CHAPTER 31
Ini tuh apa sih?
Bayangan masa depan tapi dibuat dengan contoh nyata—ummmm, maksudku tadi simulasi—begitu kah? Papa-Bunda sibuk ajak Saki ngobrol sambil makan siang, aku menyaksikan mereka kalau bukan giliranku yang ditanya sambil melamun tentang masa depan. Beneran begini nanti? Lihat Saki akrab sama orangtuaku, adik-adikku, mungkin juga nanti teman-temanku.
Rasanya aneh, geli dikit.
Tapi rasa bahagia lebih dominan, ofkors! Apalagi waktu kami selesai makan, check-in dan apalah apalah lain, Papa-Bunda berbaik hati memberikan aku dan Saki izin untuk keluar berdua; mungkin maksudnya menikmati fasilitas hotel, entah apa pulak yang mau aku nikmati. Papa bilang sih dia mau mengajak Abang berenang, sementara Bunda dan Queen di kamar, menikmati tayangan hiburan. Nanti mereka bergantian, Papa akan menemani Queen sementara Bunda mau spa atau ... sendirian di bathub?
Aku sudah menawarkan diri untuk membawa Abang atau diam di kamar bersama Queen, karena Papa-Bunda juga jarang sekali mendapatkan waktu mereka untuk bersenang-senang. Eh kalimatnya malah dibalik, aku yang terlalu tua dan tidak menikmati hidup. Waduh, baikkk! Aku mau menikmati bersama Saki hari ini.
"Gym, spa, renang, pilih mana, By?" tanyaku setelah menutup pintu kamar dari luar.
"Aku yang milih? Kamu maunya yang mana?"
Aku tersenyum tak terima dengan makna dari kalimatnya barusan. "Jangan apa-apa soal aku ah, ayo pilih yang mana."
"Spa?" Dia menggelengkan kepala, terlihat frustasi padahal cuma disuruh memilih. "Kamu mungkin akan suka spa?"
"Kan kamuuuuu!"
"Oh sip sip, wait." Dia tertawa pelan. "Renang?"
Aku menjentikkan jari di depan wajahnya. "Sip, kita makan di resto aja ya, Ki?" Aku merangkul lengannya sambil tertawa geli, mengajaknya berjalan menuju lift. "Aku mau nyobain kopi sama dessert di cafe. Di sini katanya dad rooftop cafe tau, Kiiiii. Kuy kuy!" Aku mendengar dia tertawa pelan, mengelus tanganku yang masih nempel di lengannya. Aku lepas saat itu juga ketika di dalam lift ada beberapa orang. Ini memang paling baik kalau aku apa-apa serba VIP sih, pesan lift khusus buat aku dan Saki, nggak boleh ada manusia lain yang melihat kami.
Ummmm, cari uang di mana, ya, biar bisa kaya raya dan mendapatkan fasilitas se-private dan semewah itu?
Eh eh, tapi ternyata nggak perlu nunggu punya uang setriliun dulu euy! Saki ambil tanganku yang sudah menggantung di sebelah badanku sendiri, dia letakkan kembali ke posisi tadi; merangkul lengannya. Dia menepuk-nepuk tanganku di sana, tapi nggak menoleh ke aku. Walaupun gitu, aku tetap bisa lihat dia senyum sambil menatap lurus ke depan. Sumpah, kalau aku punya uang banyak sekarang, aku nikahi anak ini detik ini juga, kami langsung ngeeeng bulan madu.
Ke mana, ya, enaknya?
Ke awan sih paling tepat, karena ini cuma khayalan.
"Bagus ya, Kii?" Aku menatap pemandangan sekitar. "Aku mau sampe malem, nanti liat city light pasti makin baguuuuus."
"Boleh."
"Untung ke sini sore, kan, nggak panas." Aku menyipitkan mata, menatapnya. "Ada, lho, Ki, itu orang yang hobinya early check-in. Nggak tahu apa benefitnya, seburu-buru itu." Tawaku lepas ketika melihat ekspresi Saki berubah jadi salah tingkah, mukanya merah, tapi aku pastikan masih dalam kontrol yang baik karena kami bukan cuma satu-satunya yang ada di kafe ini. Aku sadar diri, lho! "Kamu kenapa langsung iya dan mau sih diajak staycation sama keluargaku? Atau jangan-jangan kamu kayak aku, udah terlanjur iya karena mikirnya cuma kita berdua?"
"Hah?" Lucu banget muka bingungnya. "Kamu mikirnya kita cuma berdua? Aku enggak."
Aku meringis.
Ternyata Papa benar, yang sinting tuh memang cuma aku di antara kami berdua ini. Jadi, Saki mengiyakan ajakan gila ini bukan karena terjebak oleh jawaban spontan, tapi dia memang tahu kalau acara nginap-nginep ini memang bukan cuma kami berdua? Ada bocah piyik-piyik, ada dua pengawas pulak!
Ajaib beneran memang manusia satu ini.
"Okay pertanyaan diubah," kalimatku terpotong dan terjeda, ketika pesanan kami datang dengan tampilan sangat menawan. Aduh, nggak siap nanti ketika bayar ini habis berapa, ya? Mana tadi sok-sok-an aku tidak melihat harga. Bodo amat, diurus nanti! Aku mau melanjutkan pertanyaanku untuk Saki. "Kenapa kamu mau diajak staycation sama keluargaku? Kamu nggak ngerasa takut, awkward atau apalah, mungkin ngerasa ini jebakan? Eh kok senyam-senyum? Kiiiiii, kamu lagi dikasih pertanyaan bukan gombalan."
Dia tiba menutup mukanya sambil bahunya bergetar. Anak iniiiiiii! Waktu tangannya minggat dari wajah menawan itu, kulit mukanya sudah semerah tomat. Rasanya mau aku nikmati pakai tambahan keju dan lada putih. Rasa apa dong? "Aku menolak jawab," katanya cepat, langsung merapatkan mulutnya. Mana pura-pura sibuk sama gelas kopinya. "Kayaknya enak banget, kopinya, Sayang."
"A a!" Tanganku di dada, aku menyandarkan punggung di kursi, menatapnya menelisik. "Nggak boleh nyelimur sana-sini. Ayo, jawaaabbb!"
"Nanti kamu godain aku abis-abisan," katanya, meletakkan kembali gelas kopi setelah menyerputunya. Dia panas, aku dingin. Oh ini soal kopi pesanan kami, ya! "Aku nggak mau jawab, please?"
Aaaaaaakkkkk! Mau gigit manusia, sekali aja jadi kanibal versi imut dan gemas, boleh, ya Allah? Enggak, ya? Yaudah deh. "Jawab," ucapku pura-pura galak. Eh tapi, kan, menurut dia aku memang kadang galak maksimal, jadi mungkin sekarang di matanya aku sedang tidak pura-pura. Bagus deh.
"Tapi janji nggak—"
"Iyaaa." Iyain dulu deh, menjilat ludah sendiri urusan nanti, hehe. "Cepetan dong, Sayaaaang."
"Waktu kamu bilang diajak staycation sama Papa dan Bunda, itu aku udah—" Dia diam, bibirnya rapat tapi aku melihatnya berkedut-kedut, terus mukanya memerah lagi, dan dia menunduk untuk tertawa. "Aku malu banget, Sayang." Tidak, tidaaaak! Ini terlalu lucu untuk ditanggung orang sinting sepertiku. Mau aku abadikan manusia ini di museum pribadi rasanya. Kami sama-sama tertawa geli. "Ooooffff!" Dia mengembuskan napas panjang. "Aku seneng banget karena mikir ... ini kesempatanku buat buktiin ke mereka."
"I don't get it, buktiin apa?"
"Kalau aku serius dan nggak macem-macem sama anaknya? Kalau mereka beneran ternyata suka sama aku?"
"Ya Allah, Kiiiiii!" Aku menutup mulutku sendiri supaya tidak heboh berlebihan. Lalu mencondongkan wajah untuk memastikan dia mendengar semuanya dengan baik. "Emang ada yang bilang kamu nggak serius dan macem-macem sama aku?" Keningnya mengerut, nih orang hidupnya penuh kejutan, tapi anehnya dia yang merasa aku kasih kejutan. "Semua orang taum terutama Papa dan Bunda, kalau malah aku yang macem-macemin kamu." Aku menoleh kiri-kanan, lalu berbisik sambil memasang wajah pura-pura mesum. "Ini kalau kelamin kita dituker, bisa-bisa aku hamilin kamu, Ki." Mulutnya terbuka, dai terbatuk-batuk sambil menoleh ke sekitar. Semuanya sudah memerah; hidung, pipi, kuping, mungkin seluruh badannya. Aku menambah tembakan dengan mengangkat-angkat alis. "Siap hidup selamanya sama Tante Dyuthi?"
"Dyuthi," lirihnya pelaaaan banget setelah beberapa detik tidak berkata-kata.
Aku terkikik. "Lagian, yaaaa, mana ada orang nggak suka kamu. Aku yakin setiap orang tua yang anak gadisnya dapet kamu, pasti suka kamu lah."
Dia tersenyum malu-malu. "Thank you. Intinya gitu, aku seneng banget berarti Papa-Bunda beneran akui hubungan kita."
"Ofkors! Eh, Ki, Kiiiii! Coba stay still! Bagus banget posisi kamu gitu, tadiii, aku fotoin yaaa." Aku panik mengeluarkan handphone dari saku, dan buru-buru membuka kamera. Mengarahkan pada objek terindah hari ini. "Masya Allah, ada ya manusia sesempurna ini," lirihku spontan, eh ternyata kalimatku bikin Saki salah tingkah dan wajahnya malah bagus banget di foto! "Liaaat. Hasil fotoku bagus bangeeett. Bukan skill-ku sih, karena objeknya kamu. Mau foto sambil nungging juga mau blur apalah, pasti tetep cakep."
Dia melihat foto yang aku tunjukkan, responnya cuma mengangguk.
"Kamu harus sering aku tunjukin dan ingetin tentang ketampananmu biar kamu tahu kamu rupawan, okaaay?"
"Gantian kamu yang aku foto, sini."
"Aaa nggak mau!" Aku menggeleng kuat. "Aku tuh nggak photogenic, bagusan kamu kalau difoto, aku sukaa. Maluuu, Kii."
"Aku juga tadi malu, tapi nggak pa-pa. Ayo, buat aku fotonya." Dia tersenyum lebar, mengarahkan handphone-nya dan memintaku untuk melihat ke sana lah, ke kamera lah, ke atas lah. "Siapa yang bilang kamu nggak photogenic, hm?" tanyanya pelan sambil sibuk melihat hasil fotonya. Lalu tatapannya menemukanku. "You are SO photogenic! Look at these!" Dia menyerahkan handphone-nya. Reaksiku? Ummm, iya, sih cantik, tapi aneh.
Aku menatapnya bingung ketika dia merebut handphone-nya secepat kilat.
"Jangan diapus satu pun," katanya.
Aku aja bahkan tidak berpikir ke sana. Aku malah tiba-tiba kepikiran, "Kiiii, kamu suka badmin nggak?" Mukanya melongo. "Main, yuk, nanti abis staycation ini? Weekend deh."
Dia tertawa pelan sambil memasukkan handphone ke saku celana. "Aku boleh nanya sesuatu nggak? Tapi kamu jangan marah, please? Ini aku nggak ada nita apa-apa, beneran penasaran."
"Apaaa?"
"Kamu kalau suka nanya hal-hal yang dadakan itu, mikirinnya kapan, sih, Sayang?"
"Hah?"
Saki terkekeh sambil menggosok hidungnya. "Aku tuh sellau amazed sama pertanyaanku yang random. Well, aku tau kamu random banget, but still, aku kadang masih nggak siap sama pertanyaanmu."
"Iya kah?"
"Iya!" jawabnya lucu.
Aku akhirnya tertawa. "Nggak tau ih tiba-tiba ada di kepala, kadang malah nggak di kepala. Langsung aku tanya, saking cepetnya dia lewat, aku aja nggak ngeh sempet mikirin itu. Maaapppp."
"No, nooo. Don't be sorry, aku suka, suka bangetttt, cuma penasaran." Dia memberiku senyuman muaaaniiiiss. "Kamu bisa main badmin?"
Aku nyengir, menggeleng.
Saki tertawa.
"Kan, nggak pa-pa, main walau nggak bisa? Nanti lama-lama bisaaaaa!"
"Iya, bener, nggak pa-pa. Nanti kita main, aku booking dulu tempatnya." tatapannya berubah jadi serius, tapi tetap terasa kalem. "Apa pun yang lewat di pikiranmu, jangan berubah atau ditahan, keluarin aja. Aku selalu mau dengerin. Random dan sepele itu beda, Sayang. Mau se-random apa pun kalimatmu atau ceritamu atau apalah." Dia tertawa pelan ketika aku memicingkan mata. "Buatku tetep penting, nggak ada yang sepele apa pun tentang kamu. Jadiii, ayo kita main badmin dan latihan biar jadi ganda campuran terbaik kayak Rinov-Pitha."
"Siapa ituuuu?"
"Sekarang kayaknya jadi ganda campuran terbaik Indonesia."
Aku malu bangeeettt! "Main badmin aja ngasal, mau selevel sama pemain nasional, kamu ngejek aku, ya?" Aku ikutan ketawa, terus ingat sesuatu. "Ki."
"Hm?"
"Makasih banyak, yaaaaa, udah mau coba hubungan ini sama aku, sabar sama aku, sama keluargaku, dan nurutin hal-hal random aku." Kali ini aku serius dan tersenyum semanis mungkin. "Aku janji akan jadi pacar yang baik, kooperatif, dan strooong!" Aku mengangkat tangan, menunjukkan otot lenganku yang nggak ada itu padanya. "Semangaat main badmin!"
Dia tertawa pelan. Menganggukkan kepala dan ikut-ikutan memamerkan otot—aaaaahhh nggak seru karena ternyata dia punyaaaa!
"Kamu tuh jangan greedy dong, Kiiiii! Semuanya diembaaat, udah ganteng, wangi, pinter, baik, lucu, dan sekarang ternyata punya otot keren di lengan? Gila gila gilaaaa." Aduh, lucu jugaa ini hidup. He fell first, she fell harder. "Punya siapa kalau bukan punya aku."
Kan, dia malah yang salah tingkah!
Aku tinggal juga nih di rooftop biar kayak anak hilang.
Tahu siapa yang kayak hilang setelah malam tiba dan detik-detik menjelang tidur? AKU! Ofkors yang tidur sama Saki di kamar sebelah benerna Papa, ishhhh! Aku belingsatan sendiri karena membaca chat Saki;
Aku tadi nggak sempet bilang ini karena malu🥺 Jadi beraninya lewat chat. Mungkin kamu bakalan godain aku abis-abisan lagi atau bilang aku lebay :) Yes, I am. Aku suka banget setiap kamu bilang aku wangi, ganteng, keren, dan lainnya. It made my day, Sayaang. Kamu harus tau, aku sama kamu tuh happy banget. I love you sooo much, still can't believe you're mine💕😍💕🫶🏻
Bentar deh, ini orang juara dunia dalam lomba kategori love language 'words of affirmation' apa gimana?
---
ya Allah pinksun ki kiii
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top