4. Sedikit (Tak) Normal

Adakah yg masih nunggu cerita ini?

Maapin penulisnya yang tersesat dan masih blm bisa balik ke lapak ini secepatnya. Teman2 bisa cek cerita tamat yang nambah lagi. Ada The pursuit of perfection 2. Mampir yuk.

Terus yang mau ikutan PO Cintaku Terhalang Stratamu. Sekarang mumpung masih dibuka cus segera ikutan. Info lengkap bisa cek ig yusniaikawijaya.

###

"Nanti siang Mico yang anterin kroket kentangnya, Yu. Bagi ke teman-teman kamu dan Pak Bara. Nanti mama pisah-pisahin. Terus kalau Pak Bara mau kasih sesuatu lagi, enggak usah diterima. Malu. Masak dibales-balesin gitu. Gaji kamu udah gede, dapat bonus juga kan. Terus sering diajak makan. Makanya mama suatu saat kalau ada rezeki mau ngundang Pak Bara makan malam di sini. Atau mungkin kirim makan siang ke kantor aja ya, Yu. Eh tapi kalau ke kantor harus banyak, ya. Masak teman-teman kamu enggak dikasih juga. Hutang mata dong. Kasihan. Mama enggak tega kalau kayak gitu. Jadi bayangin kamu. Kalau ada orang makan enak di dekat kamu terus kamu enggak dikasih, mama suka kasihan---"

Masayu mengabaikan celotehan mamanya yang tak mungkin bisa berhenti. Ia terus menyendokkan nasi kuning buatan mamanya ke mulut. Abaikan saja jika telinganya sepagi ini sudah berdenging. Ia butuh asupan yang cukup untuk menetralisir semua ocehan-ocehan mamanya. Dan untung saja masakan mamanya benar-benar lezat. Mungkin itulah yang dinamakan plus minus. Meskipun bermulut pancuran tapi tangan mamanya tak pernah gagal menyajikan hidangan-hidangan lezat yang memanjakan lidah.

”Oke, Ma. Masayu berangkat dulu. Assalamualaikum." Masayu meneguk air di gelasnya hingga tandas lalu mencium punggung tangan ibunya. Tak lupa kecupan di kedua pipi wanita yang telah melahirkannya itu ia berikan.

”Waalaikum salam." Akhirnya mau tak mau ibu Masayu menghentikan ocehannya lalu bangkit membawa piring kotor ke dapur. Setelahnya ia bergegas ke teras rumah mengantar keberangkatan anak sulung dan suaminya. Kebetulan pagi ini mereka berangkat bersama karena ayah Masayu yang masuk ke kantor lebih siang.

"Hati-hati. Pegangan sama papa yang kuat, Yu. Kamu lagian kok pakai rok sih. Sudah tahu kalau sekarang berangkat sama papa. Kan harusnya pakai celana."

"Daaa.... Mama...," ucap Masayu nyaring mengabaikan kalimat mamanya. Ia tahu sikapnya begitu tidak sopan. Namun, jika terus didengarkan sampai tuntas, bisa dipastikan ia dan sang papa akan terlambat tiba di kantor masing-masing.

***
"Yu, nanti siang cuma kamu yang ikut dampingi Pak Bara pertemuan di luar. Mbak nggak." Kalimat itu seketika terdengar saat Masayu tiba di hadapan Puspa, sekretaris Bara.

Pandangan menyelidik seketika Masayu berikan kepada wanita berusia pertengahan tiga puluhan itu.

"Yang jadi sekretarisnya Pak Bara aku apa Mbak, sih? Masak aku yang dampingi. Itu kan kerjaan, Mbak. Pasti ada bangkai yang disembunyikan, nih. Makanya aku yang disuruh gantiin."

"Ish... Nggak sopan kali ngomong gitu ke mbak. Lagian kan kamu juga selalu ikut Pak Bara."

"Tapi kan beda kasus, Mbak."

Puspa mengibaskan tangan menampik ucapan Masayu, "Kalau yang sekarang sama aja."

"Biasanya kalau Mbak ngomong kayak gitu, pasti aku mau dikasih yang nggak enak-nggak enak, deh. Ayo ngaku!"

Akhirnya Puspa hanya mampu mendesah sebelum kembali mengulang permintaannya. "Mbak beneran enggak bisa ikut. Mertua mbak datang. Sekarang lagi dijemput sama Mas Doni di bandara." Puspa menyebut nama suaminya.

Masayu berpikir sejenak sebelum kembali berucap, "Aku sebenarnya agak curiga sama Mbak Puspa. Jangan-jangan karena enggak mau ketemu sama orang-orang aneh itu makanya Mbak bilang mertua Mbak datang."

"Suuzan banget nih otaknya. Nanti Mbak kirimin foto mertua mbak, deh biar kamu percaya."

"Eitsss... Jangan cuma foto doang. Oleh-oleh dari mertua Mbak bawa juga besok."

"Kalau itu sih beres. Pasti aku bawa, tapi beneran kamu harus gantiin, Mbak."

"Mbak yang bilang ke Pak Bara. Kalau aku yang bilang, dikira happy banget tuh gantiin, Mbak."

"Pak Bara sudah tahu. Mbak sudah izin kok," ucap Puspa yakin.

"Emang aku harus ngapain nanti?  Briefing tipis-tipis dulu dong biar nggak bloon kalau dampingi pak bos. Jangan bilang aku harus presentasi. Pasti kacau balau dan belum selesai aku pasti sudah diusir."

Puspa terkikik geli---mendengar kalimat Masayu---tanpa memberikan jawaban. Hal yang membuat Masayu kembali membuka mulut, "Bukannya kontrak kerja sama kemarin sudah diperpanjang sama Nusantara Food. Terus urusan sama pemasok pupuk juga sudah beres. Apalagi yang mau dibahas? Nanti siang kan rapat sama mereka, Mbak? Temannya Pak Bara yang agak nyeleneh itu." Benar yang Masayu katakan. Semua urusan kantor sudah selesai kenapa masih harus mengadakan rapat lagi?

"Kamu santai aja, Yu. Cuma dampingi pak Bara aja sambil pasang senyum. Sebenarnya hanya sekadar makan siang sama teman-teman Pak Bara terus bahas kerjaan sedikit-sedikit, sudah di luar urusan kerjaan kok. Jadi kamu nggak usah khawatir. Yah, semacam perayaan gitu, deh. Kamu tahu sendiri kan kalau teman-teman Pak Bara itu sama nggak normalnya kayak Pak Bara. Sepertinya mereka semua mau haha... hihi... doang." Puspa berbisik sambil melirik ke kiri dan kanan. Khawatir jika orang yang jadi topik bahasannya mendengar semua ucapannya.

Hal yang tak seharusnya Puspa rasakan karena kenyataannya bos mereka dan teman-temannya memang demikian. Sedikit tak normal. Begitulah Puspa dan Masayu menyebutnya. Bagaimana tidak, keempat pria itu, termasuk Bara adalah orang yang terlihat cukup unik. Mereka semua adalah pengusaha. Namun, lebih sering terlihat layaknya preman atau atlet binaraga.

Dengan tubuh kekar berukuran di atas rata-rata, mereka lebih suka kemana pun mengenakan busana kasual. Tidak ada yang namanya memakai setelan lengkap dengan jas apalagi dasi. Mereka menyebut diri mereka petani. Ya, karena bidang usaha mereka adalah agrobisnis. Hal yang sering kali membuat Masayu mengingat almarhum pengusaha agrobisnis sukses, Bob Sadino yang selalu terlihat santai dengan kemeja dan celana pendek di mana-mana.

Yang membuat Bara terlihat berbeda dari teman-temannya yang masih berpenampilan lebih normal adalah rambut panjang yang selalu terikat rapi membentuk cepol di atas kepala, juga tato yang terukir di lengan---dan sepertinya di balik baju pria itu. Masayu tak sepenuhnya tahu. Ia masih belum pernah melihat Bara bertelanjang dada. Ngeri, Nauzubillah. Melihat lengan kekarnya saja sudah membuat Masayu gemetar ketakutan, apalagi bagian tubuh lainnya. Bukannya apa, ia selalu khawatir jika pria itu tiba-tiba emosi yang berujung lepas kendali, kemudian melemparkan tubuhnya. Pasti tubuh kecil Masayu akan begitu mudah terlontar hingga sepuluh meter jauhnya jika Bara berniat melemparkannya. Benar-benar mengerikan!

Jadi tidak salah, kan, jika sebagian besar orang-orang yang tidak mengenal Bara akan menduga jika pria itu adalah seorang preman, mantan narapidana, ketua geng terlarang atau bahkan lebih mengerikan lagi adalah anggota mafia seperti cerita dalam novel atau film-film yang pernah Masayu baca dan tonton.

"Kalau mereka sih kebangetan. Apa-apa dalihnya perayaan. Ada momen istimewa dikit, perayaan. Hampir tiap hari perayaan mulu." Masayu berucap sewot. Bukannya apa, keempat pria itu memang kelewat berlebihan. Dalam satu minggu selalu saja ada hal yang patut dirayakan.

"Orang tajir sih bebas habisin recehan, Yu. Nggak kayak kita yang berangkat pagi pulang petang demi sesuap nasi."

Masayu menaikkan alis lalu berdecak sebal. "Please deh. Mbak nggak semiskin itu buat kerja demi sesuap nasi. Masih kuat kan beli SK-II?"

Decakan Puspa terdengar setelahnya. Wanita itu menghempaskan diri di kursi kerjanya sambil berucap, "Kamu makin nggak asyik. Kebanyakan ngumpul sama Pak Bara."

Masayu hanya menjulurkan lidahnya mengolok seniornya itu.

"Berarti Mbak izin pulang duluan dong habis ini. Nggak adil banget." Mayang menjatuhkan tubuhnya di meja kerjanya. Kakinya menhentak-hentak di lantai membuat Puspa kembali terkekeh lalu mengangguk mantap yang dihadiahi Masayu dengan decakan kesal. Lagi.

"Dih, kayak disuruh pergi ke neraka aja, berat banget. Meskipun Mbak yang dampingi Pak Bara, kamu kan tetap ikut juga, Yu." Benar yang Puspa katakan. Masayu adalah asisten pribadi pria itu. Kemana pun Bara pergi Masayu akan selalu ada untuk mengekor pria itu.

"Tapi tetap aja beda, Mbak. Nggak enak banget kalau sendirian."

"Ada si Agil."

"Ih... Boro-boro jadi teman yang asyik. Yang ada mas Agil udah kayak tugu pahlawan." Masayu mengeluhkan sopir Bara yang cakepnya sebelas dua belas dengan Herjunot Ali, tapi seolah tak punya ekspresi. Tembok, datar, tugu pahlawan. Seperti itulah Agil bagi Masayu.

Tak lama kemudian suara pria yang menjadi topik pembicaraan terdengar, beberapa detik kemudian sosoknya sudah berdiri di depan mereka. Masayu dan Puspa seketika menegakkan punggung, memasang senyum lebar yang terlihat begitu berlebihan lalu mengucapkan selamat pagi. Berharap pembicaraan mereka beberapa menit yang lalu tidak sampai ke telinga sang atasan.

Dua detik setelah ucapan selamat pagi terlontar dari mulut Masayu dan Puspa, seperti biasa, balasan yang mereka dapatkan pun tak kalah palsunya, "Selamat pagi. Senang sekali melihat kalian berdua begitu bersemangat memulai hari, pagi ini."

Pria bertubuh menjulang itu lalu berpaling menuju ruangannya. Sebelum menarik gagang pintu, kalimat yang setiap pagi sudah Masayu hafal di luar kepala terdengar, "Kopi saya siapkan dalam lima belas menit. Jangan coba-coba menggunakan coffe maker tua itu. Pakai yang baru! Dan jangan menyuruh orang lain yang membuat. Rasanya benar-benar mirip air pencuci piring."

"Siap, Pak!" Berarti sudah pernah nyicip air cuci piring, ya, kok tahu rasanya? Masayu menjawab lantang,---tapi sisa kalimatnya ia biarkan tetap terkunci di dalam mulut---lalu membuntuti pria itu memasuki ruangan.

"Saya ingin sandwich, untuk sarapan. Kamu bisa pesan sesuka kamu. Kita sarapan dulu sebelum kamu ikut saya menghadiri pertemuan nanti siang."

"Saya sudah sarapan, Pak. Saya akan pesankan sarapan untuk Bapak saja. Oh ya, sandwichnya hanya satu? Apa Bapak tidak ingin menambah yang lainnya?" Masayu sangsi dengan porsi sarapan pria itu. Tumben sekali pria bertubuh gorila itu hanya sarapan dengan sandwich saja. Pria itu selalu menikmati sarapannya dengan nasi. Sangat Indonesia sekali.

"Nanti terlalu kenyang saat menghadiri pertemuan," jawab Bara singkat yang sebenarnya tak terlalu Masayu pahami. Hal yang sebenarnya terdengar janggal.

"Kita berangkat setelah sarapan, Yu."

"Iya?" Masayu tak mampu menutupi kejanggalan yang ia rasakan.

"Setelah sarapan kita berangkat." Bara memperjelas.

"Bukannya kita berangkat pukul sepuluh, Pak? Dua jam sebelum jam makan siang." Itulah yang Masayu tahu dan telah ia catat. Tiga puluh menit menuju lokasi, lalu satu setengah jam membahas pekerjaan dan dilanjutkan makan siang.

"Rencana berubah. Kita akan berangkat ke Malang karena lokasi pertemuan akan dilaksanakan di sana. Sekalian nanti kita lihat panen kita di sana."

Mampus! Sepertinya Masayu masih bersahabat dengan kesialan. Setelah kemarin ia berpanas-panasan di antara tumpukan kentang, sekarang ia harus kembali lagi berteman dengan peluh dan gerah. Pasti tak lama lagi kulitnya akan gosong layaknya brownies mamanya. Namun, setidaknya brownies mamanya masih terasa manis dan lezat. Bagaimana dengan dirinya?

###

Kira2 gambaran wajah Pak Bara seperti siapa sih menurut teman-teman? Sapa tau bab berikutnya bisa dilihat visualnya🤣🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top