15 - Trial and Error
Kurasa aku mulai menikmati rutinitas pagi ini; membasuh muka saat matahari belum tampak, menikmati dinginnya air keran wastafel ketika berkumur, kemudian dilanjutkan dengan mendengarkan senandung penggorengan dan suara air mendidih ketika memasak. Aku tidak pernah menikmati momentum menenangkan ini sebelumnya, selain selalu menganggapnya sebagai aktivitas paling merepotkan.
Kalau kau bisa membeli makan saat lapar, kenapa harus repot-repot memasak?
Itu pemikiranku dulu, sebelum Killian memuji kalau masakanku enak. Dia tidak selalu mengatakannya, tetapi saat melihat dia memakan masakanku yang ala kadarnya itu dengan lahap, aku jadi kecanduan. Bukan memasaknya, melainkan kecanduan melihat wajah semringah pria itu saat sudah kenyang.
Apakah orang-orang memasak karena merasakan hal yang sama sepertiku, atau mereka hanya merasa itu adalah kewajiban yang harus dilakukan? Terlebih untuk wanita yang berstatus sebagai istri sepertiku?
Aku hidup di masa di mana orang-orang sudah berpikiran modern, ketika globalisasi berkembang pesat dan munculnya teori-teori baru yang perlahan menggeser paham-paham lama. Orang-orang di masa lalu tidak setuju wanita berpendidikan tinggi atau memiliki karier bagus, karena saat sudah diperistri oleh seorang pria, mereka hanya harus fokus melayani.
Hingga akhirnya, banyak orang menganggap pernikahan adalah pencapaian terbesar seorang wanita. Sebenarnya, masih banyak orang sebayaku yang berpikir demikian. Aku ingat ketika beberapa kali diajak menghadiri pernikahan orang lain dan menemukan mereka sangat bahagia. Aku lantas bertanya, kenapa dia tidak berhenti tersenyum? Apakah menikah semembahagiakan itu?
Lalu jawaban yang kudengar, tentu saja karena mereka saling mencintai.
Memangnya cinta saja cukup untuk membayar sisa waktu yang akan direnggut karena harus didedikasikan kepada suami?
Itulah masalahnya. Aku belum pernah jatuh cinta dan belum memahami bagaimana orang-orang bisa seikhlas itu mengorbankan waktunya untuk orang yang disayangi. Walau aku juga menyayangi Killian, tetapi konsep sayang di sini agak berbeda.
Aku masih berusaha memperjuangkan hakku, tidak rela membiarkan waktuku tersita terlalu banyak untuk mengurus rumah tangga. Seperti yang sudah direncanakan, aku akan membagi tugas kami. Killian terlalu sibuk beberapa hari ke belakang, jadi aku menyusunnya sendirian. Dan di hari Minggu yang cerah ini, aku akan memaksa Killian untuk tetap duduk di meja makan dan membicarakan semuanya.
"Kau memasak lagi hari ini."
Aku tidak tahu kalau Killian berada di dapur karena terlalu asyik menikmati kopi sambil memandang kertas yang bertuliskan 'Pembagian Tugas di Rumah'. Dia baru kembali dari jogging dan bermandikan keringat.
Ketika Killian membuka jaket dan memamerkan kaus dalamnya yang berwarna abu-abu ketat, aku langsung teringat akan model pria di musim panas. Sekitar leher dan bahunya berkilau, tetapi aku tahu kalau para model itu tidak benar-benar membuat dirinya berkeringat dulu sebelum difoto. Kru fotografer pasti tidak akan tahan berlama-lama di sana.
"Jangan letakkan jaketmu di sana, langsung masukkan ke keranjang." Aku menunjuk sebuah keranjang yang posisinya ada di samping pintu ruang mencuci, tepat sebelum jaket basah Killian menyentuh sandaran kursi makan.
"Kau semakin strict soal kebersihan, Ana," keluh Killian, tetapi dia tetap berjalan menghampiri keranjang dan melemparkan jaketnya ke sana. "Celana ini juga kena keringat, apa harus kumasukkan ke keranjang juga?"
Killian yang menyebalkan. Tangannya bahkan sudah berada di lingkar karet celananya, sudah siap untuk diturunkan.
"Sekalian saja kau masuk ke sana dan jangan keluar sampai mesin cuci menggilingmu."
Dia tersenyum puas sekali setelah berhasil membuatku kesal. Pria itu mampir sebentar ke wastafel untuk mencuci tangan dan sekarang sudah duduk di seberangku.
Aku tidak memasak banyak. Hanya Spinach Mushroom Strata dengan ekstra keju dan Caramelized Onion Frittata--karena Killian membutuhkan protein, jadi aku memasak menu berbahan utama telur ini untuknya. Aku cinta keju dan Killian suka bayam--dulu aku sering menjulukinya Popeye--menu sarapan hari ini mencampurkan keduanya dengan sempurna.
Aku mungkin tidak pandai memasak, tetapi izinkan aku untuk merasa bangga atas menguarnya aroma hasil masakanku saat ini. Aromanya memenuhi dapur sampai aku tidak sabar ingin segera menyantapnya. Kuharap aromanya tidak menipu lidahku.
"Wow. Hari ini menunya spesial," celetuk Killian sembari meraih garpu dan sendok dari rak. Kurasa dia benar-benar kelaparan sampai buru-buru meraih dua potong Frittata tanpa menungguku. Padahal aku menunggunya pulang sejak tadi. Namun, aku sedang malas untuk protes dan menyusulnya makan.
"Waktu memasakku lebih banyak hari ini."
"Kau tidak pergi ke Macy's?"
"Ini hari Minggu. Aku punya dua karyawan yang berjaga di tenant, jadi aku akan menyelesaikan urusanku denganmu hari ini. Kuharap kau tidak berencana pergi ke mana pun." Aku mengancam sampai menodongkan garpu ke arah mukanya.
Killian memicing, aku tentu tahu dia akan kebingungan karena aku tidak mengatakan apa yang kumaksud.
"Apa aku melakukan kesalahan lagi?"
Aku tidak menjawab, tetapi melayangkan pandangan pada setumpuk kertas di sebelah kiriku. Killian mengikuti arah pandangku dan spontan mengerutkan dahi. Well, itu adalah reaksi yang sudah kuduga akan kuterima darinya.
"Kau serius?" Dia meraih satu salinan dan mulai membacanya. Padahal aku tidak ingin membahasnya sekarang karena kami harus sarapan, tetapi dia sudah melakukannya. Ya, sudahlah.
Aku menikmati sarapanku selagi Killian sibuk membaca. Sisa makanan di piringnya terabaikan dan itu membuatku agak kesal. Yang kuinginkan dari memasak sarapan adalah melihatnya kekenyangan, itu saja.
"Jadi, aku kebagian tugas yang berat. Mencuci mobil, mengantarkan cucian ke penatu—"
"Cucian yang bukan pakaian kita."
Killian memandangku seperti aku adalah anak kecil yang berbuat salah dan harus dimaklumi. Pria ini terkadang selalu bertingkah seolah-olah dia lebih tua sepuluh tahun dariku. Bukan karena perhatian yang kudapat darinya, tetapi reaksi Killian ketika aku baru melakukan sesuatu yang tidak biasa baginya.
"Hm. Kau sudah menuliskannya secara spesifik di sini. Seprai, selimut, horden. Aku bisa terima. Kau masih memegang tanggung jawab lebih besar untuk membersihkan rumah. Kau yakin tidak perlu bantuan?" Killian memandangku dengan serius, menuntut kepastian dariku.
Dia tidak tahu saja, aku menghabiskan waktu tiga hari untuk menuliskan pembagian tugas itu, tentu saja sudah kupikirkan dengan sangat matang. Apa yang mampu kulakukan sendiri, dan apa yang memang harus membutuhkan tenaga tambahan. Mana mungkin aku akan membiarkan dia enak sendirian.
"Jangan lupakan catatan penting di bawahnya. Di situasi tertentu, aku pasti akan meminta bantuanmu." Dan, ya, aku memberi penekanan pada lima kata terakhir.
Killian hanya mencebik dan mengangguk-angguk. Keningnya berkerut lagi sebelum membaca lagi tulisan di sana dengan lantang.
"Membuat sarapan akan menjadi tugas Ana, kecuali jika dia sakit atau pergi. Makan siang masing-masing, kecuali jika ingin membuat janji makan bersama di luar. Ana tidak akan memasak untuk makan malam jika tidak membuat janji terlebih dahulu." Sekarang tatapan penuh tanya itu tertuju kepadaku. "Kenapa kau tidak memasak makan malam?"
"Apa kau akan selalu makan malam di rumah?" Aku meletakkan sendok dan garpuku ke atas piring yang sudah kosong, sengaja membuat suara dentingan yang agak keras karena topik ini sedikit membuatku terganggu. "Kau sering lembur, Killian. Mungkin akhir-akhir ini tidak, tapi ketika proyek mulai membanjirimu, kau mungkin akan pulang hanya untuk mengganti pakaian. Belum lagi kedekatanmu dengan Gabby, kau lebih sering makan malam dengannya daripada denganku. Tentu saja aku tidak akan membuang-buang tenaga untuk memberi makan diriku sendiri. Apalagi malam, aku juga cukup repot dengan pekerjaanku."
Ketika itu terjadi, aku biasa saja. Namun, saat aku mengungkapkannya, rasanya seperti hatiku sedang ditekan oleh batu besar, menyesakkan sekali rasanya. Apalagi di bagian dia lebih banyak makan bersama Gabby.
Ini di negara orang, dan hanya berdua dengan Killian. Kalau dia tidak ada, aku kesepian ketika makan sendirian. Beruntungnya menjadi desainer cukup menyita waktu karena aku harus mendesain. Jadi, tidak ada waktu tersisa untuk mengasihani diri sendiri.
Bagian yang paling tidak kusuka adalah ketika Killian bahkan tidak tampak peduli, atau enggan untuk tahu bahwa aku kesepian. Bukannya menjanjikan bahwa dia akan lebih sering makan di rumah, dia justru mengangguk, seperti sedang menyetujui apa yang sudah kutulis.
Mungkin dia lupa sudah memaksaku agar mau ikut dengannya ke New York.
"Kau benar. Oke, sampai sini aku setuju." Dia fokus membaca lagi. "Kurasa membersihkan halaman tiap hari Minggu dan menanam beberapa tanaman pagar bukan ide yang buruk juga."
Aku hanya mengangguk. Sejak tadi, aku menantikan dia tiba di halaman terakhir. Itu bagian favoritku.
"Jika orangtua atau saudara atau kerabat kita datang dan menginap, kita harus tidur sekamar dan di kamar Ana. Kenapa bukan di kamarku?"
Aku mengedikkan bahu. "Aku tidak mau repot-repot mengangkut barang-barangku. Jadi, kau saja. Bajumu bisa tetap di storage room kamarmu, mereka tahu kalau bajuku sangat banyak." Itu adalah jawaban paling masuk akal yang bisa diterima.
"Ya Tuhan, kau bahkan berpikir sampai sejauh ini. Memangnya mereka mau datang jauh-jauh ke sini?"
"Entah. Ketidakmungkinan itu bukan berarti tidak akan terjadi, Killian. Dunia penuh dengan misterinya, kau tidak akan bisa menebak satu pun."
"Andai bukan karena kau, Ana, mana mau aku mengalah."
Aku tersenyum lebar untuk menyambut kepasrahan Killian dan makin bersemangat lagi ketika dia tiba di halaman terakhir. Lihatlah bagaimana ekspresinya sekarang, kaget dan tidak percaya.
"Ini serius?" Dia menunjuk tulisan di kertas dengan telunjuknya. Tentu saja aku mengangguk sangat kuat.
"Cicilan rumah, listrik, air, internet, perawatan rumah menggunakan uang Killian. Ana bertanggung jawab untuk biaya berlangganan koran, majalah, dan belanja bulanan. Bukankah ini berat sebelah?" Killian dengan wajah merengutnya adalah hal terbaik yang kulihat pagi ini.
"Kau seorang pria, penghasilanmu jauh lebih banyak dariku. Dan kau tahu sendiri kalau aku perlu menyisihkan uang untuk membangun butikku sendiri. Berada di Macy's tidak akan berlangsung selamanya." Aku menjawab dengan tenang, semenenangkan nasibku di masa depan.
"Aku bisa membantumu untuk itu."
Aku menggeleng ringan. "Tidak. Aku ingin memiliki butik yang memang dari hasil jerih payahku sendiri. Butikku tidak akan memberi keuntungan apa-apa padamu. Sedangkan porsi pengeluaran yang kubagi itu, memang apa yang kita butuhkan. Sebaiknya kau tidak perlu berinvestasi pada cita-citaku kalau akhirnya kita akan berpisah dan, ya ... penyesalan bisa datang pada siapa saja. Mungkin setelah keuanganku stabil, kita bisa mengatur ulang kesepakatan ini?"
Selama beberapa saat dia diam, senentar menunduk untuk memandang tulisan tadi lagi dan menerawang ke langit-langit dapur. Apa dia benar-benar merasa keberatan? Maksudku, memangnya penghasilanku cukup apa? Ada tiga karyawan yang harus kugaji. Mungkin rumah ini milik berdua, tetapi siapa yang terus mendesak agar aku mau menikah? Tentu saja Killian.
Mungkin memang harus kami bicarakan lebih dulu sebelum menikah, sebelum aku setuju untuk menerimanya.
"Itulah tujuanku membicarakannya denganmu, Killian. Sebenarnya aku tidak ingin menerima penolakanmu, karena seminggu ini kau selalu tidak punya waktu saat kuajak membahasnya bersama hingga aku merancangnya sendirian. Tapi, aku juga tidak ingin kau keberatan. Jadi, katakan saja apa yang mengganggu pikiranmu."
Tatapan Killian melembut dan helaan napas pasrah terdengar darinya.
"Aku tidak punya alasan bagus untuk menolak. Tapi apa kau benar-benar tidak ingin kubantu?"
Dahi Killian berkerut, seperti sesuatu sedang berjalan tidak baik dalam pikiranku. Itu menurutnya, tetapi aku memang akan selalu berusaha agar tidak bergantung pada orang lain. Killian memang tipe yang suka memanjakan siapa pun yang menjadi pasangannya.
Dan aku, sebagai seseorang yang berada di sampingnya selama bertahun-tahun, sudah bosan menerima pemberian darinya. Bahkan ada di satu masa, barang-barang yang ada di kamarku didominasi oleh pemberian Killian. Padahal aku tidak sedang membutuhkan semua itu.
"Aku bukan wanita yang seperti itu, Killian. Kau lupa? Bahkan saat aku ingin beli jersei saja aku menabung dulu daripada minta uang orangtuaku."
Killian mengangguk, kurasa dia baru ingat tentang kejadian itu begitu terpancing. "Aku tidak lupa, bahkan saat ingin kubantu pun kau menolak."
"Jadi?"
Killian tidak langsung menjawab, melainkan menutup meletakkan kertas pembagian tugas ke atas meja.
"Aku setuju semuanya, Ana. Tidak kusangka kau mulai serius dengan status sebagai istri ini." Killian memamerkan seringai mautnya, tetapi waktunya sangatlah tidak tepat. Ini masih pagi untuk terpesona.
"Kita akan bercerai, 'kan? Itu yang kauinginkan. Ketika suatu saat aku akan menikah lagi dan dengan pria yang benar-benar kucintai, aku tidak ingin gagal. Jadi, bisa dibilang, masa-masa kebersamaan kita ini adalah trial and error sebelum aku menghadapi rumah tangga yang sesungguhnya. So, biasakan dirimu."
Killian yang masih mengunyah hanya merespons dengan bibir melengkung ke atas. Dia banyak melakukan itu pagi ini.
"Oke. Aku mengerti." Killian melepas sendok dan garpunya lagi. "Kebutuhanmu sebagai istri sudah terpenuhi, Ana, bagaimana denganku? Aku juga ingin menjalani kehidupan rumah tangga ini sedikit lebih serius."
Aku mengernyit, salahku juga karena terlalu fokus membaca tentang bagaimana menjadi istri sampai lupa apa yang seorang suami butuhkan. Kurasa aku perlu mengabulkan permintaan Killian kali ini, biar adil.
"Apa yang suami butuhkan?"
"Make love, Honey, at least once a week."
Oh, no.
Killian dengan fisik sempurna dan wajah yang rupawan, mungkin berhasil meningkatkan hasrat seksual wanita di luar sana. Dia adalah tipe pria yang akan mereka bayangkan saat memuaskan diri sendiri. Namun, Killian adalah sahabatku, orang yang tumbuh bersamaku dan sangat kukenal luar dalam, bagaimana mungkin aku akan bercinta dengannya?
"Tidak, Killian. Aku tidak bisa melakukannya."
"Hm. Padahal kau memintaku berperan sebagai suami dan membuatku mengeluarkan uang lebih banyak," sahutnya, pura-pura merengut. Sama sekali tidak cocok di wajahnya.
"Oh, kau membayarku untuk bercinta?" Kalau aku tidak salah menangkap maksudnya, aku akan sangat kesal nanti.
Killian mendengkus. "Kau ingin latihan menjadi istri yang baik, 'kan? Itulah yang harus kaulakukan. Lagi pula, memangnya aku tahan tinggal lama bersamamu tanpa bersenang-senang?" Dia mencolek daguku. "Lagi pula, itu salah satu tips agar rumah tangga jadi harmonis, Ana, bukankah kau ingin membiasakan diri?"
Aku tidak langsung menjawab, karena ya, agak sulit untukku membayangkan akan melakukan itu dengannya.
"Kita akan mencoba banyak gaya, tenang saja, itu tidak akan membosankan. Referensi dari film tentunya."
"Bagaimana kalau aku hamil?" Kurasa ini akan jadi alasan kuat untuk menolaknya.
"Jangan kuno, Ana, ada banyak tipe kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. Lagi pula, aku tidak keberatan kalau punya satu denganmu. Mungkin akan kupertimbangkan untuk tidak jadi bercerai?"
Killian dengan pemikirannya yang simpel dan kebiasaannya yang tidak memerlukan banyak waktu untuk memikirkan keputusannya, terkadang masih membuatku kewalahan menghadapinya. Kendati demikian, dia tidak salah memutuskan juga.
Bercinta dan memiliki anak, dua hal yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Memiliki anak akan menghambat karierku, dan bercinta akan menghasilkan satu. Aku tahu ada banyak metode pencegahan kehamilan, tetapi tidak sedikit pula yang berhasil lolos dan hamil. Ya ... namanya juga buatan manusia, tidak akan bisa benar-benar sempurna.
Killian menghabiskan sarapannya sambil sesekali menatapku. Kurasa dia menunggu jawabanku. Namun, aku justru beranjak dari kursi.
"Boleh kupikirkan dulu? Sepertinya aku harus membaca banyak artikel tentang kontrasepsi. Um, bisa sekalian kau cuci semua ini? Jangan sampai nodanya kering."
***
2k kata untuk satu scene. Wow, God bless me.
See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
19 November 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top