CHAPTER 1
Kawan, aku akan memulai cerita ini.
SMA Harman Sastranagara
Distrik Veteran, Kota Kediri
Agustus 2018
Bel istirahat berbunyi, bersamaan dengan saku celanaku yang bergetar diiringi nada dering berupa suara siulan. Buru-buru aku merogoh kantung celanaku dan mengambil ponsel di dalamnya. Aku melihat display ponsel, terdapat notifikasi satu pesan baru.
-Aku akan ke kelas, jangan ke mana-mana-
Dari : R.
Aku sejenak terdiam tanpa mengalihkan tatapanku dari layar ponsel. Pesan semacam itu kemungkinan sudah menjadi rutin semenjak sepekan terakhir, jam yang hampir sama, setiap istirahat menjelang makan siang. Dalam beberapa menit kemudian, beberapa anak kelas XII IPS 2 akan heboh sendiri. Seperti semacam pemicu alamiah untuk bereaksi secara berlebihan.
"Makan siang lagi?" celetuk teman di sebelahku.
"Yah, kau tahu sendiri ...," jawabku malas.
"Idih, habis bertapa di gua mana kau, Rim? Kejedot bukannya dapat benjol, malah dapat makan siang, tiap hari lagi!" sahut anak lain di pojok kelas.
"Diantar lagi!"
"Sama cewek lagi!" sahut yang lain.
"Eit, situ jangan ngiri! Sadar diri, om! Tiap minggu ganti berapa cewek!" timpalku cepat, hingga kontan membuat kelas meledak dengan penuh tawa. Oke, seperti inilah bentuk 'peradaban' dengan makhluk-makhluk yang paling luar biasa di sekolah ini. Apa pun itu, mungkin aku lebih senang dengan orang-orang di kelas ini karena cenderung lebih ramah.
Yang di sebelahku, Guntur Fanani. Laki-laki 18 tahun dengan tubuh yang terbilang 'idaman para wanita', tidak banyak tingkah, lebih cenderung kalem seperti diriku, walaupun aku lebih banyak bicara—percayalah, aku dapat berbicara apa saja jika sudah kenal dengan seseorang, sumpah—dari dia. Tahun depan ia akan ikut tes Akademi Kepolisian, cita-cita besar Guntur untuk menjadi bagian dari korps berseragam coklat yang selalu saja menjadi bulan-bulanan dari beberapa orang terkait sistem dan kinerja. Namun, aku selalu mempercayai, Guntur bukanlah seperti 'yang pada umumnya'. Aku dan Guntur telah bersahabat sejak kami masuk di sekolah ini dua tahun yang lalu. Selama ini ... dia cukup banyak memberi dukungan besar.
Ponselku kembali 'bersiul'.
-Aku menunggumu, kakak ....
Dari : R.
Aku beranjak dari bangku tempatku berdiri dan berjalan ke arah pintu. Sejenak kupandangi aktivitas beberapa temanku. Oke, beberapa cowok di pojok sedang asyik main monopoli sedari tadi karena jam sebelum istirahat kosong. Adapun beberapa cewek sedang asyik membicarakan masalahnya sendiri. Topiknya pasti Semenanjung Korea beserta isi dan demografi, Hollywood, hingga sisanya pembicaraan wanita lainnya yang bervariasi, mulai dari gosip tetangga sebelah hingga hal yang tidak penting seperti ... harga vas porselen tetangga sebelah.
Kudapati seorang gadis telah berdiri di depanku saat ini, sembari membawa sebuah tas kecil dengan tali yang ia main-mainkan dengan jarinya.
"Ehm, terima kasih .... Tidak perlu sebegininya sampai merepotkan dirimu sendiri," ujarku seraya menerima tas tersebut.
"Eh ..., apakah makanannya tidak enak?" ujarnya sedikit kecewa.
"Ah ... tidak. Kalau tidak enak, pasti aku akan mengembalikannya dari awal dulu ..., tetapi apakah tidak merepotkan?" sergahku sedikit kikuk. Sejujurnya aku tidak tahu bagaimana cara mengucapkan penjelasan kata 'sungkan' ini. Dia tersenyum sembari menunduk. Kulihat sekilas rona merah di wajahnya.
"Tidak apa-apa. Aku memang sengaja membuatkan masakan seperti ini ...," ujarnya sedikit canggung. Aku mengangguk. Dia bersiap akan kembali ketika tanganku tiba-tiba menghadang lajunya.
"Rusya ...,"
"Ya, Kak?"
"Terima kasih ...," ujarku seraya tersenyum, berlalu kembali ke dalam kelas. Aku sempat melirik kebelakang. Ia menyeringai senang. Entah mengapa gigi-gigi mungil itu membuatku lebih ingin tertawa daripada ketakutan. Belum ada satu langkah aku beranjak dari depan pintu, komentar sudah melayang, terutama dari para cewek yang tadi menggosip di bangku dekat pintu.
"Cieee ... akhirnya manggil juga, biasanya datar kayak tembok putih gitu ...," celetuk Netta
"Peh, anak orang disamain kayak tembok ... putih lagi!" timpalku.
"Iya habisnya, tiap kali kamu ketemu sama adeknya yang sudah berusaha unyu di depan kamu, kamunya malah masang muka tembok. Duh, cowok emang suka enggak peka, ya?" sahut Lia yang berada di samping Netta.
"Eh, ibuk-ibuk yang budiman, saya bukan putri malu yang terlalu peka ...," ujarku asal dan kembali ke mejaku, sebelum aku lebih banyak diberondong pertanyaan yang tidak-tidak.
"Wah, kalau gitu keadaannya, aku juga mau Rim! Pahamilah keadaan temanmu yang hanya bisa dibuakan bekal oleh emak tercinta ...," sindir Guntur. Aku hanya terkekeh.
"Yaelah, seenak-enaknya makanan, masih enakan masakan mama kali. Nih, kalau mau, aku masih berasa kenyang karena sarapan tadi ...," ujarku seraya membuka tas yang berisi lunch box set lengkap dengan tempat minumnya yang mungil, lalu menyerahkan lunch box mungil itu kepada Guntur. Entah kenapa lucu sekali membayangkan bila seandainya Guntur membawa lunch box seperti itu, dengan nafsu makan Guntur yang sudah seperti tentara latihan. Ia juga punya kebiasaan mencampur makanannya dengan makanan lainnya.
"Rimba?"
"Ya, Gun? Ada apa?" tanyaku pada Guntur.
"Yaelah, ini sih enggak bisa dimakan sama nasi!?" ujarnya seraya membuka Lunch box yang ternyata berisi Pai buah!
*****
Aku melihat beberapa anak cewek sedang ribut-ribut di tempat parkir. Aku tidak terlalu mengenalnya, juga mungkin saja anak-anak dari kelas XI. Atmosfer penuh kemarahan bisa kurasakan dari raut wajah mereka yang tampak begitu jelek, dengan muka-muka sewot. Tiga anak cewek itu sedang mengerumuni seseorang sembari mengeluarkan makian, yang mungkin akan merubah citra mereka sebagai seorang perempuan.
"Jangan sok aja deh kamu di sini, dasar cupu!" sentak salah satu anak.
"Mentang-mentang pinter, terus kamu ngerasa lebih hebat gitu! Mestinya hormatin yang lebih punya dan pantas di sini, tau enggak!"
Aku mendekat dan semakin mempercepat langkahku ketika dari celah di antara tubuh mereka aku dapat melihat seseorang yang sangat familiar sebelumnya. Itu Rusya.
"Dasar, enggak tahu diri!"
Terdengar suara pekikan kecil, tepat ketika aku berhasil mendorong tangan yang hendak menampar Rusya itu, lalu mendorongnya hingga salah satu cewek 'gangster' itu terjelembab. Tanpa berkata-kata apa pun, aku meraih tangan Rusya, menggandengnya seraya keluar dari kerumunan itu. Sempat mereka kembali memaki-maki, tetapi aku menatap tajam ke arah mereka, membuat mereka ketakutan sendiri, lalu kabur begitu saja.
"Cih, jalang!" umpatku seraya menatap nanar ke arah mereka.
"Kamu juga sepertinya sama saja ...," komentar Rusya di belakangku. Sepertinya ia memang berkomentar soal kata-kataku yang tidak kusensor tadi. Entah mengapa aku kelepasan untuk pertama kalinya, tetapi memang makian adalah pereda rasa ampuh yang manjur.
"Enggak, aku hanya menempatkan kata tepat sesuai penggunaan. Mereka yang tidak tahu diri ...," komentarku datar.
"Mereka hanya terlalu sering dimanjakan ...," ujar Rusya masih setengah ketakutan.
"Ah, sudahlah. Kalau ada apa-apa, kau bisa minta tolong aku. Jangan terlalu naif juga, tidak bagus untuk kondisi dunia yang keras ...," sahutku seraya tersenyum. Perlahan, Rusya akhirnya menghilangkan ketakutannya, lalu mulai tersenyum.
"Maafkan karena kemarin aku diam-diam mengikuti kakak ...,"
"Oh, eh, tidak usah dipikirkan. By the way, Aku Rimba. Rimba Eka Putra,"
"Rusya Annastasya ..., XI IPA 4 ...."
"Nama yang bagus ..., err ... jangan terlalu menanyakan soal namaku. Itu ayahku yang memberikan. Entahlah, tetapi aku menyukainya ...," ujarku. Rusya hanya terkekeh pelan, pelan sekali.
"Yakinkan aku bila namaku bukanlah sebuah nama yang aneh ...," celetuknya.
Whoa! Aku tertegun ketika ia mengutip kata-kataku dari cerpen yang kuposting di blogku beberapa hari lalu.
"Tidak karena aku sudah yakinkan kamu sewaktu aku terbangun, lalu kepalaku sudah ada di pangkuanmu ...," balasku sembari terkekeh. Sekonyong-konyong Rusya tampak terdiam. Mukanya sedikit memerah.
"Kau merencanakan itu ya?" tanyaku penuh selidik, semakin membuat Rusya masygul sendiri.
"Um ... eh, tidak ...,"
"Hmm, kamu stalking aku sampai menemukan blogku ...," aku menatapnya, serta menyipitkan mataku.
"Aku melihatmu tiap hari duduk bersandar di pohon itu. Mengenai blog itu ... aku tidak sengaja ...," ujarnya sedikit terbata-bata.
"Oh, memang sih. Tempat itu paling enak kalau buat istirahat sambil leyeh-leyeh kalau malas pulang awal ...," jelasku. Setelah itu hening beberapa saat sebelum aku akhirnya menyambung kembali percakapan.
"Rambut coklat yang keren, bukan tipikal orang Indonesia kebanyakan ...,"
Rusya kembali mengulum senyum.
Entah bagaimana setelah pertemuan yang diawali dengan sedikit kejar-kejaran di sore hari, ditambah sedikit ketegangan yang hampir menjadi kekerasan itu, aku jadi sering bertemu, berusaha kenal akrab dengan Rusya. Aku tidak mau terlalu jauh untuk menyimpulkan bahwa ada sesuatu denganku atau Rusya. Aku tidak mau hal itu terulang kembali. Jangan terlalu cepat menyimpulkan sesuatu karena bisa menjadi fatal akibatnya.
Rusya Annastasya, 16 tahun. Gadis yang cukup misterius menurut asumsiku, itu karena memang aku baru mengenalnya. Ia cenderung pendiam, kikuk, sedikit pemalu. Ingat saja ketika Rusya mengantarkan makan siang untukku pertama kali, Netta yang menyambutnya di depan pintu dengan suka cita yang berlebihan, ditambah dengan badannya yang 'cukup' besar, hampir membuat Rusya pingsan ketakutan, jika saja anak-anak tidak menyadarkannya.
Aku jarang melihat Rusya bersama teman-temannya dan lebih memilih sendiri. Kami sering bertemu di perpustakaan. Entah mengapa penjaga perpustakaan sampai-sampai hafal dengan dirinya. Sering kali aku juga membantunya mengerjakan tugas Bahasa Inggrisnya. Sekali lagi, tidak ada modus apa pun seperti anak-anak yang sering kali tuduhkan padaku.
Tetapi Rusya ....
Mungkin dia tidak mengenal kata cukup untuk merepresentasikan rasa terima kasihnya. Yah, seperti pertama kali dia membawakan makan siang. Tidak ada ibu yang memberikan dua tas bekal untuk seorang anak perempuan. Aku pastikan kalau nasi goreng yang aku terima pertama kali dari kotak bekal Rusya, adalah buatannya sendiri. Sudah teruji oleh Guntur, juga Willi.
Seperti yang bisa kuduga, anak-anak heboh sendiri sewaktu aku menerima bekal pertama kali dari Rusya.
"Eh ... tidak perlu seperti ini. Aku hanya membantumu mengajari kursus kilat 16 Tenses ...," ucapku sungkan. Yah, walau aku tidak terlalu paham pula dengan 16 Tenses.
"Tidak apa-apa, anggap saja tanda terima kasih dariku, Kak ...," ucapnya seraya menyerahkan tas bekal mungil. Ia langsung ngacir duluan sebelum aku protes lagi yang tidak-tidak.
"Ciee ... tanda terima kasih atau tanda yang lainnya tuh?" goda Lia.
"Haish! Sirik aja sih!" sungutku.
"Tanda cinta, bro!" Willi yang ada di pojokan langsung menyahut sembari menyiapkan bekal makan siangnya. Disertai celetukan lainnya yang saling bersahutan layaknya kodok konser.
Aku langsung kembali ke mejaku, bergabung dengan Guntur serta Willi.
"Cewek mana?" tanya Willi yang selalu penasaran denganku, membuat heboh seantero kelas dengan kabar dan gosip 'kodok konser' tentang kedekatanku dengan Rusya.
"Kami cuma teman dekat ... enggak lebih ..,"
"Bukan cuma teman dekat kalau sampai mengantar bekal makan siang ...," sahut Guntur.
"Mungkin ... ia membelinya ...," ujarku asal.
"Ngawur aja kamu, enggak ada restoran paling enak yang nasi gorengnya dimasak dengan panas kompor yang diatur sedemikian rupa, bumbunya yang dibuat sendiri dengan cara diuleg, bukan di blender ...," celetuk Willi yang bagaimana bisa sudah membuka kotak makan siang dari Rusya, lalu mencobanya satu sendok.
"Eh, gimana kau bisa ... ah sudahlah ...," aku pun akhirnya memakannya dengan rasa masih sungkan sampai pada suapan pertama, hingga aku entah bagaimana melupakan kesungkananku pada suapan berikutnya, hingga tidak menyadari kalau aku telah menghabiskannya.
Willi, yang simbahnya tukang buat masakan apa saja itu, dia benar.
Untuk Rusya, aku kembali sungkan ketika menyadari kalau nasi goreng yang kumakan telah habis.
Ah, kenapa kau sampai bersusah payah untuk semua ini ? Pertanyaan lebih lanjut, pantaskah aku terus menerima hal semacam ini setiap jam 12 siang, hampir setiap harinya? Sedangkan kami baru bertemu tiga hari?
*****
Pertanyaan yang tidak pernah terjawab sampai detik aku menghabiskan Pai buah yang tadi diantar oleh Rusya. Mungkin, akan banyak lagi pertanyaan baru setelah ini.
Rusya Annastasya. Siapa kamu? Apa yang kau inginkan?
"Kau tahu, terkadang kau harus peka terhadap situasi ...," sahut Guntur.
"Maksudmu?"
"Tentang Rusya ...," sahutnya kembali dengan cepat.
"Ya, kenapa—,"
"Aku rasa dia menyukaimu ...,". Aku pun terdiam mendengar asumsi Guntur. Mungkin saja benar. Namun, apakah itu benar?
"Asumsi atau realita? Aneh ...," gumamku.
"Tidak ada yang aneh, Rimba. Semua terlihat begitu nyata ...," Mungkin perkataan Guntur ada benarnya juga.
"Lalu?" tanyaku mulai mengejar pertanyaan.
"Setidaknya ... kau jangan memberi harapan palsu ...," jelas Guntur. Aku melihat dari balik jendela dan menerawang jauh ke anak-anak, yang sedang olahraga di lapangan basket. Sepertinya semua ini masuk akal untuk penguntitan sepekan yang lalu hingga makan siang ini.
Yeah, mungkin aku harus mulai memerhatikan dia, paling tidak. Namun, mengapa? Satu-satunya alasan aku tidak ingin berhubungan dengan perempuan untuk saat ini karena aku rasa ini akan sangat aneh untuk dijalani. Mungkin beberapa orang bisa jatuh cinta dalam satu momen penting, tetapi aku rasa, hal itu sangat sulit untuk diwujudkan menjadi kenyataan.
"Gun, aku bukanlah siapa-siapanya. Itu akan sungguh sangat aneh bila hal ini terus-terus terjadi ...," keluhku.
"Semua orang akan mengatakan hal yang sama kepadamu setelah ini Rimba ...," sergah Guntur.
"Dengar, aku tidak terlibat dalam masalah ini. Dia yang memulai," Kini aku malah berdebat sendiri dengan Guntur.
"Maka kau yang harus memberikan jawaban. Ketika ada soal telah diberikan, maka kau harus menjawabnya untuk mendapatkan hasil, Rimba ...." Kini Guntur mulai serius. Aku tidak bisa mengabaikan hal ini begitu saja karena ini menyangkut soal pribadi.
"Orang yang mempedulikan dirimu, menaruh kepercayaannya kepada seseorang lewat masakan yang ia buat sendiri, mereka mengetahui kalau dirimu, adalah orang yang dapat dipercaya ...," lanjutnya. Aku akhirnya menyerah dengan debat ini. Aku kembali melepaskan pandanganku ke arah lapangan.
Ah, Cinta. Selalu berujung dengan hal yang merepotkan.
"Mba ... Mba, kon gak peka men, seh!" timpal Willi, dalam bahasa Jawa. Sangat jelas yang berarti : kamu tidak peka sekali sih!
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top