Chapter 2

Satu tarikan napas panjang Junior lakukan sebelum keluar dari kamarnya berbekal tas ransel hitam di bahunya. Baginya, hari kemarin tidak pernah terjadi terutama tentang Raline. Gadis itu tidak berhenti memberikan perhatiannya, ucapan selamat malam, selamat istirahat, menawarkan diri untuk mengajaknya berkeliling Jakarta dan entah masih banyak lagi. Tidak penting bagi Junior. Dan hari ini dia ingin menikmati Jakarta berbekal artikel rekomendasi tempat menarik di Jakarta dan smartphone lengkap dengan powerbank.

"Selamat pagi, wow...," Anna meletakkan sepiring roti bakar begitu saja demi melihat Junior pagi ini sangat rapi, "Kamu mau ke mana?"

Junior mengedikkan bahunya, menghampiri wanita itu menyapanya dengan kecupan singkat di pipi tirus itu, "Belum tahu. Keliling Jakarta aja. Mana tahu ada objek yang menarik."

"Sendiri?" tanya ibunya sambil menuangkan segelas orange Juice untuk Junior yang sedang mengambil satu tangkup roti bakar begitu duduk.

"Hm."

"Mami temani?"

"No need. Katanya Mami mau pergi kan?" jawab Junior mengangkat wajahnya menatap ibunya dengan senyum samar, meyakinkan ibunya bahwa dia benar tidak butuh teman.

"Hati-hati. Kabari Mami kalau ada apa-apa," ucap ibunya mengalah, menepuk lembut bahu lebar itu. Junior hanya mengangguk singkat, menekuni sarapannya.

Bukan suatu hal baru yang perlu ditakutkan bagi Junior untuk bepergian ke tempat asing seorang diri. Dia sudah sering melanglang sendiri meski terkadang dengan teman satu komunitasnya, HoldLight SP. Tak jarang dia mendapatkan kesulitan atau mengalami hal buruk seperti kameranya nyaris dijambret. Atau bertemu preman.

Resiko fotografer jalanan memang tinggi. Keberanian dan mental yang kuat sangat dibutuhkan untuk yang benar-benar ingin serius menekuni profesi tersebut. Junior sudah tahu itu. Sikap dingin dan irit bicara yang dia miliki sepertinya menguntungkan dirinya. Terbukti lewat thropi dari setiap kontes yang dia ikuti.

Begitu selesai sarapan, Junior bergegas pergi ketika taksi online yang dia pesan sudah datang. Hari ini dia berencana mengunjungi Gandaria City Mall, salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Dia membaca ada acara festival mie di sana di sebuah artikel media sosial. Aktivitas publik sejenis festival Mie selalu diburu fotografer jalanan karena menyimpan banyak objek cerita di sana.

"Junior, mau ke mana pagi-pagi?" tanya seorang wanita yang baru turun dari mobil ketika melihat Junior melangkah cepat meninggalkan rumah besar itu.

Junior menahan napasnya, menghentikan langkah sejenak. Menatap wanita yang tersenyum ramah padanya. Tidak tahu kenapa mereka harus datang sekarang bukan nanti saja ketika dia sudah pergi.

"Hai, Dil. Udah datang? Sebentar ya? Junior nggak tahu tuh mau kemana. Mungkin cari objek foto," seru Anna dari ambang pintu, segera menghampiri ketika mendengar deru mobil di halaman depan rumah.

"Sendirian? Nanti nyasar gimana? Mending diantar sama Raline aja. Line, bisa kan antar Junior?" Wanita itu menoleh pada anaknya.

"Bisa. Mau kemana emang?" jawab Raline antusias. Menemani Junior adalah angin segar bagi Raline.

"Nggak usah. Junior biasa pergi sendiri. Nanti kalau ada apa-apa biasanya langsung telfon aku kok. Tunggu sebentar ya," tolak Anna dengan cepat. Anna menghargai perasaan anak pertamanya itu. Jangan sampai rasa tidak suka karena risih itu berganti dengan benci.

"Ini Jakarta, Ann. Beda dengan di sana," sanggah Dila bernada khawatir.

"Nggak apa-apa. Dia cowok harus berani. Junior, taksimu udah datang. Jangan bikin driver menunggu, hargai juga waktu dia," tutur Anna menunjuk pada taksi oline yang terparkir di depan gerbang dengan dagunya.

Junior mengangguk samar kemudian bergegas seiring dengan hembusan napas lega. Tidak salah, ibunya memang sempurna dan selalu menepati janjinya. Termasuk untuk tidak melupakan kalau Junior tidak suka Raline mendekatinya. Bukan apa-apa, Junior hanya berusaha jujur bahwa dia tidak memiliki perasaan atau sekedar tertarik sedikitpun pada gadis itu.

Mungkin memang caranya terlalu frontal. Tapi untuk seseorang seperti Junior, mungkin hanya itu cara yang terbaik. Karena sikap hangat seseorang bisa saja menjadi salah arti tergantung dari sudut mana memandang. Dan Junior tidak ingin Raline menyalahartikan respon hangatnya. Pasti gadis itu akan mengira kalau Junior memberikan harapan. Enam belas tahun bukan waktu yang singkat kan?

Raline: Kamu mau ke mana? Aku susul ya, takut nanti kamu nyasar. Aku hafal kok daerah Jakarta.

Raline: Hei, serius. Aku on the way.

Junior mengembuskan napas panjang. Memasukkan kembali ponselnya di saku celana tanpa membalas pesan gadis itu. Tidak mengerti, kenapa tidak ada yang bisa menghargai bahwa Junior benar-benar ingin sendiri. Dia bukan anak kecil yang akan menangis jika tersesat.

"Mau saya antar sampai di Lobi dalam, Mister?" tanya Bapak sopir dengan sopan melirik pada kaca kecil.

"Saya turun di Lobi Utama saja," jawab Junior. Dia mampu berbahasa Indonesia dengan baik meski aksen bicaranya tidak mendukung.

Bapak sopir itu mengangguk, memasuki area Pusat Perbelanjaan itu berhenti di depan Lobi Utama. Junior segera turun setelah membayar tagihan perjalanan. Menatap sejenak Mal itu sebelum memutuskan untuk masuk. Masih terbilang sepi karena baru dibuka lima belas menit yang lalu.

"Tempat yang lumayan menarik," gumam Junior ketika menjumpai icon pop art di pintu masuk, Great Gigantic Pumpkin.

Junior segera mengeluarkan Canon Mirrorlessnya untuk mengambil objek penuh artistic itu. Tangannya menekan tombol shutter begitu mendapatkan angle yang pas, mengambil objek itu beberapa kali. Terakhir dia berhenti, terdiam ketika seorang gadis berhenti di depan patung itu menoleh padanya dengan ekspresi terkejutnya tepat saat tombol shutter itu ditekan.

"Sorry," katanya meringis kemudian kembali melangkah begitu saja. Seperti sengaja menjahilinya.

Junior hanya mengembuskan napas, menggeleng singkat lalu mengambil satu gambar terakhir. Dia kembali berjalan menelusuri ground floor Mal itu. Mendapati banyak icon pop art, mulai dari lambang perdamaian, patung kaws, perempuan menaiki kuda, sampai dia menemukan Icon Pop art Love yang pernah menjadi perangko di Amerika Serikat.

"Ya, kenapa, Mam?" sapa Junior sambil menutup lensa kameranya, menjawab panggilan telpon dari ibunya.

"Kamu di mana?"

"Gandaria..."

"Oya? Lantai berapa? Mami baru sampai di Gandaria sama Tante Dila."

Junior tidak langsung menjawab. Dia menyandarkan tubuhnya di dinding berlatar guratan kayu warna putih gading.

"Junior? Oke, Mami lihat kamu. Arahkan matamu ke kiri," perintah wanita itu. Tangannya melambai tinggi ketika Junior mengikuti arahannya.

Junior tersenyum tipis, menghampiri ibunya. Selalu cantik dengan apapun yang dipakainya. Kali ini mengenakan celana jeans dengan atasan putih tanpa lengan. Sementara rambut hitamnya tergerai bebas menutupi punggungnya. Yang membuat Junior tersenyum tipis bukan karena kedatangan ibunya. Tapi karena wanita itu sendirian.

"Udah berapa gambar yang kamu dapat?" tanya wanita itu menyambut Junior.

"Sedikit."

"Ada festival Mie di Ground Premium Parking. Kamu udah ke sana? Temani Mami yuk, mana tahu nanti kamu dapat banyak gambar bagus."

"Mami sendiri?" tanya Junior memastikan lengkap dengan tatapannya.

"Sendiri. Tante Dila sama Raline lagi belanja. Ada banyak discount katanya."

Jangan ditanya lagi kalau sudah berhubungan dengan discount. Setidaknya kali ini Junior bisa bernapas lega.

"Ranselmu sini Mami yang bawa biar kamu gampang ambil gambarnya. Tapi tas Mami masukin ke ransel kamu ya?"

"Boleh. Thanks, Mam," sahut Junior. Sesaat dia mengamati Ibunya yang menggendong tas ranselnya begitu nyaman. Melangkah tanpa beban lalu menoleh ke belakang ketika menyadari Junior tidak di sisinya.

Sudut bibir Junior terangkat menyadari mendapatkan objek sempurna di tempat yang pas. Berjalan di deretan toko berhias manequin. Dengan cepat Junior menekan tombol Shutter. Canon EOS M6 hadiah kontes yang dia menangkan setahun yang lalu itu tidak berhenti memuaskannya. Bekerja sangat baik menangkap momen pas dengan cepat.

"Hei, kamu foto Mami lagi?" tuding ibunya ketika Junior melangkah cepat menyusulnya.

Junior mengedikkan bahunya, "Always perfect."

***

Kening Junior kembali mengernyit ketika kameranya menangkap gambar gadis yang sama untuk kedua kalinya. Kali ini di tengah riuhnya festival Mie. Gadis itu tertangkap sedang melahap semangkuk mie dengan sumpit kayu sambil berjalan. Satu matanya mengedip padanya. Jelas sekali dia sadar kamera. Seketika Junior merasa gagal menjadi fotografer andalan di komunitasnya.

"Junior, kamu mau coba nggak? Ini Bakmi, di rumah nggak ada yang jual beginian kalau kamu nggak ke restoran masakan asia," tutur Ibunya mendekat, membuyarkan lamunan Junior mengenai foto gadis di kameranya.

"Enak?"

"Makanya cobain dulu," ucap Ibunya sambil mengulurkan Bakmi yang terjepit sumpit itu ke mulut Junior.

Krek! Telinga Junior menangkap adanya bunyi kamera ponsel. Dia menghentikan kunyahannya, mendadak waspada.

"Enak?" tanya Ibunya penasaran ketika Junior mengunyah pelan.

"Hm. Mami benar sendiri kan?" tanya Junior pada tingkat kewaspadaannya.

"Sendiri. Kenapa?"

Junior menggelengkan kepala. Matanya kemudian menelusuri setiap titik tempat festival mie itu. Seperti tidak percaya, mendapati gadis yang tertangkap kameranya tersenyum menahan senang menatap ponsel di tangannya. Lalu terdiam kaku ketika matanya bertemu dengan tatapan Junior. Terlihat buru-buru memasukkan ponselnya lalu kembali bersikap biasa, melanjutkan makannya.

"Junior?"

"Ya. Kalau udah selesai kita pergi dari sini," ucap Junior tergagap.

"Kenapa?" tanya ibunya mengernyit.

Junior melihat jam di tangannya. Lalu tersenyum singkat pada ibunya. Tangannya merangkul bahu wanita itu, mengajak untuk meninggalkan festival Mie. Dia tidak ingin berada di sini lama. Lagipula besok dia bisa kembali ke sini, tidak jauh dari rumahnya.

"Plaza Sudriman dekat nggak dari sini?" tanya Junior memastikan.

"Sudirman, bukan Sudriman," ralat ibunya terkekeh geli.

"Ya itu. Atau Tebet?"

"Tebet, vokal e-nya kayak kamu ngucap sekali 'se'," ralatnya lagi membuat Junior menggeram tertahan. Begitu sulit dia mengucap nama-nama tempat di sini.

"Ya, itu."

"Dekat. Kamu mau ke sana? Tapi nanti abis makan siang aja ya? Mami janji mau makan siang sama Papi kamu di Shaburi."

"Shaburi?"

Ibunya mengangguk. Ayahnya memang sudah lama di Jakarta mengurus perusahaan Kakek Junior. Kantornya berada di daerah Thamrin. Setiap tiga bulan sekali pasti ayahnya pulang ke Aussie untuk melepas rindunya.

"Iya. Gimana?"

"Oke."

Sementara sambil menunggu jam makan siang, kali ini Junior memutuskan untuk mengikuti langkah ibunya. Menelusuri deretan toko brand-brand ternama. Bukan untuk belanja tapi menjadi fotografer ibunya. Kalau dulu, saat Junior masih awal belajar mengenal kamera dia harus memaksa ibunya untuk menjadi objek percobaannya. Sekarang, Ibunya yang sering memaksa untuk minta di foto.

"Orang cantik itu bebas."

Begitu slogan candaannya untuk membela diri ketika Junior mulai memprotes sudah begitu banyak foto yang terambil. Meski sebenarnya dia membenarkan slogan candaan itu.

"Ayo, Papi udah mau nyampe. Kita pesan dulu biar pas Papi datang, makan siang udah siap. Kasihan jam istirahatnya nggak lama," ujar Anna kali ini menggeret tangan Junior menuju eskalator ke lantai Upper Ground begitu menyadari waktu sebentar lagi berada tepat di jam 12 siang.

"Ah iya lupa. Kayaknya Mami perlu ngasih kabar Tante Dila dulu biar nggak cari Mami," lanjut ibunya.

Sementara Junior hanya mengangguk singkat. Jemarinya sibuk menyentuh LCD kamera, melihat kembali semua hasil fotonya pagi ini. Bibirnya tersenyum samar. Lagi, ibunya mendominasi foto-foto itu. Lalu tatapannya terhenti pada sebuah foto di depan stand Mie Yamin dengan objek seorang gadis sadar kamera. Konyol tapi itu lucu natural sekalipun membuatnya merasa gagal menjadi fotografer jalanan. Di mana mereka mengambil objek diam-diam demi cerita menarik yang tertuang dalam foto itu.

"Itu siapa?" tanya Ibunya ikut menatap gambar itu.

"Nggak tahu. Asal foto," jawab Junior ringan.

"Cantik. Kayaknya lucu orangnya," ucap ibunya menilai.

Junior memilih tidak menyahut. Tidak ada penilaian lain selain menangkap gambar dari objek yang menarik di momen yang tepat. Seperti saat dia mengambil seorang pria tua dengan celemek tertawa sambil meniriskan mie di antara uap mengepul dari panci besar yang tertanam di gerobaknya seperti sangat menikmati pekerjaannya.

"Omong-omong kamu mau cari apa ke Plaza Sudirman?"

"Hah? Itu, warunk Upnormal. Semalam searching di Google. Kayaknya bagus tempatnya."

"Tapi nggak bisa sampai malam ya, Jam 7 malam acara Mami mulai dan kamu harus ikut. Sayang dua adikmu itu sibuk jadi nggak bisa ikut," ujar Anna. kedua adiknya memang sedang sibuk. Levine yang ikut kelas akselerasi di Senior High School dua tahun lalu, saat ini sibuk bimbingan skripsi untuk kuliahnya. Sementara Kyle sedang sibuk belajar untuk ikut ujian kelulusan.

"Oke," jawab Junior sambil menutup kembali lensa kameranya. Membiarkannya menggantung di lehernya.

"Anak nakal, apa saja yang udah kamu potret hari ini?" sapa seorang pria yang mirip dengannya. Rambutnya sudah berhias cukup banyak uban. Tubuh tinggi dengan bobot sedang itu melangkah cepat menghampirinya.

Semalam Junior tidak sempat bicara banyak karena ayahnya banyak pekerjaan. Dia tertawa singkat menyambut kedatangan ayahnya.

"Selalu Mami," jawab Junior apa adanya.

"Papi bilang lain kali jangan bawa ibumu. Ayo, makan siang. Sayang, Papi nggak bisa lama. Nggak apa-apa kan?" pria itu bergantian menatap Anna dan Junior.

"Tenang aja. Yang penting nanti malam bisa datang," jawab Anna dengan tatapan mengintimidasinya membuat pria itu terkekeh.

"Ya. Pasti datang," jawab pria itu dengan yakin.

Sesaat Junior terkesiap. Matanya kembali menangkap sosok gadis itu berjalan dengan seorang laki-laki dan perempuan. Saling berderai tawa di antara langkahnya. Sekilas Junior menangkap kelingan mata dari gadis itu. Satu pertanyaan yang terlintas di benak Junior, mengapa dia harus berada di seluruh penjuru Mal ini? Bahkan sejak Junior datang langsung disambut adanya gadis itu di depan patung Labu kuning dengan motif polkadot hitam, salah satu karya seniman ternama, Yayoi Kusama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top