13. No, Chandy. Chanda aja.


Temukan dan tandai Typo ya geng.
Yang belum polow aku, jika berkenan silakan polow, agar tidak ketinggalan inpoh. 💙

Sebelum membaca, aku mau berkata, karena banyak yang salfok dengan nama Wenda yang ada bahasa Inggrisnya (Four). Kira-kira kalian penasaran tidak dapat dari mana aku nama se-estetik itu?

Yang penasaran dan ingin mendengarkan asal muasal nama FourWenda?

Yang tidak tertarik?

***

"Chan, mau sering-sering, boleh?"

Chandra sedikit menunduk, menatap lurus mata Wenda yang berada di bawah sana. "Nggak! Nggak ada sering-sering. Sekali ini aja, cukup!" tegas Chandra tak mau dibantah.

"Tapi nanti tampung benihnya yang banyak, ya. Kan siapa tahu nanti ada yang hidup sampe besar dua, kan jadi kembar." Wenda tersenyum membayangkan apa yang ia inginkan di kepala kecilnya.

"Kayak yang bisa aja ngurus anak kembar," cibir Chandra pada wanitanya.

Wenda tak menghiraukan cibiran itu, ia masih asyik merancang rencana untuk ke depan. Sesekali wanita itu melirik wajah Chandra, ia sangat beruntung memiliki suami seperti Chandra. Pagi hingga siang lelah dengan kuliahnya, disambung harus mengantarkan Wenda ke psikiater, dan sekarang meski matahari sudah meredup, ia harus menuruti keinginan Wenda. Ia harus kerja keras lagi.

"Sayang, buruan. Ini kita dari jam empat sore loh gini ... gini aja. Dan sekarang ...." Chandra melirik jam tangannya. "Tuh, bentar lagi azan magrib, tapi belum juga keluar."

Wenda mendongak, memajukan bibir bawahnya. "Kok aku yang disalahin? Kan yang gerak kamu, harusnya tadi kamu gerak lebih cepat, ngebut aja. Udah tau aku kalo urusan beginian suka lama."

Chandra menghela napas berat, ia sedikit menunduk, meraih tubuh Wenda. "Berdiri, buruan. Nungguin kamu lama. Bisa-bisa sampe dua tahun kamu jongkok kayak gini, nggak kelar-kelar."

Wenda bangkit sesuai titah Chandra. Wanita itu berdiri membelakangi suaminya, ia sedikit menunduk, tangannya bertumpu di kedua lututnya.

Wenda menatap Chandra dari pantulan kaca bening persegi panjang di depannya. Wanita itu terkekeh kecil, melalui bayangan dari kaca transparan, Wenda memperhatikan Chandra yang bergerak gusar, wajah pria itu sesekali mengeram, matanya tertutup beberapa detik menahan sesuatu yang sejak hampir dua jam ia tahan agar tidak meledak.

"Chan," panggil Wenda menoleh ke belakang. Namun, posisinya masih sama. "Enak adopsi ikan kayak Chabe, atau kura-kura Brazil?"

Chandra mengeram mendengar pertanyaan itu. Rahangnya mengetat. "Allahu Akbar! Dari tadi kamu jongkok depan akuarium itu masih belum tau mau adopsi yang mana? Terserah kamu mau yang mana, asal cepat, buruan kita pulang."

Wenda menegakkan tubuhnya, berdiri menghadap Chandra. "Kamu Kenapa sih? Tiap aku minta temenin selalu pengin cepat pulang. Nggak ke pasar, nggak ke supermarket! Nggak bisa emang kayak suami-suami orang di luar sana, nemenin istrinya belanja."

"Aku mau temenin, tapi nggak lama begini, Sayang. Ini hampir dua jam kita di sini."

Permintaan Wenda pada Chandra untuk memberi Chabe adik hingga detik ini masih belum ia putuskan, mau jenis apa adiknya Chabe yang ia inginkan.

Cukup lama mereka berada di sini, di tempat khusus menjual hewan peliharaan air. Beraneka ragam jenis hewan air membuat Wenda kesulitan memutuskan mau yang mana.

"Makanya kamu sering-sering ajak aku ke sini, biar aku bisa lihat-lihat hewan peliharaan di sini."

"Sayang, ini bukan kebun binatang tempat pariwisata. Ini tempat orang jualan hewan peliharaan. Ngapain kamu ke sini sering-sering kalau nggak beli?" Chandra memberi pengertian pada Wenda, tangannya memegang pundak Wenda erat.

Wenda mencebikkan bibirnya, garis senyum datar ia tarik. "Ya udah deh, adopsi kura-kura aja, tapi beli bibit ikan itu juga, ya? Yang banyak, siapa tau nanti bertahan lama sampe gede," tunjuk Wenda pada akuarium di sebelahnya.

Chandra memijit pelipisnya. "Sayang ... itu benih ikan bukan buat dipelihara, tapi buat makanan hewan yang lain. Buat makanan kura-kura ini contohnya."

"Jadi, cuma kura-kura aja yang di adopsi?" tanya Wenda polos. "Boleh dua, nggak?"

"Satu aja. Aku nggak yakin kamu bisa urusnya dengan bener. Chabe aja keseringan aku ngasih makan. Mami macam apa itu? Anaknya kelaparan begitu."

Wenda mendelik tajam tidak terima dengan ucapan Chandra. Namun, mau protes pun percuma. Semua yang diucapkan suaminya itu benar adanya.

***

Akhirnya, setelah dua jam Wenda berpikir antara ikan sejenis guppy seperti Chabe atau kura-kura yang akan ia adopsi untuk dijadikan anak ke dua mereka.

Dengan segala macam pertimbangan, pasutri itu mengadopsi kura-kura dengan jenis red ear slider atau biasa disebut kura-kura Brazil. Bentuknya yang kecil dan khas, serta warnanya unik dengan ciri khas merah pada telinganya inilah membuat hewan ini banyak digemari. Terlebih lagi, merawat kura-kura Brazil sebenarnya tidak membutuhkan banyak perawatan khusus, cocok untuk Wenda yang kerap kali lupa akan anak-anaknya.

"Chan isi air, ya?" tanya Wenda dengan tidak sabarnya menunggu akuarium yang sedang Chandra tata itu.

"Iya, bentar lagi, ini aku lagi benerin dulu rumah atasnya."

"Biar aku! Aku ambilin airnya, ya?" Wenda menawarkan dirinya.

Chandra berhenti dari gerakan memutar baut pada jembatan aksesoris untuk rumah kura-kura itu. "Emang kuat? Sedikit aja embernya diisi, nggak usah penuh-penuh. Nggak kuat kamu ngangkut airnya entar."

Wenda berbalik, berlari tergesa mencari ember untuk ia isi air ke dalam akuarium anak barunya.

"Ambil dari kamar mandi dapur aja, Sayang. Nggak usah dari keran belakang. Kejauhan di sana!" teriak Chandra yang entah didengar atau tidak.

Chandra kembali menata semua aksesoris ke dalam akuarium persegi panjang itu. Fokusnya pecah saat teriakan Wenda menggema hingga ke ruang tengah.

"Chan ... nggak kuat aku angkatnya!"

"Ya udah, tinggalin aja di sana. Nanti biar aku yang angkat." teriak Chandra.

Langkah kaki tergopoh menghampiri Chandra, wanita itu lagi-lagi berteriak kagum pada hasil karya Chandra pada rumah kura-kura itu. Wenda meraih gelas kaca bundar, tempat di mana si kura-kura mini bersembunyi.

"Halo, kamu seneng? Itu rumah kamu hampir jadi. Papi kamu yang merancangnya khusus buat kamu. Dia arsitektur rumah kura-kura dan ikan." Wenda bermonolog pada mainan barunya.

"Chan, dia belum punya nama. Kasih nama, ya?" tanya Wenda pada Chandra yang masih sibuk pada akuarium itu.

"Mau kasih nama apa? Jangan yang aneh lagi, ya. Cukup Chabe aja kamu kasih nama aneh!" peringat Chandra tegas.

Cukup nama Chabe saja yang membuat hatinya ngilu. Tidak untuk ke dua kalinya.

"Rachandi," sahut Wenda.

Chandra menoleh, menatap Wenda lamat. "Artinya apa? Terus panggilannya Racha? Kayak satuan berat dalam matematika.".

"Itu neraca! Ih," cibir Chandra.

"Ya terus artinya apa? Ada kepanjangan lagi, kayak Chabe?"

Wenda menarik senyum tinggi, hingga matanya membentuk bulan sabit. "Rachandi itu singkatan dari Raffa Chandra Dirganis. Panggilannya Chandi."

"Chandy? Pake Y?"

"Nama kamu kan pake I, gimana sih." Wenda menggerutu. Ia menyimpan kembali gelas kaca berisi kura-kura itu.

"Pake Y, sih, Sayang. Biar berasa gabungan nama aku sama Wendy."

Wenda melipat tangannya di depan dada, tatapannya tajam menghunus Chandra. Wanita ini memang seunik itu, ia boleh mengakui sang idola sebagai suaminya, tetapi tidak berlaku pada Chandra. Sebagai mana pun Chandra mengidolakan penyanyi wanita asal Korea itu, haram hukumnya Chandra mengakui sang idola sebagai pacar atau istrinya.

"No Chandy! Chanda aja. Chandra Wenda!" Wenda menekan namanya di akhir.

Chandra terkekeh, wanita itu masih seperti dulu. Tidak akan mau membagi apa yang menjadi miliknya pada orang lain.

Wenda berjalan ke arah akuarium Chabe. Ia mengetuk-ngetuk kaca rumah anak ikannya. "Kamu punya adik sekarang, Be. Gimana, Be? Enak nggak jadi kakak."

"Keluarga ini gimana konsepnya, sih. Orang tuanya manusia. Anak yang tua ikan, anak ke dua kura-kura Brazil. Aneh banget."

"Tuan Crab, lobster, tapi anaknya paus. Spongebob spon, tapi peliharaannya siput. Micky Mouse tikus, tapi peliharaannya Pluto anjing," cerca Wenda, tidak terima keluarga kecilnya dikatakan aneh, meski itu suaminya sendiri.

"Iya, iya. Serah kamu aja. Buruan bawa sini si Chandy."

"No, Chandy. Chanda aja namanya. Nggak jadi Chandi.

Chandra tergelak mendengar Wenda dengan menggebu memperbaiki nama kura-kura kecil itu.

"Iya, iya. Chanda, anaknya Chandra Wenda, adeknya Chabe. Ayo bawa sini, Bu. Ini rumah anaknya sudah selesai dibangun."

Wenda meraih gelas kaca bundar, menyimpannya di atas lantai dekat kaki Chandra. Pria itu berjongkok, meraih hewan kecil dengan cangkang berwarna perpaduan hijau dan kuning.

Dengan hati-hati, Chandra mengambilnya, hendak memindahkan pada akuarium. Namun, tiba-tiba pergerakan pria itu terhenti saat Wenda ingin memotret Chanda-anak kura-kuranya.

"Pegang yang bener, ya, Chan. Mau aku posting di Instagram."

Wenda mengarahkan ponselnya ke arah Chanda yang bertengger di atas telapak tangan Chandra.

"Dih! Jelek banget anak Chandra."

Wenda terkikik geli melihat hasil jepretannya. Ia membalik ponselnya, layar benda canggih yang dipenuhi dengan foto Chanda bisa Chandra lihat dengan jelas.


Chandra menyentil dahi Wenda, gemas sekali rasanya dengan wanita ini. Saking gemasnya ingin Chandra tiduri sampai pagi. Tanpa ampun!


Tanjung Enim, 8 Agustus 2021

Selamat malam. Halo?
Sesuai ucapan di atas. Jadi, aku mau menjelaskan perihal nama Four Wenda.

Jadi sebelum cerita ini dibuat, aku cari nama dulu untuk cast aku.
Karena aku suka nama yang menyerempet ke si visual aslinya. Krn aku pake Wendy jadi aku berniat jadi Wenda. Nemulah satu nama "Navera Wenda"

Terus ingat Dulu waktu SMA aku punya adik kelas namanya Fourwendah. Awalnya aku yang kayak speechless pertama kali tau nama anak itu yang menurut aku unik. Yaaapp. Sama kayak Wenda. dia anak ke 4, bedanya sodaranya perempuan semua. Wenda saudaranya cowok semua.

Jadi, bisa dikatakan nama Four Wenda terinspirasi dari nama dia. Cuma aku bedakan dengan menambahkan Navera di depan, dan ejaannya Four Wenda dipisah tanpa H.

Sekian dari aku. Apakah kalian Berniat kasih nama anak dengan menggabungkan bahasa Inggris dan Indonesia? Atau bahasa Korea Indonesia, mungkin ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top