37. New face

National University Hospital Singapore, Singapura

***

Entah berapa lama semalam Cindy melamun hingga tertidur. Yang dia tahu, sinar matahari sudah mengintip malu-malu di balik tirai jendela kamar rumah sakit ini, tempat di mana Claudya dirawat sekarang.

Matanya melirik jam dinding yang berada di sisi kiri ruangan. Sudah menunjukkan pukul 06.18. Cindy sudah berada di Singapura, ia tidak  mengalami banyak kesulitan untuk sampai ke sini. Saat mendarat di Singapore Changi airport, Cindy dibantu oleh seseorang yang dokter Bisma sebut sebagai 'orangnya'.

Luar biasa bapak dokter satu itu.

"Morning, my pretty twin," sapa Claudya sembari menunjukkan senyum terbaiknya.

"Hmm ... morning," sahut Cindy bergegas menghampirinya.

"I'm sorry," lirihnya tiba-tiba.

Cindy menatap Claudya lamat. "Sorry, for?" tanyanya bingung, tiba-tiba saja Claudya meminta maaf.

"For everything. Maaf karena merahasiakan ini dari lo, maaf kalau gue belum jadi adik yang baik bagi lo."

"Lo tahu semuanya? Sejak kapan?" tanya Cindy penasaran.

"Gue, sudah tahu sejak awal kita masuk kuliah. Inget waktu lo tiba-tiba pulang karena gue sakit, padahal lo masih ospek ...." Claudya menggantungkan ucapannya, seperti mengingat-ingat kembali kejadian beberapa tahun lalu.

Claudya melanjutkan ucapannya. "Gue nggak sengaja dengar, saat bunda dan ayah bahas soal ini. Mungkin saat itu mereka pikir gue udah tidur, padahal belum."

Claudya meraih tangan Cindy, genggamannya tidak begitu erat. "Tapi percaya deh, Cin. Gue, Bang Cakka, ayah, dan bunda, tulus sayang sama lo. Awalnya gue juga syok, gue kira ... bunda adalah ibu kandung kita berdua, ternyata posisi kita semua sama."

Cindy masih memperhatikan Claudya, ia menunduk dalam, tangannya sudah tidak lagi menggenggam tangan Cindy, sekarang ia gunakan untuk meremas ujung selimut. "Kita ... sama-sama kehilangan orang tua," lanjut Claudya.

Claudya menyeka sesuatu dari sudut matanya. "Gue kehilangan ibu, yang belum bisa gue ingat paras wajahnya," cicitnya pelan.

Cindy merengkuh tubuh ringkih Claudya, membawanya ke dalam pelukan. Bahunya bergetar, ia tidak mampu lagi menahannya. Dengan sedikit terisak, ia melanjutkan bercerita yang selama berapa tahun ia pendam.

"Cla, sudah, ya. Gue nggak mau nanti lo drop."

"Gue harus cerita, Cin. Gue nggak mau lo salah paham. Gue sedih nerima kenyataannya, tapi gue ... nggak mau lo juga sedih. Lo pasti, lebih sedih dari gue, kan, Cin? Itulah sebabnya gue juga lebih milih buat nyimpan rahasia ini. Sekali lagi maafin gue, Cin," ucap Claudya yang semakin terdengar lirih.

Cindy meraih tangan Claudya. "Nggak perlu minta maaf, nggak ada yang bersalah dalam hal ini. Justru gue yang berterima kasih. Gue punya saudara kayak lo, Bang Cakka. Kalian begitu baik menjaga dan ngerawat gue."

Sudah lima menit yang lalu Cindy dan Claudya saling melepaskan rasa rindu bercampur haru. Tidak lama pintu kamar inap Claudya terketuk. Menampilkan sosok pria tinggi yang—pernah mengisi relung hati Cindy—sudah hampir satu bulan tidak Cindy lihat.

Chan sudah memasuki kamar Claudya. Saat tatapan Chan menemukan keberadaan Cindy. "Cindy!" serunya.

Cindy terperanjat oleh pergerakan Chandrika, yang tak terduga sama sekali. Dan membuatnya membeku di tempat. Chan ... memeluknya.

"Gue khawatir, Cin. Lo baik-baik aja, kan?"

"Ekhem. Aku cemburu, loh," deham keras dari Claudya.

***

Acara reuni singkat dengan sahabat lama, sudah berakhir sejak beberapa saat lalu. Chandrika menghampiri Claudya dengan tergesa.

"Kamu udah bangun, Sayang."

Pendengaran Cindy tidak salah tangkap, kan? Chan tadi mengucapkan panggilan sayang.

"Sayang? Gue nggak salah dengar, kan?" Cindy menatap Claudya dan Chan bergantian.

Claudya hanya meringis, telapak tangan kirinya terangkat. Menunjukkan sesuatu ... yang dengan indahnya melingkar di jari manisnya.

Cincin tunangan.

Cindy paham dengan situasi ini. Chan sudah melamar Claudya, dan lamaran diterima Claudya.

Baru saja Cindy ingin menuntaskan rasa ingin tahunya. Namun, pintu kembali diketuk, tidak lama kemudian terbuka, menampilkan anak laki-laki dengan kaus hitam berdiri di depan pintu. Sosok yang belum pernah Cindy lihat sama sekali.

Namun, parasnya, gaya rambutnya dengan style hairs up, senyumnya, seperti tidak asing. Mirip ... Chandrika.

"Dia, adek gue, Cin. Namanya Rendy. Huang Rendy," potong Chan menjelaskan.

"Huang?"

"Ya, bokap sambung gue orang Tiongkok."

Cindy masih terpaku menatapnya, ini benar-benar seperti Chandrika versi remaja. Hanya saja, matanya lebih sipit dibandingkan dengan Chan.

"Adek lo, bisa bahasa Indonesia?"

"Tanya aja sendiri," ujar Chan.

Rendy mengulurkan tangannya ke hadapan Cindy. "Halo Kak, aku Rendy."

Oke, dia bisa berbahasa Indonesia, cukup baik pelafalan bahasa Indonesianya. Tidak seperti Chan kecil dahulu.

"Hai, aku Cindy," balas Cindy.

Cindy mengalihkan pandangannya menatap Chan. "Dia, menguasai tiga bahasa. Mandarin, Indonesia dan Inggris," jelas Chan lagi seolah mengerti apa yang ada di kepala Cindy.

"Waah, Chan. Adek lo keren, nih. Mana cakep lagi."

"Eh, eh, gue nggak mau ya punya adek ipar kek lo. Lagian adek gue mesti kuliah dulu."

"Apaan, sih Chan! Gue ngomong begitu bukan berarti nikahin dia," jawab Cindy sarkastik.

Rendy hanya tersenyum, melihat perdebatan mereka. Pintu kamar Claudya diketuk. Dokter muda dan beberapa suster masuk. Visit dokter.

"Morning," sapa dokter ini.

Dokter itu berdiri sejenak di hadapan Cindy. "Are you Cindy?" tanyanya, dengan telunjuknya ke arah Cindy. Rasanya tidak ada alasan lagi untuk Cindy mengelak.

Cindy mengangguk. "Ya, it's me," jawabnya.

Dokter itu hanya tersenyum simpul. "I'm Haechan," sambungnya. Kemudian berlalu ke arah Claudya. Menjalankan tugasnya.

Dokter muda berkacamata bulat, kulit sawo matang dengan rambut sengaja diwarnai blonde.


Cindy masih memperhatikannya. Masih bingung. Siapa dokter ini, kenapa ia bisa tahu namanya. Cindy mendekati Chandrika. "Chan, di dahi gue nggak ada tertulis nama Cindy atau semacamnya, kan?" bisiknya pada Chandrika.

Chan menautkan alisnya, menatap bingung. Cindy kembali berujar, "Kok, dokter itu tahu nama gue, Chan."

"Lo nggak tahu? Coba dilihat lagi. Nggak mengingatkan lo ke siapa, gitu?"

Cindy menggeleng pelan. Karena jujur ia tidak tahu siapa dokter itu.

Setelah memeriksa Claudya, dokter itu berbicara dengan kedua suster tadi. Cindy tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Mereka berbicara bukan menggunakan bahasa Inggris.

Kedua suster tersebut keluar ruangan, tapi tidak dengan dokter ini. Ia masih berada di kamar Claudya. Ia menatap Cindy. "Maaf, sudah membuat bingung," tuturnya.

Cindy melongo, dia berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Dia orang Indonesia?

"Kenalkan, saya Reihan Kalandra. Saya adik sepupu Bisma Kalandra," ucapnya.

Mata Cindy membola, mengingat sesuatu. "Oh, anaknya Pak Dzuhairi Kalandra?"

Dia terkekeh. "Ya, That's my dad," jawabnya.

Cindy baru mengerti maksud dari yang diucapkan Chan tadi.

***

Dokter itu sudah berlalu. Sekarang hanya ada Cindy, Claudya, dan Chan. Rendy sudah pergi kuliah.

"Cin ...." Claudya memanggil Cindy.

"hmm."

"Kata Bang Cakka, begitu lo tahu semua ini. Lo pergi dari rumah, lo ke mana?"

"Gue ke Palembang. Gue ke makam papa dan mama."

"Sendiri?" tanya Claudya.

"Niatnya, sih, begitu. Tapi gue bingung mesti dari mana. Sedangkan gue cuma tahu orang tua gue di Palembang. Akhirnya Bang Cakks dan dokter Bisma datang, nyusulin."

"Terus, Bang Cakka dan dokter Bisma ikut ke makam mama dan papa?" tanya Claudya, sedangkan Chan masih setia mendengarkan.

Cindy mengangguk membenarkan ucapan Claudya.

"Cin," panggil Claudya lagi.

"Ya."

"Gimana perasaan lo, ke kak B?"

"Ngomong apaan, sih. Prasaan apa Cla?"

Claudya belum mengutarakan lagi pertanyaannya. Dering ponsel Cindy menginterupsi. Ia melihat layar ponsel, ada foto dokter Bisma memenuhi layar ponsel. Ia melakukan panggilan video. Cindy bergegas menjauh dari sejoli ini, takut-takut mereka meledeknya.

"NGEBUCIN TERUS," teriak Chan sekaligus menyindir, yang terdengar jelas oleh Cindy meski sudah keluar kamar.

Sepertinya Chan balas dendam, karena itu ucapan yang sering Cindy lontarkan untuknya.

***

Cindy sudah berada di taman rumah sakit. Duduk di salah satu bangku taman, dengan ponsel di depan wajah.

"Iya, Dok," jawab Cindy setelah menyentuh ikon berwarna hijau.

"Kok, lama," sahutnya di seberang sana.

Dokter Bisma duduk di kursi kerjanya. Cindy melirik jam menunjukkan pukul satu siang itu berarti di Jakarta pukul dua belas.

Lagi jam istirahat makan siang. Pantas saja dokter Bisma bisa meneleponku.

"Tadi lagi di kamar Cla. Sekarang udah keluar," jelas Cindy.

"Sudah ketemu Haechan?"

"Oh, Iya. Dokter Reihan," sambung Cindy saat mendengar nama Haechan disebut. "Dok, namanya Reihan. Kenapa dokter nyebutnya Haechan?"

Cindy penasaran dengan itu, sebelum dokter Reihan memperkenalkan nama lengkapnya. Ia juga menyebut nama Haechan.

Dokter Bisma terkekeh. "Namanya Reihan Chandrawyan Kalandra, tapi sejak kecil aku memanggil namanya jadi Hanchan. Entah sejak kapan, nama panggilan itu berubah jadi Haechan, dan Reihan akan marah jika orang lain memanggilnya dengan panggilan itu. Katanya itu khusus panggilan aku untuk dia," jelas dokter Bisma, mengenai nama dokter Reihan.

Cindy mengangguk paham. "Dok, sudah makan?"

"Belum." Dokter Bisma beringsut mendekatkan wajahnya ke layar ponsel. Menopang dagu.

Cindy tertawa pelan. "Ngapain, sih, Dok."

"Cin, miss you," ucapnya pelan.

Cindy berdeham, tidak tahu harus menjawab apa.

"Kasihan ya, aku," sambung dokter Bisma lagi.

"Kenapa emang, Dok?"

"Lagi kangen, tapi kangen sendiri," celetuknya.

Cindy meringis mendengar ucapannya.

"Cin,"

"Dok, miss you too," potong Cindy, cepat-cepat mematikan sambungan telepon.

Wajahnya serasa memanas, aku malu Tuhan. Ponselnys berdering singkat, ada satu pesan yang masuk.

dr. Bisma Kalandra :
Ternyata aku tidak merindu sendiri, ya. Kamu jaga diri baik-baik disana.
.
.
.
.
.
Te be Ce
Tanjung Enim, 4 Juli 2020
Revisi : 26 Desember 2020

Salam sayang
RinBee 🐝



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top