CHAPTER 3


Biar nggak bingung, saya kasih Denah dari SMA Harman Sastranagara di bagian Multimedia (yang nggak begitu bagus karena saya buat manual -.-v) Anyway, Selamat menikmati '-')b



Di antara barisan rak yang tersusun rapi dan gelap ....

Aku berjingkat, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara apa pun.

Dari tiap napas yang membentuk irama ....

Aku berusaha memelankan suara napasku.

Telah menunggu di balik bayangan yang paling gelap ....

*****

Ini aku yang seperti orang goblok atau Rusya yang memang benar-benar aneh. Rusya Annastasya, 16 tahun, ia adalah gadis aneh yang kukenal dua pekan yang lalu. Aku berusaha menyelidiki kenapa dia tiba-tiba tidak mengantar makan siang sejak konfliknya dengan Samantha. Satu-satunya cara adalah dengan melakukan seperti apa yang ia lakukan. Menguntit dirinya.

Demi Tuhan, kenapa aku jadi begitu penasaran!?

Dari asumsi yang sudah kubentuk berdasarkan pengalamanku bertemu dengan Rusya, ia selalu pergi ke perpustakaan setelah kelas berakhir. Perpustakaan masih buka hingga jam tutup sekolah. Ia tidak suka membaca koran, tetapi selalu mengambil Reader Digest di barisan rak kedua. Pada rak itulah ....

"Membaca majalah yang sama?" ujarku tiba-tiba sudah berada di antara rak dan bersandar pada tembok. Dalam gerakan selanjutnya, aku berhasil membungkam mulut Rusya untuk tidak berteriak, agar tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan situasi semakin merepotkan. Aku meletakkan telunjukku di depan mulutku, mengisyaratkannya untuk diam.

"Shh ...!"

Hingga sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Grauup!

"Iyaak!!" aku tersekat, berusaha untuk tidak berteriak. Tidak kusangka Rusya akan menggigit telapak tanganku. Aku memegangi telapak tanganku yang sukses tercetak gigi Rusya. Sepertinya bengkak.

"Apa kau sudah gila? Kau mau membuat telunjukku terputus?" protesku sembari mengibas-ngibaskan tangan yang kupakai untuk membekap mulut Rusya.

"Hiih, Kak, kau mengagetkanku saja! Aku kehabisan napas tau!?" Rusya tidak mau kalah memprotesku balik.

"Shht! Ini perpustakaan, jangan sampai kita di sini ditendang keluar gara-gara ribut!?" sahutku tegas. Setelah terjadi sedikit perdebatan, akhirnya Rusya dengan terpaksa mengikuti nasihatku. Kami pun mengambil tempat duduk, mulai sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing. Toh, aku tidak sia-sia datang ke sini karena aku dapat membaca koran tanpa harus membelinya. Antara mengirit dengan pelit terhadap diri sendiri, beda tipis.

"Aku mau mengajukan beberapa pertanyaan untukmu ...," ujarku memecah kesunyian di antara kami berdua. Sepertinya Rusya masih muak. Dengan malas ia membolak-balik majalahnya.

Eheerm! Aku mendehem. Rusya kemudian menatapku malas.

"Kenapa kau bisa diserang Samantha waktu itu?" tanyaku sembari memasang muka serius.

"Silakan aja pikirkan sendiri, terutama bagi orang yang pernah mengejar perempuan sialan itu selama 6 tahun," jawab Rusya ketus. Aku menghela napas.

"Kau cemburu?" Dengan satu pertanyaan serangan dan sedikit seringaian, akhirnya Rusya angkat bicara.

"Eh, Mak-Maksudmu? Siapa yang cemburu?" Rusya mulai kikuk sendiri. Aku memasang senyum kemenangan. Sepertinya indikasi Guntur mengenai anak ini benar. Anak ini ada apa-apanya dengan aku.

"Untuk kau tahu, aku hanya mengejar Samantha selama 6 bulan. Setelah penghinaan yang ia lakukan padaku, aku melupakan dia untuk selamanya ...,"

"Penghinaan?" Rusya terheran dengan menekan nada tinggi di akhir pertanyaannya.

"Untuk sekelas Samantha yang kau tahu, dia bakat di bidang apa aja. Dia enggak kekurangan satu nol untuk setiap Rupiah yang ia punya, jika dibandingkan dengan diriku pada waktu itu, yang notabene bukan anak dengan status ... sosial ekonomi ... tinggi. Itu seperti memantik pertikaian antara Kolonial Belanda dengan Inlandeer ...," jelasku dengan penekanan pada kalimat-kalimat akhir, memasang muka begitu serius sampai-sampai Rusya terdiam.

"Begitu bencikah kakak dengannya?" tanya Rusya.

"Ah ... sudahlah. Kok bisa kamu tiba-tiba dibanting sama Samantha tanpa sebab?" tanyaku balik, berusaha mengalihkan topik yang begitu memuakkan untuk dibahas.

"Eh ... jangan mengalihkan topik-,"

Brakk!!

Aku kembali tidak bisa mengontrol apa yang kuucapkan. Mengalir begitu saja seperti berondongan peluru semi otomatis. Emosiku meledak-ledak setiap kali ada orang yang mengungkit-ungkit kejadian itu.

"Dia sudah seperti orang yang merasa seperti tiran kecil, seenaknya sendiri mempermainkan orang lain! Aku hampir mati kelaparan gara-gara mengurung diri di kamar selama seminggu dan hampir menjadi seorang buronan karena melakukan percobaan pembunuhan, kalau saja ... aku ... masih ... waras! Hanya karena aku muak dengan kelakuannya!" Aku terengah-engah. Petugas perpustakaan memberikan isyarat dengan telunjuknya untuk menyuruhku diam.

"Aa ... O-oke ...," kata Rusya sedikit ketakutan.

"Maaf ..., aku kelepasan ...," ujarku setelah dapat menguasai kembali pikiranku. Aku mengembuskan napas panjang sembari memejamkan mataku sejenak.

"Entahlah. Ketika aku mau pulang, aku sudah dihadang olehnya. Aku mencium bau keras dari mulutnya. Sepertinya dia memang habis mabuk. Entah apakah sekolah tidak mengetahuinya, Namun, ... begitulah ... Kak ...," jelas Rusya masih sedikit canggung.

"Panggil Rimba saja ...,"

"Eh, i-itu tidak sopan ...," sahut Rusya.

"Duh! Umur kita enggak beda jauh kan?" balasku sembari mengangkat setangah alis.

"Baiklah ... Namun, kok dia bisa sampai mabuk segitunya?"

"Dia sedang putus dengan pacar terlamanya ... sudahlah, jangan bicara dia lagi. Aku lagi enggak mau membahasnya," elakku malas. Setelah beberapa saat keheningan tercipta, lagi-lagi pertanyaan konyol membuat segalanya menjadi berantakan.

Rimba ...," bisik Rusya padaku.

"Hmm?" gumamku tidak begitu terlalu memerhatikan Rusya dan lebih memfokuskan mataku kepada beberapa berita nasional terkini di smartphone-ku. Satu hal lagi, wi-fi di perpustakaan ini kencang banget, sumpah! Untuk bisa mengakses, kau harus daftar keanggotaan dulu. Untunglah penjaga perpustakaan yang baik tetapi galak itu membuat para gamers tidak bisa menguasai tempat ini untuk dijadikan tempat nongkrong dan main.

"Rimba Eka Putra! Sampai kapan kau terus-menerus jadi generasi setengah robot!?" bisik Rusya tepat di telingaku, cukup memekakkan telinga. Kini Rusya benar-benar kesal. Aku hanya heran melihat Rusya yang kini cemberut, muka ditekuk seperti orang yang habis kalah judi. Ampun, kenapa setelah bertemu dengan Samantha, dia jadi ikut-ikutan berisik!?.

"Setidaknya kita tidak bisa memungkiri kalau teknologi sedang menjajah kita ...," ucapku asal. Melihat tampang Rusya yang tidak berubah aku tertawa sendiri melihat kelakuan Rusya yang benar-benar seperti anak kecil.

"Kenapa malah tertawa?" ujar Rusya sewot.

"Baiklah, apa yang ingin kau bicarakan sekarang?"

"Soal guru yang misterius itu ...," celetuknya. Aku terdiam sejenak, sebelum menyambung pembicaraan.

"Thomas Germain Purnama maksudmu?" tanyaku. Rusya mengangguk.

"Ia yang menyelamatkanku dari Samantha kemarin?"

"Iya, kenapa?" tanyaku lagi, lalu kami pun memulai debat.

"Pak Thomas ... beliau misterius sekali. Mengingatkanku pada seseorang waktu pertama kali bertemu ...," jelasnya. Aku mengerti ke mana arah pembicaraan ini, terutama setelah kejadian kemarin.

"Oww ..., kau menyamakanku dengan Pak Thomas?" aku mengangkat sebelah alisku.

"Bukan itu! Memang sih, Pak Thomas sama ekspresinya dengan dirimu waktu kita pertama bertemu ...," dalih Rusya.

"Tidak biasanya Pak Thomas seperti itu. Beliau sih memang serius kalau menerangkan, tetapi ... Pak Thomas gaul kok. Beliau juga tidak sebegitu datar dan ... seram waktu kemarin. Sering cerita-cerita sih kalau di kelas. Orangnya juga humoris ...," jelasku.

"Humoris ... iya, ceritanya suka seram-seram gitu ..," sanggah Rusya.

"Orangnya sih ... emang agak gaul dan nyentrik begitu. Gitu-gitu .... dia ngerasain bangku sekolah luar negeri lho,"

"Apakah dia berkepribadian ganda?" celetuk Rusya.

"Ndiasmu! Tidak mungkin. Kau terlalu banyak membaca novel misteri," sergahku.

"Psikopat?"

"Tidak ...,"

"Siluman Seribu Muka?" Rusya mulai kambuh dengan keanehannya.

"Rusya ... seriuslah...."

"Tetapi Siluman Seribu Muka tidak bisa dikenali dengan mudah dan sangat berbahaya!"

Aku malah membayangkan kalau seandainya Pak Thomas ternyata adalah Siluman Seribu Muka, makin banyak gadis yang jadi korban karena mau tidak mau harus diakui ... dia guru 'tua' terganteng di sekolah ini. Kalaupun hipotesis Rusya yang terlalu hiperbola itu benar, kami semua pasti sudah tidak selamat sore itu. Kupastikan asumsi tentang Pak Thomas adalah Siluman Seribu Muka, sepertinya itu dicoret dari daftar kemungkinan.

"Kita sudah kehilangan muka kita sore itu kalau memang Pak Thomas benar-benar Siluman Seribu Muka. Ayolah! Ini bukan alam semesta novel misteri!" protesku. Rusya hanya memutar pandangannya dan menghela napas.

"Tetapi dia selalu memerhatikan beberapa anak perempuan, salah satunya aku ... jangan-jangan, dia ... pe ... Pedo...."

"Pedofil?? Kurasa tidak. Atau jangan-jangan ... kamu sendiri yang suka dengan Pak Thomas. Dia ganteng lho ... setengah bule lagi ...," gurauku sembari menaikkan alis.

"Hiih ... Gak ...," sahut Rusya sembari bergidik merinding.

"Mungkin karena kau selalu jadi bahan bullying anak-anak, jadi Pak Thomas sering memerhatikanmu. Beliau sampai dapat beberapa laporan dari temanmu. Berhentilah untuk jadi penakut ...," jelasku.

"Ah ... aku memang payah," tukas Rusya.

"Setidaknya, cobalah untuk meminta bantuan orang-orang di sampingmu. Kau tidak harus selamanya menderita gara-gara sering dijadikan bahan bully teman-temanmu. Jangan malah tambah merepotkan Pak Thomas yang sering kelabakan dapat laporan seperti itu ...,"

"Tapi...."

"Masih ada banyak teman-teman yang peduli. Sesekali bicaralah dengan Pak Thomas. Beliau wali kelasmu karena sudah menjadi tanggung jawab beliau untuk menerima segala konsultasi muridnya ...,"

Rusya pun terdiam. Lama hingga pembicaraan ini seperti terhenti tanpa ujung yang jelas.

"Kurasa kau benar ... tetapi ... kurasa Pak Thomas tampan juga ...," ujar Rusya seraya terkekeh pelan.

"Hey... hey ...," sahutku mencibir. Rusya meleletkan lidahnya tidak peduli. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Di tengah pembicaraan kami yang penuh dengan ketegangan, penuh asumsi yang begitu di luar nalarnya, ponselku bersiul.

-Berkumpul?-

Dari: Septian.

Aku membalas dengan fitur quick reply.

-Laksanakan-

Bersamaan dengan itu aku berdiri, memasukan beberapa buku ke tas, serta bersiap untuk meninggalkan perpustakaan. Kugamit lengan Rusya. Ia sedikit memberontak dan memasang muka sebal.

"Eh, mau ke mana?" tanyanya.

"Sudah diam. Kalau kau masih penasaran dengan seorang Thomas Germain Purnama dan juga semua hal greget yang sedang terjadi, ikut saja," jelasku.

"I-Iya ... Tapi ... kita mau ke mana?"

"Ruangan samping gudang olahraga ...,"

"Hah? Ngapain kita kesana? Kenapa harus kesana?"

"Tenang saja, aku juga tidak akan gila, tolol, atau melakukan aktivitas yang enggak-enggak di sana ...," sergahku sebelum muncul banyak lagi pertanyaan aneh dari Rusya. Kami berdua pun keluar dari perpustakaan.

"Kau seperti orang yang hendak melakukan penculikan dan tindakan Pem-,"

"Jangan banyak bicara dan ikut saja ...."

*****

Bagaimana menjelaskannya?

Tempat itu sebenarnya juga bagian gudang olahraga. Lebih tepatnya ruang tamu gudang olahraga karena itu tempat guru-guru olahraga berkumpul. Guntur mendapatkan hak eksklusif dengan diberi kunci ruangan tersebut, sebenarnya untuk mengambil beberapa peralatan latihan dan arsip latihan Guntur. Aku tahu ia akan masuk Kepolisian, serta beberapa guru olahraga memang menaruh minat dan perhatian untuk mendukung Guntur.

Begitu Aku dan Rusya sudah sampai, kami langsung disambut oleh beberapa anak lainnya. Sepertinya mereka juga telah lama menunggu kami.

"Sepertinya kalian sudah lama di sini?" tanyaku.

"Kalau lama, itu si Guntur. Soalnya dia habis latihan rutin untuk tes kepolisian, kami nonton dia latihan dulu ...," jawab salah satu laki-laki yang duduk di sisi kiri dan sedang asyik dengan laptopnya. Namanya Marunda Jati, berumur sama denganku. Ia benar-benar layaknya anak nerd karena dia tidak pernah lepas dari laptopnya. Ia menjadi 'buronan' banyak orang karena dia memang 'berbahaya'.

Berawal dari ketidaksengajaannya menghack server sekolah, ia menjadi terobsesi. Server sekolah, billing warnet, wi-fi tempat umum, password komputer, hingga akun media sosial tidak ada yang terlewat dari dirinya. Untunglah, bocah—karena dia memang seperti tampang bocah—satu ini tidak sampai yang aneh-aneh. Hanya rasa ingin tahu berlebih daripada merusak.

Bocah yang biasa dipanggil Runda ini punya kebejatan lainnya, dia mesum. Bukan main dan minta ampun. Kami telah memeriksa tiga buah hardisk eksternal miliknya. Setelah itu, kami tidak mempercayai setiap folder berjudul 'Study' atau 'Pelajaran' yang berukuran lebih dari 50 Gigabyte di dalamnya. Kejahatannya benar-benar flawless dengan tampang innocent dirinya. Namun, aku tidak bakal tertipu lagi dengan tampang setengah bocah setengah penjahat-kelamin satu ini.

"Gile lu Mba! Kesini bawa-bawa cewek! Jadi ini yah, yang namanya Rusya ...." Satu lagi temanku sejak SMP di sekolah yang sama, Septian. Bisa dibilang, dia adalah cowok paling ganteng di SMA ini, setelah Pak Thomas, dan ... Victor Delaware, Ketua Yayasan Harman Foundation SMA Harman Sastranagara, akan kujelaskan mengenai beliau nanti. Aku tidak tahu nama aslinya karena memang terlalu banyak namanya yang asli, sehingga anak-anak sering memanggilnya Septian.

"Deu ... cantik juga ...," sahut Runda sembari memandangi Rusya, lama.

"Eit! Eit! Runda ... matanya difilter, nanti disiram obat mata lagi, tahu rasa dah!" Aku langsung menjewer kuping Runda, agar tidak terlalu memikirkan lebih jauh tentang Rusya.

"Perkenalkan ... saya Rusya Annastasya, panggil saja Rusya ...." ujar Rusya.

"Nah, yang ada di sampingku ini namanya Septian, cowok paling ganteng di SMA Harman Sastranagara, dia ketua dari perkumpulan ini. Kalau yang sedang mojok sambil mainan laptop dengan wajah mesum itu, namanya Runda," jelasku sembari memperkenalkan Septian dan Runda.

"Dan yang ini, Guntur. Kau pasti sudah tahu karena sering bertemu juga sewaktu kamu ke kelasku ...," lanjutku memperkenalkan Guntur yang baru selesai merapikan alat-alat latihan. Kami semua pun duduk, mengambil posisi melingkari sebuah meja marmer, persis di tengah-tengah ruangan.

"Hmm ... jadi ... kenapa kita kesini?" tanya Rusya bingung.

"Kami sebenarnya tidak ingin membagikan rahasia kelompok, tetapi tidak apa-apa lah. Kami kesini cuma untuk sekadar kumpul dan buat forum biasa. Anggota kami ... ya cuma empat orang ini. Maunya sih kami mau diskusi soal Festival yang akan digelar dalam waktu dekat ...," jelas Septian memulai pembicaraan, menjawab pertanyaan Rusya.

"Kalian menggosip?"

"Kurang lebih ...," sahutku.

"Terus ... kok aku dibawa ke sini?" tanya Rusya makin heran.

"Katanya mau tahu lebih banyak soal Pak Thomas ...," jawabku enteng.

"Baru diajar beliau ya? Tahu sendiri deh gimana beliaunya. Pak Thomas itu orangnya gaul-gaul gitu deh. Namun, kalau ngajar serius. Thomas Germain Purnama, keturunan Inggris-Jawa. Kelahiran Inggris asli. Umurnya 40 tahunan lebih, para gadis dan para maho sekolah ini mengakui kalau beliau ganteng ..., selain Pak Victor. Beliau lulusan Oxford tahun 2006, atlet anggar selama beliau menempuh pendidikannya di sana. Kalau memang masalah misterius sih, tergantung beliaunya waktu mengajar cerita apaan karena Pak Thomas punya banyak macam cerita, mulai dari humor sampai horor. Ada lagi?" Runda pun menjelaskan dengan gamblang mengenai Pak Thomas.

"Apakah dia Pedofil?" tanya Rusya, pertanyaan yang sama seperti di perpustakaan tadi.

"Hmm ... kurasa tidak. Namun, beliau memang tipikalnya care sama murid-murid...," lanjut Runda menjelaskan. Rusya mengangguk-angguk.

"Pernah menemui Pak Thomas lagi masang wajah seram enggak?"

"Kalau lagi cerita serem sih sering...."

"Bukan ... waktu enggak lagi cerita horor?" sanggah Rusya. Runda terdiam sejenak.

"Hmm ... kurasa enggak-,"

"Yang benar kau, Da!" Aku menyahut tidak percaya. Semenjak kejadian kemarin, aku terus memikirkan Pak Thomas yang berwajah serius. Menyeramkan dan menatap Samantha dengan tajam.

"Mungkin beruntunglah kalian berdua bisa melihatnya ...," celetuk Runda asal.

"Ndiasmu!" timpalku.

"Aku juga belum pernah," gumam Septian.

Hal yang sama pun dikatakan oleh Guntur. Aku dan Rusya saling berpandangan, seolah-olah menemukan pemikiran yang hampir sama. Kami pun menceritakan kronologi kejadian sore itu. Seperti biasa, Septian yang selalu ingin tahu dengan segala gosip yang terjadi, langsung berisik sendiri.

"Ah ... itu sih Samantha aja yang kelewat goblok. Jelas-jelas dia mabuk, di sekolahan lagi! Siapa guru yang enggak marah dah, ngelihat muridnya mabuk sambil jalan keluntrungan begitu!" ujar Septian nyolot.

"Itu sudah jelas. Ngomong-ngomong soal Samantha, dia memang agak depresi setelah si Drew—pacar terlamanya—putus dengan dia, dalam artian, putus hubungan beneran. Mereka sudah ada hubungan sejak lama, tetapi suka putus-nyambung, gitu. Nah, sewaktu Samantha lagi putus, ada satu orang yang cukup bego, kejerat pesonanya, salah satunya...."

"Ehem ...." Aku mendehem untuk menginterupsi pembicaraan Septian yang sudah mengarah ke masalah pribadi diriku. Septian pun tidak melanjutkan pembicaraannya mengenai Samantha lagi.

"Yang bikin penasaran diriku ... kenapa akhir-akhir ini banyak hipster berkeliaran di kota?" celetukku untuk memantik percakapan lagi.

"Mereka gelandangan, bukan hipster ...," tukas Runda.

"Tetapi penampilan mereka benar-benar hipster, maksudku dengan pakaian yang nyentrik seperti itu...." Rusya juga mencoba memperkuat argumenku.

"Mereka gelandangan, " Runda tetap kukuh dengan kata-katanya.

"Entahlah. Apakah ini ada kaitannya dengan Festival yang akan kita selenggarakan dua pekan lagi? Aku mencium bau-bau konspirasi di sini ...," Septian kini mulai berkicau.

"Ah, itu enggak penting dan bicara tentang konspirasi, aku rasa Festival yang akan diselenggarakan itulah yang bau-bau konspirasi. Uang yang didapatkan untuk dana itu? Kemudian keputusan komite guru untuk mengizinkan Festival itu berlangsung?" Guntur mencoba membuat hipotesisnya sendiri.

"Yah ... kita tidak bisa bilang hal itu benar-benar mencurigakan untuk sekelas acara hura-hura tahunan ini kan? Apalagi setelah perusahaan milik Harman Corporation mengambil alih sekolah negeri ini, untuk dimasukkan ke dalam yayasan miliknya dua tahun yang lalu. Semenjak akuisisi itu, masalah bodoh yang seharusnya enggak terjadi, terjadilah. Selamat datang di Indonesia 2018, di mana semakin aneh-aneh saja hal yang terjadi ...," dalih Septian.

"Eh? Harman Sastranagara Corporation? Apa hubungannya?" tanya Rusya.

"Kau tidak merasakannya? Yakinkan aku, kalau kau belum mengetahui hal-hal di balik akuisisi itu?" tanya Septian balik.

"M-mana aku tahu, Kakak. Aku waktu itu baru masuk sekolah ini," sangkal Rusya.

"Samantha, kelompok-kelompok yang menguasai sekolah ini—termasuk dirimu dan beberapa anak lain yang sering dapat bullying—makin meradang setelah sistem berubah ...," Runda menjelaskan sembari memasang muka seram.

Harman Corporation adalah sebuah perusahaan besar korporasi yang bergerak di bidang manufaktur suku-cadang kendaraan bermotor, alat-alat pertanian dan alat-alat industri. Sebenarnya itu merupakan perusahaan asing, tetapi Harman Sastranagara yang 'katanya' orang terkaya saat ini di Indonesia, mengakuisisi perusahaan tersebut, menjadikannya sebagai perusahaan 'Nasional setengah pribadi'.

Kemudian, ia mendirikan Harman Corporation Foundation yang bergerak di bidang kesejahteraan pendidikan nasional. Sekolah kami, salah satunya yang mendapat naungan dari Harman Foundation, menjadikan sekolah kami sebagai salah satu sekolah yang 'digerakkan' oleh Harman Corporation. Alasannya? Selain kami merupakan sekolah yang diunggulkan di kota kami, ya ... kenapa tidak? Ada plus minusnya sih, selain fasilitas dan kualitas yang lebih 'layak' kami dapatkan, kompetensi pun juga ditingkatkan.

Namun, sejak Harman Corporation 'berkuasa' di bidang pendidikan nasional, berbagai masalah meresahkan mulai timbul, terutama oleh beberapa anak orang yang keluarganya 'berduit gunung' mulai masuk di sekolah kami, hingga secara tidak langsung 'menguasai' sekolah ini. Mengingat sekolah kami termasuk masih dalam sekolah percobaan, kami bukan anak metropolitan atau borjuis-eksklusif, sedangkan beberapa anak orang yang pernah merasakan makan di luar negeri eksodus ke sini. Karena itulah, tensi bagi kedua kubu status sosial mulai meningkat. Ceritanya mirip-mirip ketika Cornelis De Houtman menginjak daratan Banten untuk pertama kali di abad ke-16.

Ada pun Rusya, yang bisa dibilang 'beruntung' masuk ke sekolah ini karena dia memperoleh beasiswa. Juga, beberapa anak lain yang senasib dengan gadis itu, dapat nasib yang sama.

"Bisa kau rasakan perbedaannya ...," seringai Runda sembari mendekatkan wajahnya ke hadapan Rusya. Aku menarik kerah belakang seragam Runda untuk tidak melakukan kekonyolannya terlalu jauh lagi.

"Udah! Udah! Jangan kayak kucing garong terus ...,"

"Iye, Rim, iye ..," sungut Runda.

"Ngomong-ngomong kalian ini siapa sih?" tanya Rusya penasaran.

"Maksudmu?" Septian mengernyitkan dahi.

"Kalian ... kumpul di sini, membicarakan banyak hal, terutama beberapa orang, menggosip secara top secret, kumpul-kumpul enggak jelas ...," lanjut Rusya.

"Kami cuma sekumpulan anak yang peka dengan masalah yang ada di sekitar kita...."

"Kayak kamu peka aja, Sep," timpal Guntur.

"Woi, jangan bawa-bawa masalah peka dong!" protes Septian, "yah, kami cuma empat orang anak yang kumpul dan bagi informasi. Bisa dibilang, kami adalah anak-anak dengan tidak tanggung-tanggung dalam rasa penasaran, berusaha tidak dibilang sok tahu karena apa pun yang kau dengarkan dan dapatkan barusan, kami juga dapatkan dengan mencarinya. Kami sering dipanggil 'Kuartet nano-nano', tetapi kami punya nama sendiri untuk perkumpulan ini. Order of Quartz. Terima kasih untuk Rimba yang telah memilihkan nama ...," lanjutnya.

"Halah, pret! Grup aneh ini terbentuk ketika Guntur, Septian dan aku bergabung sebagai Pengurus Harian Dewan Keluarga Masjid SMA Harman Sastranagara setahun lalu. Plus Runda yang ikut nimbrung, sehingga akhirnya kita jadi sering nongkrong bareng dan mulai bicara apa pun yang bisa dibicarakan ...," timpalku.

"Order of Quartz?" pinta Rusya.

"Ordo Kuartet Nano-Nano, yang anggotanya empat orang ini," celetuk Runda.

"Kenapa Quartz?"

"Kenapa Quartz? Hmm ... karena Quartz lebih keren daripada akik, juga ... lebih berkilau sih," sahutku.

"Kenapa Order?" celutuk Rusya lagi.

"Ehm ... karena klub atau grup terlalu mainstream, serta Geng terlalu ekstrem ...," jelas Septian sembari mengelus-ngelus dagunya.

*****]L0L

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top