2. Existence About You

How many days did i spend

Thinkin' 'bout how you did me wrong? Wrong? Wrong?

Your name on my lips, tongue tied

Free rent, living in my mind

Taylor Swift—I Forgot That You Existed

***

Gema Sandyakala. Tidak pernah terlintas dalam benak Adira kalau dia sempat terlibat dengan Gema, bahkan mengalami kejadian yang tidak sembarang orang bisa melakukannya. Come on, berciuman dengan Gema merupakan impian banyak gadis yang mendeklarasikan diri sebagai penggemar laki-laki itu. Biar Adira beritahu satu hal; Gema adalah laki-laki terpanas di kampus sejak awal kedatangannya. Gayanya yang santai tapi tetap kelihatan necis, sikap humble, dan senyuman nakal tentu membuat siapa pun langsung terkesan pada pandangan pertama.

Gema juga sering disebut sebagai summer like James Dean. Dengan rambut mullet pendek, Gema tidak lagi harus bersikap sok keren untuk menarik perhatian orang-orang, karena hampir seluruh tatapan memang tertuju kepada si raja kantin. Begitu kaki Gema menyentuh pintu, pandangan seketika berpaling, disertai sorak-sorai yang menyambut kedatangan vokalis Dwell Band itu.

Namun, tak seperti reputasinya yang terkenal cukup baik, kisah percintaannya digadang-gadang sebagai kisah paling menyedihkan yang menjadi sisi kelam di hidup Gema. Tidak, Gema bukanlah seorang playboy, meski seringkali sikapnya menciptakan kesalahpahaman dan membuat patah hati para gadis.

Cinta Gema bertepuk sebelah tangan kepada sahabat kecilnya. Satu-satunya kaum hawa selain sang ibu yang diizinkan Gema untuk ikut campur ke dalam hidupnya. Seorang gadis dari fakultas hukum yang aktif di beberapa organisasi, termasuk BEM.

Adira tidak tahu pasti kisah keduanya, tapi hanya dengan melihat gadis itu saja, dia langsung tahu kenapa Gema bisa jatuh cinta kepada sahabat kecilnya. Wajah cantik, dan memiliki banyak prestasi akan selalu mendapat banyak perhatian. Sayangnya, alih-alih menyambut perasaan Gema, gadis itu justru menjalin hubungannya dengan seniornya dari fakultas yang sama.

"Why do women like to confuse us?"

Bola mata Adira seketika membesar saat kalimat Gema kembali muncul di kepala. Jangan bilang kalau Gema sedang patah hati? Karena dia belum pernah melihat Gema seperti itu sebelumnya.

"Lo mau makan di kantin? Rame banget, Dir. Kayaknya kita nggak kebagian bangku." Sambil membawa nampan berisi makanan, Maharani menyeletuk. Tiada hari tanpa kerumunan di kantin. Penyebabnya, siapa lagi kalau bukan Gema yang sedang duduk di atas meja yang sering digunakan bersama teman-teman sekumpulannya, termasuk anggota Dwell Band.

"Mau makan di dekat lapangan saja? Aku juga nggak betah rame begini." Adira menawarkan. Mata berbingkai kaca itu menyisir seisi kantin dengan ngeri. Andai Gema tidak berada di kantin, mungkin dia dan Maharani bisa makan dengan nyaman. Dia benar-benar tidak bisa makan di antara keramaian yang memekakkan telinga.

Maharani mengangguk. "Sekalian cuci mata. Siapa tahu ada senior yang lagi main basket."

Mendengarnya, Adira hanya menggeleng. Pantas saja Maharani betah menjomlo. Hati temannya sering berubah-ubah. Tidak ada satu pun laki-laki tampan di kampus yang lewat dari pandangannya. Entah siapa yang sebenarnya disukai oleh Maharani.

Kemudian, mereka berdua meninggalkan kantin. Namun, saat hendak melewati kerumunan Gema dan teman-temannya, Adira sempat melihat sebuah benda familier yang digenggam Gema. Langkah kaki Adira melambat, berusaha memfokuskan tatapannya ke arah benda tersebut—barangkali dia salah lihat—tapi, tidak. Itu lipbalm yang dicarinya!

Bibir Adira spontan terbuka dengan mata melotot. Bagaimana bisa lipbalm itu ada di tangan Gema? Berarti lipbalm-nya tidak jatuh di halaman belakang kampus, tapi Gema yang memungutnya!

Demi Tuhan ... Adira harus bagaimana? Ini bukan hanya tentang lipbalm saja, melainkan...

"Namanya Adira Isla. Ada yang kenal? Gue kayak baru dengar nama itu."

Ya. Nama Adira ada di lipbalm tersebut sebagai gantungan. Dan, Gema baru saja memanggil namanya. Mungkin, Adira memang tidak seterkenal Gema—bahkan, dia sangsi ada yang mengenalnya di antara orang-orang di kantin—tapi, dia tentu tidak lupa kalau sedang bersama Maharani.

Seperti robot rusak, Adira menoleh ke samping. Umpatan hampir keluar dari mulutnya saat melihat Maharani yang sedang menatapnya penasaran sekaligus curiga.

"Itu lipbalm lo, kan? Kenapa bisa ada sama Gema? Lo ketemu sama dia?" tanya Maharani penuh selidik, bak investigator.

Sedangkan, yang ditatap langsung berpaling. "Mungkin jatuh, terus ditemuin sama Gema. Nggak ada yang nggak mungkin, Ran. Kampus ini luas, kita nggak tahu barang kita yang jatuh bakal ditemuin sama siapa." Adira tertawa paksa, yang justru terdengar payah di telinga Maharani.

"Ya, udah. Mintain balik, sana! Gema sudah sebut nama lo, mending diambil aja."

"Dan, kamu pengin aku jadi pusat perhatian? Kamu lihat, kan, Ran. Waktu namaku disebut aja, orang-orang pada heboh. Lipbalm, Ran, bukan buku. Apa yang mereka pikirin tentang itu?" Adira belum siap kalau kehidupannya yang semula tenang, berubah hanya gara-gara penemuan lipbalm miliknya.

"Terus, lo mau biarin gitu aja?"

"Iya. Biarin aja."

"Lo pikir Gema pakai begituan? Ya, nggak mungkin, lah. Kalau lo nggak ambil, justru malah jadi masalah. Gema bakal terus cari lo ke teman-teman yang lain, dan akhirnya nama lo bukan terkenal di kantin aja, tapi juga kampus. Itu lebih mengerikan, tahu!"

Ucapan Maharani langsung membuat Adira bergidik. Hanya dengan membayangkannya saja sudah menjadi mimpi buruk untuk Adira. Namun, serius. Dia tidak bisa mengambil lipbalm tersebut dengan penuh kepercayaan diri. Mau ditaruh di mana wajahnya?

"Biarin aja, deh, Ran. Pura-pura nggak tahu aja. Aku yakin kalau Gema nggak bakal senekat itu. Dia juga mikir kali. Nggak mungkin dia tanya teman-teman satu kampus cuma untuk lipbalm yang hampir habis. Pasti nanti dibuang sama dia." Adira buru-buru pergi dari kantin, sebelum Maharani terus mendesaknya untuk mengambil lipbalm tersebut. Lagi pula, kenapa Gema mengumumkannya di kantin? Kenapa tidak sekalian dibawa ke base kampus, supaya namanya menjadi lebih terkenal, dan orang-orang kampus tahu kalau dia pemilik lipbalm tersebut?

"Terserah lo aja, yang punya lipbalm bukan gue juga." Maharani menyeruput minumannya yang berada di atas nampan menggunakan sedotan. "Pulang kelas, jadi beli lipbalm lagi?"

"Jadi, dong. Bibir aku udah kering banget soalnya." Adira mengelus bibirnya yang kering, barangkali hal itu disebabkan karena seringnya makan makanan pedas, tapi terlalu enggan untuk meminum air putih yang cukup.

"Makanya, cari pacar, Dir."

"Apa hubungannya bibir kering sama cari pacar?" tanya Adira dengan alis berkerut.

Seringai jahil seketika terulas di bibir Maharani. "Biar sering dikasih pelembab alami," ucapnya sambil menjilat bibir.

Tanpa harus dijelaskan lagi, tentu Adira sudah tahu maksudnya. Maka tak heran, kalau wajah gadis itu memerah hingga ke telinga, dengan bibir yang terkatup rapat, enggan menyahuti Maharani. Mungkin kalau temannya tahu apa yang sudah dilakukannya bersama Gema saat malam festival, Maharani akan heboh, tak menyangka kalau Adira yang dikenalnya sebagai pribadi yang sangat polos dan tidak punya banyak pengalaman, bisa bersikap liar sampai-sampai mencium Gema dalam kondisi mabuk.

"Gue kadang suka heran, Dir. Muka lo nggak jelek-jelek banget, di atas standar lagi sedikit, lah. Tapi, bisa-bisanya lo masih betah jomlo sampai sekarang. Nggak ada niatan untuk cari pacar? Kebetulan, gue punya kenalan."

Adira menggeleng cepat. Mereka duduk di salah satu bangku yang ada di lapangan. Suasana tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang yang sedang bermain basket. Ada juga yang hanya duduk di bangku tribun seperti Adira dan Maharani.

"Belum minat, Ran. Belum ada yang klik di aku juga." Adira meletakkan nampan makanannya di bagian sebelah yang kosong.

"Kalau Gema, gimana?"

"Gema? Maksudnya?"

"Ya ... kali aja gitu, dari lipbalm jadi cinta. Siapa tahu habis ini lo punya keterikatan sama Gema. Nggak ada yang nggak mungkin, kan?" Maharani menatap Adira penuh arti.

"Nggak mungkin. Ini cuma perkara Gema nemuin lipbalm aku yang hampir habis. Kalau aku diem, dan nggak berusaha menampakkan diri, Gema pasti bakal buang lipbalm itu. Selesai. Kami nggak akan punya keterikatan." Adira berusaha untuk berpikir realistis. Sudah cukup dia berurusan dengan Gema di malam festival—entah Adira sedang beruntung atau buntung karena Gema pasti tidak ingat tentang ciuman itu—dan dia pastikan kalau mereka tidak akan lagi berhubungan.

Maharani hanya mengangguk. "Iya juga, sih. Apalagi, Gema lumayan dikenal. Orang-orang kayak kita jarang banget dinotice sama dia. Jadi, mending kita fokus aja kuliah, terus tamat tanpa halangan. No drama-drama club."

"Nah. No drama-drama club." Adira menyetujui, meski tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.

"Lagi pula, Gema masih belum move on dari sahabat kecilnya. Jadi, kemungkinan itu kecil."

"Ah, iya." Hanya itu respons yang diberikan oleh Adira untuk menutup pembicaraan mereka mengenai Gema Sandyakala.

***

Ternyata, Maharani masih ada satu kelas lagi, sementara kelas Adira sudah selesai dari beberapa menit lalu. Alhasil, janji mereka untuk pergi membeli lipbalm, batal. Maharani memintanya untuk tidak menunggu, karena akan memakan waktu yang agak lama. Lagi pula, perut Adira sudah meronta-ronta minta diisi, yang membuatnya mau tak mau pulang sendirian.

Adira menyusuri kampus sambil mengutak-atik ponsel, membuka aplikasi lowongan pekerjaan menjadi tutor untuk anak sekolah. Selain kuliah, Adira memutuskan untuk mengajar les sebagai pengisi waktu luang sekaligus menambah uang saku. Lumayan. Kalau-kalau dia menginginkan sesuatu, dia tidak perlu lagi meminta kepada orang tua.

Namun, sudah hampir seminggu dia meletakkan berbagai macam informasi mengenai data diri di aplikasi tersebut, belum ada yang menyewa jasanya. Meski berulang kali memperbaharui menu utama, tidak ada satu pun orang tua murid yang mengiriminya pesan.

"Ah! Akhirnya dapet!" Senyum bahagia terbit di bibir Adira saat kembali memperbaharui menu utama, dan menemukan satu pesan masuk. Ternyata, penantian selama seminggu, membuahkan hasil.

Segera, Adira membalas pesan tersebut, takut kalau tiba-tiba pihak penyewa membatalkan jasanya karena terlalu lama mengabaikan pesan.

"Awas!"

Saat sedang sibuk berinteraksi dengan calon penyewa jasa, Adira dikejutkan dengan suara teriakan disertai klakson dari arah samping, yang membuatnya menoleh.

"Ya, Tuhan!" Mata Adira terbelalak dengan jantung yang rasanya ingin merosot ke perut melihat sebuah mobil jeep berwarna hitam hampir saja menabraknya, kalau si pengendara tidak segera menarik rem.

Tubuh Adira membatu seperti patung, masih syok. Nyaris saja dia dirawat inap di rumah sakit atau lebih nahas lagi, pergi ke alam baka tanpa sempat melakukan banyak hal yang belum pernah dilakukan. Mobil terebut benar-benar hanya berjarak beberapa langkah dari posisinya.

"Lo nggak apa-apa?"

Kali ini, bukan hanya jantungnya yang ingin merosot, bola matanya juga terasa ingin keluar dari tempatnya begitu melihat sosok yang merupakan pengendara mobil jeep tersebut sedang menghampirinya. Gema!

Demi Tuhan ... dari sekian banyaknya kebetulan, kenapa harus laki-laki itu?

"Maaf karena hampir nabrak lo, tapi lo yang salah karena jalan nggak lihat-lihat. Lo terlalu fokus sama hape lo." Gema melirik ponsel Adira yang masih berada dalam genggaman pemiliknya.

"Oh? I-iya, aku yang salah. Maaf. Lain kali nggak bakal gitu lagi." Adira gelagapan, dan langsung memasukkan ponselnya ke saku celana.

"Tapi, lo nggak apa-apa? Nggak ada yang luka atau syok berlebihan?" tanya Gema, yang mendapat gelengan dari Adira.

"Enggak. Semuanya oke. Mungkin syok dikit, tapi enggak apa-apa, kok." Sesungguhnya, Adira ingin cepat-cepat pergi dari hadapan Gema. Berlama-lama bersama laki-laki itu hanya akan memunculkan praduga di kepala orang-orang yang melihat mereka. Terlebih, Adira tidak tahu apakah Gema mengingatnya atau memang lupa karena faktor alkohol.

"Bagus, deh. Lo mau pulang? Mau gue anterin? Bisa aja, keluar dari kampus, lo bakal ngalamin kejadian yang sama gara-gara terlalu fokus sama hape lo."

Penawaran yang bagus sebenarnya. Meski dikenal sebagai orang yang humble, Gema tak akan mudah menawarkan tumpangan kepada orang lain. Dan, ini merupakan kesempatan terbatas yang tak akan datang dua kali. Namun, Adira tentu masih berpikir jernih. Berduaan dengan Gema hanya akan memunculkan ingatan-ingatannya tentang malam itu, yang tidak menutup kemungkinan kalau Gema juga mengalami hal yang sama.

"Enggak usah. Aku pakai busway aja. Makasih, atas tumpangannya. Dan, aku pastiin kalau aku nggak bakal ceroboh kayak tadi."

Gema tertawa kecil, sambil memasukkan salah satu tangannya ke saku, seperti sedang mengambil sesuatu. "Kalau begitu, sebagai permintaan maaf, lo mau datang ke festival band gue?"

Adira melihat tiket yang disodorkan oleh Gema dengan penuh pertimbangan. Bukannya tidak mau, tapi dia tidak terbiasa datang ke acara-acara begitu. Lebih baik dia berkutat dalam novel-novel romansa yang akan membawanya masuk pada imajinasi liar yang belum pernah dia rasakan di dunia nyata.

Hanya saja, Adira juga tidak enak untuk menolak. Akhirnya, dia mengambil tiket tersebut dan berucap, "Aku nggak janji. Tapi, bakal aku usahain. Makasih, ya."

"Sama-sama. Gue harap lo datang." Gema hendak berbalik, tapi urung dilakukan. "Oh, satu lagi. Lo beneran nggak butuh tumpangan?"

Adira menggeleng. "Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri."

"Oke. I'm watching you. Jangan ceroboh lagi, ya." Gema menyipitkan mata, bersikap seolah-olah sedang memperingati Adira, lalu kembali ke mobilnya. Sebelum meninggalkan halaman kampus, Gema sempat berpamitan dengan Adira, yang menatap kepergiannya lamat-lamat.

How could Adira forget everything that happened when Gema acted like that?

***

Holaaaa aku balik lagiii

Gimana-gimana, sama part dua ini? Btw, Gema cakep banget, ya. Cowok kesayangan aku dan kita semua wkwkwk

Aku cuma mau ngucapin makasih buat kalian yang masih setia menunggu cerita aku, dan menunggu aku kembali dari persemedian. Semoga kalian nggak pernah bosan, ya!

Sampai jumpa lagiiii ❤️

Bali, 19 Agustus 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top