BBB [28]

Sorry for typo
~Happy reading~

2018

Daerah Kemang sedang bersahabat dengan langit cerah yang tertutup awan, walaupun begitu, Jakarta tetaplah Jakarta. Di mana rasa panas membumikan masyarakat sekitar.

Tapi itu tidak membuatku cemas. Hari ini, aku telah selesai menyelesaikan sidang skripsiku. Tinggal menunggu kelulusan saja. Berbulan-bulan aku berkutat dengan skripsi yang pusingnya bikin aku sering mengeluh dan tak jarang aku pun sedikit mendapatkan jatah tidur.

Kini aku sedang bersama Raka, menikmati waktu bersama karena bulan-bulan lalu kami terlalu disibukkan mengurusi skripsi agar kami bisa lulus serentak. Raka mengajakku ke tempat yang katanya sangat spesial, karena menyajikan makanan yang lezat dan sesuai dengan seleranya.

Mendengarkan kata makanan saja, sudah membuat perutku keroncongan.

"Aku jamin, kamu akan suka di sana," kata Raka dengan sebelah tangan memegang kemudi dan sebelahnya lagi mengusap punggung tanganku. Manis sekali.

Selalu ada sensasi aneh yang menggelitik perutku saat Raka melakukan sentuhan fisik itu. Raka memang laki-laki pertama selain Ayah yang berhasil membuat aku percaya bahwa dia bukan laki-laki brengsek, hanya karena aku telah mengizinkannya secara tidak langsung untuk menyentuhku. Sentuhannya juga bukan jenis sentuhan yang dapat merenggut masa depanku. Sentuhan biasa saja. Seperti pada tangan, pinggang dan bahu. Sebatas itu dan tidak lebih.

Tidak ada hubungan seks di antara kami, karena aku pun telah melarangnya sewaktu Raka menyatakan cintanya dulu. Aku sengaja mewanti-wantinya, apalagi saat tahu circle pertemanan Raka yang menurutku terlalu bebas.

Karena orang bersama dengan kita sekarang, belum tentu akan menjadi orang terakhir yang akan menemani kita selamanya, kan?

Jadi aku juga tidak sudi untuk memberikan kehormatan wanitaku pada sembarangan orang yang memang bukan jodohku. Meskipun Raka adalah kekasihku, tapi dia bukanlah suamiku untuk saat ini. Sehingga, aku tidak akan memberikan masa depanku.

Tidak akan!

Jalan Benda Raya di Kemang sudah ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang. Para pekerja sepertinya baru saja selesai dari tugas mereka dan hendak pulang. Untung saja aku berada di mobil, sehingga membuatku tidak perlu berdesak-desakan dengan mereka saat di trotoar atau MRT.

"Sudah sampai," ucap Raka saat dia selesai memarkirkan mobilnya di salah satu restoran yang memang sudah terkenal di daerah Kemang.

Dari luar cafe, aku dapat melihat kumpulan anak-anak muda ataupun seseorang bersama dengan keluarganya yang sekedar menghabiskan waktu senggang atau mungkin mencari udara segar.

Aku yang memang jarang sekali keluar rumah-jika tidak ada yang penting-cukup takjub dengan pilihan cafe yang Raka pilihkan kali ini.

Hamptons Cafe, batinku berucap demikian saat melihat papan nama cafe tersebut.

Aku kembali dituntun oleh Raka untuk masuk ke dalam cafe tersebut.

Nuansa khas kota New York menyambut kedatanganku sebagai salah satu pelanggan di sini. Tampilan desain interior yang mengambil tema perumahan urban kota New York yang sengaja disajikan dalam ornamen kayu-kayu yang tertata sedemikian menarik, membuatku terasa dimanjakan oleh penampilan cafe ini.

Kami memilih duduk di dekat deretan manusia yang sedang bersenda gurau dengan teman tongkrongannya.

Aku melihat menu masakan dari cafe ini yang sungguh menggoda. "Menurutmu, masakan mana yang paling enak?" tanyaku karena terlalu bingung untuk memilih masakan di sini yang sepertinya enak-enak.

Ada jeda sebentar saat Raka akhirnya membuka suaranya. "Pilih saja steak, dan chicken cordon dengan saus mushroom, bagaimana?"

Aku mengangguk, menyetujui idenya. "Untuk minumannya, bagaimana dengan jus lemon dengan jus buah naga seperti biasa?" Usulanku diterima baik oleh Raka.

Setelah kami selesai memesankan makanan, kami pun makan dengan khidmat. Tanpa bicara.

Ternyata selera Raka sangat bagus dalam memilih masakan. Karena masakan yang kini aku cicipi, sungguh memanjakan lidahku.

"Naura, ada yang ingin bilang padamu," kata Raka tiba-tiba, saat makanan yang dipesannya telah habis.

Aku mengambil tisu lalu mengelapnya pada sudut bibirku. "Apa?"

Sebelum berbicara, Raka terlebih dahulu menggenggam tanganku yang berada di atas meja. Meremasnya pelan.

Aku sedikit tercengang dengan tindakannya, tapi berusaha serileks mungkin. "Bicara saja, Raka," tegurku.

Raka terlihat menghembuskan napasnya, dia kembali menatap wajahku yang masih berseri-seri. "Maaf, Naura. Tapi aku rasa kita harus selesai di sini."

Aku memang bukan pembaca pikiran atau perasaan orang lain, tapi aku berasumsi bahwa apa yang dikatakan Raka adalah kejujuran.

Segera aku tarik tanganku yang ada di genggamannya, sebisa mungkin aku menahan amarahku yang bergejolak. Juga menekan perasaanku agar tidak menangis di depannya kini.

Wajahku berubah menjadi datar dan aku tahu bahwa Raka sendiri pun terkejut dengan reaksiku. Mungkin dia berpikir bahwa aku akan menamparnya, memohon untuk dia tidak pergi atau bahkan menangis di depannya. But, itu bukan gayaku.

Setelah menilai dari matanya, ternyata aku sadar bahwa perasaannya padaku telah hilang. Binar mata yang terlihat memuja padaku sudah tidak lagi terlihat, itu sudah terjadi sejak enam bulan terakhir ini. Dan aku berusaha untuk bersikap biasa saja, walaupun aku seringkali berargumen yang tidak-tidak tentang hubungan kami ini.

Tapi ternyata, aku juga sudah mempersiapkan diri untuk kejadian seperti sekarang secara tidak langsung.

"Jelasin," ucapku datar.

"Kamu orang yang kuno, Naura."

DEG!

Kalimatnya sungguh menusuk hatiku, tapi aku berusaha untuk tetap tegar. Tidak akan terlihat lemah di depannya.

"Lalu kenapa? Bukannya dulu kamu tidak mempersalahkan itu?" tantangku dengan berani.

Aku lihat bibirnya melengkungkan senyuman miring, sial!

Raka mendekatkan wajahnya kepada wajahku dan aku reflek memundurkan tubuhku. "Kamu memang terlalu polos dan membosankan, asal kamu tahu!"

Aku berbalik menatapnya dengan tajam. "Jadi itu yang membuatmu ingin kita pisah?"

"Aku bisa mempertimbangkannya jika kamu mau memberikan 'itu' padaku," ucapnya santai. Seolah hal yang dia ucapkan tidak menorehkan luka pada wanita seperti aku.

Aku juga cukup peka dengan maksud yang dia bicarakan karena memang, secara tidak langsung Raka selalu meminta itu, tapi itu hanya sebatas gurauannya. Aku tidak tahu ternyata otaknya memang sudah tidak suci!

"Bajingan!" makiku dengan menunjuk mukanya.

Amarah yang sudah aku tekan, akhirnya tidak sanggup aku tahan lagi. Dia sudah berani-beraninya meminta hal yang sudah jelas-jelas aku tolak.

Dia melakukannya tanpa merasa bersalah sedikit pun!

Raka tertawa sinis padaku, jenis tawa yang merendahkan. "Kamu memang terlalu cupu untuk aku yang agresif, Naura." Raka menggelengkan kepalanya sambil sesekali berdecak. "Kamu bahkan tidak tahu, kan, sudah berapa banyak wanita yang 'tidur' bersamaku?"

Aku melotot tajam padanya. Rasa sayang itu kini berganti dengan rasa jijik karena aku sempat menjatuhkan diriku dan telah mencintai manusia paling brengsek sepertinya.

PLAAK

Suara tamparan yang aku layangkan pada Raka cukup menarik atensi banyak orang. Sebagian pengunjung cafe menoleh pada kami, tapi aku hiraukan. Gejolak amarahku saat ini tidak bisa aku kontrol lagi.

"LO EMANG BAJINGAN, RAKA!" umpatku penuh kekesalan.

Raka masih memegangi pipinya yang memerah, menatapku dengan kilat amarahnya. "Lo yang gak tahu diri! Lo sadar gak, bahwa lo cuma mainan taruhan gue? Huh?!" tanyanya dengan sinis.

"Taruhan?" ulangku dengan nada tidak suka.

Raka mengangguk mantap, tanpa merasa bersalah sedikitpun, dia kembali membeberkan fakta yang membuatku merasa jijik terhadapnya. "Lo pikir sendiri, emangnya ada cowok keren kaya gue mau sama lo yang udik gini? Bahkan kulit lo pun berwarna lebih gelap dari gue, Papua!" makinya, layaknya makian yang selalu teman-temannya berikan padaku.

"Kenapa? Tidak suka?" sinis Raka saat melihat raut wajahku yang terlihat kesal.

Aku mendesis sebal, saat Raka masih saja melanjutkan celotehnya. "Mendapatkan kamu adalah bentuk taruhan yang aku dan teman-temanku lakukan untuk mendapatkan mobil Lamborghini. Tapi jika kamu menerima ajakan aku untuk 'itu' aku akan mendapatkan tambahan satu lagi koleksi mobil mewahku."

Raka menyeringai padaku. "Sayangnya kamu menolak penawarannya. Padahal tadinya, aku berniat membaginya 30% untukmu," ujarnya tanpa merasa bersalah sedikitpun.

Dengan napas memburu, aku siramkan sisa minuman jus buah naga padanya.

BYUUR

Cairan lengket itu sudah mengotori wajahnya yang merah padam. Bahkan mengotori kemeja kesayangannya yang selalu Raka bangga-banggakan.

"Gue bukan mainan buat lo!" desisku tajam.

"Maaf untuk penawarannya, tapi gue tolak secara tegas! Kita selesai!" putusku, lalu meninggalkannya yang memakiku dengan berbagai umpatan.

Biarkan saja seperti ini, saat aku kembali menangis hanya karena pria. Jika dulu aku menangisi perpisahan Ayah dan Ibu, maka sekarang aku menangisi diri sendiri karena pernah mencintai pria brengsek seperti Raka!

2020

Dalam keadaan seperti ini, aku masih sempat-sempatnya untuk menangis kejer, hanya karena mengenangnya. Bukan karena mengingat Raka, tak sudi lagi aku mengingat wajah pria semacam Raka itu! Melainkan pria yang tidak sengaja aku temui saat di rumah dinas Ayah, Arusha.

Aku memukul setir karena terjebak kemacetan. Aku sungguh berharap bahwa Hani bisa baik-baik saja.

"DASAR COWOK KEJI!" umpatku untuk yang kesekian kalinya.

Mungkin karena terbawa emosi, aku sampai mengingat Arusha yang mendekapku saat aku menangis karena perhatian kecil darinya.

"Jangan nangis Naura, saya sakit sekaligus bingung melihatnya. Tolong jangan buat saya cemas seperti ini."

Kalimat itu terngiang jelas dalam pikiranku. Aku semakin menggertakkan gigi, kesal dengan keadaan hati dan pikiran yang tidak sejalan.

"Dasar penjahat kelamin!"


~tbc~
Revisi: 30/10/20
Terima kasih telah membaca
Bye-bye, black!💚
.
.
.
Jangan lupa klik 🌟 tinggalkan komentar dan share cerita ini ya 🤗
.
.
Salam literasi,
Fe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top