Bab 3

(Bukan) Kupu-kupu Malam
Bab 3

Aku hanya diam tanpa menjawab ketika ponsel milik Mas Bian ditarik kembali dan dimasukkan ke dalam sakunya.

“Yaudah, kamu kerja dulu aja. Nanti kalau sudah selesai, langsung ke kantin. Saya tunggu di sana.”

Mas Bian melangkah meninggalkanku yang masih berdiri mematung. Antara ingin membantu, dan juga melarikan diri.

Aku tidak tahu maksud Mas Bian mencari tahu tentang Mama. Atau jangan-jangan, papanya adalah salah satu kliennya Mama ya?

Bisa gawat kalau sampai dia tahu siapa Mama, dan hubungannya denganku. Nanti yang ada aku bisa dipecat dari sini karena ketahuan kalau ibuku seorang wanita malam.

“Eh, Maura! Malah bengong, kerja Luh.” Sebuah suara mengejutkanku.

Sapu yang kupegang seketika terhempas ke lantai karena aku yang kaget. Lalu tersenyum ke arah wanita yang barusan menegurku.

“Eh, Mbak Ade, mau ke mana, Mbak?” tanyaku basa-basi.

“Mau ke bawah sholat Dhuha. Gue udah bersihin kamar mandi atas, nanti lu bagian ruangan ya.”

“Iya, Mbak. Saya bersihin sini dulu.”

“Yaudah, jangan bengong aja, nanti kesambet tau rasa.”

Mbak Ade yang juga bekerja sebagai cleaning service pun ke loker untuk mengambil mukenanya yang biasa disimpan di sana. Dia lebih tua dan lebih lama bekerja di sini dari pada aku.

Dia juga sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak, suami bekerja di kantor pajak seberang jalan. Kalau kerja anaknya dititip di rumah ibunya.

Aku tak ingin membuang waktu, sebelum para pegawai datang. Pekerjaanku harus sudah selesai semua, karena kalau tidak bisa dicuap-cuap tujuh hari tujuh malam sama bos.

Meja demi meja kulap, begitu juga jendela kubuka satu persatu hordengnya. Sampah tisu dan kertas pun berserakan di lantai. Tak banyak sih, tapi kalau tidak dibersihkan, maka debunya akan sangat banyak.

Apalagi ruangan ini full AC, kalau kotor bisa kena sakit paru-paru akibat debu yang terhirup.

Selesai membersihkan ruangan, aku lalu ke kamar mandi untuk membersihkan toilet. Dari wastafel, WC duduk, kaca, juga lantai semua kubersihkan sampai kinclong dan wangi. Setelah itu baru ke lantai berikutnya.

Tanpa terasa waktu terus berlalu begitu cepat, dan membuatku tak sadar kalau sudah pukul 08.00.

Aku bahkan tak sempat turun ke kantin untuk menemui Mas Bian.

Biarin deh, nggak dapat komisi juga nggak apa-apa. Dari pada aku harus mengorbankan Mama dan juga nama baikku di kantor ini.

.

Huft, akhirnya pekerjaanku pagi ini selesai. Aku duduk di pentry seraya membuat teh hangat, sambil beristirahat sejenak.

Sementara office boy membuatkan minuman untuk para bos, aku duduk bersama dengan Mbak Ade yang sedang asyik makan nasi uduk.

“Lu udah makan, Ra?” tanyanya.

“Belum, Mbak. Tapi tadi mau berangkat udah minum susu sih.”

“Biasain sarapan kalo pagi, nanti kalo udah kena sakit lambung susah ngobatinnya.”

“Iya, Mbak.” Aku juga sering diperingatkan oleh Mama sih masalah sarapan.

Namun, lidah serasa pahit kalau makan pagi-pagi. Kaya nggak mau nerima makanan gitu, pokoknya ya belum nafsu apa mungkin karena memang belum lapar.

“Mau nasi uduk? Biar gue suruh beliin si Fahmi.” Mbak Ade malah menawarkan ku nasi uduk.

“Nggak usah, Mbak. Nanti saya beli sendiri aja di warteg,” kataku cepat sebelum Mbak Ade benar-benar memanggil Mas Fahmi.

Aku kan ngerasa nggak enak kalau sampai dibelikan. Apalagi yang disuruh lebih tua usianya dari pada aku.

“Eh, Ra. Lu tahu nggak, suaminya Mbak Mayang ketahuan nginep di hotel sama LC.” Suara Mbak Ade seketika berbisik.

“LC? Apaan tuh, Mbak?” tanyaku yang memang tidak tahu apa itu.

“Ituloh, pemandu karaoke gitu.”

“Ooh.”

“Kok oh doang, lu bayangin ya, Ra. Mbak Mayang itu kan cantik, pintar, manager pula, masih aja diselingkuhin coba. Gue heran gitu sama cowok tuh, yang dicari apa coba?”

“Ya, mana saya tahu, Mbak. Mungkin ya mungkin aja cari kepuasan dari perempuan lain, atau cari sensasi gitu.” Aku berusaha menerka, meskipun sebenarnya aku tahu alasan laki-laki itu apa sampai mereka bisa main perempuan di luar sana padahal sudah punya istri yang dibilang sempurna di rumah.

“Bisa jadi sih, kalau sampai suami gue ketahuan selingkuh. Gue potong itu burungnya, gue cincang, bodoamat.”

Aku menelan ludah mendengar ucapan Mbak Ade barusan.

“Nggak usah begitu kali, Mbak. Ya kalau Mbak sampai diselingkuhin, selingkuhin balik aja, Mbak.”

“Yee, nggak bisa gitu, Ra. Biar dia tahu rasa dulu gitu. Enak aja nyakitin hati gue.”

“Heheh, sabar, Mbak, sabaar, kok jadi marah beneran gitu.” Aku mencoba menenangkan Mbak Ade yang tiba-tiba saja berubah jadi emosi.

“Sorry, Ra. Gue jadi kebawa suasana. Betewe, lu udah punya pacar?”

Aku menggeleng, karena aku memang tak pernah berani punya hubungan dengan laki-laki. Selain takut akan bernasib sama dengan Mama, disatu sisi juga, mana ada laki-laki yang mau menerima aku, dan orang tua mana yang mau punya menantu anak wanita malam.

“Bagus deh, mending nggak usah pacaran. Nggak baik, banyak mudharatnya.”

“Iya, Mbak.”

“Maura, kamu saya tungguin di kantin tadi. Ternyata malah duduk di sini, ayo ikut saya.” Sebuah suara bariton tiba-tiba sudah ada di depan pintu pantry.

“Eh Mas Bi, sarapan, Mas,” sapa Mbak Ade.

“Iya, udah, makasih. Ayo, Ra.”

“Ada perlu apa ya, sama Maura?” tanya Mbak Ade seraya beranjak dari duduk dan membuang sampah bungkus nasi uduknya.

“Ini bukan urusan kamu,” jawab Mas Bian singkat dan langsung berbalik badan.

“Mbak, saya ke depan dulu ya,” kataku berpamitan.

“Iya, bae-bae lu ya, Mas Bi lagi mode mau nerkam kayanya.”

Aku hanya tersenyum kecil, dan melangkah keluar pantry mengikuti  Mas Bian.

Kupikir dia sudah lupa dengan urusannya itu, ternyata tidak. Dia bahkan mencariku, dan masih terus mengajakku untuk berbicara masalah foto tadi.

Aku dibawa Mas Bian ke kantin yang berada di basement. Keadaan sekeliling sepi, karena memang sudah jam masuk kantor. Hanya kami berdua yang berkunjung, dan seorang ibu pemilik kantin.

“Eh, Pak Bos balik lagi, mau makan lagi apa mau ngopi aja?” tanya si ibu.

“Kopi susu satu, kamu mau makan apa, Ra? Nasi rames?”

Boleh juga sih, biar ada alasan nanti aku lama bicara sambil makan nasi. Lumayan buat mengulur waktu.

“Beneran saya boleh pesan makan sama minum?” tanyaku.

“Boleh lah, udah pesen saja.”

“Bu, nasi rames sama es teh manis satu,” kataku pada akhirnya.

“Jadi gini, Ra. Aku kirim foto perempuan tadi ke wa kamu ya. Boleh aku minta nomor kamu,” ucap Mas Bian tiba-tiba.

“Oh boleh-boleh.” Aku dengan cepat merogoh saku celana dan mengambil ponsel, memberikan handphone ke Mas Bian agar nomornya disimpan di kontakku.

Lumayan juga akhirnya nggak perlu susah payah aku dapetin nomor dia. Jadi, aku bisa kepoin status wa nya tiap saat deh.

“Nih nomor saya, saya kirim ya fotonya,” ujarnya lagu seraya mengembalikan ponselku.

Aku hanya mengangguk, tak lama pesan WhatsApp pun masuk. Kulihat foto Mama sudah bertengger di sana.

“Mas Bi ada urusan apa sama perempuan ini?” tanyaku pada akhirnya.

“Eum, kalau kamu tau keberadaannya, kamu langsung hubungi saya pokoknya.” Mas Bian berbicara sambil berbisik dan mendekatkan wajahnya ke hadapanku.

Aku hanya menelan ludah, karena embusan napasnya mengenai pipiku. Jantung ini rasanya seperti hendak copot saja, nggak biasa aku ditatap dari dekat. Terlebih oleh pria mapan dan tampan seperti dia.

“Ini makanya, Ra, tumben lu sarapan, Mas BI silakam kopinya.” Bu kantin memberikan pesanan kami di atas meja.

“Dimakan dulu, Ra. Pelan-pelan aja. Aku juga lagi nggak banyak kerjaan kok.” Kulihat Mas Bi menyesap pelan kopinya.

Aku mulai menyuap nasi perlahan. “Kenapa harus lapor sama Mas Bian tentang perempuan itu? Dia penjahat, Mas? Atau selingkuhannya Papa Mas mungkin,” kataku menebak-nebak.

Mas Bian malah tertawa. “Sembarangan aja kamu, bukan.”

“Terus? Ya saya harus tahu alasannya dulu apa. Jadi enak nanti kalau ketemu atau lihat perempuan itu kan.”

Aku kembali mengunyah dan menghabiskan makanan sedikit demi sedikit.

“Dia bandar narkoba,” ujar Mas Bian membuat nasi dalam mulutku hampir tersembur keluar.

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top