05. Buku Pancasila dan Kamu

Sudah jadi hal yang biasa bagi Mikayla menghadapi protesan teman-teman sekelasnya setiap kali ia menagih uang kas. Mau dikata jahat, kejam, pemberantas uang jajan, Mikayla tidak mau mendengar hujatan dari mereka yang, padahal, sudah setuju dari awal mengenai seberapa besaran uang yang harus dikeluarkan per minggunya. Lantas mengapa sekarang mendadak ada gugatan? Bukankah mereka seharusnya mengatakan itu sedari awal? Jangan adakan uang kas saja sekalian!

Kayla menghela napas. Jadi bendahara pun bukan kemauannya, melainkan ditunjuk oleh mayoritas kelas. Kalau uang kas tidak berjalan, lalu ada kebutuhan kelas yang kurang lengkap, mereka pasti akan mendemo ke bendahara. Mereka pikir, kekurangan dana kelas bisa ditutupi dengan cara Kayla menutupinya dari hasil ngepet? Ya, enggaklah!

"Lemes banget?" Seseorang tiba-tiba muncul, menyembulkan kepalanya ke jarak pandang Kayla. "Jajan, yuk."

Satu lagi orang yang menyebabkan masalah keuangan.

"Ish, jangan gitu, Li. Jangan ajak aku boros." Kayla menunjuk pada bungkus spagetti yang teronggok sisa setengah di atas mejanya. "Kamu juga belum bayar kas empat minggu."

Sembari menggigit es krim, Lili menjawab tenang, "Alah tunggu seminggu lagi biar streak." Kemudian tubuhnya menegak, berusaha terlihat sepersuasif mungkin. "Ayo,  beef patty sekarang bisa ditambahin topping keju."

Muka Kayla menegang, tanpa basa-basi ia segera berdiri dan menarik tangan Lili yang menyengir lebar, berhasil membujuk temannya untuk lagi-lagi membeli makanan yang tidak akan habis langsung.

Sungguh contoh yang buruk.

Jam siang adalah rawan bagi murid-murid pengidap insomnia. Kalau tidak membeli makanan ringan untuk sesekali dimakan diam-diam di kolong meja saat berpura-pura mengambil pensil yang jatuh, atau memainkan sesutau di ponsel mereka sementara mendengarkan pelajaran dari guru yang suaranya setara seperti lullaby, mereka pasti akan ketiduran. Meskipun, jika ada yang melakukan dua hal di atas, selain harus waspada dengan mata elang guru, mereka mesti awas dengan para cepu yang tersebar dari sudut ke sudut.

Tipe murid cepu adalah yang paling berbahaya. Satu cara ampuh untuk membungkam mereka adalah dengan membagi camilannya dan makan diam-diam bersama. Tetapi, jika hanya satu cepu yang diberi, cepu lain yang melihat akan tetap melapor. Dan biasanya mereka adalah orang-orang dengan pendirian kuat yang tidak takut dijauhi teman sekelas.

Terkadang, hal baik memang pahit. Dan rasa kantuk juga sama pahitnya.

Setengah dari isi kelas masih kosong. Kebetulan saja Kayla dan Lili sedang tidak ibadah, jadi mereka diam di kelas. Dan biasanya, di jam istirahat kedua murid-murid lebih lama untuk kembali ke kelas; dihabiskan buat membobol uang tabungan untuk beli rokok, lalu nangkring di gang dekat toilet kantin. Biasalah, sedang badung-badungnya.

Kantin lebih banyak terisi daripada jam pertama. Mungkin, mereka yang membawa bekal dan sudah habis dan lapar lagi, lebih memilih pergi ke kantin sekolah daripada jajan di luar gerbang. Alasannya adalah malas memanjat tembok jika satpam sudah menutup gerbang ketika jam masuk sudah berbunyi.

Lili dan Kayla menimang-nimang sebentar. Apa mereka bisa menerobos untuk beli beef patty itu sebelum gerbang dikunci, atau tidak?

"Nggak apa-apa. Ayo, terobos," ajak Lili.

"Kalau udah ditutup kita harus manjat."

"Pasti ada yang bantu. Kamu angkat aku, nanti aku narik kamu dari atas."

"Nggak mau, nanti kamu lompat duluan."

"Kok prasangka kamu buruk amat ke aku? Ya udah, kamu duluan yang angkat, nanti tarik aku dari atas."

"Nggak, nanti aku lompat duluan."

Sebelum Lili mengamuk, seseorang berteriak dari kejauhan, dari arah kantin. Seorang lelaki jangkung, berkumis tipis, kulit kecokelatan, dan pakaiannya rapi dengan baju dimasukkan dan sabuk terpasang. Terlihat seperti murid teladan, tetapi tidak juga.

Dia tidak sendiri, ada dua temannya yang salah satunya Lili dan Kayla kenali sebagai orang kelas sebelah, pacar baru teman mereka, Gita. Dan satu yang lain, seorang lelaki berperawakan lebih pendek tetapi berisi---tepatnya karena sering berolahraga, namanya Fauzan; teman sekelas mereka. Pernah sekali Lili menjumpainya pergi ke gym yang terletak di dekat rumahnya.

Erlan melambai singkat dengan senyum yang khas; miring dan canggung, dan terkesan meledek ketimbang sebuah sambutan ceria. Seolah ia mencoba tersenyum sopan pada seorang bayi yang muntah ke bajunya dan tertawa. Tebayang, bukan?

"Kay!" teriaknya, cukup tertimbun bunyi-bunyi yang mengudara dalam kegaduhan kantin. Panggilan Erlan sontak membuat Fauzan ikut menoleh ke arah yang temannya tuju, sementara Ilyas sibuk dengan layar ponselnya dan senyum-senyum sendiri---sebelum ikutan menoleh setelah mendekatkan ponsel ke mulut, berbicara di sana, dan mematikan ponselnya.

Lili langsung mengulum senyuman lebarnya begitu melihat Kayla yang refleks panik. "Ayo, kita jajan beef patty," katanya, buru-buru menarik tangan Lili.

"Hei, itu dipanggil. Masa nggak dijawab?" Ada sarat jahil dalam nada suara Lili.

"Siapa yang manggil?"

"Kay! Mau ke mana?" Kali ini, Erlan berteriak lebih keras, sehingga akan dianggap aneh jika Kayla tetap tidak mendengar suaranya. Beberapa penghuni kantin memutar leher mereka untuk menghujam Erlan dengan tatapan julid, tetapi si Pelaku cuek-cuek saja.

Dengan gerakan canggung, Kayla memutar badannya, menghadap ke arah kantin di mana ketiga orang itu berdiri di tengah lalu-lalang pengunjung. "Oh, ini, mau jajan!" balasnya berteriak.

Erlan sempat mengerutkan dahinya sebentar. "Ke mana?" ia berteriak lagi.

"Di luar!"

"Tapi sebentar lagi masuk!"

"Ya nggak apa-apa. nggak akan lama!"

"Ih, nggak boleh. Nanti dikunci gerbangnya!"

Lili menepuk dahi. Kini hampir semua perhatian tertuju pada mereka. Fauzan sendiri tertawa malu dan mendorong Erlan untuk berhenti bersuara, lantas pergi dari posisi. Sembari berjalan lebih dulu menuju pagar belakang yang masih terbuka, Lili menutup mukanya, melepas diri dari apa yang baru saja terjadi.

Segera, Kayla menyusul. "Ish, kamu ninggalin."

"Ngapain saling teriak, dodol? Coba samperin, ngomongnya langsung, ini malah ngundang perhatian"

"Nggak mau aku."

Lili mengangkat kedua alisnya. "Kamu lagi ngehindarin si Erlan?" Mellihat tidak ada respon dari penganut slogan Perempuan Tidak Bercerita, Lili mencolek lengan atas Kayla dan bertanya lagi, "Kenapa tiba-tiba?"

Butuh waktu sampai menyebrang jalan dan menuju ke kawasan pendagang kaki lima untuk Lili bertanya yang ketiga kalinya karena Kayla masih juga terdiam, "Kenapa?"

Diawali desisan kesal yang sering Lili dengar akhir-akhir ini dari temannya, Kayla akhirnya berkata, "Kamu nggak tau, ada apa pas latihan teater kemarin."

Jadi itu penyebab temannya kelihatan kesal akhir-akhir ini. Lili mengangguk paham.

"Memang ada apa?"

Beruntung, kedatangan Erlan tidak sewaktu Kayla mulai menceritakan kronologi. Lelaki itu dengan Ilyas datang menghampiri. Lili sempat kebingungan mengapa Fauzan tidak ada bersama mereka, tetapi sejenak kemudian ia mengerti situasinya. Mungkin saja Fauzan tidak sanggup meremukkan hatinya sendiri!

"Sebentar lagi masuk, kenapa milih jajan di luar?" Mata Erlan fokus menatap Kayla, mengabaikan kacang-kacang di sekitarnya dan membuat Lili merasa jadi tumbuhan subur dengan tontonan seru di depan matanya.

"Ya biarin, dong. Suka-suka aku," jawab Kayla, tidak sepenuhnya ketus.

"Ish, kalau ditangkap satpam gimana? Nanti kamu masuk ruang BK, loh." Lagi-lagi, senyum meledek bayi itu keluar lagi.

"Nggak akan. Guru BK-nya aku pukulin ntar."

"Nggak boleh."

"Kenapa?"

"Nanti tangan kamunya sakit."

Tawa Lili langsung meledak dalam bekapan tangannya sendiri, menimbulkan suara tikus tergencet. Wajahnya langsung memerah, senang dengan pertunjukkan gratis yang live streaming. Jiwa-jiwa shipper-nya berkobar seketika, melupakan pesan Kayla semalam yang berkata untuk jangan lagi mengaitkan Erlan padanya atau bertingkah seperti itu lagi.

"Lili, nggak boleh jadi nyamuk, Lili," Ilyas malah ikut-ikutan menggoda mereka, mengundang anggukkan semangat dari Lili yang langsung menyingkir ke dekatnya; sesama nyamuk. Akan tetapi, gadis itu batal menyengir begitu sebuah notifikasi masuk ke ponsel Ilyas, yang pastinya dari Gita, dan langsung membuat Ilyas terbahak begitu mendapati ekspresi julid dari Lili.

Meskipun begitu, Lili lebih memilih untuk menepi, membuat kejombloan dirinya tidak mengganggu pasangan-pasangan muda itu. Sekarang, lebih baik mengamankan perutnya lebih dulu.

Tidak sampai sepuluh menit, bersamaan dengan Kayla yang kembali sambil cemberut---berbalikan dari pipinya yang bersemu, ia menegur, "Ninggalin lagi."

Pesanan mereka diserahkan oleh penjual. Lili menenteng dua bungkus kantong plastik berisikan beef patty plus keju di tangannya. "Lho, aku cuma ngasih ruang. Aku kasian sama diri aku sendiri kalau ngeliatin kalian sampe beres." Diserahkannya pada Kayla salah satu kantong setelah Lili mengecek lebih besar yang kiri atau kanan. Dan tentu saja ia mengambil yang lebih besar.

"Dia cuma ngasih uang kas," kata Kayla seraya membenarkan kacamatanya.

"Tiba-tiba?" kaget Lili sembari menarik lengan temannya untuk menyebrangi jalan kembali. "Terus, kenapa lama?"

"Nanya-nanya soal rapat kepengurusan kemarin. Dia, kan, nggak hadir."

"Terus sekarang ninggalin kita? Bukannya tadi khawatir kamu kekunci di luar gerbang?"

"Nggak tahu, tuh."

Lili geleng-geleng kepala.

Sesampainya di kawasan gerbang, benar saja, sudah ada penjaga yang menguncinya dari dalam. Kayla tidak melihat ada murid lain yang terjebak seperti mereka di luar gerbang. Niatannya memprotes batal begitu penjaga gerbang hampir menyisir pandangan ke arah mereka. Segera, Kayla menarik Lili untuk bersembunyi di balik tembok yang menyembul.

"Kamu, sih, ah. Sekarang kita kekunci di luar, nih."

Telunjuk Lili mengarah jauh ke arah kanan, tepatnya di belokan tembok sekolah. Bagian titik buta yang tertutup oleh bangunan kantin, yang di balik temboknya merupakan gang sempit, celah antara dinding dan bangunan itu sendiri.

"Serius?" Mata Kayla membulat.

Dengan riang, Lili mengangguk.

Mereka berjalan ke arah di mana para murid badung biasa bolos. Sebenarnya, hal tersebut terasa ganjil bagi keduanya. Tetapi merea tidak punya pilihan lain.

"Ayo, gunting-kertas-batu. Siapa yang naik duluan." Lili mengepalkan sebelah tangannya yang terbebas.

"Kamu aja. Nanti tarik aku."

"Serius?"

"Iya."

"Ih, serius!"

"Iya, cepetan! Mana sini beef-nya."

Lili menyerahkan kantong plastiknya dengan ragu. "Jangan ketuker, loh." Kemudian, ia urung memberikan dan menyobek kertas yang membalut lumpia krispinya, menandai miliknya, lalu menyerahkannya lagi. "Jangan ketuker!"

"Apa sih, Li? Aku makan juga nih dua-duanya," ancam Kayla.

"Ih, jangan!"

"Iya makanya, cepetan naik!"

Bersusah payah, Lili menggapai puncak tembok yang kiranya setinggi tubuhnya ditambah rentangan tangan dan sejengkal telapak tambahan. Ia bisa melompat dan mencapai puncak tembok, lantas berusaha mengangkat beban tubuhnya sendiri dan kesusahan. "Dorong pantat aku, napa, Kay!"

Kayla mendumal kesal, meletakkan makanan mereka di bawah lalu mendorong kaki Lili untuk naik.

Setelah sampai di atas, gadis itu tersenyum bangga, seolah melihat puncak dunia dan ia bisa menginjak seluruh manusia dalam satu langkah. Kepalanya langsung menyuruk begitu si penjaga gerbang melewat di jarak pandangnya. Beruntung, ia tidak jadi terlihat. Namun gelak tawa dari sebelah kirinya mengalihkan atensi Lili.

"Ngapain, Lili? Astaghfirullah." Adalah Kipli yang bangun di antara mereka yang menyesap benda lonjong berasap. Kipli tidak merokok, tapi ikut berkumpul. Omong-omong, Kipli juga salah satu  teman sekelas Lili dan Kayla.

"Laporin ke Bu Ani," ancam Fadil, anak kelas lain yang akrab sama Lili.

"Heh! Kalau kalian lapor, aku juga lapor balik!" Lantas Lili tersadar saat Kayla meneriakkan namanya dengan kesal dari sisi lain tembok. Ia lupa temannya masih di luar.

Sebelum merentangkan tangannya, mata Lili gencar mencari sosok keberadaan seseorang dari gerombolan murid badung itu. Dan rupanya perkiraan Lili tepat. Salah satu dari mereka, yang hendak kembali melanjutkan permainan gitarnya, Fauzan---orang yang tadinya bersama Ilyas dan Erlan di kantin.

"Hei," Lili berdesis, cukup terdengar oleh Fauzan hingga lelaki itu menatap dengan kerutan dahi. "Kayla di luar, bantu kami masuk."

"Kayla di luar?" ulang Fauzan, lebih terkesan bergumam pada dirinya sendiri. Ia kemudian berdiri dan barulah peduli pada dua orang perempuan yang berusaha memanjati tembok sekolah.

Badan Lili membungkuk, dengan mudah ia menarik Kayla untuk bisa menduduki tembok tersebut sama sepertinya. Namun, begitu mereka hendak turun, keduanya kebingungan. Kayla menunggu Lili untuk kembali melakukannya lebih dulu, tetapi melihat pucat pasi di wajah temannya, Kayla menepuk dahi.

"Turunnya gimana, anjay? Tinggi banget!"

"Bisa naik, nggak bisa turun," ejek Pak Haji Torik.

Fauzan tertawa, lalu membuat tangannya menangkup. Seperti pedal yang mempersilakan untuk diinjak. "Ayo, cepet aku bantuin."

Mau tidak mau, suka tidak suka Kayla menerima bantuan itu. Ia tidak punya pilihan lain karena teman laknatnya sudah melompat lebih dulu ketimbang menerima bantuan. Diserati kenekatan yang membuatnya mendengar suara gedebug jatuh setelahnya. Lili keseleo.

Barulah kini beberapa orang yang tadinya hanya menonton pun bangun membantu cewek yang merengek sembari mengelus-elus kakinya. Kipli mengomeli beberapa yang sekadar menyemangati, hingga akhirnya mereka gotong royong memindahkan tubuh Lili seperti sesajen, tak lupa dua keresek lumpia beef yang tadi dibawanya.

Kayla berniat memapah temannya sampai UKS, akan tetapi Fauzan menahannya, "Kamu bakalan telat."

"Tapi temen aku luka, heh!" cecar Kayla.

"Kamu bawa motor?" tanya Fauzan, yang dijawab gelengan kepala. "Kamu bisa gendong Lili ke UKS sendiri?" Kayla menggeleng lagi. "Ya udah. Dia biar dianter Kipli ke UKS pake motor. Kamu sama aku ke kelas. Emang mau dimarahin kalau telat?" Lagi, Kayla menggeleng lebih pelan.

"Tapi, lumpia beef-nya ...."

Terlanjur, Lili sudah diungsikan ke unit gawat darurat oleh Kipli bersama lumpia beef yang mereka beli beberapa saat lalu; menuju UKS yang jaraknya terpisah lapangan futsal dan basket, kolam ikan, masjid, serta jalan panjang dari gerbang belakang menuju gedung tujuan.

Dengan sedikit frustrasi diiringi tawa geli, Fauzan pura-pura kesal, "Ih. Ya udah, ayo beli lagi dulu."

"Nggak usah, deh. Nggak kamu traktir," tolak Kayla, membiarkan Fauzan diam beberapa saat.

"Kata siapa? Ayo, aku traktir."

"Nanti pulangnya."

"Ya udah."

Dalam hati, Kayla terheran-heran mengapa lelaki satu itu gampang sekali menuruti perkataannya. Tidak sadar, ia sendiri justru sudah menaikkan diri ke jok belakang Fauzan, kendaraan itu melewati beberapa polisi tidur yang mengatur kecepatan murid atau pengajar yang memakai kendaraan, membuat Kayla mencekal ujung baju Fauzan karena takut jatuh. Dari caranya mengendara, Kayla hanya khawatir saat lelaki itu meliukkan badan motornya, mencari jalan kecil yang tidak ditumbuhi polisi tidur.

Namun, setelah merasakan pegangan kecil di ujung baju, Fauzan memelankan laju motornya dan tidak lagi berusaha menghindari polisi tidur.

Sepanjang motor itu melaju, tidak ada percakapan utuh yang terjadi. Fauzan terkesan lebih canggung ketimbang dirinya versi media sosial. Alhasil, Kayla tidak mau repot-repot dan beralih memikirkan makanan yang membuat mereka melewati serangkaian kejadian memalukan ini.

Begitu tiba di depan gedung, Kayla diturunkan lebih dulu, lantas Fauzan memarkirkan motornya di tempat khusus samping gedung. Dapat Kayla lihat, di sebelah motor Fauzan ada motor yang dikenalnya persis. Mio merah, milik Erlan. Yang selalu ditumpanginya setiap pulang akhir-akhir ini.

Entah untuk alasan apa, tapi Erlan selalu ngotot untuk mengantarnya ke mana pun; bahkan saat memfotokopi tugas pun dia maksa ingin bareng. Akhir-akhir ini, Kayla dibuat bingung oleh sikapnya yang terus ingin berada di sekitarnya. Akhir-akhir ini, Kayla merasa kosong setiap kali ia telah mencapai tujuan dan harus turun dari mio merah itu.

"Ayo." Suara Fauzan menarik Kayla dari titik fokusnya.

Mereka memasuki gedung yang sudah sepi. Barangkali masing-masing kelas juga sudah masuk. Hanya ada suara langkah sepatu dari kejauhan, di balik tikungan yang merupakan tempat ruangan khusus pengajar berjajar. Alhasil, keduanya menambah kecepatan jalan begitu menaiki tangga, takut-takut itu Pak Budi yang akan mengajar di kelas mereka.

"Omong-omong," Fauzan membuka percakapan sementara mereka mendaki undakan tangga. Ia melanjutkan, "PR Pancasila itu dikumpulin kapan, sih?"

"Kamis sekarang," jawab Kayla. Mereka berbelok menuju ke lorong lantai dua.

"Besok berarti, ya?"

"Iya ...."

"Ke kamu kumpulinnya, kan?"

Sontak, Kayla menjeda langkahnya sejenak hingga Fauzan ikut-ikutan berhenti. "Eh, iya, aku lupa. Sore ini aku harus minta format kehadiran ke rumah Pak Dedi langsung. Erlan di mana, ya? Katanya dia mau nganter."

Air muka Fauzan langsung berubah. Sungguh buruk kontrolnya menyembunyikan perasaan dari ekspresi. Senyum geli itu berubah jadi miris. "Nggak tahu," jawabnya singkat.

Kayla mengerjap, memastikan yang dilihatnya barusan tidak salah. Tatapan itu, mirip seperti milik Erlan begitu Kayla mengatakan bahwa dirinya sebenarnya sudah punya pacar. Padahal halu.

Mereka kembali berjalan, kali ini dengan kesunyian yang rasanya tidak mengenakkan. Melewati tiga pintu kelas dan sembilan jendela, tampaklah papan kelas bertuliskan F-4 yang masih terbuka pintunya. Belum ada tanda-tanda guru menempati. Mereka berdua selamat dari cecaran. Segera, keduanya duduk di kursi masing-masing.

Kelas penuh dengan suara obrolan di sekitarnya, tetapi Kayla terdiam mendapati tiga kursi yang masih kosong; punya Lili, Kipli, dan ... Erlan.

—————————–✄

Tidak terasa, bel pulang sekolah berbunyi. Jendela merembeskan sinar oranye dari langit yang luas. Terasa cerah, tapi tidak terlalu menyenangkan. Dua orang absen dari pelajaran; satu izin sakit; satu lagi tidak ada kabar---bahkan dari teman-teman dekatnya sendiri. Kehadiran Erlan makin membuat miris seksi absensi saja.

Kayla menghela napas, memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Setelah Pak Budi keluar dengan peci yang terpasang menyerong seperti Bung Karno, Kayla mengeluarkan ponsel. Terdapat pesan Lili di sana yang mengatakan kalau dirinya sedang nonton drama cina di UKS.

Mengabaikan hal tersebut, melihat waktu yang hampir senja, Kayla mencari-cari nama kontak Erlan. Segera, ia meneleponnya, menunjukkan status dering untuk lima belas detik penuh sebelum diangkat.

"Di mana?" tanya Kayla. "Hah? Kamu jadi nggak nganter? Kalau nggak juga gak apa, aku tinggal ke fotokopi sendiri. Lama nggak? Aku tunggu di bawah? Emang kamu di mana sekarang? Itu kamu di mana sekarang?" Kayla bertanya ulang, alisnya mengerut dalam saat mendengar musik dangdut di seberang sana, meredam suara Erlan beberapa saat. "Lama nggak? Ya udah, aku tungguin. Cepetan. Ya. Iya. Ya udah. Cepetan!"

Telepon dimatikan bersamaan dengan musik dangdut yang lenyap.

"Dia bolos buat naik angkot Soreang?" tanya Nisa, orang yang duduk di seberang barisan kiri yang rupanya ikut mendengar.

Kayla terkekeh kecil dengan kerutan dahi yang sama. "Nggak tahu."

Seakan sudah berfirasat kuat---sebagian besar belajar dari pengalaman, Kayla turun ke lantai satu tanpa langsung menunggu di depan gedung seperti yang Erlan minta. Ia mengunjungi UKS lebih dulu, tahu bahwa lelaki itu akan datang telat.

Dibukanya pintu UKS perlahan. Terlihat Lili yang berdiri dengan setengah tubuhnya menyender ke nakas, seolah kaki kanannya tidak ia biarkan untuk menahan bobot badan dalam beberapa waktu. Lili merapikan tasnya yang Kipli bawakan beberapa saat sebelum Kayla datang. Begitu melihat temannya di ambang pintu, Lili tersenyum cerah. "Hei, Kay!"

"Ceria amat," gumam Kayla, lantas menerobos masuk. "Kamu mau pulang? Dianter siapa?"

Senyumannya semakin berbunga-bunga. "Kayak drama cina yang tadi aku tonton, deh!"

"Apanya?"

"Tadi, ada kakak kelas yang masuk. Kelas tiga." Mata Lili berbinar-binar. "Dia datang pas aku lagi coba urut-urut kaki. Awalnya aku diam-diam julid sama dia, soalnya mukanya songong banget pas ngeliatin. Tapi ternyata dia nawarin buat bantu urut kaki aku, karena katanya gaya aku ngurut salah, bisa-bisa pindah urat. Aku nggak ngerti apa maksudnya, jadi aku biarin dia ambil alih. Tapi, wow! Kayaknya dia mantan tukang urut, kaki aku jadi enakan. Kami ngobrol lumayan lama karena dia lagi jam kosong. Terus, ternyata dia pulang searah sama aku. Ditawarin pulang bareng, deh." Bahunya mengendik bahagia.

Kayla menyengir mendengarnya. "Siapa namanya?"

"Kak Alvine."

"Kenapa?" Seseorang muncul di ambang pintu. Tas tersampir di bahu, seragam rapi dibalut jaket kulit. Tubuhnya tinggi, kulitnya kecokelatan. Matanya membundar di awal dan menyipit di ujung. "Ayo, udah siap?"

Lili tidak dapat menahan senyumnya. "Iya. Kak Alvine tunggu di luar aja, nanti saya nyusul." Tangan Lili mengail milik Kayla.

Alvine mengangguk paham. Sepeninggalannya, ruang UKS dan Kayla menjadi saksi bisu bagaimana seseorang yang kakinya keseleo berjingkrak-jingkrak dengan satu kaki.

Jam empat sore, dan Kayla masih menjadi pajangan sekolah, menunggu Erlan datang dengan mio merah. Kakinya menggertak tanah untuk kesekian kalinya. Bibir cemberut, muka kusut. Jika Erlan datang nanti, Kayla sudah berencana membuat lelaki itu merasa sangat bersalah.

Nah, sekarang, bagaimana caranya menjelaskan pada orangtuanya bahwa ia masih menunggu seekor mio merah mengantarnya ke fotokopi dan pulang?

Sebagian dari akal sehatnya mengatakan agar ia angkat kaki sekarang saja, tetapi sesuatu menahannya di sana. Euforia tertahan, lebih tepatnya, yang menunggu penyulut untuk melepaskannya. Bertahan dari rasa kesal yang hampir menguasai hingga ke ubun-ubun.

Dipandanginya sekali lagi kontak bernama Erlan. Kayla memencet tombol panggilan, tetapi hanya dering yang terus terpampang hingga batas panggilannya habis. Diambilnya napas dalam-dalam, waktu setengah jam yang telah berlalu menciptakan tenaga kerja tambahan agar ia menuruti akal sehatnya detik itu juga.

Baru satu langkah menapak permukaan tanah, seekor motor berhenti tepat di depannya. Kayla berharap itu piaraan Erlan. Namun, ia berusaha mengubur ekspresi kecewa ketika yang ada di hadapannya adalah sama sekali orang yang berbeda.

"Pulang sendiri?" tanya Fauzan. "Lili mana?"

"Dianter sama pacar barunya, tuh."

"Lili? Punya pacar? Serius?"

"Iya, kakak kelas."

"Ih, mengejutkan," komentar Fauzan, yang sontak dibalas kekehan geli. Melihat misinya berhasil, Fauzan pun menawarkan, "Mau bareng? Aku mau ke fotokopi dulu, sih, buat beli klip."

"Klip, kan, di warung juga ada?"

"Mending yang di fotokopi, lebih awet."

Kayla tersenyum geli. "Kata siapa?"

Bagi mereka berdua, hal itu tidak jelas. Tapi siapa pun yang melihatnya dapat mengetahui kalau telinga Fauzan memerah. "Cepetan, ih. Sekalian yang lumpia beef tadi. Aku nggak mau punya hutang janji."

Motor itu sedikit bergoyang ketika Kayla menaikinya. Ia terkekeh. "Aku cuma bercanda, kok."

Selama perjalanan dari gedung bahasa yang terpisah jauh dari gedung-gedung lainnya menuju gerbang belakang, obrolan mereka lebih rileks daripada tadi siang. Suasana terang sore hari berkonstribusi lebih banyak, menjadi topik utama dalam percakapan keduanya.

Beberapa siswa berjalan di sisi kiri dan kanan jalan searah itu. Sementara mereka berdua melalui semuanya di tengah-tengah, seolah membelah lautan hingga tidak ada satu pun yang menghalangi.

Gerbang belakang terbuka lebar. Fauzan menyebrangkan motornya dan berhenti tepat di penjual lumpia beef yang Lili dan Kayla beli tadi siang. Di samping gerobak itu, ada sebuah kios yang diisi berbagai perlengkapan tulis-menulis serta mesin fotokopi. Kayla bertugas ke kios fotokopi itu, dan Fauzan membeli lumpia beef untuk mereka bawa pulang.

Lalu, suara halus dari gerung motor terdengar berhenti.

"Ih, Kay, ninggalin." Erlan baru datang. Tasnya dia tenteng di salah satu bahu dengan tidak benar. Rambutnya lepek, barangkali berkeringat karena lari-larian. "Aku tadi ke gedung bahasa, tapi kamu nggak ada."

Kayla mendelik. "Aku nunggu tiga puluh menit dari kamu bilang sebentar lagi sampe."

Erlan pun menyadari kesalahannya. Ia tersenyum kikuk. "Maaf, tadi ada kendala dulu, jadi telat."

Di balik itu, Fauzan menghela napas. Dua tangannya sama-sama menenteng kantong plastik berisikan lumpia beef yang rencananya akan dimakan bersama di balai kota. Namun, ia tahu hal itu tidak mungkin terjadi sekarang. Fauzan pun mengulurkan salah satunya pada Kayla dari samping tubuh Erlan.

"Eh, tunggu. Bentar lagi beres, kok," cegah Kayla.

"Nggak apa-apa, aku mau pulang duluan. Lampu merah suka lama, takut kemaleman pulangnya." Fauzan menggunakan alasan rumahnya yang jauh.

"Terus klipnya?"

"Aku beli aja di warung deket rumah."

Kayla melongo melihat Fauzan dan motor piarannya melesat cepat. Ia tidak sebodoh itu untuk menyadari situasi apa yang ada di hadapannya sekarang. Oleh karenanya, sekali lagi Kayla memelototi Erlan.

Sedangkan yang dipelototi malah menyengir. "Kamu, kan, janji mau antar beli kado buat nenek aku."

—————————–✄

Angin malam di Bandung terasa lebih menusuk daripada biasanya. Membuat Kayla merekatkan lagi dirinya di dalam dekapan jaket. Beruntung ia memakai celana di dalam celana. Kalau saja tidak, mungkin ia sudah menggigil dan memukuli Erlan sembari meneriakinya maling agar ada yang membantu.

Setelah pulang dengan membawa setumpuk fotokopian tugas, pergi ke rumah Pak Dedi dan membawa lembar kehadiran yang dijaga baik-baik, Kayla meminta izin untuk menemani temannya. Beruntung, orang tuanya mengizinkan dengan catatan jam delapan tepat ia harus menginjakkan kaki di rumah.

Namun, melihat mereka sekarang yang sudah mengelilingi bundaran tiga kali membuat Kayla pasrah.

"Nggak ada, ih. Mapsnya yang nipu," omel Kayla. Erlan terus terkekeh sembari menyetir, mengundang Kayla untuk memukul bahunya. "Serius, deh, ini kamu salah titik, kan?"

"Kamu yang salah baca," ejek Erlan. Ia melengok ke arah kaca spion demi melihat reaksi Kayla. "Bacanya yang bener, kita belok atau lurus terus?"

"Ke atas."

"Yang bener?"

"Ya udah baca sendiri!"

"Kan aku nyetir. Kalau aku baca, nanti kita jatuh. Aku bisa dimarahin ayah kamu."

Kayla cemberut. Perutnya yang keroncongan sama sekali tidak membantu. "Ke pinggir dulu, deh."

"Kenapa?"

"Lapar!"

Tanpa banyak bertanya lagi, Erlan mencari space kosong untuk memarkirkan motornya. Ia menerima helm Kayla sembari menatapi betapa kusutnya muka gadis itu. "Cewek kalo marah galak, ya? Kayak Kak Ros."

Kayla menyipit dari sudut mata. "Kamunya yang nggak peka."

"Ayo, kita beli nasi goreng." Tanpa menunggu persetujuan, Erlan menarik Kayla ke sebuah gerobak yang berada paling dekat dengan mereka. Tangannya menangkup lembut, tidak menekan sekaligus menjaganya untuk tetap tergenggam. "Kamu, kan, suka nasi goreng." Sambil berjalan, ia berkata demikian.

Kayla memalingkan wajahnya setelah dua detik yang terasa amat panjang ia gunakan untuk memandangi punggung tegap lelaki di depannya. Entah mengapa, ia merasa sudah tidak mau mengenakan jaketnya karena kehangatan lain.

Mereka berdua duduk di kursi taman yang tidak jauh dari si Penjual. Ada beberapa orang yang mengisi taman yang sama. Di kelilingi penerangan tiang lampu di tiap sudut lingkaran dengan jarak masing-masing tujuh meter, membuat tengahnya yang luas jadi terasa sedikit gelap. Bintang-bintang di atas sana gemerlapan, dibantu bulan yang sesekali dilalui awan. Dan entah kenapa Kayla merasa bulan itu sebentar lagi akan diculik utuh-utuh oleh awan di sekitarnya.

Orang-orang yang sengaja datang untuk berjogging terkadang melalui jalan di hadapan mereka, sebagian berpeluh dengan kecepatan sedang, sementara sebagian lain berlari cepat tanpa terlihat berpeluh sama sekali. Orang-orang dengan lari yang cepat rata-rata memakai headphone di kepala mereka.

Kayla berhenti memandangi orang-orang di sekitarnya saat ia merasakan sebelah wajahnya panas karena tatapan seseorang. "Apa?"

Erlan tersenyum. "Sewot banget, sih."

"Iyalah, nunggu orang lama banget," ungkit Kayla.

"Iya, maaf, maaf." Dapat Kayla akui, muka Erlan menyebalkan saat mengatakannya. Lelaki itu tidak repot-repot menembunyikan selipan nada mengejek. Namun, Kayla menghentikan rasa kesalnya saat Erlan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Tadi aku cari-cari pengrajin yang aku pesenin. Dia ternyata pindah tempat jualan."

"Kado buat nenek kamu?" tanya Kayla, melihat benda yang Erlan ulik di tangannya.

"Bukan, kado buat nenek udah aku beli dari kemarin. Aku cuma ... mau sama kamu lebih lama hari ini." Untuk memadamkan api yang hampir meledak, tangan Erlan cekatan memberikan benda yang sedari tadi dipegangnya. "Nah, coba lihat dulu."

Mengabaikan jantungnya yang bertalu dan menyamarkan dengan ekspresi marah yang entah kenapa tiba-tiba menguap, Kayla berpura-pura menatap tajam sebuah ukiran di tangannya. "Kenapa patah love-nya?"

"Sengaja," jawab Erlan.

Sebisa mungkin, Kayla berusaha untuk tidak menyadari ada huruf K kecil di bawahnya. Ia membolak-balikkan ukiran itu, memperhatikan detail lain selain inisial yang tertera hampir jelas baginya untuk terlihat.

Melihat gelagat Kayla, Erlan menyeringai kecil. Sayang sekali, ia gagal menggodanya karena dua porsi nasi goreng itu sudah datang. Mereka makan dengan tidak tenang, terutama karena Erlan yang tidak berhenti bicara. Lelaki itu terus saja menemukan pembahasan untuk hal kecil, sekalipun semut ia bahas.

Rasanya, sisi kanak-kanak keduanya muncul. Mereka duel untuk memenangkan siapa yang paling banyak dihampiri semut. Beberapa butir nasi goreng dijatuhkan sebagai umpan, sampai kucing liar datang dan mereka berakhir makan bertiga.

Kayla juga sepenuhnya lupa dengan rasa kesal tadi sore dan beberapa saat lalu.

Lalu, pembahasannya tiba-tiba kembali ke awal, "Kalau gitu, potongan lainnya mana?" tanya Kayla, memperhatikan kucing betina itu yang berada dalam pangkuan Erlan, nyaman dielus-elus.

"Besok baru bisa diambil," jawab Erlan, lantas mengangkat tatapannya. "Boleh minta tolong lagi, nggak?"

"Nggak," jawab Kayla asal.

"Sebentar, kok, sekalian kamu pergi ke sekolah," bujuk Erlan. "Tempat jualan baru si Mangnya deket lingkungan perumahan kamu. Di sisi kanan jalan, deket tikungan sebelum ke jalan raya. Bilang aja mau ngambil pulang Erlan."

"Kalau aku nggak mau, gimana?"

"Nanti aku kasih kamu hadiah."

"Dih, nyogok ceritanya."

Erlan tertawa pelan. Ia mengendik ke arah samping tubuh Kayla. "Bunga apa itu, ya? Cantik banget," tunjuknya pada sebuah melati bintang berwarna putih.

"Mana?" Kayla belum sepenuhnya menoleh saat pipinya tersapu rambut Erlan yang membungkuk ke sampingnya. Lelaki itu menjulurkan badannya demi memetik sendiri bunga tersebut, membuat Kayla berubah kaku di tempat, sebisa mungkin berusaha tidak bergerak lebih.

Kemudian, bertambah tekanan udara baginya ketika wajah Erlan berada tiga puluh senti di depannya, dengan tangan yang menyelipkan bunga di sela-sela telinga Kayla. "Bunganya jadi tambah cantik," gumam Erlan. Dalam sorotnya, terpantul sinar dari lampu tiang.

Kayla tahu, jika ia bertahan dalam posisi itu lebih lama lagi, senyumannya akan mengembang tanpa bisa dicegah. Buru-buru, keputusan bijak untuk segera berdiri ia lakukan. Kayla lebih dulu mengantarkan piring kosongnya pada si Penjual, mengabaikan kekehan Erlan dan panggilan berulang besuarakan namanya.

Jok belakang langsung dinaiki tanpa menunggu si Sopir datang. Kayla menaruh ukiran kayu yang berukirkan inisial K di dashboard si Mio Merah. Erlan menghampirinya tidak lama setelah membayar. Dengan muka jahil, ia menyerahkan helm, tanpa mengatakan apa-apa.

Perjalanan pulang dipenuhi diam yang menggelitik. Mereka tidak lagi saling bicara selama si Mio Merah menyusuri jalanan pusat kota Bandung. Kayla tidak berprotes saat Erlan lagi-lagi sengaja tersesat dalam dua kali putaran di tempat yang bisa langsung memandangi langit.

Bulan yang batal diselimuti awan kelabu seolah mengatakan pada Kayla yang terus memandangnya, bahwa gadis itu tahu makna dari senyumannya sendiri yang tidak luntur barang sedetik pun. Mengabaikan hal yang terjadi saat latihan teater beberapa hari lalu.

—————————–✄

Pagi harinya, Kayla merasa lebih semangat dari kemarin. Perutnya dililit rasa tidak sabaran agar ia cepat bersiap dan pergi ke sekolah. Beberapa ekor burung menjadi saksi bagaimana Kayla yang biasanya menggerai rambut, kini menggayainya dengan beberapa hiasan.

Langkah Kayla memelan saat ia menuruni undakan tangga, tahu apa yang tengah menunggunya di bawah. Dan, benar saja ….

"Kak, bunganya mana?" Lara, adiknya, duduk di meja makan sembari tersenyum usil. Tangan digunakan untuk menyangga wajah.

Pipi Kayla bersemu, dan ia memilih untuk mengabaikan pertanyaan tersebut. "Bu, Ayah mana?"

Tangan ibunya berhenti dari mengaduk segelas susu. "Sebentar lagi turun. Kenapa? Pacar kamu nggak akan jemput?"

"Tahu, tuh, semalam nggak dikenalin dulu," tambah Lara.

Wajah Kayla semakin memanas. Ia menunduk dalam-dalam dan menyumpal mulutnya dengan sesendok makanan. Tidak mau menambah api yang akan melalap rasa malunya. Di dalam hati, Kayla menjawab, ia bahkan tidak berpacaran dengan Erlan.

Tidak lama kemudian, ayahnya turun. Matanya terus memicing pada Kayla, seolah belum merestui hubungan yang bahkan tidak dimulai. Mereka sarapan bersama dengan Kayla yang memilih bisu untuk beberapa saat, karena pikirannya sudah berangkat duluan ke sekolah.

Di perjalanan, sesuai yang Erlan minta, Kayla meminta ayahnya untuk berhenti sebentar di depan sebuah kios berfunitur kayu dekat belokan sebelum jalan raya. Toko manik-manik dan ukiran. Gadis itu terkagum sendiri mengapa Erlan terpikir untuk membeli sesuatu seperti ini.

"Permisi," ucap Kayla. Seseorang langsung muncul, menyembulkan kepalanya, seorang paruh baya yang kelihatannya masih sanggup lari marathon. "Saya mau ambil pesanan Erlan."

"Oh, pahatan itu, ya. Tunggu sebentar." Dalam kilas, pria itu kembali dengan pahatan berbentuk patahan hati di tangannya. Kali ini, ada gantungan yang terpasang. "Maaf, harusnya jadi kemarin sore, tapi karena stok rantainya habis jadi harus beli dulu," Pedagang itu sepertinya menjelaskan ulang yang sudah dikatakannya pada Erlan.

"Tidak apa-apa," kata Kayla disertai senyum. "Makasih, ya, Pak."

Klakson berbunyi. Kayla berbalik dan mendapati ayahnya yang mengendik pada lampu yang sudah berubah hijau. Buru-buru, Kayla berpamit dan kembali ke mobil.

Hal pertama yang Kayla lakukan ketika tiba di sekolah adalah mencari Erlan. Namun, rasanya percuma karena sedari tadi lelaki itu tidak kelihatan batang hidungnya. Waktu masih menunjukkan sepuluh menit lagi untuk bel masuk berbunyi, jadi Kayla memutuskan untuk menunggunya di kelas saja.

Seusai menaiki tangga, ia berpapasan dengan Fauzan yang dating dari sisi lain, tetapi lelaki itu segera berpaling wajah dan pura-pura tidak melihat. Kalau saja Kayla tidak menarik tangannya, mungkin Fauzan sudah menghantamkan kepalanya ke daun pintu yang tiba-tiba terbuka.

"Hati-hati," ujar Kayla.

"Eh, iya …."

"Kamu lihat Erlan, nggak?" Kayla tidak dapat menahan dirinya dari bertanya demikian. Meski tahu reaksi Fauzan akan bagaimana selanjutnya.

Namun, alih-alih berparas masam, Fauzan malah meringis. Kelihatan merasa bersalah. Ia mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya. "Tadinya aku cuma mau jailin dia, tapi kayaknya dia nggak ada niatan buat ambil balik buku itu lagi."

Diterimanya buku tulis Pancasila yang seharusnya dikumpulkan hari ini. Lembaran di mana seharusnya Erlan tulis dengan tugas masih kosong, Kayla mengernyit. "Kamu ngejailin dia supaya nggak ngerjain tugas?"

"Mau nggak diambil bukunya sama aku juga, dia nggak akan ngerjain tugasnya, Kay."

"Kenapa? Pak Ade, kan, galak." Kayla mencoba menepis rasa bersalah yang kentara dari suara Fauzan.

"Dia pindah sekolah," ungkap Fauzan. "Kemarin ngurusin kepindahannya ke Banten."

Beberapa kali, Kayla mengerjapkan matanya. Berusaha sadar dari lamunan yang menolak fakta bahwa ia berada dalam kenyataan. Dipandanginya pahatan kayu yang berinisialkan E kecil di bawahnya. Sembulan relief menyerupai daun jatuh di antara motif meliuk membuat Kayla sadar, "Pantas saja patah."

🍀🍀🍀

Penulis: lavenpichie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top