31
Daud : Aku itu susah pacaran, jam kerjaku nggak jelas. Kamu yakin bisa jalan dengan orang yang tiba-tiba membatalkan pertemuan yang sudah direncanakan? Perempuan kan biasanya suka marah nggak jelas kalau dinomorduakan dengan pekerjaan?
Daud adalah orang yang memegang tinggi kejujuran, meski itu menyakitkan. Ia lebih suka menelan pil pahit saat jujur daripada harus membohongi seseorang hanya untuk kebahagiaan semu.
***
Mellisa : Ngapain marah? Aku juga punya pekerjaan yang harus dikerjakan. Aku bukan pengangguran.
Mellisa sampai pada puncak kegelisahannya. Usia tiga puluh tahun, seorang florist terkenal. Cantik, tinggi, berpendidikan, berasal dari keluarga baik-baik. Tapi tetap tidak menemukan jodoh yang tepat. Salahnya dimana? Ia bertekad, pokoknya tahun ini harus sudah punya pacar.
***
Vera : Mami beruntung, papamu bukan orang yang suka buat masalah. Sekali-sekalinya berantem, ya waktu kasus kamu curhat di youtube. Memang waktu itu kan mami yang salah, karena sudah melanggar kesepakatan.
Vera adalah tipe ibu yang tidak pernah bertanya kepada anaknya, kapan kawin?
***
Nico : Cari pasangan itu yang cocok. Kalau pacaran saja kamu sudah berantem melulu? Bagaimana kalau nanti sudah menikah?
Nico adalah ayah yang selalu berusaha untuk mengingatkan Daud agar kembali ke bumi.
***
Siap bertemu dengan mereka? Setelah CTSI tamat yaaaa... gak lama lagi kok.
***
Duduk berdua dengan Thalia Subiantoro membuatku sedikit tidak nyaman. Meski perempuan itu menatap dengan lembut. Selain sangat cantik, ia juga memiliki aura keibuan yang kuat. Membuat siapapun yang duduk dihadapannya pasti akan sulit untuk berkata, tidak.
"Bagaimana kabar kamu?"
"Saya baik Tante." Jawabku sopan.
"Syukurlah, saya senang kamu bersedia memenuhi undangan saya. Hari ini sibuk?"
"Lumayan, Tan. Karena sedang ada beberapa proyek yang ditangani divisi saya."
"Saya percaya akan kualitas kamu. Saya sempat berbincang dengan Pak Reza, menurut beliau kamu cukup bisa diandalkan."
"Terima kasih, beliau terlalu berlebihan sebenarnya. Saya masih dalam proses belajar."
"Ya, belajar itu kan tidak selesai sampai kapanpun, Awa. Saya pun begitu, sampai sekrang masih belajar di kantor, di rumah, termasuk menghadapi anak-anak yang sudah dewasa. "
Aku hanya tersenyum mendengar kalimatnya. Menanti apa sebenarnya yang membuatku harus duduk di sini.
"Mungkin kamu bertanya kenapa saya ingin bertemu secara empat mata. Ini berhubungan dengan Kaia, dan kamu. Saya ingin berbincang tentang masa depan kalian. Saya senang kalian memutuskan untuk kembali bersama, Kaia juga sudah terlihat lebih baik setelah setahun ini ia seperti orang kehilangan tujuan. Saya ucapkan terima kasih karena sudah memaafkannya.
Saya tahu itu bukan hal yang mudah, mengingat apa yang telah ia lakukan. Tapi kamu berjiwa besar."
"Dulu juga ada sebagian yang merupakan kesalahan saya, Tan. Tidak adil kalau saya meletakkan seluruh beban itu pada Kaia. Meski sebenarnya karena saya sangat mencintainya."
"Kamu sangat pemaaf."
Aku memilih mengangguk sambil tersenyum kecil. Kemudian kembali terdengar suara mami Kaia.
"Dia adalah sosok yang introvert. Sulit bergaul dan lebih suka menyendiri. Sejak bertemu kamu ia berubah menjadi pribadi yang lebih hangat. Dan itu cukup membuat saya senang. Saya tidak ingin berbasa basi. Bisakah saya meminta kamu menikahi Kaia secepatnya?
Kutatap wajah cantik itu dengan tidak percaya. Menikahi Kaia? Apa tidak salah dengar?
"Tapi tante-"
"Anggap ini permintaan seorang ibu, saya ingin melihatnya menikah. Saya lihat Kaia sudah siap untuk menjadi seorang istri. Dia bukan orang yang bisa belajar banyak diluar sana. Jadi tidak ada yang bisa saya harapkan dari segi karier di dunia bisnis. Kamu jauh lebih kuat dan smart. Saya butuh kamu untuk mendampingi dia.
Jujur, saya tidak ingin dia salah pilih. Saya sangat senang saat dia memilih kamu. Maaf kalau sebelumnya saya bahkan meminta orang lain untuk mencari info tentang kamu. Tapi saya benar-benar menyayangi Kaia. Dia butuh bahu yang kuat untuk melindunginya. Kamu tahu kan bagaimana papinya? Cukup lama ia terpuruk saat Mas Rudy mengakui perubahan orientasi seksualnya. Dia sama sekali tidak siap. Apakah ada kendala dari pihak kamu tentang keinginan saya?"
"Saya baru memulai karier dan menabung, Tan. Saya belum siap untuk membiayai sebuah pesta pernikahan. Saya memang ingin menikah tapi paling cepat tiga tahun lagi. Setelah saya cukup mapan." Jawabku jujur. Dalam pikiranku, bukan hal mudah menikahi seorang Kaia. Meski yakin akan membawa hubungan kami kearah sana.
"Tidak usah pesta mewah, private party saja. Saya tidak akan memaksa kamu untuk mengikuti aturan kami. Saya hanya ingin Kaia bahagia, dan tahu bahwa ia aman ditangan kamu. Saya berjanji tidak akan menanggung seluruh biaya pernikahan. Kalian bisa menggunakan uang kamu saja. Kita bisa membatasi jumlah tamu yang datang sesuai budget."
Kutatap wajah itu tidak percaya, istri dari seorang Rudy Subiantoro pemilik beberapa perusahaan besar seakan menyerahkan anaknya secara cuma-cuma padaku? Aku tidak yakin kalau ini semua gratis.
"Tapi saya minta maaf, Tan. Apakah ini ada hubungannya dengan adik saya?"
"Oh maaf, sama sekali tidak. Sebagai ibu saya hanya ingin Kaia bisa memiliki pendamping seperti kamu kalau saya tidak ada kelak. Papinya takkan bisa melindungi dan mendampinginya. Ia akan sendirian, dan terpuruk.
Mitha dan Jordy itu berbeda dengan kalian. Jordy masih kekanakan, emosinya labil. Sebenarnya dia adalah orang yang tidak peduli pada apapun dan siapapun. Mungkin salah kami mendidiknya dulu, karena memang ia adalah cucu pertama laki-laki dari keluarga kami. Saya tidak mengawasinya karena sibuk dengan diri sendiri. Akhirnya melakukan kesalahan besar dimasa mudanya. Beruntung dia bisa menemukan Mitha. Saya akui adik kamu bukan pasangan yang cocok untuk Jordy dari segi bisnis. Karena mereka memiliki tipe yang sama, yakni pasif.
Tapi dari sisi yang lain, Jordy beruntung. Mitha sangat pengertian, suka mengalah dan sangat dewasa. Sehingga saya percaya kelak mereka bisa langgeng. Saya sebenarnya khawatir, sampai kapan ia bisa seperti itu, menjadi ibu kedua bagi Jordy. Saya bukan melarang mereka menikah. Tapi diatas kertas kamu dan Kaia jauh lebih siap."
Aku tertegun menatapnya. Perempuan itu melepas kacamatanya.
"Saya tidak punya tempat untuk meletakkan tampuk kepemimpinan kelak. Jordy, Mitha dan Kaia tidak mungkin berada diposisi itu. Satu-satunya orang yang bisa saya harapkan hanya kamu. Saya bisa saja memilih orang luar, tapi tetap harus ada yang mengawasi bukan? Kamu bisa mengerti posisi saya sekarang?"
"Saya akan bicara dulu dengan Kaia, karena akan ada beberapa aturan dimana dia harus paham saat menjalani pernikahan nanti. Saya tidak menginginkan pernikahan seperti yang dijalani oleh kedua orangtua saya. Tapi bukan berarti saya sudah menyetujui apa yang tante minta."
"Saya berjanji tidak akan mencampuri urusan kalian berdua. Tapi ada satu hal lagi yang harus kamu tahu.
"Apa, Tante?"
"Berjanjilah untuk tidak berpikir dari sudut yang berbeda dengan saya. Cukup pahami dan pikirkan apa yang ada dalam benak saya. Semakin cepat kamu masuk kedalamnya, akan semakin baik. Kamu akan belajar. Tidak perlu terlalu cepat, perlahan saja."
Aku mengangguk ragu, tidak tahu harus berkata apa.
"Ada sebuah unit usaha yang selama ini sedikit terbengkalai. Tidak jauh dengan dunia yang kamu geluti. Saya ingin kamu memegang yang satu itu dulu. Saya tidak minta sekarang, tapi galilah ilmu sebanyak-banyaknya disini. Termasuk manajemennya, supaya kamu bisa menerapkan disana nanti.
Sekali lagi, ini bukan bayaran agar kamu menikahi putri saya. Tapi katakanlah agar kamu juga memiliki nilai lebih dimata orang lain. Tidak ada yang tahu kalau biro itu adalah milik saya. Awalnya milik adik sepupu, tapi kemudian ia memilih kembali bekerja di Swedia. Selama ini ada orang yang meng-handle, tapi saya rasa dia juga belum mampu. Kamu bisa mencoba proyek kecil dulu baru menggarap yang lebih besar."
"Itu sulit untuk saya." jawabku.
"Saya menyayangi kamu, sama seperti Kaia. Sekali lagi saya tidak ingin kamu dilecehkan oleh orang lain. Dimata saya tidak ada perbedaan antara menantu perempuan dan menantu laki-laki, kecuali dalam pekerjaan. Bagi saya menantu laki-laki harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Kalau perempuan memang sebenarnya kodratnya tinggal di rumah jadi bukan tulang punggung. Bagaimana?"
"Saya akan pikirkan dulu, Tante."
"Saya akan sangat menghargai keputusan kamu, dan pembicaraan kita ini, Kaia pun tidak tahu. Kalau kamu mau, boleh saja menganggap membeli biro itu dari saya. Saya akan terima uang kamu, kalaupun harus mencicil, saya tidak masalah. Yang penting kamu serius."
"Yang terakhir kedengarannya lebih baik untuk saya. Bolehkan saya nanti mengajak seseorang sebagai partner ?"
"Itu adalah hak kamu, yang penting bagi saya Kaia aman ditangan kamu." Balas Thalia Subiantoro dengan senyum mengembang.
Awalnya aku tidak yakin padanya. Tapi kini aku tahu bahwa ia adalah perempuan cerdas yang sangat tangguh dalam bernegosiasi. Ia mampu membuatku mengatakan ya tanpa terpaksa. Sangat hebat!
***
Sejak pembicaraan itu, aku mulai merubah pola berpikir. Selain melakukan tugas harian yang menjadi tanggung jawabku. Aku juga memperhatikan cara Pak Reza memimpin rapat, memerintah, menyemangati para bawahannya. Beberapakali ia memintaku untuk ikut dalam jamuan makan siang. Aku berusaha mengingat apa saja yang ia bicarakan. Termasuk detail dari sebuah argumentasi dengan para klien. Bagaimana ia bisa membuat orang lain setuju dengan gambar yang ditawarkan. Juga menjawab dengan ringkas dan jelas, meski aku tahu ia hanya meneliti gambar dalam perjalanan.
Pak Reza juga sangat professional. Ia tidak pernah melibatkan keluarga dan anak-anaknya dalam lingkup bisnis. Aku akan memulai biro dari awal. Meski belum mengatakannya pada siapapun. Beberapa minggu kemudian aku kembali ke Jakarta. Tanpa setahu Kaia, aku mengambil sedikit waktu untuk mampir ke biro yang diceritakan Tante Thalia. Tempatnya sepi dan dan terlihat hanya beberapa kendaraan yang terparkir. Tapi didalam, tidak ada orang yang tahu.
Di Jakarta aku juga bertemu dengan teman-teman lama dan mantan atasanku Pak Kemal. Tak terasa ini sudah tahun kedua meninggalkan kantor mereka. Kini akulah yang harus mengepakkan jaringan pertemanan. Agar namaku bisa dikenal orang. Beberapa teman yang tahu kalau aku sudah pindah ke Singapura, meminta untuk membantu renovasi rumah mereka. aku menyanggupi, meski artinya saat weekend aku harus bekerja keras.
Malam harinya aku kembali bertemu Kaia, kali ini kami makan malam di rumahku. Ada sesuatu yang berbeda, ia membawa sebuah kotak makanan.
"Ini apa?" tanyaku.
"Jangan diketawain, aku belajar buat rendang. Kak Awa kan suka sekali sama makanan itu?"
Aku tertawa sambil mengacak rambutnya. Kucium keningnya dengan lembut.
"Sudah siap jadi istri nih."
"Bukan siap, tapi masih belajar. Aku meniru mami."
"Memangnya mami kamu kenapa?"
"Mami itu meski kukunya panjang-panjang tapi jago di dapur. Cuma satu yang membuat aku heran, kenapa papi bisa berpaling padahal mami sudah sangat sempurna sebagai istri."
"Aku tidak tahu jawabannya, Ia. Hanya papimu yang bisa menjawab."
"Dan aku tidak berani bertanya sampai sekarang." jawabnya sambil menunduk.
"Kak Awa tidak akan melakukan seperti papi, kan?"
Aku kembali tertawa, kadang disaat seperti ini ia terlihat lucu.
"Kak Awa sih aman sebafai laki-laki. Ia mau coba malam ini?"
"Apa sih?" balasnya dengan wajah memerah. Sesuatu yang selalu kurindukan.
"Tapi kak, aku penasaran kalian ngobrol apa sih sama mami?"
"Nggak apa-apa, cuma tentang pekerjaan."
"Tentang kita?"
"Nggak terlalu banyak sih. Kak Awa boleh nanya sesuatu yang serius?"
***
Ayooooo.... Kak Awa mau nanya apa?
Happy reading
Maaf untuk typo
101020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top