahkan enggan menerima es krim pemberiannya.

“Kata orang, kita nggak boleh menolak pemberian orang. Nggak baik,” ucapnya.

Ekor mataku memperhatikan sosok di sampingku ini. Dari penampilannya, seharusnya dia bukanlah orang jahat.

“Ayo buruan ambil. Ini sebagai ganti karena sudah membuat es krim Anda jatuh tadi.” Pelan-pelan tanganku terangkat, meraih satu dari dua es krim di tangan pria itu. “Kenapa hanya satu? Dua-duanya buat Anda.”

“Jangan terlalu formal. Aku-kamu terdengar lebih asyik,” ucapku seraya membuka es krim itu. “Yang satu lagi, buat kamu aja. Es krimku yang jatuh cuma satu, bukan dua.”

“Oke.” Pria yang mengenakan celana jeans hitam dipadu kaus putih dan jaket bomber warna hitam dengan kombinasi cokelat di bagian lengannya ini, lantas membuka es krim yang satu lagi dan menikmatinya. “Es krimnya enak juga.”

Aku terkekeh mendengar cicitnya. “Bukannya semua es krim memang enak?”

Dia menggeleng, sebelum akhirnya merespons ucapanku saat tak ada lagi es krim dalam mulutnya. “Mungkin ya, tapi bagi sebagian orang ada yang nggak enak. Misalnya saya nggak suka rasa asam, maka es krim rasa buah yang asam menurut saya nggak enak.”

“Lagi. Jangan terlalu formal. Kaku banget, deh. Apa kamu anggota kepolisian atau TNI?” tanyaku penasaran. Bukan tanpa sebab, karena rata-rata orang yang kukenal dan merupakan anggota dari dua instansi tersebut, pasti akan berbicara formal yang terkesan kaku. Semacam menyebut saya-Anda, atau saya-kamu.

“Kok bisa tahu?” Dia menatapku sambil menyipitkan sebelah mata, tetapi sedetik kemudian kembali melahap es krimnya.

“Tahulah. Aku punya kenalan beberapa anggota yang, ya, seperti kamu ini. Ngomongnya kaku banget.” Dia mengangguk dan menghabiskan suapan terakhir es krim dari stiknya.

“Ya, kamu benar. Tapi, saya ... oh sorry, maksudnya aku sudah berusaha meminimalisir kekakuan itu. Masih kerasa?”

“Lumayan.” Aku merapatkan jari telunjuk dan jempol, tetapi tak sampai menyentuhkan keduanya. “Oh ya, aku harus segera pulang. Thank you es krimnya,” ucapku sembari memainkan ponsel untuk memesan taksi online.

Pria di hadapanku bangkit dan sedikit menghela napas. “Sayang sekali, pertemuan kita singkat. Oh ya, kamu pulang dengan ....”

“Aku udah pesan taksi online. Bentar lagi sampai, kok.”

“Oh okey.” Dia memasukkan tangan ke saku celananya. Tatapan kami bertemu untuk ke sekian kalinya. Rasanya ada yang janggal, tetapi aku tak tahu apa itu.

Hening dan canggung seketika menyelimuti. Tak ada satu pun di antara kami yang kembali membuka obrolan. Sampai dering ponsel dari dalam tas membuat hati ini bernapas lega, setidaknya bisa sesaat terbebas dari suasana ini.

“Iya, halo, Pak. Saya sudah sesuai lokasi,” ucapku pada orang di seberang telepon yang ternyata sang sopir taksi.

[Mbak, sepurane ya. Iki banku bocor e. Pean cancel ae ndak po-po. Aku sek kudu ganti ban sek.] (Mbak, maaf ya. Ban (mobil) saya bocor. Anda batalkan saja nggak pa-pa. Saya harus ganti ban dulu.)

“Oh, oke. Saya cancel aja ya, Pak. Terima kasih,” ucapku dengan mengerutkan wajah menunjukkan kekecewaan.

“Kenapa?” tanya pria di sampingku ini.

“Oh, nggak. Itu tadi ban mobilnya bocor. Jadi aku cancel. Soalnya nunggu ganti ban pasti lama banget.” Aku tak menoleh sedikit pun padanya, lebih fokus untuk memesan taksi lagi melalui aplikasi.

Menjengkelkan! Kenapa hari ini sepertinya sial banget? Lihat cowok sendiri jalan mesra bareng cewek lain, ditinggal dua taksi online, dikira mau bunuh diri sama orang nggak jelas. Sepertinya Tuhan ingin aku terus beristighfar untuk menggugurkan sebagian dosa kecilku.

“Daripada pesan taksi online lagi, gimana kalau saya antar kamu saja?” tawarnya yang membuatku segera menghentikan aktivitasku dari ponsel.

Sejenak aku mengulum bibir dan menyugar sebagian rambut yang menutupi wajah, ke belakang. “Nggak usah, deh, aku bisa sendiri,” tolakku dengan halus seraya tersenyum pada pria yang aku sendiri nggak kenal.

“Sebenarnya saya bukan asli orang sini ... maksud saya, bukan orang Surabaya ....”

“Ya, aku tahu. Kelihatan banget dari logatmu.”

“Oh ya? Mencolok ya?”

“Aku dari kecil tinggal di kota ini. Hampir seluruh penjuru Surabaya pernah aku datangi, dan mengenal banyak orang. Jadi aku tahu, logat bicara orang Jawa, Madura, atau Jawa Timur lainnya. Dan, aku rasa kamu bukan orang Jawa, apalagi Jawa Timur.” Sekarang aku menatapnya dengan sungguh-sungguh. Memperhatikan detail penampilannya yang cukup keren juga ternyata.

“Kamu benar. Ini hari kedua saya di Surabaya. Mumpung belum dapat tugas berat, makanya saya coba keliling,” ucapnya. Dia mengangkat sebelah alis sebelum akhirnya melanjutkan perkataannya. “Apa ... kamu mau menjadi tour guide saya ....”

Sorry banget, tapi aku buru-buru mau balik. Kamu nggak mungkin nggak ada temen yang kenal banget daerah Surabaya, kan?” ucapku memotong ucapannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top