34


Bab ini sebagai hadiah ulang tahun pada sahabat saya AnteaMaria. Happy birthday... sehat dan bahagia selalu...

***

Rudy Subiantoro memasuki ruang kerjanya. Wajah yang biasa cerah, pagi ini terlihat muram. Setiap orang yang berpapasan dengannya hanya menunduk saat mengucapkan salam, tak satupun berani tersenyum. Pria itu menghempaskan tubuh dikursi kebesarannya. Orang-orangnya mencari keberadaan Jordy. Namun tak satu rumah sakitpun menerima pasien atas nama putranya.

Tak lama sebuah panggilan terdengar.

"Selamat pagi, Pak, Pak Hutabarat pengacara keluarga anda meminta waktu untuk bertemu."

"Suruh masuk."

"Baik, pak."

"Oh ya, apakah pagi ini Mitha, masuk?"

"Akan saya tanyakan, pak."

Rudy segera mematikan sambungan dan bersiap menerima kehadiran Pak Hutabarat. Pria berpakaian rapi itu mengetuk pintu dan memasuki ruangan.

"Ada apa, sampai pagi-pagi menemui saya?"

"Ada kabar dari pengadilan negeri, Ibu Thalia baru saja memasukkan gugatan perceraian terhadap anda."

Rudy mengepalkan tangannya,

"Apa dia melaporkan kasus lain?"

"Tidak ada."

"Pelajari berkasnya dan beritahu saya intinya saja nanti. Untuk sementara jangan memberikan pernyataan apapun. Tunggu langkah pihak mereka lebih jauh."

"Baik, pak. Saya permisi."

Rudy membiarkan sang tamu keluar, tak lama sekretarisnya memasuki ruangan. Sambil membawa agenda harian.

"Maaf pak, menurut bagian HRD Ibu Mitha sudah tidak kembali ke kantor sejak membawa Pak Jordy kemarin."

"Bagaimana dengan ruangan Jordy?"

"Semua sudah dibersihkan, hanya karpet lantai yang diganti. Dan sudah langsung dibakar sesuai perintah."

"Tetap berkoordinasi dengan asisten saya. Cari keberadaannya."

"Saya akan membacakan agenda bapak hari—"

"Saya tidak akan melakukan apapun. Tunda semua kegiatan saja."

"Bisakah kamu menghubungi Kaia?"

"Akan saya coba Pak."

Setelah seketarisnya keluar, Rudy kembali termangu. Kemana Thalia membawa Jordy? Bagaimana keadaan Jordy sekarang? Sudah meninggalkah? Atau masih berada di ruang ICU.

Ia tahu kalau tembakannya kemarin tepat pada sasaran. Pasti Jordy terluka parah. Apa yang harus dikatakannya pada keluarga besar nanti? Kaia juga menghilang sejak semalam. Ke mana mereka semua? Panggilan telepon kembali mengagetkannya.

"Maaf, Pak. Kedua nomor Ibu Kaia tidak bisa dihubungi."

Seketika Rudy melempar lapiran yang sudah tersusun rapi diatas meja.

***

Thalia menatap Kaia yang tersenyum  saat pernikahannya dengan Birawa sudah disahkan. Ia dan Mitha segera memberikan ucapan selamat. Tidak ada perayaan, apalagi pesta. Bahkan hanya ada mereka berempat. Kaia mengenakan dress simple berwarna putih, bukan gaun baru. Seorang asisten menemukan gaun ini di walk in closet miliknya. Sementara Birawa mengenakan setelan Jas berwarna hitam, dengan kemeja berwarna biru muda. Yang sebenarnya adalah pakaian kerjanya karena tidak sempat membawa ganti tadi. Itupun sudah hampir terlambat karena beberapa pekerjaan yang tidak bisa ditunda.

Sesaat kemudian, Thalia memberi wejangan pada keduanya.

"Ia, sekarang kamu sudah menjadi Istri. Pahami tugas dan posisi kamu. Sehebat apapun kamu diluar sana, berapapun penghasilan kamu. Di rumah, kamu tetap harus melayani suamimu. Posisi kamu tidak lebih tinggi dari dia. Hormati dan sayangi dia. Birawa adalah pilihan kamu sendiri. Jadi terima segala kekurangan dan kelebihannya." bisiknya pada Kaia.

Pada Birawa ia berkata,

"Awa, mami titip Kaia. Setelah ini kami akan pergi. Jaga dia baik-baik. Sayangi sebagaimana selama ini kamu menyayanginya. Jangan biarkan dia sedih dan merasa sendirian. Jadilah pemimpin dalam rumah tanggamu kelak. Bimbing Kaia agar mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Kalau dia salah, kamu boleh menegurnya. Kamu sudah mengenalnya selama ini, kan?

Mami juga meminta ijin membawa Mitha untuk menjaga keselamatannya. Karena tidak yakin kalau nanti Rudy tidak memanfaatkan untuk memancing keadaan agar lebih keruh lagi. Mami akan menyayanginya sebagaimana Kaia. Mami janji, bila nanti tiba waktunya, Mitha akan kembali."

Ditatapnya Mitha yang tertunduk. Mau tidak mau, Birawa harus melepas adiknya.

"Boleh saya bicara berdua saja dengan mami?"

Kaia dan Mitha segera keluar ruangan.

"Ada apa sebenarnya? Saya masih bingung sampai sekarang."

Thalia menghembuskan nafas kasar. "Jordy ditembak papinya, karena masalah intern keluarga. Mereka mungkin ribut di kantor, saya tidak tahu masalahnya dan kali ini memang tidak mau tahu. Bagi saya yang penting Jordy selamat. Nantilah saat ia sadar akan saya tanyakan kebenarannya.

Saya sudah mengajukan berkas gugatan cerai ke pengadilan. Ini satu-satunya cara agar bisa lepas dari Rudy. Ia tidak akan melepas saya dengan mudah, tapi saya sudah lelah. Dia bisa membunuh putranya sendiri. Apalagi saya, kamu dan Mitha? Kita tidak tahu nyawa siapa lagi yang menjadi incarannya saat keinginannya tidak terpenuhi.

Ia terbiasa mendapatkan apapun yang diinginkan. Karena memang mertua saya sangat memanjakannya. Itu juga yang dulu mereka lakukan pada Jordy. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa, karena saya juga turut andil didalamnya. Dulu saya hidup penuh ketakutan. Kalau-kalau Rudy akan melukai keluarga saya. Ia tidak ingin memiliki citra buruk di depan masyarakat. Meski hampir semua orang tahu siapa dia sebenarnya.

Berhadapan dengan orang seperti dia sangat sulit. Karena itu saat ini dan seterusnya saya memilih menghindar. Kamu paham sekarang?"

"Ke mana tante akan pergi?"

"Rencana Port Moresby, PNG. Kakak saya dan suaminya tinggal disana. Mereka menawarkan tempat tinggal dan pengobatan terbaik. Saya hanya menunggu sampai Jordy aman dibawa dengan menggunakan pesawat. Kami akan menggunakan pesawat mereka.

Akan banyak perubahan nanti, kamu dan Kaia bisa tinggal di apartemen saya di Singapura. Kalian tetap bisa beraktifitas, dengan pengawalan ketat tentunya. Saya harus melihat dulu bagaimana tindakan Rudy selanjutnya. Saya sudah lelah hidup dalam ketakutan. Gunakan saja nomor Singtel kamu untuk berkomunikasi dengan saya. Karena itu jauh lebih aman daripada provider milik Indonesia."

"Saya mengerti."

Seseorang menyela pembicaraan mereka, "Maaf ibu Thalia, Bapak Jordy sudah sadar."

Keduanya bergegas keluar dari ruangan dan segera menuju ICU. Dibalik kaca tampak Jordy tersenyum pada mereka. mata pria muda itu menatap Mitha lekat. Seketika Birawa menyadari bahwa keduanya takkan bisa terpisahkan lagi.

***

Kunaiki tangga pesawat. Kali ini aku sendirian menuju Singapura. Mungkin  beberapa bulan ke depan tidak akan menginjakkan kaki lagi di Jakarta. Mami, Mitha dan Jordy sudah pergi dengan pesawat milik Om Tanu. Aku yang mengantar mereka sebelum keberangkatan kemari. Kak Awa  sudah kembali bekerja. Sebagai istri yang baik, aku menyusulnya. Kami akan memulai hidup baru, berdua saja di sana.

Aku belum tahu apa yang harus kulakukan nanti. Karena otomatis tidak akan bekerja.  Semoga tidak mengecewakan Kak Awa nantinya. Sewaktu melepas mereka tadi aku menangis. Mungkin beberapa bulan ke depan tidak akan bertemu mereka lagi. Rasanya sangat berat, terlebih mengingat hubunganku dengan mami yang begitu baik akhir-akhir ini. Kami tidak pernah sedekat sekarang.

Kutatap kearah luar pesawat. Singapura sudah dekat, terlihat dikejauhan lampu-lampu  berkelap kelip. Kak Awa  yang menjemputku nanti. Dan kami akan tinggal di apartemen milik mami. Kali ini suamiku banyak mengalah, tampaknya ia paham apa yang tengah terjadi pada keluarga kami. Memang semuanya terasa rumit. Tapi aku sudah terbiasa hidup dalam lingkaran seperti itu.

Tak lama pesawat mendarat. Beberapa orang bergegas menurunkan koper-koper yang kubawa. Selesai urusan imigrasi kami melangkah keluar. Aku menemukan Kak Awa diantara para penjemput. Kupeluk ia erat, ia membalas dengan mencium keningku.

"Welcome home, wife." bisiknya lembut. Dia manis sekali.

***

Rudy kembali marah saat mendapat laporan bahwa Jordy ternyata sudah tidak ada di rumah sakit tempat ia dirawat selama ini. Padahal ia baru saja mendapatkan berita tentang  tempat putranya dirawat. Ia kalah cepat dengan istrinya.

"Pesawat milik Thalia di mana?"

"Masih di Halim, Pak."

"Apakah ada pergerakan?"

"Hanya ke Singapura-Jakarta. Tapi beliau tidak pernah terlihat di sana. Mungkin keluarganya.

"Bagaimana dengan Kaia?"

"Menurut informasi Nona Kaia tengah di Singapura bersama Birawa. Kesehatannya kurang baik akhir-akhir ini."

"Jangan sentuh dia, saya tidak mau ada kesalahan lain. Saya sendiri yang akan menemuinya. Ini pasti rencana Thalia. Dia mau bermain kucing-kucingan dengan saya. Saya pasti akan menemukannya, di ujung dunia manapun itu."

Kemudian pria paruh baya itu melangkah keluar ruangan kemudian bergegas memasuki lift. Ia harus mengadakan pertemuan bisnis sebelum kembali berkutat dengan pencarian terhadap istri dan putranya. Namun entah kenapa, tiba-tiba dadanya terasa sesak. Ia mencoba bersender pada dinding. Beberapa orang pengawalnya segera menahan tubuhnya. Sayang akhirnya raga itu terkulai lemah.

***

Aku masih berada dalam pelukan Kak Awa. Kami  baru saja selesai mandi. Aku merasa sangat nyaman berada dalam pelukannya saat berbaring seperti ini. Merasakan hembusan nafasnya pada anak rambutku. Juga pada jemarinya yang membelai lembut punggungku.

"Bagaimana keadaan Jordy tadi?"

"Sudah lebih baik. Ada dokter dan perawat yang mendampingi. Dan beruntung papi tidak menemukan mereka sampai berangkat."

"Semoga mereka baik-baik saja. Nanti kita akan mengunjungi mereka sesekali."

"Aku malah tiba-tiba kepikiran papi."

"Kok bisa?"

"Papi itu tidak pernah kalah. Dan kali ini semua berbeda. Mami menggugat cerai, dan Mas Ody juga pergi. Sekarang aku malah menikah tanpa restu dan kehadirannya. Disatu sisi aku mengerti bahwa ia sangat kecewa dan merasa ditinggalkan. Tapi ia tidak pernah menyadari bagaimana saat ia meninggalkan kami dan memilih jalan hidup sendiri."

"Kamu menyesali masa lalu?"

Aku menggeleng, "aku hanya kasihan papi. Dia akan sendirian."

"Kamu selalu kenal dengan kekasihnya?"

"Enggak, sering berganti juga." jawabku.

"Lupakan semua hal-hal buruk dimasa lalu. Jangan sampai itu menghalangi kebahagiaan kamu."

"Apa orangtua Kak Awa sudah tahu kalau Mitha ikut mami? Lalu tentang pernikahan kita?"

"Belum, sampai nanti semua kembali aman. Kalau aku cerita, bagaimana jika nanti mereka menyampaikan pada papimu. Ini bukan tentang kita saja, tapi juga mami dan Jordy."

Aku mengangguk lalu merapatkan tubuh. Kembali kurasakan elusan Kak Awa pada punggungku. Kali ini sudah semakin turun menuju bokongku. Hembusan nafasnya juga terdengar berbeda. Apakah ini waktunya? Kutatap matanya yang tajam. Perlahan kurasakan bibir kami saling bersentuhan. Awalnya hanya sejenak, namun tak lama menjadi tidak terpisahkan.

Kubiarkan ia mematikan lampu, dan kamar kami hanya ada sinar temaram. Rasanya tak ada kata yang kami butuhkan lagi. Kubalas pelukannya, aku yakin malam ini akan kami kenang sepanjang masa.

***

Maaf untuk typo

151020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top