CHAPTER 9
"Hey! Gimana tadi sekolahnya?"
Pertanyaan itu kayaknya sudah jadi template dalam hubunganku dengan King deh. Aku bahkan nggak tahu perasaan sesungguhnya dia gimana dengan pertanyaan itu. Tapi, kalau dilihat dari luar sih, dia kayaknya suka-suka aja. Soalnya, biasanya dia akan jawab pertanyaan itu dengan beragam ekspresi dan deskripsi, sesuai dengan apa yang dia rasakan dan lakukan di sekolahnya.
Dia masih TK, by the way. Kalau kamu penasaran.
Nah, karena aku nggak memungkinkan untuk antar-jemput dia, sementara Bunda-Papa bisanya ya mungkin cuma antar, mereka memanfaatkan satu mobil yang telah disepakati untuk mengantar-jemput anak-anak. Maksudku, Bunda punya grup yang isinya ibu dari anak-anaknya yang diantar-jemput pakai mobil sewaan ini.
King aman, Bunda-Papa tenang, aku senang.
"Ummmm, jadi, waktu dikatain temen Abang rambut Abang kribo, Abang gimana? Atau jawab apa?"
Dia tersenyum malu-malu. See? Gemas maksimal. Dua manusia kecil ini ditambah Cipung adalah keberkahan yang ada di dunia di tengah semrawutnya jagat raya ini. "Abang bilang rambutku kribo nggak pa-pa, tapi aku punya Bunda. Dia yang masakin Mbak-nya, Uthi. Papanya nggak punya Bunda."
Aku menelan ludah.
Ummmm, aku nggak paham dengan dark jokes untuk kalangan anak-anak, dan aku takut banget responsku salah. Jadi, yang bisa kulakukan adalah tersenyum tipis, mengelus lengannya. "Abang seneng ada Bunda?"
Kepalanya mengangguk.
"Berarti temen Abang sedih nggak ada Bunda. Dan, sedihnya nggak ada Bunda itu nggak baik dikata-katain, dia pasti nangis sampe rumah. Kasihan, kan?" Melihat ekspresinya berubah sedih, aku buru-buru menambahkan. "Teman Abang pasti mau punya Bunda. Jadi, besok Abang minta maaf karena bilang dia nggak punya Bunda. Okay, Bud?"
"Okay, Uthi."
"Nah, kalau dia ngatain rambut Abang lagi, Abang katain rambut dia. Bilang aja, rambut nggak kribo belum tentu lebih keren dari Abang." Aku ikut tersenyum melihatnya tersenyum. Ya amplop anak zaman sekarang sudah mengerti pujian. "Abang itu paling keren, buat Uthi, Papa dan Bunda. Omongan orang soal rambut Abang nggak penting. Rambut mah gampang diurus, okay?"
Dia tersenyum lebar, menganggukkan kepala.
"Sekarang ayo makan siang, main sebentar, terus bobo, ya?"
"Iya, Uthi. Adek mana?"
"Adek lagi bobo."
King memang belum bisa melakukan apa-apa sendiri, tetapi dia sangat kooperatif dan helpful, itu sudah lebih dari cukup. Setiap diminta memilih bajunya sendiri, dia akan semangat memilah-milah. Saat akan dibantu membersihkan diri, dia juga tidak pernah mengeluh atau tantrum. Saat makan, dia menyenangkan. Bagian sulitnya hanya satu dan tidak ada apa-apanya dibanding kemudahan mengurusnya; membangunkannya dari tidur.
Mungkin itu kenapa, meski kadang mengeluh dalam mengurus dua bocil, aku tetap bisa meninggalkan mereka di tempat penitipan anak atau pengasuh beneran. Karena, sebanyak apa pun barang berantakan, secapek apa pun aku, melihat mereka berdua tidur tuh damai banget.
Ini bukan berarti aku selalu sebahagia ini, ya?
Ada masa—sering juga malah, hehe—aku rasanya pengen teriak dan bilang kenapa Papa menikah lagi dan harus punya anak langsung banyak! Kenapa aku nggak ikut aja Mama dan terbebas dari tugas pengasuh ini? Atau kenapa aku nggak memutuskan untuk tinggal sendiri aja, jauh dari semuanya?
Ya, semua pemikiran sinting di dalam kepala cewek sinting memang masuk akal.
Tepat saat King sedang menikmati makan siangnya, Saki mengabari kalau dia sudah memasuki komplek. Rasanya masih agak aneh menyadari hubungan kami sudah berjalan mau dua bulan—dia juga sudah sidang, lho! Tinggal nunggu wisuda yang jedanya memang agak lama—, dan ... semuanya berjalan seperti yang kumau. Pelan-pelan, jangan terlalu maksa semuanya harus terlihat dan yakin sekarang. Aku pelan-pelan mengenalnya—oh FYI aku sudah tahu makanan favoritnya selain snack gonjreng itu! Dia ternyata suka sekali dengan sup ayam, huhu gemas. Comfort food Saki banget deh kayaknya.
Bagian menyenangkannya adalah ... aku tahu itu bukan karena interview. Itu kenapa aku bilang semua berjalan seperti yang kumau. Tidak ada interview mengerikan seolah calon pasangan mau menentukan kapan hidup dan mati, serem, Boss! Dia bahkan mungkin nggak sadar setiap chat atau telepon, aku random tanya dia sudah makan belum. Jawabannya nyaris selalu sup ayam, ngakak banget. Yang nanti sayurnya pakai brokoli, bunga kol, jagung, macam-macam dia sebutkan.
Aku terlalu gadis ayam geprek untuk dia yang suka makan sayur, huhu.
"Baaaaa!" seruku kelewat semringah, menyambutnya yang sudah berdiri di depan pintu. Aku kayaknya nggak perlu menjelaskan pakaian yang dia kenakan setiap kami bertemu, ya? Karena memang akan itu-itu aja. Polo shirt dengan warna yang nggak jauh-jauh dari putih, hitam, navy, abu. Muter terus itu. Celana kain warna-warna gelap, kalau nggak panjang ya selutut. Kali ini yang kedua. "Macet, ya, tadi?"
"Dikit."
Aku ketawa. "Kalau yang banyak sih porsi makan gue." Aku melihat dia tersenyum sambil menggeleng-geleng kepala. "Itu apa?" tanyaku saat melihatnya menyodorkan kotak makanan. "OMG! Ayam geprek! Demi apapun, Saki, gue baru mbatin tuh makanan, cling sekarang ada. You are the best. Thank you."
"My pleasure. Ini jajan buat King, aman buat anak-anak, kok, udah diseleksi Mama."
Aku tertawa geli. "Emang bener, yaaa, keluarga lo tuh antiiiiiik, tapi maaf, belum mampu bikin gue sesiap itu main ke sana. Lo masih sabar, kan, Ki?"
"Masih, kok."
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Pertanyaan selalu sama untuk Saki kalau kita lagi ngobrol random di telepon atau chat atau bahkan ketemu: "Jujur sama gue, lo tuh kayaknya yang penting punya pacar deh. Cewek sinting kayak gue aja lo mau." Jawaban dia selalu sama. "Aku suka kamu dari awal liat fotomu, terus liat langsung, terus ngobrol. Bahkan kita cuma diem aja, aku suka momen itu."
Aku cuma ngeri sama apa yang akan terjadi kalau dia semanis ini. Hey, nggak usah ngatain aku berburuk sangka apalah-apalah, tapi coba deh, kamu juga pasti begitu, kan? Saat seharian atau beberapa hari hidupmu aman dan damai, rasanya malah aneh. Malah deg-degan ini bakalan ada apa, ya?
Tapi, semoga enggak.
"Hey, Buddy!" sapanya pada King yang kalau makan lamanya mirip sama proses skripsiku. "Makan sama apa?" Bagian lucu dari manusia tuh ini. Saki mungkin kadang kelihatan dingin sama orang, tapi kalau sama anak kecil, beeehhh, aku aja awal-awal kaget.
"Udang, Kak. Mau?"
Senyumnya aja lebih lebar tuh kalau ke King daripada ke aku. "Kakak udah makan tadi. Uthi sama Kakak punya snack buat Abang. Tapi, boleh dimakan nanti setelah bangun tidur siang, okay?"
"Okay."
"Enjoy your meal." Kemudian Saki menoleh ke arahku. "Kamu makan aja bareng Abang, nanti aku yang bantuin dia selama kamu makan."
"Tapi nanti harus nidurin dia dulu. Aku juga harus cek Queen."
"Aku bisa."
"Yakin?" Aku meringis.
Dia tersenyum dan mengangguk, kemudian berjalan meninggalkan kami.
Aku menatap CCTV, berkata dalam hati. Ini, kan, Bun, Pa, yang kalian harepin? Hubungan kami kayaknya beneran jadi nih roman-romannya. Nasib kalian baik sih, karena Saki bukan cuma baik. Dia ganteng, manis, sweet, dana pinter, sopan baik denganku, keluargaku, dan keluarganya. Banyak hal menarik dari dirinya.
Tak lama, dia datang membawa Queen yang sudah bangun, kemudian meletakkan bayi itu di box bayi. Mengajaknya ngobrol, lalu menatapku. "Bener nggak levelnya?" tanyanya, ketika aku sedang menikmati makanan terbaik di bumi ini.
Aku tersenyum lebar. "You're the best at everything, Ki."
Dia senyum, kelihatan bangga banget.
Oya, ini ayam geprek sebenarnya ada sejarahnya nih. Aku dulu bukan yang pecinta banget sama makanan ini. Karena punya teman kampus yang ngekost dan kost-nya jadi tempat ngungsi, makan siang atau malam ya ayam geprek melulu! Awalnya sempat mencret nih perut kaget maksimal, lama-lama malah bucin. Kayaknya aku lebih tergila-gila sama Ayam geprek ketimbang temen yang ngekost-ku itu deh.
Dia sekarang sudah kerja, by the way.
Nggak usah dibahas deh, ngomongin skripsi dan masa depan bikin kepalaku rasanya mau copot dari tempatnya.
Selesai King makan, Saki menemaninya bermain sebentar, kemudian mengajak King untuk tidur siang. Sementara aku sedang mengajak ngobrol Queen yang kuletakkan di box yang bisa dilipat itu, kami di sofa ruang keluarga. "Eh, Ki!" panggilku saat dia sudah kembali. "Sini deh."
Dia mendekat, duduk di kursi lain tapi. Cowok ini memang keturunan dewa kayaknya. Kalau duduk jarang banget mau nempel, entah karena menghargaiku atau aku tuh bau badan sebenarnya.
"Gue punya ide brilian."
"Apa?"
"Kemarin gue liat story WA lo, nyokap lo lagi open PO, kan?" Kepalanya mengangguk, aku tersenyum lebar. "Gue mau ikutan order, chat blio langsung kali, yaaa. Nanti bilang deh aku temen barunya Saki, Tante."
"Dia tau kamu."
"CK!" aku mengibaskan tangan. "Kenapa udah diceritaiiiiiiinnnnn."
"Sebenernya nggak pa-pa, Thi. Mamaku tuh bukan tipe yang maksa kok. Kalaupun dia tau kita ada hubungan, dia nggak akan kasih kamu pressure kalau memang kita nggak lanjut. Dia seterbuka itu."
"Is she?" tanyaku pelan. "Tapi gue yang nggak siap, Ki. kalau kita nggak lanjut, gue gimana, yaa. Ke Bunda, ke nyokap lo, ke sepupunya Bunda. Ya nggak pa-pa sih, ya?"
Dia tertawa pelan. "Iya, nggak pa-pa."
"Lo besok free nggak, Ki?"
"Mau ditemenin pergi? Boleh."
"Free apa enggaaaaak? Kan lo udah sidang, cieeee, ah gue iri," geramku tertahan, tapi kemudian buru-buru cek Queen takut dia kaget. Aku mendesah lega karena dia masih aman. Sebentar lagi waktunya dia makan nih. Kadang bayi tuh aneh banget kalau tidur. Bisa lama, giliran cuma sebentar, mayan bikin kepala kliyengan.
"Nggak boleh iri, setiap orang punya waktunya kok. Aku kan nggak ngapa-ngapain, jadi fokusku cuma skripsi. Kamu kan bantu Papa sama Bundamu momong adik, jadi wajar waktunya agak mundur. Nggak pa-pa."
Aku tersenyum geli, membuatnya kebingungan sampai alisnya mengkerut. "Lo sadar nggak, lo tuh belum pernah bilang 'jangan'. Selalu 'boleh' dan 'nggak pa-pa'. Password lo tuh udah gue pegang kalau-kalau nanti gue berniat rampok lo."
Dia tertawa pelan. "Masa sih?"
"Besok gue mau kontrol braces, mau temenin?"
"Mau."
"Cepet bangeeeeeet!" seruku sambil ketawa-ketiwi. "Tahu peletku seampuh ini, harusnya targetnya jangan elo ya."
"Siapa?"
"Nicholas Saputra."
"Dia bukannya udah tua?"
"Enak aja!" Aku melotot. "Okay, kalau pun tua, dia makin OKS. He's like a fine wine. He gets better with age. The best is yet to come." Aku menyebutkan quote dari Richelle Mead. Tapi emang iya, siapa sih yang nggak mau sama Nicholas Saputra meski umurnya sudah mau 40? Ya ada sih yang nggak mau, tapi yang jelas bukan aku!
Si Saki malah tertawa pelan sambil menundukkan kepalanya.
Ih gemes pengen aku peluk badannya sampai remuk.
---
yeayyy!
puasa tinggal 15 hari lagi :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top