Chapter 10 - Bilah Tajam
Indonesia, April 2018
Pasar
Kuangkat tangan kiriku yang sedang menggenggam Blend Alpa, "It,s show time," lalu kupasangkan Blend tersebut pada Piston Belt.
Ckrek ...
... "Alpa" ... "Ready" ...
Ohow yeah, sekarang tinggal satu lagi. Kutarik tuas pegangan pada Piston Belt dan kutahan selama lima detik. ... Pssshh ... dan kukembalikan tuas itu pada tempatnya dalam satu hentakan, "BERUBAH ..."
... "Blend Alpa" ...
... "Lord of Speed" ...
Sinar merah mulai menyelimuti tubuhku. Tenagaku terasa terus meningkat. Kain hitam melilit tubuhku, dan terpasanglah armor-armor berwarna hitam dengan plat merah.
... "Complete" ...
Diakhiri dengan asap yang menyembur dari setiap celah armor yang kukenakan.
Sentuhan terakhir, saatnya melakukan Rolling call. Kutunjuk semua monster yang ada di hadapanku. "Membela kebenaran dan menumpas kejahatan."
"Satria Kafein," kutarik tangan kananku menyilang di depan dada dengan jari membentuh huruf 'V' ... "ALPA."
DUARR ...
Seperti biasa, selalu ada ledakan yang indah dibelakang setelah Rolling call.
Tidak ingin berlama-lama, aku meluncur maju, menghajar semua moster yang masuk dalam area bertarungku. Pokoknya yang deket langsung sikat. Gara gara kalian, jadi kentang banget nih.
Tangan dan kakiku terus beraksi memberikan hadiah-hadiah kecil kepada monster imut yang memporak porandakan pasar.
Bugh ... Bugh ... Duar ..
Bugh ... Bugh ... Duar ..
Bugh ... Bugh ... Duar ..
Lumayan berkeringat. Delapan ekor monster sudah meledak dengan indah. Sisanya, lima selamat dan tiga ekor luka-luka. Alpa, melaporkan dari tempat kejadian.
"Ini baru pemanasan, aku sedang semangat kali ini," teriakku pada monster-monster itu, berharap mereka dapat mengerti apa yang kusampaikan, karena itu adalah pertanda bahwa hidup mereka akan berakhir dalam hitungan menit.
Aku kembali maju dengan semangat yang membara, memukuli monster-monster lemah yang dengan beraninya mengganggu ketentraman warga.
"Gak ada ampun, Bantai habis," seruku sambil terus melayangkan tinju dan tendanganku.
Duar .. Duar .. Duar ..
Sip, ledakan yang indah sekali.
Aku menepuk kedua telapak tanganku layaknya seseorang yang telah selesai mengerjakan pekerjaan yang melelahkan. Emang melelahkan sih. "Fyuh, sepertinya cukup untuk hari ini."
Saat sedang menikmati hasil karyaku, sesuatu yang tajam menebas punggungku, rasanya panas dan sakit. Aku tersungkur dan berguling beberapa kali menghindari serangan lanjutan dari penyerang tak terlihat itu.
Aku berguling sejauh sepuluh meter, jarak yang cukup untuk berbalik dan melihat siapa pelaku penebasan punggung bidangku ini, dan diujung sana, seekor monster dengan bentuk yang sedikit berbeda sedang menatapku. Mata merahnya memancarkan kebencian, dan, sepertinya aku tau apa yang baru saja bersapaan dengan punggungku. Dua buah pisau sabit besar yang menempel pada kedua tangan monster itu. Alamak, untung punggung gue dilindungin armor, kalo kagak kayaknya Alvi si tampan akan berakhir dengan terbelah dua.
"Nyahaha ... Perkenalkan namaku Monster Belalang Sembah," seru monster jelek itu. Oke, aku tau makhluk belalang sembah dan baru kali ini aku melihatnya dalam keadaan yang sangat jelek.
"Namaku ALPA, salam kenal," ujarku sambil mengangkat tangan kananku dan melambaikanya. Maksudku hanya ingin membalas sapaannya, bersikap sopan santun dan ramah kepada sesama makhluk itu sangat dianjurkan loh.
"Alpa, hari ini akan menjadi hari kematianmu," Seru monster itu dan langsung melesat lurus ke arahku. Dia menebasku tepat pada bagian perut, hanya dalam hitungan detik. Aku terpelanting ke belakang, efek dari dorongan tebasan yang kuterima. Namun, sepertinya monster itu tak puas, dia kembali menyerang dan menebas tubuhku yang masih belum menyentuh tanah.
Tubuhku menjadi bulan-bulanan monster belalang sembah itu, dia begitu cepat dalam menyerang, belum lagi kedua sabit besarnya tak bisa kutangkis hanya bermodalkan tangan saja. Oke, keadaan ini sangat gawat.
Aku terus bertahan sebisaku, menghindari serangannya yang sangat cepat. kalian harus tau, bertarung sambil berfikir itu pekerjaan yang sangat sulit, dan itu yang sedang kulakukan sekarang. Terus menghidari serangan monster ini sambil memikirkan cara untuk mengalahkannya. Boro-boro mengalahkan bor, ini gue ngehindar aja susahnya minta ampun.
Hingga akhirnya, satu serangan dari monster itu membuatku berguling dengan indah di atas aspal sejauh dua puluh meter. Tubuhku rasanya sudah sakit semua, badanku ngilu, tenagaku juga sepertinya sudah habis. Untuk berdiri dengan tegap pun sulit sekali. Oke, apakah ini ajalku? Semoga saja bukan.
Ssrrrkk ...
"???" "suara apaan nih?"
Ssrrrkk ...
"Mirip suara radio butut yang udah ilang sinyalnya."
"Ssrrkk ... Alvi ... Alvi kau dengar?"
Loh?
"Halo? Halo, ini siapa? Dewa kematian bukan? Kalo iya jangan dateng dulu plis, gue belum kawin ini," mohonku pada suara misterius itu.
"Ssrrkk .. hahaha, tenang saja, saya bukan dewa kematian. Justru saya adalah dewa penolongmu ..."
Bentar, kaya kenal ni suara.
"Profesor?" tanyaku.
"Ssrrkk .. hahaha, tepat sekali. Memangnya siapa lagi yang bisa menghubungimu secara langsung."
Iya juga ya, kenapa gue bisa lupa sama ni orang.
"ssrrkk .. Alvi, laporkan keadaanmu sekarang!" perintahnya.
"Oke Prof, saat ini kondisi cuaca sangat panas. Angin dan debu beterbangan dimana-mana. Dan lagi, kondisiku sangat parah Prof, kalah telak," ujarku. "Monster kali ini belalang sembah, aku kesulitan menghadapi kedua sabitnya."
"Ssrrkk ... hahaha ... untuk itulah aku menghubungimu. Tunggulah sebentar, Vina sedang meluncur kesana memberikanmu bantuan."
Eh? Vina? Gadis itu mau membantuku? Seriously?
Baiklah, sebaiknya kutunggu saja sambil sedikit memulihkan tenagaku. Diujung sana, monster belalang sembah itu sudah kembali siap dengan serangan cepatnya. Aku kembali bersiap menerima tebasan-tebasan panasnya itu. Sungguh hari ini benar-benar sial.
Aku kembali melayang di udara dan berakhir dengan terkapar lemas diatas aspal. Huft, rasanya aku sudah tak sanggup jika harus bertarung lagi.
Bbrrruummm ... Bbrrruummm ...
Suara mesin motor yang berat memasuki gendang telingaku. Motor sape nih? Kayaknya keren banget. Eh? Motor?
Aku menoleh pada sumber suara, disana terlihat seorang gadis dengan rambut sebahu tengah berkendara dengan gagah menuju ke arahku. Gadis itu masih mengenakan jas lab putih dan google untuk melindungi matanya.
Dia berhenti tepat lima meter dihadapanku, memberhentikan motornya dan melepas google yang dikenakannya dengan gaya yang dibuat keren. Aku tak terlalu peduli dengan gadis itu, yang kupedulikan justru ..
.
.
"WHAT? MOGE? HARLEY DAVISDON? OMAYGAAAAAAD ... " aku berlari histeris menghampiri motor itu. Memperhatikannya dari dekat, mengelusnya, mencoba menaikinya, dan, dan, ...
.
.
Bugh ...
"Kak Alvi, malah nyamperin motor bukannya nyamperin aku," amuk Vina. Yap, gadis yang naik Moge tadi adalah Vina, dia yang diperintahkan Profesor untuk membantuku.
"Ahehe .. maaf, abis motornya keren banget," belaku sambil menggaruk belakang kepalaku yang tak gatal.
"VINA AWAS," teriakku, kutarik Vina ke dalam pelukanku guna menghindari serangan tiba-tiba dari Monster Belalang Sembah itu. Huft, untung reflekku bagus.
Dengan geram aku menunjuk monster itu "Woi, gak sopan nyerang dari belakang."
Tanpa fikir panjang lagi aku langsung menyerbu. Namun, monster itu sangat pandai menghindar, hampir semua pukulan dan tendanganku hanya menabrak angin. "Ck elah, diem napa sih. Susah nonjoknya nih," gerutuku.
Aku masih terus berusaha untuk mengenai monster itu, hingga suara itu terdengar lagi.
Ting ... Nung ... Ting ... Nung ...
Sial, tinggal lima menit lagi.
"Kak Alvi," merasa namaku terpanggil, aku menoleh pada sumber suara. "Tangkap!" serunya lagi sambil melemparkan sebuah benda yang panjang.
Aku menangkap benda yang dilemparkan Vina, "Wow, pedang." Kugenggam pegangan pedang tersebut dan mencoba untuk menebas-nebas angin (?). "Sip, mantap."
"Kak Alvi," Vina kembali berteriak, aku menoleh padanya. "Kalahkan monster itu," teriaknya lagi. Aku mengacungkan jempol ke arahnya, dan tersenyum dibalik helm yang menutupi wajahku.
"Oke, ini akan semakin seru."
Aku berlari menerjang monster belalang sembah itu, dia pun sama. Jarak yang memisahkan kami pun semakin dekat, dan tabrakan antara dua buah bilah tajam tak dapat dicegah lagi.
Tring ...
Kedua senjata kami beradu keras dan sama-sama terpental.
Tring .. Trang .. Tring .. Trang ..
Pertarunganku terus berlanjut. Kini aku bisa berhadapan seimbang dengannya. Terus beradu pedang (?) dan menorehkan luka sedikit demi sedikit membuat gerakannya terus melemah.
"Sepertinya film yang kemarin kutonton lumayan berguna," gumamku
Hingga akhirnya, aku bisa memberikan satu tebasan telak pada tangan kirinya dan membuat sabit kirinya terlempar ke udara. Monster itu mundur beberapa langkah, dia merintih kesakitan.
"Kak Alvi sekarang! Serangan Spesial!"
Aku menoleh pada Vina yang sedang berteriak. Sepertinya dia bisa membaca fikiranku, "Masukan dua keping coffee coin kedalam pedang itu dan tarik tuasnya!"
Coffee coin? Oke.
Aku mengambil dua keeping coffee coin dari tempat koin yang berada di sabuk sebelah kiriku, dan memasukannya pada slot yang sudah tersedia pada bagian pemisah antara gagang dan bilah pedang.
.. Cring .. Cring ..
Terus tinggal tarik tuasnya. Kugenggam pegangan tuas pada Piston Belt, menariknya, dan menahannya selama lima detik .. Psshhh ...
.. Sword Strike .. Ready ..
Pedang yang kugenggam mengeluarkan cahaya berwarna merah. Kukembalikan Tuas Piston Belt dalam satu hentakan.
Aku berlari menerjang Monster Belalang Sembah yang sedang meringis kesakitan. Pedang yang sedari tadi kugenggam kuangkat tinggi-tinggi, dan menebas monster itu secara vertikal dengan kemiringan 60 derajat dan menariknya kembali keatas dengan kemiringan yang sama.
"V SLASH .. " teriakku.
Aku berbalik dan melangkah menjauh. Setelah lima langkah, monster itu meledak di belakangku, menciptakan nada yang indah .
DUARR ...
"Fyuh, hari ini cukup melelahkan."
Aku berjalan menghampiri Vina, melepas Blend dan Piston Belt dari pinggangku, dan aku pun kembali jadi manusia biasa.
Disana Vina sedang berdiri menungguku dengan senyum yang merekah di bibirnya. Tentu saja aku membalas senyumannya. Moment yang pas untuk melancarkan serangan lanjutan. "Kau baik-baik saja Vina?" tanyaku ketika sudah berada di hadapannya.
Dia menganggukkan kepalanya dengan senyum yang masih melekat di bibirnya. Kuusap puncak kepalanya, "Terima kasih," ujarku.
Semburat merah kembali muncul di pipi bulatnya, menggemaskan sekali.
"Kamu kesini sendiri kan? Yaudah yuk, sekalian aku anter pulang," ujarku. Dia yang mengertipun memberikan kunci motornya padaku.
Kunaiki motor keren ini, memasukan kunci pada lubang kunci yang tersedia, dan menyalakannya.
Bbrrruummm ... Bbrrruummm ...
Woho, mantap sekali suaranya, terdengar sangat maskulin.
Tiba-tiba saja Vina meloncat dan langsung duduk di jok belakang. Dia tersenyum senang ke arahku, "Ayo," serunya. Aku pun ikut tersenyum, "Pegangan yang erat."
"Menuju tak terbatas dan melampauinya," teriakku.
Dan motor yang kukendarai pun melaju, membelah jalanan kota yang panas. Bersama gadis manis di belakangku, petualanganku selanjutnya akan semakin seru.
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
(diperjalanan)
"Kak Alvi," Vina memanggilku. Aku meliriknya melalui kaca spion dengan pandangan bertanya. "Motor kak Alvi kemana emang?" tanyanya.
"Oh, motorku kutinggalkan di kedai," karena memang Leon kutinggalkan di kedai Shinobi, tapi tenang saja, dia terparkir dengan aman dan nyaman disana.
"Terus kak Alvi tadi kesana naik apa?" tanyanya lagi.
"Tadi naik mobil, ... ... ...
...
...
Ngiiikk ... Tiinn ... Tiinn ... Tiiinnn ...
Mampus gue, Rosi!"
Duh, kenapa bisa lupa gue sama tu cewek.
Aku langsung memutar haluan, kembali ke tempat kejadian perkara, semoga dia masih pingsan dengan cantik di dalam mobil.
Sampai Jumpa lagi.
*=*
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top