CHAPTER I
You know, I think childfree ideas are great.
Oh easy, aku tidak membenci dua manusia mungil ini, mereka hanyalah manusia polos yang tidak tahu tujuannya apa hadir di dunia—oh atau mereka sebenarnya tahu? Aku hanya ... well, sedikit menyesali kehadirannya. Mungkin itu terdengar jahat bagimu, tetapi sekali lagi aku tegaskan, aku tidak membenci mereka. Biar gimana pun, aku dan mereka memiliki beberapa hal yang sama; darah kami salah satunya.
Ini tentang ... apa ya? Gimana aku mau menjelaskannya supaya semua clear dan tidak ada salah paham yang berujung memojokkanku. Okay fine, biar aku jelaskan lebih dulu rumusan masalah di sini, supaya kamu sedikitnya ... ya sedikit aja mengerti.
Aku berusia 23 tahun, aku membayangkan kehidupan yang menyenangkan, bukan malah terjebak dengan dua manusia mungil yang bahkan belum bisa melakukan apapun sendiri. Kamu mungkin akan bilang di luar sana ada banyak perempuan hebat seusiaku yang sudah berhasil merawat dan membesarkan anak-anak. Tapi itu bukan aku! Dan ini bukan anakku, okay?
Mereka berdua ... King dan Queen adalah adikku. Well, adik tiri.
Um, kita bisa bahas ini nanti? Kepalaku gatal dan aku rasa—oh there you go! Suara pecahan dari dapur membuat kepalaku seketika berputar dan aku meminta pada Tuhan untuk melayang detik ini juga. Aku tidak siap dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Wajah polos itu, menatapku penuh dengan penyesalan. "Uthi, maaf." Dia buru-buru berjongkok dan bersiap membersihkan—
"Wait, noo, stopp!" Aku membeku di tempat berdiri, tentu dengan sebelah tangan menggendong Queen yang kemudian menangis kencang karena mungkin teriakan hebohku. "Okay, Sweety. Maaf karena ngagetin kamu, yaa. Cup cup cup." Sejak mengenalnya, aku jadi lebih sering menggoyangkan badan ketimbang saat konser. Ofkors tujuannya beda, goyang badan yang ini adalah untuk menenangkan manusia kecil. Aku bergantian menatap adikku satunya. "Okay, Buddy. Jangan disentuh nanti tanganmu luka. Biarin di sana, Uthi yang akan beresin. Come here."
"Maaf, Uthi. Aku tadi mau ambil minum, terus tanganku gini."
"It's okay. Come here." Aku menidurkan kembali bayi di sofa lebar, kemudian meminta King untuk menjaga adiknya. Selagi aku akan membereskan kekacauan yang ... mungkin sudah ke seribu mengingat perjalanan hari-hari kami di rumah ini.
You're right, di rumah ini hanya ada aku, King, dan Queen.
Maksudku adalah di hari dan jam kerja.
Begitu pula kehidupanku, ada jamnya.
Aku merasa Senin-Jumat, dari pukul 08.00-17.00—tidak selalu tepat karena kemacetan di jalanan, you know—aku bukanlah aku, melainkan seorang babies sitter. Sepertinya, aku mengerjakan tugas baby sitter jauh lebih baik dari baby sitter itu sendiri. Aku satu, merawat dua langsung. Hidupku akan kembali, ketika Papa dan Bunda pulang, kemudian mengambil alih semua ini.
Saat itu lah, aku akan keluar rumah, menikmati waktuku sendiri. Biasanya, duduk di lapangan basket yang ada di taman komplek. Ini sebenarnya tidak bisa disebut tempat spesial, karena kadang, pagi-pagi, aku juga membawa kedua adikku jalan-jalan ke sini di saat Papa dan Bunda bersiap ke kantor.
Di mana baby sitter sungguhannya kalau begitu?
Ada, di rumah orang yang mempekerjakan mereka. Yang jelas bukan di rumah kami. Bayaran untuk baby sitter terlalu mahal, uangnya bisa untuk keperluan yang lain. Lagipula, kan, ada baby sitter gratis, kenapa harus membayar?
Oh bukan, aku bukan mau menceritakan keluarga kami adalah keluarga miskin yang mau makan aja susah. Semuanya cukup, tetapi tidak berlebihan sampai Papa dan Bunda merasa perlu membayar baby sitter sementara aku aja kerjaannya di rumah.
Selain alasan uang, tentu karena Bunda yang cantik itu sangat ahli dalam melakukan segala hal, sehingga orang lain terlihat tidak becus. Ummm, aku tidak dalam mood yang baik untuk membahas keluargaku, yang mau kulakukan sekarang adalah menatap langit dengan bintang ala kadarnya, sesekali pesawat lewat— "ASTAGFIRULLAH!"
Kita berhenti dulu di sini obrolannya, ya? Sekarang ada penginterupsi nih. Cowok ganteng yang terlihat sedang mengatur napas, berjongkok beberapa langkah dariku. Ofkors setelah tadi dia memberiku senyuman penyesalan dan sebelah tangannya menyapa, entah maksudnya apa pulak.
Jogging malam-malam, kusebut dia cowok keren dan rupawan.
"Nyari apa di langit, Kak?"
Dengar pertanyaan konyol itu, aku langsung menoleh lagi. Menatapnya yang sekarang sudah duduk dengan kaki terjulur di depan. Dia membenarkan legging dalamnya sebagai lapisan dari celana pendek olahraga itu.
Kan, kubilang apa, memang dia niat jogging dengan pakaian yang proper.
Malam-malam.
Aku tertawa pelan. "Cari kebebasan, eh baru sadar kebebasan bahkan nggak ada meski setelah kematian."
"Udah pernah coba?"
"Mau cobain bareng?"
Dia tergelak. "Masih banyak utang nih saya, takut bukannya bebas, malah makin dikejar-kejar di sana."
"Pinjol?"
Ia meringis. "Muka saya keliatan muka kekurangan uang ya?"
"Sedikit."
Kami sama-sama tertawa.
"Utang skripsi, bayar kost, utang puasa aja belum."
Mati kau. Diingatkan lagi deh sama utang puasa. "Ngekost di sini?"
Kepalanya mengangguk. "Pasti nggak tau kan kalau di komplek sini banyak kost-kost-an?"
"Kok bisa mikir gitu?"
"Kebanyakan emang gitu. Kost di sini nggak keliatan kayak kost-kost-an, kata orang-orang. Saya duluan, Kak."
"Okay, semoga nggak pingsan dan utangnya segera lunas.
Aku sempat mendengarnya tertawa, sebelum dia kembali berlari melanjutkan kegiatannya. Aku pun sama, langit di atasku masih terlihat indah untuk kupandangi. Lagipula, aku belum siap buat pulang nih, yah paling enggak sampai Satpam patroli dan menyapa, barulah aku pulang.
Eh sekarang aja deh, pengen pipis tiba-tiba.
***
Kamu mungkin pernah dengar kalimat yang bunyinya begini:
Orang yang memiliki banyak teman adalah orang yang sebetulnya tidak memiliki teman.
Aku agak setuju, mungkin banyak setuju dengan kalimat itu. Sudah kubilang kalau aku memiliki dua kehidupan yang seolah berbanding terbalik. Kehidupanku di luar terlihat sangat ramai dan hidup yang dimau beberapa orang. Seenggaknya mereka bilang gitu lewat komen atau reply story di Instagram-ku.
Umm ... tapi sebenarnya aku tidak punya siapa-siapa yang kupercaya untuk menceritakan hal-hal yang ada di kepalaku. Setiap kali aku bercerita, mereka akan bilang aku menjalani hidup terbaikku. Meski orangtua bercerai, tetapi aku memiliki papa yang tampan dan ibu tiri yang cantik dan baik. Oh ofkors nggak boleh lupa dua manusia mungil yang harusnya aku syukuri banyak-banyak.
Selalu ada pembanding untuk setiap ceritaku. Ada banyak orang di luar sana yang untuk makan aja susah. Untuk kuliah harus mencari biaya sendiri. Harus tinggal sendirian tanpa orang tua blah to the bleh to the blah.
Adu nasib sialan.
Aku paham, selalu ada cerita yang kurang ngeri dari ceritaku, juga ada yang jauh lebih ngeri. Tapi itu semua nggak bikin ceritaku jadi less worth it untuk didengar, kan?
Yaudahlah, intinya, aku tidak membenci teman-temanku.
Mereka semua ada untuk bagian tawa-tiwi yang cukup menghibur. Semua isi kepalaku, biarlah aku yang menanggungnya sendiri.
"Bisa nggak sih nggak bahas skripsi dan printilannya pas bareng sama Uthi? Empati dikit bisa kali." Samuel, si paling perhatian urusan skripsi.
"Udah biasa dia mah. Udah kebal. Lo mau bahas apa aja diembat sama Uthi. Dah berapa taun ini jomblo, Thi?"
Sherin, si cantik yang selalu memakai pashmina.
Cewek Arab, kalau kami menyebutnya, tanpa bermaksud apa-apa ke hal buruk, okay???
Awas kamu salah paham melulu.
Chill aja lagi, hidup penuh drama, jangan serius-serius amat lah.
"Nanti gue kirimin link video TikTok pembuka aura. Semoga ya, Tuhan maha mengabulkan doa." Cecilia, mengerlingkan sebelah mata.
Aku memutar bola mata.
"Eh tapi lo beneran masih jomblo, Lek?" Sam, yang juga adalah orang ngeselin dengan selalu kasih nama panggilan ke orang lain, sesukanya.
Coba tebak, apa 'Lek' yang dia maksud tadi?
Jelek.
Mati aja enggak sih orang kayak dia?
"Cariin gue laki dong, Sam. Yang sempurna dan bisa bawa gue hidup di New Zealand gitu. Jangan sekitaran BSD mulu, capek banget sama wifi bermasalah terus."
Mereka terbahak-bahak.
"Pindah dong makanya, ke Alam Sutera." Cecilia menyeringai.
"Ke Bintaro aja kaleeee udah proven daerah idaman semua umat." Sherin, memberi testimoni lengkap dengan jempol bapak-bapaknya.
"Ya nanti tinggal milih, sekarang hidup di kost-kost aja dulu." Sam terpingkal entah buat apa pulak. "Katanya miskin nggak pa-pa yang penting ganteng."
"Kata siapaaa????" teriakku dan Sherin berbarengan.
"Lah bukannya ciwi-ciwi gitu, yaaa. Atau yang penting tajir tapi jelek nggak pa-pa."
Aku mendengus. "Bisa nggak sih jangan suruh mendang-mending? Yang sempurna gitu, lho."
"Tuh, setuju." Sherin menambahkan.
"Yaudah yaudah. Tengah-tengah deh aman." Cecilia, yang memang tak menyukai keributan.
Tidak seru.
"Dia tampang sih mayan, duit sebenernya mayan duit bapaknya. Tapi dia lagi mau dididik militer gue rasa, suruh idupin diri sendiri anjir bokapnya nekat bener. Nih lo liat dulu IG-nya, Lek."
"Loh beneran toh?" Aku menatap teman-teman yang lain kebingungan.
"Lahiya. Cecil udah ada Koko Dion, Sherin udah ada Izzam yang maha sempurna, lo apa kabar? Gue mau bantu, Lek, katanya pahala gue bakalan gede. Mayan." Dia terkekeh menyebalkan. "Nih cepetan liat."
Goga Abinawa.
Isi Instagram-nya tidak ada yang spesial tapi tidak jelek-jelek amat. Normal manusia pada umumnya. Ada beberapa postingan yang isinya suasana coffee shop, foto jalanan di malam hari, beberapa buku, dan foto manusia yang kemungkinan dia dan teman-temannya.
"Oke nih," celetukku yang ternyata membuat Sam merasa perlu bertindak detik itu juga. "Oke maksudnya bukan ber—"
Percuma, dia sudah memanggil salah satu waiter dan meminta untuk memanggilkan 'Goga'.
Aku menatapnya ngeri. "Dia di sini, Sam????"
"Lahiya. Bukannya di grup gue bilang di cafe temen gue."
"Di kafe temen sama di tempat temen lo kerja beda artinya yaaaaa anjir." Sherin menunjukkan bogem.
Sam malah nyengir.
Kalau ada yang bilang ingin teman seperti Sam, percaya deh sama aku, careful what you wish for. Karena ini terasa seperti perdagangan manusia, atau paling sederhana adalah perjodohan. Tak ada persiapan apa-apa. Aku yakin temannya si Goga-Goga itu pun pasti merasa terjebak dan—there he is! Menatap bingung ke arah kami semua.
"Go, lo masih jomblo, kan?"
"Hah?" Ofkors dia kebingungan! Dia terlihat manusia normal. "Sam, gue nggak ada waktu buat ngikutin game tolol lo itu, ya!"
"Game tolol apaan sih, nih liat temen gue!" Dia menunjukku, aku refleks nyengir sambil melambaikan tangan. "Dia—"
"Wait," potongku cepat. Kayaknya aku kenal nih orang. "Anak kost yang jogging malam-malam di komplek Buana Merdeka, itu elo, bukan?"
Matanya memicing, kemudian dia tertawa kecil sambil menggaruk belakang kepala. "Eh udah dapet kebebasan dari langitnya?"
Aku menatapnya masam, kulirik wajah teman-temanku melongo bego. Beneran melongo bego, aku tidak menambah-nambahkan.
"Gue tau rumah lo di BSD, tapi kok bisa kalian satu komplek?" Sam, menunjukku dan Goga-Goga itu kebingungan.
Aku mengangkat bahu.
Mana kutahu.
Ah, kehidupan di luar rumah memang penuh kejutan dan tak pernah membosankan. Boleh nggak sih aku nggak mau pulang dan menginap di kafe ini aja?
---
liat cowok ganteng lagi ngos-ngosan abis jogging tuh yaaa. tapi inget harus ganteng😩😭🧎🏼♀️🤲🏽💪
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top