Plan F: For Future Fortune
Mengejar seseorang itu baru bisa kerasa hasilnya kalau kecepatan kita lebih tinggi dibanding yang dikejar ... atau yang dikejar berhenti dan menengok ke belakang. - Salsa
***
"Gue masih ngga percaya lo ada di kamar gue pagi-pagi buta." Ranti menerawang. Pakaiannya rapi dengan kemeja putih, blazer hitam dan celana panjang bahan berwarna hitam senada dengan blazernya.
"Gue juga ngga percaya gue berduaan sama Kak Ari sampe pagi." Salsa di sebelahnya pun ikut menerawang. Salsa memakai kemeja broken white dengan blazer cokelat dan rok pensil panjang sebetis yang tidak ketat.
"Boleh ngga, ngga mesum gitu intonasinya? Masih Kakak gue itu ..."
"Gue ngga percaya gue ketinggalan itu semua. Harusnya aku juga nginep di rumah kamu, Ran ..." Alva menimpali, membuat Ranti makin senewen.
"Alva ngaco aja sih!"
"Tuh, lo juga mesum sih, Ran. Alva kan bisa tidur di kamar Kak Ari atau di sofa," Respon Salsa
"Tapi nanti diem-diem aku bisa nyusup ke kamar kamu kok kalo kamu mau, sayang ..." lanjut Alva.
"Ih jangan dong, Va! Entar gue lagi asik tidur kebangun denger desahan-desahan ..."
"Jadi pengen ikutan ya? Ngga boleh ya, Beb. Gue ngga mainan threesome."
"Ya gampang, kita tukeran kamar aja, Hun. Gue yang nemenin Kak Ari jadinya."
"Ternyata ujian yang lebih berat pagi ini tuh bukan sidang gue, tapi kalian!" Ranti menoyor kepala Salsa dan Alva keras-keras.
Pagi-pagi di gedung pascasarjana, Trio Kwek-kwek ini sudah kompak menyiapkan ruangan untuk sidang Ranti yang akan berlangsung 15 menit lagi.
Obrolan mereka pun terputus ketika serangkaian dosen penguji dan pembimbing datang. Ranti mengadakan sidang tertutup sehingga Alva dan Salsa menunggu di luar. Salsa pun mengulang-ulang latihan presentasinya sekilas, hanya untuk memastikan dia cukup punya konsentrasi untuk melaksanakan sidang saat itu.
"Tapi gue ngga nyangka, lo tuh beneran serius ya sama Kak Ari?" Tanya Alva. Salsa menengok dan terdiam sebentar.
"Lo khawatir gue cuma penasaran doang ya, Va?" Tanya Salsa.
"I don't know. Are you?"
"No." Salsa begitu tegas saat mengucapkannya. Salsa tahu rasanya naksir dan penasaran. Tapi dengan Kak Ari rasanya beda. Salsa pun sedikit takut saat pertama kali ia terjemahkan rasanya pada Kak Ari. Ada kagum, sayang dan nyaman yang berbaur tiap Kak Ari berada di dekatnya memang tidak pernah ia rasakan sebelum ini.
Alva kagum dengan kesungguhan Salsa.
"He's a grown man, you know? Hubungan dia sama mantannya tuh udah serius banget dulu. Udah nyaris nikah. Could you face that? Hubungan dimana persiapan nikah di depan mata dan diomongin sehari-hari?"
"Kok lo tahu soal hubungannya sama mantannya, Va?" Salsa malah salah fokus.
"Dulu pernah dikenalin pas ketemu di rumah Ranti."
" ... gue ngga pernah liat dia bawa cewe ke rumah."
"Masalah timing aja kali. Kak Ari kan emang jarang banget bawa orang ke rumah. Jangankan cewe, temen aja jarang kan? Jadi mungkin dulu gue kebetulan ketemu."
"Iya justru itu ... dia bukan tipe cowo yang gampang terbuka sama cewe. Kalo dia udah ngebuka diri ke mantannya sampai diajak ke rumah berarti ..."
"Ngga usah mikirin hal yang ngga penting. Cerita Kak Ari sama cewe itu udah lewat. Sekarang lo sendiri lagi punya cerita yang harus lo urusin - sidang lo."
Dalam hati Salsa menjadi penasaran tentang sosok mantan Kak Ari yang pernah Kak Ari ceritakan dulu.
"Dia mau nikah tahun depan. Gue ngga siap. Setelah diomongin gue rasa visi hidup kita beda, jadi ya mending pisah aja."
Dulu penjelasan Kak Ari begitu sederhana. Seolah tidak ada rasa lagi pada mantannya. Mendengar ucapan Alva membuat Salsa sadar, mantan Kak Ari itu adalah perempuan yang mampu menaklukan hati Kak Ari. Dia pasti perempuan yang sangat istimewa.
Habisnya Kak Ari itu bisa dibilang populer, walaupun tidak sepopuler Salsa. Belum lagi di sekitar Kak Ari banyak sekali perempuan yang menarik. Tidak hanya cantik tapi juga pintar. Tipe perempuannya juga berbeda-beda. Ada Clarissa yang fisiknya suka diumbar, Mba Fany yang kuat dan memimpin serta Salsa yang cantik luar biasa ini.
Tetap Kak Ari tidak tertarik pada mereka semua. Dia bahkan tidak melirik. Clarissa dan Mba Fany tidak dianggap lebih dari rekan kerja sementara Salsa ... ah, sudahlah. Sudah tidak pernah dipanggil 'bocah' saja sudah bagus.
Kalau laki-laki lain, saat ini Salsa sedang bosan-bosannya berpacaran. Sedang menyiapkan pesan, "kita kok gini-gini aja ya?" Sebagai persiapan putus. Dengan Kak Ari juga gini-gini aja, tidak naik status.
Mengetahui bahwa ada perempuan yang dapat membuat Kak Ari mengakuinya sebagai pasangan di depan orang tua, adik dan sahabat adiknya ... perasaan Salsa langsung mengkeruh. Salsa tidak suka, dia merasa menciut. Kalah.
Sebentar maju, sebentar lagi mundur. Begitu terus. Pengejaran ini melelahkan juga ya ...
Tanpa sadar waktu sudah berlangsung selama kurang lebih dua setengah jam. Ranti keluar. Lulus dengan revisi minor, sesuai dugaan. Setelah bersorak sejenak, Salsa melihat Mba Lia dan dosen-dosen penguji mendekat.
"Salsa, sudah siap?" Tanya Mba Lia semangat.
Salsa mengangguk yakin.
***
Salsa tahu dirinya pintar kalau dia mau berusaha. Kadang yang sulit itu memotivasi diri agar mau belajar karena jujur saja, Salsa tidak menyukai hal itu.
Tapi mengerjakan skripsi itu beda. Dia bisa memasukkan tema yang dia suka untuk diteliti. Mungkin agak menjelimet di bagian teori, tapi dengan sedikit dorongan, skripsi tidak ada bedanya dengan proyek asyik social marketing-nya saat masih aktif menjadi influencer.
Sehingga tidak heran kalau dalam satu setengah jam terakhir, Salsa malah seperti narasumber bagi para dosen pengujinya yang menjelaskan secara praktis dampak sosial dari media sosial sampai level individu. Salsa menjelaskan secara rinci bagaimana media sosial membentuk gaya hidup perorangan, kelompok sampai masyarakat. Dosen-dosen pun nampak puas dengan penjelasannya.
Meskipun banyak yang harus dibenahi karena banyak hal menarik dari sesi tanya jawab yang diminta ditambahkan ke dalam bab analisa dan kesimpulan, Salsa pun dinyatakan lulus dengan revisi.
Dia keluar, menemukan sepasang sahabatnya dan memeluk keduanya erat-erat. Mungkin dia bilang pada Kak Ari bahwa selebrasinya adalah foto-foto dan bersenang-senang, tapi hal pertama yang ia lakukan ternyata menangis.
Salsa yang malas belajar lulus S1.
Ranti pun ikut terharu dan meneteskan air mata sementara Alva mengacak-acak rambut Salsa.
Setelah itu barulah Salsa foto-foto dan bersenang-senang karena teman-teman seangkatan mereka memang datang memberi semangat dan bergantian menyelamati. Persaudaraan di jurusan ini memang tidak terganti. Semua saling dukung dan mendoakan, serta saling menguatkan di saat-saat sulit.
Di tengah-tengah pemandangan yang familiar dengan aura kampus, tiba-tiba muncul satu sosok dari kejauhan.
Baik Salsa, Ranti dan Alva langsung membatu dengan mulut terbuka melihat sosok abang-abang kantoran itu datang mendekat. Jantung Salsa seperti berhenti bekerja, tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Kak Ari menghampiri mereka, dan dia melihat Salsa dengan pandangan heran.
"Lo dandan ya, Sa? Tumben menor banget ..." kata Kak Ari. Salsa bingung. Seingatnya dia hanya memakai lipbalm pink. Dia bahkan tidak memakai eye liner. Dia tidak ingin dianggap pesolek oleh para dosen, sehingga dengan kulit wajahnya yang sudah cerah dan pipinya yang merona alami, rasanya lipbalm pink sudah cukup membuatnya tampil segar dan profesional.
"Your face's turn red," bisik Ranti menahan geli.
Salsa langsung panik dan menutup wajahnya dengan satu tangan.
"Ng-nggak kok Kak! Ini gue emang mukanya suka jadi merah sendiri," kata Salsa. Kalau Salsa sedang bersemangat dan bahagia memang rona pipinya akan keluar. Bibirnya pun akan menjadi lebih merah. Tapi kali ini dia bukan hanya bahagia, dia pun menahannya agar tidak terlalu gegap gempita. Kak Ari mendatanginya benar-benar membuatnya ingin melompat kegitangan dan dia harus mati-matian menekan keinginan itu.
"Ngapain lo, Kak?" Tanya Ranti mengalihkan perhatian Kak Ari dari wajah merah Salsa.
"Gimana sidang lo, Dek?" Tanya Kak Ari.
"Beres. Tinggal beresin typo."
"Jadi nyari beasiswa?"
"Jadi lah! Gue mau sekolah sampe S3."
"Yaudah, buruan lah susun draft thesis lo." Ranti menjawab dengan anggukan. Pandangan Kak Ari beralih ke Salsa.
"Lo gimana? Teler ngga presentasinya?" Tanya Kak Ari serius.
"Lancar gue mah. Kan udah minum kopi," jawab Salsa. Ini Kak Ari kok negative thinking aja sih sama dia?
"Ngga percaya gue ..."
"Dih! Gue lulus walaupun masih ada revisi bab-bab akhir tau! Lagian elo kok rese banget sih, Kak?! Dateng-dateng nanya-nanya trus ngga percayaan ..."
"Habis lo bilang baru minum kopi."
"Terus kenapa kalo gue minum kopi??" Kak Ari menyeringai.
"Lo lupa? Semalem lo tuh tewas di meja kerja gue abis minum kopi tau." Wajah Salsa memerah lagi.
Salsa adalah penganut "sedia kopi sebelum, saat dan sesudah mengantuk". Baginya kopi adalah solusi kalau harus membuka mata saat sedang lelah atau ingin terlelap. Padahal berkali-kali hasil yang diberikan kopi pada matanya malah sebaliknya.
"Lo kesini nyamperin gue apa Salsa?" Ranti yang kasihan mengalihkan perhatian Kak Ari.
"Kenapa ngga bisa dua-duanya?"
"Ngga pernah nyamperin gue kuliah, sekalinya dateng langsung sekalian nengokin Salsa gitu?" sindir Ranti.
"Manja amat. Lo kan ada Alva," kata kak Ari seadanya.
"Hooo ... dengan logika yang sama berarti elo sama Salsa tuh ..." pancing Ranti sekaligus menggoda. Kak Ari langsung melotot.
"Gue kebetulan meeting deket sini. Gue pikir mau ke sini dulu nyamperin dan nyelametin adek gue yang lulus sidang." Kak Ari memberi alasan.
"Nyelametin Salsa juga ngga?"
"Yaiya sekalian."
"Kok ngga diselametin dari tadi?"
"Lulus kan? Syukur deh ..." dan Kak Ari pun kabur, mengajak Alva bicara. Salsa cekikikan. Setelah Kak Ari pergi, dia memeluk sahabatnya.
"Ranti the best banget!! Kakak sendiri diserang!! Thanks Ran," kata Salsa.
"Hahaha ... gatel gue mau godain Kak Ari. Jarang-jarang soalnya."
"Pulang yuk, Sa" tiba-tiba Kak Ari sudah menghampiri lagi. Ranti bengong sampai mulutnya menganga. Salsa? Jangan ditanya. Otaknya sudah sibuk berpikir kira-kira ini mimpi atau realita.
Eh, gimana? Kuping gue ngga lagi ngayal kan??
"Gue sama Ranti aja Kak."
Lah, ngapa gue tolak?! Ampun dah ni mulut saking syoknya sampe otomatis kerja sendiri ngga nunggu instruksi otak yang nge-blank!!
"Ngapain? Jadi obat nyamuk lo? Ranti ama Alva mau pacaran, biarin berduaan. Jangan kebiasaan nyempil lo biar ngga ketuker ama setan." Kak Ari menggerakkan kepalanya, memberi isyarat agar Salsa mengikutinya.
"Ya Allah itu mulut ..." Salsa mengurut dadanya. Tapi dia mengikuti Kak Ari saat Kak Ari pamit pada Alva dan Ranti.
Tentu saja Salsa ikut kan? Namanya juga kesempatan. Salsa melambaikan tangan penuh semangat pada Ranti dan Alva di balik punggung Kak Ari lalu segera berjalan bersisian dengan si lelaki pujaan.
"Menurut kamu Kak Ari suka ngga sama Salsa?" Tanya Ranti pada Alva sambil melihat kakak dan sahabatnya dari belakang.
"Menurut aku Kak Ari ngga segampang itu ngajak cewe pulang, tapi di sisi lain yang diajakin pulang juga temen adeknya," jawab Alva sambil melihat pemandangan yang sama.
"Jadi menurut kamu gimana? Kok ngga jelas??" Tanya Ranti gemas. Alva langsung merangkulnya.
"Emang ngga bakal jelas secepat itu, Sayang ... buat kita maupun buat mereka," jawab Alva yang membuat Ranti semakin bingung.
Sementara itu Kak Ari dan Salsa sudah menghilang dari pandangan mereka.
***
Saat di mobil, Kak Ari diam saja sambil menyetir. Salsa mau tidak mau memperhatikan wajah Kak Ari. Rahang tegas Kak Ari, kulit Kak Ari yang gelap, lesung pipi yang melesak tiap Kak Ari menarik ujung bibirnya, semua membuat Salsa deg-degan.
Salsa jadi galau tidak keruan berada semobil dengan Kak Ari begini. Padahal ini bukan yang pertama kali. Tapi rasanya warna-warni. Di satu sisi senang, di sisi lain heran. Ini mau kegeeran juga nanggung rasanya kalo diajak jalan tapi dicuekin seperti ini ...
"Makan malem di luar dulu ya?" kata Kak Ari diikuti tawaran untuk makan di restoran all you can eat yang sangat mahal.
"Beneran mau kesana Kak?! Sekali makan buat satu orang kan cukup buat makan di Warteg Sinta dua minggu!" balas Salsa tak percaya. Salsa memang orang kaya, tapi soal makan dia agak perhitungan. Meskipun standard biaya makan sehari-harinya bukan di warteg juga sih ...
"Gue yang traktir. Pelit amat lo ama perut."
"Bukan gitu ... cuma ngga suka aja buang duit sebanyak itu buat sekali makan."
"Namanya all you can eat kan bisa nambah berkali-kali."
"Ya tapi kan cuma untuk satu kali kapasitas perut, berarti cuma sekali makan lah."
"Tapi kan ini bukan cuma sekadar sekali makan."
"Hah? Maksudnya?"
"Ehm, Ini kan sekalian ngerayain lulus sidang."
Nah, kalau sekarang Salsa boleh kegeeran doooong ... minimal cengar-cengir bahagia deeeh ...
"Ya Allah mulut dari tadi pedes banget tapi hatinya unyu-unyu ya lo, Kak!! Terharu gueee ..." kata Salsa tulus. Tapi karena isi ucapannya entah memuji entah menghina, Kak Ari jadi terlihat kesal.
"Ngga usah komen atau gue batalin."
"Ngga mau! Ini perayaan kelulusan kuliah gue!"
"Jangan geer, revisi beresin dulu ..."
"Tapi sekarang makan duluuu ..." mood Salsa sudah terlanjur tinggi diajak makan enak dengan manusia yang paling ingin ia habiskan waktunya bersama.
Sesampainya di restoran tersebut, pelayan segera mengantar mereka ke meja kosong untuk berdua. Kak Ari memesan dua set pilihan all you can eat yang kedua termahal.
"Lo ngga sayang duitnya, Kak?" Tanya Salsa segan. Kak Ari tersenyum.
"Gue suka makan enak, Sa. Suka banget. Jadi kalo soal makanan, sesekali boleh lah buat gue kayak gini," jawab Kak Ari. Jantung Salsa berdegup seperti bedug mesjid diajak shalawat keliling kampung.
Begini amat deg-degannya cuma tahu sedikit hal baru tentang Kak Ari. Melemah nih gue lama-lama deket dia ...
"Lo juga udah makan enak harus semangat revisinya. Cepet diselesein," lanjut Kak Ari.
"Iya!" balas Salsa semangat sambil mengepalkan tangan ke udara.
Saat makan, Kak Ari melihat Salsa dengan pandangan menyelidik.
"Udah kabarin Mama Papa lo soal kelulusan sidang?" tanya Kak Ari, berusaha tidak terlihat penasaran.
"Udah kirim email buat mereka."
"Kok ngga nelepon aja?"
"Udah nyoba video call malah tadi ke dua-duanya. Ngga diangkat, sibuk mereka. Biarin aja, biasanya kalo di email mereka suka baca terus bales kok," Salsa tersenyum setelah menceritakan itu semua, seolah itu adalah hal yang wajar. Seolah itu terjadi di semua keluarga. Tentu saja Kak Ari juga membalas senyum Salsa meskipun dalam hati ada perasaan yang sangat tidak nyaman.
Kak Ari tidak suka melihat Salsa berada dalan situasi tersebut. Dia tidak tahu apa arti rasa tidak sukanya, tapi dia menjadi tidak bisa mengabaikan Salsa begitu saja.
"Makan Kak! Udah gue bakarin nih buat lo. Dengan cinta ..." kata Salsa dengan nada bercanda, meskipun setengahnya berniat serius menggombal. Yah, siapa tahu Salsa sedang beruntung dan dianggap betulan oleh Kak Ari.
Kak Ari tidak merespon Salsa karena sudah biasa mendengar sahabat-sahabat adiknya menggombal. Dia memilih langsung mengambil daging yang Salsa berikan ke mangkoknya dengan sumpit. Beberapa saat kemudian Kak Ari nampak kesulitan mengunyah.
"Cinta lo alot ya, Cah ..." kata Kak Ari.
Ampun perihnya, meresap sampai ke tulang Salsa.
"Kak Ari, nanti dateng kan ke wisudaan Salsa?" Salsa mencoba memancing kembali. Kali ini pake sok menyebut diri sendiri dengan nama agar menumbulkan sedikit kesan imut-imut gemesin.
"Ya iyalah ..." kata Kak Ari. Salsa senyum kegeeran.
"... wisudaan lo kan wisudaan Adek gue juga. Gimana sih lo?" Lanjut Kak Ari kebingungan. Senyum Salsa langsung berubah manyun.
Maksud gue kan ngga gitu maliiiihhh ...
Terlepas dari semua itu, hari ini Salsa bahagia. Dia merasa sebagian besar tanggung jawabnya sebagai seorang mahasiswa sudah ditunaikan. Tinggal sedikit lagi, selesai sudah. Ajakan Kak Ari hari ini menambah momen manis tersebut menjadi lebih spesial.
Salsa ingat pertama kalinya dia menyadari perasaannya pada Kak Ari. Situasinya mirip. Salsa ditraktir makan lalu ditemani makan berdua. Hanya saja dulu mereka kebetulan bertemu di restoran fastfood, sedangkan saat ini Salsa dijemput dari kampus dan diajak makan berdua di restoran mahal. Serasa putri kerajaan sedang diajak jalan pangeran sekali Salsa ini.
Salsa naik kelas! Semoga hubungannya dengan Kak Ari bisa semakin dekat setelah ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top