BBB [11]

Sorry for typo
~Happy reading~

Ternyata dari sekian banyaknya riwayat panggilan yang tertera pada poselku, aku malah memilih panggilan terakhir dari laki-laki kacang ijo ini. Tak apa. Selagi dia bisa di andalkan dalam masalah seperti ini, aku tidak keberatan.

Kami sedang berada di mobil BMW berwarna putih miliknya. Dia menjemputku dengan terburu-buru, karena dia datang dengan cepat setelah aku beritahu alamat rumahku. Aku tidak bisa menyetir sendiri dalam keadaan lemah seperti ini dan aku juga harus mempersiapkan alasan yang logis kepada Ibu perihal kepergianku nanti, setelah aku sanggup menceritakannya dan keadaanku sudah kembali normal, tidak dalam keadaan syok seperti sekarang.

"Kamu sudah merasa baikan?" tanya Arusha.

Aku hanya menganggukkan kepalaku. Sejak dia hadir di depan rumah dengan wajah yang masih segar, tapi tidak menutup wajahnya yang terlihat khawatir.

Aku sempat terlihat pucat pasi, katanya. Dia memberiku air mineral tanpa menanyakan alasanku. Aku bersyukur karena dia bukan tipe pria cerewet saat dimintai bantuan oleh seorang wanita yang terlihat linglung ini.

Sampai sekarang, aku masih saja merasa lemas. Bahkan untuk mengeluarkan sepatah katapun, rasanya aku akan pingsan detik itu juga. Belum lagi kepalaku yang terasa berputar dan perutku yang melilit. Sesuatu dalam perut saja minta untuk dikeluarkan.

Jangan berpikir yang aneh dulu! Ini hanya sebagian gejala saja, tidak sepenuhnya terjadi. Hanya perasaan ingin saja. Aku sangat benci situasi ini. Di mana, di usia ini aku belum bisa mengatasi dua phobiaku—ralat, jadi tiga. Dengan kejadian tadi pasti akan berbekas diingatanku.

"Mau makan dulu?" tawarnya untuk ketiga kali. Sebenernya aku sungkan untuk menolak, tapi kondisi perutku sedang tidak bisa diajak kerja sama.

Akhirnya aku kembali menggelengkan kepala. Memilih memejamkan mata dan berharap rasa tidak nyaman pada tubuh serta pikiranku itu terhapuskan. Beruntung sekali, Arusha sepertinya peka denganku. Dia menyetel lagu pada dashboard mobil. Lagu yang mengalun lembut itu, seolah menghipnotisku untuk pergi ke alam mimpi dan mencoba menghilangkan sejenak saja memori mengerikan yang berputar pada otakku.

•×•×•×•

Pagi-pagi tadi, aku sudah berangkat ke Kemang dan dijemput oleh Kafka. Siangnya, karena kejadian bodoh itu, aku sudah kembali ke Batujajar. Ditemani oleh Arusha yang mengatarkanku ke rumah ayah. Di batalion.

Banyak lirikan sinis maupun sapaan hangat dari ibu-ibu persit padaku. Sebagian ibu-ibu yang sudah tinggal di sini sejak Ibuku masih tinggal, pasti mengetahui identitasku. Maka, saat mereka menyapaku, aku berusaha bersikap ramah dan membalasnya ala kadarnya. Bukan karena sombong, tapi karena aku masih belum memiliki tenaga lebih. Selain karena menjaga kesopanan, aku juga masih cukup lemas untuk banyak berbicara.

Sebagian ibu-ibu muda—yang baru saja tergabung di batalion—merekalah yang termasuk ke jajaran ibu-ibu penggosip dan menatapku tak suka.

Aku tidak masalah dengan tingkah mereka, karena kita hidup tidak untuk menyenangkan semua orang, bukan?

Tapi ada beberapa bisikan dari mereka yang menggangu indera pendengaranku. Masuk lewat telinga dan berakhir dengan kegondokan dalam hati.

"Aku heran sama wanita itu. Genit sekali dia, hanya karena masih muda belia bukan berarti dia bisa seenaknya."

Wanita yang memakai terusan motif bunga-bunga itu ikut menimpalinya, aku dapat mendengarnya. "Kau memang benar. Aku sendiri jijik dengannya, berani sekali dia dekat-dekat dengan Mayjen Husein, lalu setelahnya dekat dengan Kolenel Arusha. Apa mereka tidak tahu, bahwa gadis itu bukan gadis yang baik-baik ya?"

Aku ingin sekali berteriak padanya bahwa Husein adalah ayahku. OMG pikiran mereka sangatlah dangkal!

"Bahkan aku sempat meragukan keperawanannya."

Aku tercengang. Mataku membulat mendengarnya. Berani sekali dia merendahkanku seperti itu! Tepat setelah ibu persit tadi bertutur demikian, seorang ibu persit yang aku ketahui suaminya berpangkat Lettu, menghampiri dan menegur mereka. "Sudahlah kalian ini! Jangan banyak berbicara, ayo cepat selesai tugas kalian!"

Aku merasa puas karena mereka kena tegur. Tapi tidak juga berhasil menghilangkan rasa kesalku, karena mereka dengan terang-terangan menghinaku dan membuat aku terpaksa memikirkan kejadian yang tadi siang aku lihat.

Sungguh menjijikkan!

Aku hendak memberikan mereka sebuah pelajaran agar tidak berbuat semena-mena lagi padaku! Tanganku sudah terkepal, sangat berambisi untuk mencakar wajah wanita-wanita itu. Aku perkirakan usianya tidak jauh berbeda dengan umurku.

Tapi sebuah lengan besar dan kekar itu, menarik lembut tanganku sehingga tidak memberikan rasa sakit saat dia menarikku untuk menghadapnya.

"Apa?!" tanyaku galak.

Jika menit yang lalu aku masih merasakan tubuhku terasa lemas karena syok, maka sekarang aku merasa segar bugar jika berhasil membuat tanda pada wajah wanita-wanita penggosip tadi. Setidaknya kuku-kuku ini akan memiliki peran penting untuk sekarang.

"Jangan dilayani, mereka nantinya pasti akan menyesal."

Aku mendengkus kesal. Pria ini sepertinya tahu-tidak tahu soal wanita. Mulut ember wanita itu mampu mengoceh panjang lebar jika tidak segera dihentikan.

"Jangan melarangku!"

Aku kembali mendekati wanita tersebut dengan langkah kaki yang lebar.

Tapi sekali lagi, lenganku ditahan olehnya. "Jangan buat Mayjen Husein malu melihat tingkahmu," ujarnya pelan tapi sangat menusuk.

Aku tahu, bahwa ini tidak benar. Aku juga tidak bisa membenarkan, saat aku hendak memprotesnya, tapi malah hanyut dalam tatapan matanya. Seperti sebuah pedang yang tajam yang dingin dan menusuk, juga merada teduh seperti kita berlindung di bawah naungan pohon yang rindang di saat bersamaan.

Aku merasa terhipnotis, sebelum teguran dari Ayah membuat kami menoleh bersamaan.

"Naura, sedang apa di situ?"

Aku hanya sesekali mencuri pandang padanya dengan kikuk. Setelah ini, pasti ada wawancara dadakan dari Ayah. Ayahku sangat over protektif terhadap pergaulanku dengan lawan jenis. Ini salah satu yang membuatku merasa aman saat berada di sekitar Ayah, karena aku tahu bahwa Ayah tidak akan mencelakakanku dan akan terus melindungiku.

Aku dan Arusha berjalan beriringan, Ayahku ada di depan. Berjalan lurus tanpa menoleh ke belakang.

Lagi-lagi bisikan itu kembali terdengar. Aku berusaha tersenyum tipis lagi. Pura-pura memasang wajah sabar padahal dalam hati sudah mengumpat tidak tentu.

Kesal? Wah, jangan di tanya lagi! Aku sepertinya harus membeli stok kesabaran lagi saking kesalnya aku dengan para penggosip itu. Akhirnya aku hanya bisa menelan bulat-bulat perasaan amarah dalam hati. Aku juga mengabaikan dering telepon dari ponselku. Sempat aku meliriknya sekilas, telepon dari Ibu. Aku menghela napas, saat ini, aku belum siap untuk menjelaskan kebenarannya pada Ibu. Mungkin nanti saja, saat aku sudah siap.

Aku terpaksa paksa menonaktifkan dulu ponselku agar tidak mendapatkan panggilan dari siapapun saat ini. Terutama keluargaku yang di Kemang. Tidak untuk saat ini.

~tbc~
©06 Agustus 2020
Revisi : 22/10/20
.
.

Terima kasih telah membaca
Bye-bye, black!💚
.
.
.
Jangan lupa klik 🌟 tinggalkan komentar dan share cerita ini ya 🤗
.
.
Salam hangat,
Fe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top