4
Aku kembali duduk di kantin sendirian. Menanti cowok yang kulihat dulu. Selama ini ia tak pernah lagi muncul fakultas kami. Kalau kekasihnya masih sering kulihat. Ternyata kakak senior dijurusanku.
Wajarlah kalau mereka pacaran. Keduanya cantik dan ganteng. Yang perempuan seorang aktifis kampus yang terkenal pintar. Tidak ada yang tidak mengenalnya di sini. Temannya banyak karena memang sangat ramah. Hampir selalu jadi pemenang jika ada lomba kecantikan.
Jauh berbeda denganku yang tidak punya teman serta sulit bergaul. Kalaupun ke kantin hanya sekadar menunggu waktu sesi kuliah berikutnya. Bosan kalau harus melihat Pak Rudi terus menerus. Namaku hanya diingat orang kalau sedang ada acara yang membutuhkan bantuan dana.
Kembali kutatap tugas kuliah yang harus dikumpulkan nanti. Semoga semua benar, dan tidak ada lagi tugas kelompok. Dimana aku harus bergabung dengan banyak mahasiswa. Aku tidak sanggup karena tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak ahli dalam berbicara. Kulirik jam dipergelangan tangan, sudah pukul 10.15. aku segera beranjak dari kursi. Sebentar lagi harus masuk kelas. Saat akan melangkah, cowok itu tiba-tiba datang. Beriringan bersama beberapa temannya. Mengenakan hoodie abu-abu dan jeans biru pudar. Ia terlihat semakin tampan. Mereka memasuki kantin dan kami hampir sangat dekat.
Aku menunduk dan melirik sekilas. Rasanya jantungku berdebar kencang. Sampai kemudian kudengar seseorang berteriak.
"Awas-"
Aku berhenti melangkah, tidak tahu apa yang terjadi sampai seseorang menarikku dan kami rubuh bersama di lantai. Terdengar suara keras berdentum setelahnya. Kututup mata rapat-rapat tak berani membuka. Sampai terdengar langkah cepat mengerumuni kami.
"Lo, nggak kenapa-kenapa, kan?" tanya sebuah suara dengan nada khawatir.
Kubuka mata perlahan, aku kini berada dalam pelukan seseorang. Kutatap banyak orang di sekeliling. Sebuah papan reklame yang biasa berada di atap kantin rubuh tepat di depan kami. Dan aku berada dalam dekapan cowok itu.
Seketika aku sadar lalu segera melepaskan pelukan.
"Maaf, eh terima kasih." ucapku pelan.
"Lain kali jangan bengong kalau jalan. Coba kalau lo sendirian tadi."
Aku hanya menunduk berusaha mengumpulkan kekuatan. Beruntung Pak Rudi segera muncul dengan wajah penuh khawatir.
"Mbak Kaia kenapa? Saya antar ke rumah sakit, ya?" ucapnya penuh rasa bersalah.
"Ia nggak apa-apa, Pak. Cuma kaget aja."
"Nggak boleh gitu, tangan Mbak Ia luka."
Kulihat tanganku yang memang berdarah. Baru sadar juga kalau darahnya sebanyak ini.
"Mending lo ke dokter, kayaknya tangan lo sobek." Cowok itu memberi saran.
Kuteliti tubuhnya, banyak darah disekitar kakinya. Ternyata ada potongan besi yang menimpa.
"Itu kaki mas juga berdarah. Mau ke rumah sakit bareng? Anggap ucapan terima kasih, Ia." balasku.
"Mending lo berdua deh. Jangan ditunda lagi." Kembali terdengar suara seorang temannya.
Aku segera menitipkan tugas pada seorang teman satu kelasku. Dengan bantuan Pak Rudi kami menuju mobil.
***
Kami berangkat ke rumah sakit menggunakan mobil super mewah cewek di sebelahku. Baru tahu kalau ternyata namanyalah yang selama ini begitu tenar diantar kawan-kawanku. Siapa yang tidak kenal ayahnya. Namun sikapnya jauh berbeda dengan kedudukannya di kampus ini. Menurutku cenderung pemalu dan tertutup. Padahal seharusnya ia bisa berdiri dan berjalan dengan kepala tegak. Sikapnya sangat sopan, bahkan pada seorang supir sekalipun.
Tak lama kami sampai di sebuah rumah sakit. Supirnya segera turun mempersiapkan segala sesuatu untuk majikannya. Kami sama-sama turun menuju ruang IGD. Saat seorang dokter hendak melihat lukanya, seseorang berteriak dari belakang.
"Jangan disentuh!"
Kami semua terkejut. Ada apa? Pikirku. Perempuan muda itu jelas bukan ibunya. Gadis disebelahku yang bernama Kaia itu menunduk.
"Maaf, dok. Pasien atas nama Kaia Subiantoro akan kami pindahkan ke rumah sakit milik keluarga."
Dokter itu terdiam, menatap tak percaya. Akhirnya Kaia berbisik.
"Dia Mbak Lulu. Asisten pribadi mami. Mas nggak keberatan kan kalau kita pindah rumah sakit?"
"Gue di sini saja." jawabku. Karena buatku dimanapun sama.
"Jangan, saya sudah membuat kaki mas luka. Sebaiknya diperiksa dengan teliti." bantahnya. Tak lama kemudian beberapa orang dengan seragam rumah sakit elit segera mendekat.
"Sekalian sama mas ini. Dia tadi yang nolongin, Ia."
Ucapan itu seolah mantra sakti. Semua orang tiba-tiba menatapku hormat. Dengan kursi roda kami ke luar ruangan. Kukira kami akan menuju mobil atau ambulance. Tapi aku salah, kami dibawa ke lantai paling atas. Di sana sudah ada sebuah helikopter menunggu.
Aku merasa berada dalam negeri dongeng. Hanya karena sedikit luka, begitu banyak wajah panik yang terlihat. Baru percaya sekarang, kalau gadis disampingku ini benar-benar putri seorang Sultan! Gelar yang kami berikan untuk seorang yang benar-benar kaya.
Tak sampai dua puluh menit kami tiba disebuah rumah sakit yang kuketahui super mewah di Jakarta. Kami turun disambut oleh beberapa orang yang sepertinya dokter berpengalaman. Kemudian segera dibawa kesebuah ruangan mewah yang terkesan sejuk. Beberapa perawat segera membersihkan luka. Baru kemudian kami di dorong ke sebuah ruangan super canggih untuk pemeriksaan lanjutan.
Hanya karena luka jatuh sampai seperti ini? Aku menggelengkan kepala. Namun gadis bernama Kaia ini sangat tenang. Tanpa protes ia mengikuti seluruh pemeriksaan. Sampai kemudian semua selesai dan kami dinyatakan sehat.
"Maaf, semua ini membuat mas nggak nyaman."
"Gue nggak apa-apa. Yang penting lo baik-baik saja."
Ia tersenyum kemudian menunduk.
"Kalau begitu gue permisi pulang. Harus menjsegera menjemput adik gue yang latihan menari."
Gadis itu terkejut. Namun akhirnya tersenyum.
"Besok atau lusa, mas datang saja kemari untuk memeriksa lukanya. Aku akan memberikan kartu untuk berobat. Gratis kok." ucapnya penuh rasa bersalah.
"Nggak usah, luka kecil aja. Lagian kan tadi sudah dijahit. Oh iya kita belum berkenalan. Gue Birawa, boleh panggil Awa."
Kembali ia terpana menatapku. Mata bening itu kini seolah menyihirku. Aku segera berusaha memulihkan kesadaran.
"Saya Kaia, mas yang penabuh drum The First itu?" tanyanya tak percaya.
Aku mengangguk. Ia hanya tersenyum malu.
"Terima kasih sudah menolong saya tadi."
"Lain kali kalau jalan jangan bengong. Gue pulang sekarang."
"Ini nomor saya, kalau nanti mas kenapa-kenapa bisa hubungi saya. Oh ya, mas naik apa?"
"Naik taksi saja." jawabku sambil berlalu setelah menerima kertas yang berisi nomor ponselnya.
***
Berarti dia yang bernama Birawa. Cowok yang dipuja oleh lebih dari separuh para gadis di kampus, termasuk aku. Ia sangat baik dan ganteng. Dia juga adalah masnya Mitha. Gadis yang diincar Mas Ody. Kenapa semua terasa kebetulan?
Kulangkahkan kaki menuju lift untuk sampai ke kamarku di lantai tiga. Seperti biasa rumah sepi. Papi dan mami sampai sekarang belum menghubungiku. Namun kupastikan mereka tahu kalau tadi aku kecelakaan. Bisa terlihat dari kehadiran Mbak Lulu, orang kepercayaan Mami.
Hal seperti ini sudah sangat biasa, aku tidak pernah tahu di mana kedua orangtuaku berada. Memasuki kamar, semua terasa dingin. Kurebahkan tubuh di kasur besar. Tanganku masih sedikit perih. Tadi sebenarnya dilarang pulang, tapi aku bersikeras. Akhirnya diijinkan setelah aku menyetujui ada perawat dan dokter yang akan mengunjungi tiga kali sehari. Rumah sakit itu adalah milik keluarga besar mami. Kami memiliki hak untuk dirawat dengan fasilitas terbaik di sana.
Kupejamkan mata, kembali teringat Awa. Sedang apa ia sekarang? Tidak mungkin masih mengingatku. Mungkin ia tengah berada didekat kekasihnya yang tadi tidak bisa ikut mengantar. Alangkah bahagia mereka. Seandainya aku yang menjadi perempuan beruntung itu.
Ah, tidak akan. Aku bukan orang yang ditakdirkan untuk bahagia. Bisa ada yang menolong seperti tadipun sudah sangat bersyukur. Awa terlalu jauh untukku, apalagi Mas Ody sangat menyukai Mitha. Tapi aku tidak bisa menahan bahagia, saat mengingat wajahnya yang menatapku lembut. Memendam rasa inipun aku sudah merasa bahagia. Tidak apa-apa, semua akan kusimpan sendiri.
***
Siapa tadi namanya, Kaia Subiantoro? Adik Jordy? Cowok brengsek itu memiliki adik seperti dia? Aku hampir tak percaya. Memang pernah kudengar, kalau putri pengusaha terkenal itu kuliah di kampusku. Tapi benar-benar tidak percaya, karena mereka terlihat sangat berbeda.
Bayangan Kaia mengusik pikiran. Kucoba memusatkan perhatian pada tugas gambar didepanku. Sayang tidak bisa, akhirnya kuputuskan ke luar kamar. Disana ada Mitha yang tengah menonton televisi sendirian.
"Hai, Mas. Gimana sakitnya?"
"Sudah mendingan sih. Sendirian?"
"Iya, Rendra lagi beli cah kangkung di depan. Mas Awa belum makan juga, kan?"
"Belum, masih ngerjain tugas. Oh ya kamu tahu nggak kalau Jordy punya adik perempuan?"
"Katanya sih iya, kuliahnya ditempat Mas Awa. Kenapa?"
"Tadi ternyata perempuan yang mas tolong itu adiknya. Namanya Kaia."
"Cantik?"
"Cantik sih, putih gitu. Tapi sama sekali nggak kayak Jordy. Beda semua deh, nggak ada mirip-miripnya."
"Masak sih? Biasanya kakak beradik kan mirip?"
"Iya, Jordy kan kayak sawo matang gitu, rambutnya ombak. Terus mukanya persegi. Nah adiknya kebalikan semua." Jelasku.
"Bisa aja kan yang satu mirip papanya, yang satu lagi mirip mamanya?"
"Nggak tahu juga ya, Mit."
"Mas ada kabar dari mami?"
"Belum, mungkin nginap di apartemen. Kenapa?"
"Nggak sih, udah sebulanan belum ketemu. Papi pasti di rumah Tante Jea ya." tanyanya sedih.
"Mau di mana lagi?" jawabku.
Kami saling menatap, tak lama adikku meletakkan kepalanya dibahuku. Kami termangu bersama.
"Aku kangen papi dan mami." bisiknya.
Aku hanya bisa diam, itu bukan pertanyaan, jadi tidak harus dijawab.
"Kadang aku suka bingung mas. Lihat papi dan mami. Kenapa mereka nggak bercerai saja?"
Aku tetap diam, karena tahu kalau diam-diam keduanya sudah berpisah. Karena itu tidak satupun dari mereka yang datang lagi kemari. Uang belanja hanya ditransfer papi ke rekeningku. Uang saku kami ditransfer oleh mami. Mereka memang terkesan masih bertanggung jawab dalam menghidupi kami meski jumlahnya jauh dari kata cukup. Menyedihkan memang! Tapi aku tidak mengatakan apa-apa pada Mitha dan Rendra. Mereka pasti terpukul. Biarlah waktu yang akan menyampaikan kabar ini kelak.
Kami bagai layangan yang tidak memiliki tali lagi. Terbang ke mana angin membawa. Tapi aku akan tetap berusaha menjaga kedua adikku. Mereka tanggung jawabku sekarang.
"Mas, kalau menikah. Jangan ngeduain kayak papi ya. Kasihan anak-anak Mas Awa nanti."
"Kok ngomong gitu?" tanyaku heran.
"Supaya anak-anak mas nanti nggak kayak kita."
Kucium puncak kepalanya.
"Mas nggak ingin mewariskan hidup kita kepada siapapun kelak."
"Kalau mas nanti punya pacar. Terus ada perempuan lain yang mengaku hamil anak mas. Mas Awa akan pilih pacar atau ibu dari anak mas?"
Aku terdiam sejenak.
"Mas nggak akan menghamili orang lain kalau sudah punya pacar, Mith."
"Ini kan misal." Rajuknya.
"Mas akan memilih ibu dari anak-anak mas Awa nanti. Karena punya anak jelas memiliki tanggung jawab lebih besar. Tapi kamu jangan doain gitu ya." Protesku.
Mitha hanya tertawa. Tak lama Rendra muncul dengan sebuah kantong plastik.
"Ayo semua makan, cah kangkungnya udah matang."
Kami segera beranjak menuju ruang makan. Menikmati makan malam bersama. Mencoba melupakan kesedihan sejenak.
***
Happy reading
Maaf untuk typo.
28820
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top