05. Midnight Fight

"Kau masih hidup rupanya, Monastery!"

Pria berkulit hitam itu kini berdiri angkuh beberapa langkah di depan Silvanna yang tersungkur ke tanah. Bersama seorang gadis berambut pendek di sebelahnya yang sudah bersiap dengan samurainya.

"Kali ini, tidak akan ada kesempatanmu untuk hidup lagi!" pria itu segera menyiapkan tombaknya lalu siap melemparkannya ke arah Silvanna.

Sebelum tombak itu lepas dari tangan, pria itu lebih dulu terkena tembakan peringatan yang datang dari sisi yang lain, dan membuat pria itu mengurungkan niatnya.

"Jangan sakiti dia, Brody. Dia bukan penduduk Monastery!" sahut Granger yang menghampirinya dari aray yang berlawanan dengan Silvanna.

"Kau jangan sok-sokan membela Monastery lagi di depanku, Granger!" pria bernama Brody itu memandang Granger sengit.

"Lagipula, bagaimana kau bisa tahu kalau dia bukan Monastery, Kak? Semua gadis Monastery pasti berambut panjang dan dia salah satunya, bukan?" tanya gadis yang berada di samping Brody.

"Aku kenal dengannya, Benet. Dia bukan dari Monastery!" tegas Granger.

"Kau pasti bohong lagi, kan?" duga Brody yang hanya dibalas tatapan dingin dari Granger.

"Kalau kau tak percaya, tanyakan sendiri padanya!" Granger menatap Brody dingin sambil menunjuk Silvanna dengan dagunya.

Di tempatnya, Silvanna bangkit lalu membersihkan pakaiannya dari dedaunan kering yang menempel. "Aku bukan penduduk Monastery. Lagipula, bukan hanya para gadis Monastery saja yang boleh berambut panjang, kan?" Silvanna sengaja mengibaskan rambutnya ke belakang. "Aku Ann, dari Pulau Selatan," Silvanna memperkenalkan diri. "Maaf jika kedatanganku membuat kalian tidak nyaman. Aku hanya singgah sebentar di sini sebelum melanjutkan perjalananku ke Abbys."

Brody menghampiri Silvanna, berdiri di belakangnya serta memperhatikan gadis itu dari ujung kaki hingga ujung rambutnya dengan tatapan selidik.

"Aku masih belum percaya," ungkap Brody. Ia melangkah jauh dan kembali bergabung dengan Benedetta di sana. "Kalau kau bukan Monastery, sebaiknya kamu ikut perang malam ini di perbatasan," tantang Brody. "Apa kau tega membunuh para Monastery di sana? Jika kau tega, aku baru percaya kau bukan bagian dari mereka."

"Kenapa harus itu syaratnya? Apa tidak bisa dengan cara yang lain yang lebih manusiawi?" tawar Silvanna. Sepertinya tantangan Brody barusan begitu berat untuknya. Meskipun memang benar Silvanna bukanlah kaum Monastery, tapi ia sama sekali membenci peperangan apalagi sampai ada yang terbunuh di sana.

"Hanya dengan cara itu kau bisa membuktikannya. Jika benar kau Monastery, tanganku sendiri yang akan membunuhmu!" ancam Brody sambil mengepalkan tangan. Brody melangkah jauh setelah melemparkan ancaman itu pada Silvanna.

"Ingat, Kak. Kau juga harus menyaksikan pembuktian gadis ini," kata Benedetta pada Granger--sekaligus menatap sinis pada Silvanna sebelum mengikuti langkah Brody.

Silvanna menatap selidik pada Granger. "Jangan-jangan kau bersekongkol dengan mereka untuk membunuhku? iya kan?" tuduhnya lalu mundur beberapa langkah.

"Aku tidak pernah berencana untuk membunuh siapapun," sahut pria dingin itu. "Sebaiknya kau pulang, siapkan mentalmu untuk melakukan syarat dari Brody tengah malam nanti." Granger hendak berbalik namun Silvanna menahannya.

"Jangan remehkan aku!" sahut Silvanna. "Kau pikir aku takut dengan syarat pemuda tadi?" kata Silvanna enteng. "Sekarang, kita berburu sampai mendapatkan persediaan makanan untuk Chang'e." Silvanna mendahului langkah Granger seolah-olah ia hafal setiap sudut hutan ini.

***

Silvanna mengikuti Granger mengendap di sebuah bebatuan untuk memantau seekor rusa yang baru melintas beberapa meter di depan mereka. Granger meletakkan telunjuk di bibirnya sebagai peringatan untuk Silvanna agar tidak berisik karena pemuda itu harus fokus pada pandangannya. Jika pandangannya oleng, maka buruan besar malam ini akan lepas begitu saja.

"Ikuti aku dan instruksiku dengan hati-hati!" pinta Granger dengan suara pelan.

Silvanna mengangguk mengerti meskipun ia masih kurang nyaman dengan pakaian Zilong yang menempel pada tubuhnya.

Granger melangkah pelan ke sebuah batang pohon untuk mendekati sasarannya. Setelah mendapatkan celah untuk menembak, Granger mengarahkan senapannya tepat ke arah perut rusa itu. Perlahan, pemuda itu menarik pelatuknya.

"Huasyaammm!!" Silvanna bersin tiba-tiba serta mengagetkan Granger.

Peluru dari senapan Granger lepas begitu saja hingga menimbulkan deru yang membuat hewan buruannya pergi begitu saja. Satu hewan potensial lepas.

"Kamu ini bagaimana?!" amuk Granger kala rusa buruannya lepas begitu saja.

"M-maaf," kata Silvanna menyesal. "Hidungku gatal." Gadis itu mengusap hidungnya yang kini menimbulkan kemerahan.

"Apa dengan maaf, kamu bisa mengembalikan buruan tadi?"

"Tinggal mencari lagi sekarang apa susahnya?" Silvanna masih bertingkah tenang.

Ketenangan Silvanna justru terkesan meremehkan bagi Granger. "Asal kau tahu, sudah hampir satu minggu aku tidak melihat rusa lagi di hutan ini. Dan karena kecerobohanmu, kita tak jadi megantarkan stok makanan besar untuk Chang'e." Granger masih berbicara dengan nada beratnya.

Silvanna hanya menunduk. Tigreal maupun sang ayah belum pernah memarahinya sampai seperti ini. "Aku minta maaf," kata Silvanna sekali lagi dengan penuh penyesalan. "Aku tak tahu kalau kecerobohan kecilku tadi berpengaruh besar untukmu," lanjutnya pelan. Silvanna tak berani berkata lagi setelah itu.

Melihat tingkah gadis itu yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan sebelumnya, membuat Granger merasa serba salah dengan posisinya saat ini.

Pemuda itu menghela napas kecil sambil mengusap rambutnya, frustasi. Apalagi saat ia mendengar isakan tipis dari bibir gadis itu.

"Baiklah, kali ini kau kumaafkan," kata Granger kemudian.

Silvanna mendongak lalu menatap harap mata pemuda itu. "Bagaimana kalau aku yang berburu malam ini. Kau yang mengikutiku," Silvanna merebut senapan dari tangan Granger.

"Apa kau bisa bermain senapan?" tanya Granger.

"Tidak," jawabnya. "Memegangnya saja baru kali ini."

Jawaban Silvanna membuat Granger tambah frustasi. "Sebaiknya aku sa--" Tangan Granger ditahan Silvanna saat hendak mengambil kembali senapannya.

 "Tak usah," Silvanna segera menjauhkan diri. "Anggap saja ini pertanggungjawabanku atas kecerobohanku tadi." Silvanna memutar senapan itu dan tiba-tiba melepas pelatuknya ke atas hingga menumbulkan suara tembakan yang mengejutkan mereka berdua.

Granger tambah ngeri di tempatnya.

"Tidak masalah, aku akan lebih hati-hati." Silvanna melangkah lebih dulu memasuki hutan.

"Asal yang kau tembak hewan buruan, bukan manusia!" decak Granger menahan kekesalannya pada gadis aneh ini.

Gadis ini sungguh sulit ditebak!

***

Beberapa jam di dalam hutan sambil bertaruh keberuntungan lewat hewan buruan, Granger dan Silvanna hanya berhasil mendapatkan seekor tupai berukuran sedang sebagai buruan mereka malam ini.

"Sudah kubilang, ikuti instruksiku jika kau ingin menembak!" amuk Granger lagi saat keduanya keluar hutan.

"Instruksimu kurang jelas Genjer! Suaramu terlalu kecil, jadi aku sulit mendengarnya."

"Granger!" Granger meralat Silvanna yang salah menyebut namanya.

"Terserah! yang penting aku tak mendengar instruksimu dengan jelas, jadi ini bukan salahku sepenuhnya!" Silvanna membela diri.

"Aku bisa bersuara lebih kencang. Tapi akibatnya nanti target buruan kita akan hilang begitu saja."

Kali ini Silvanna kembali diam.

"Hanya untuk malam ini aku memaafkanmu, Ann. Besok malam jika kau begini lagi, aku tak akan pernah mengampunimu!" tegas Granger.

"Tak akan ada lagi besok untuk kita berburu," ucapnya membuat Granger mengerutkan dahi. "Aku akan melanjutkan perjalananku ke Abbys besok pagi," kata Silvanna. Ia pikir, sudah cukup tinggal dan mendapatkan teman baru dari Barren Land.

"Apa kau serius?" tanya Granger.

"Tujuanku menempuh perjalanan ini bukanlah untuk singgah di sini. Tujuanku ke Abbys, entah aku bisa selamat atau tidak, yang penting aku sudah berusaha untuk menyelamatkan adikku!" nada bicara Silvanna mendadak serius. Ia semakin erat menggenggam senapan dan lentera di masing-masing tangannya.

Silvanna melepas tatapannya pada iris pemuda itu lalu membuang muka. Ia tahu harus berjalan ke mana lagi habis ini. "Cepatlah ke perbatasan. Aku akan menunaikan janjiku pada pemuda menyebalkan tadi!" kata Silvanna yang berhenti setelah melangkah beberapa meter.

Granger masih terpaku di tempatnya. Kesan pada gadis ini mungkin tidak berubah. Dia gadis yang sangat sulit ditebak.

***

Silvanna berjalan ke perbatasan disusul oleh Granger yang baru saja kembali dari rumah Chang'e untuk menaruh hasil buruan tadi. Silvanna juga sempat ke rumah mungil itu untuk mengambil tombak--senjata andalannya--di sana.

Sedari tadi, Silvanna tak melontarkan sepatah kata apapun pada Granger. Gadis itu masih kesal pada pemuda dingin itu.

Sepertinya kedatangan mereka sedikit terlambat. Perang penduduk antar dua desa itu sudah berlangsung seraya menyisakan beberapa orang yang sudah terkapar di tanah/

Baru saja tiba di area peperangan, Silvanna dikejutkan oleh serangan dari seorang gadis bertangan kosong. Ia langsung menyerang Silvanna hingga harus melepas tombaknya. Kini kedua gadis yang bertarung tanpa senjata di tangannya.

Tendangan dan pukulan yang dihujani gadis itu cukup membuat Silvanna kerepotan. Tapi di sisi lain, saat ia memperhatikan gerakan gadis itu, Silvanna tahu di mana titik kelemahan gadis berambut panjang keemasan itu. Dalam satu sapuan kaki, Silvanna bisa merobohkan gadis itu hingga tersungkur di atas tanah.

Gadis itu terbatuk-batuk karena punggungnya terbentur tanah dengan keras.

Bukannya memanfaatkan kesempatan untuk menyerang, Silvanna malah mengulurkan tangan untuk membantu gadis itu bangun. Dalam hati terdalamnya, ia tidak ingin membunuh siapapun. Silvanna ikut perang malam ini hanya untuk membuktikan pada Brody kalau dia bukanlan penduduk Monastery.

"Bangunlah," kata Silvanna saat mengulurkan tangannya.

Gadis itu masih terbatuk saat menerima uluran tangan itu. Silvanna segera membawa gadis itu menepi, berlindung di sebuah pohon.

"Kenapa kau malah menolongku, Barren?" tanya gadis itu heran.

"Aku bukan penduduk Barren dan Monastery. Tak ada sedikitpun niat dalam hatiku untuk membunuh seseorang di sini," sahut Silvanna. "Siapa namamu?"

"Guinevere, aku penduduk Monastery."

"Pulanglah, aku takut kau kenapa-kenapa di sini. Bawa pulang juga orang-orang yang kau kenal di sini," pinta Silvanna.

"Aku ingin membuktikan pada orang-orang kalau aku bukan anak kecil lagi. Aku harus ikut perang kali ini." Ternyata gadis ini begitu berambisi untuk mengikuti peperangan malam ini.

"Pulanglah selagi sempat! Tempat ini terlalu berbahaya untukmu!" Silvanna sedikit memaksa, namun Guinevere tak mendengarnya.

"Monastery! kali ini kau tidak bisa lari!"seru suara seorang pemuda yang sepertinya dikenal Silvanna. Ya, itu suara Brody yang tak sengaja melihat Guinevere ada di sana.

"Kau harus bertanggung jawab atas kematian sahabat kami, Zilong!" seru Benedetta yang sepertinya selalu ada di samping Brody.

"Tapi bukan aku yang membunuhnya!" seru Guinevere.

"Kau pikir aku tidak melihat saat kau dan teman-temanmu menyerang Zilong saat itu!" ungkap Benedetta seperti membuka sebuah fakta.

Silvanna tak menyangka saat mendengar kenyataan itu.

"Kalian berdua pasti bersekongkol. Dan kau! pasti jadi mata-mata Monastery, kan?" tuduh Brody lalu menunjuk langsung pada Silvanna. "Sekarang giliran kalian untuk pergi ke dimensi lain, gadis manis," ancam Brody sambil mengambil ancang-ancang pada kekuatannya/ Begitu juga Benedetta yang juga menyiapkan samurainya.

Saat Benedetta menyerang Silvanna, Guinevere segera menyekat jarak Benedetta dengan Silvanna. Ia harus menyelamatkan Silvanna yang sudah memberikannya kesempatan untuk hidup.

"Jangan sakiti dia, aku pun tak kenal dengan dia! Dia bukan dari Monastery!" seru Guinevere seraya merentangkan tangannya untuk melindungi Silvanna.

"Jangan banyak omong!" Benedetta mengayunkan samurainya namun segera ditepis oleh tombak Silvanna.

Silvanna dan Guinevere yang seakan saling melindungi harus bekerja sama untuk melawan Brody dan Benedetta. Peperangan itu dihiasi suara senjata-senjata mereka yang saling beradu di tengah sayup suara jerit dan teriakan dari seseorang yang mungkin terluka--atau bahkan gugur--dalam peperangan itu.

Suara tembakan menghentikan peperangan keempat orang itu. "Brody, kau masih belum percaya kalau Ann bukan dari Monastery?" tanya Granger yang tiba-tiba muncul untuk melerai mereka.

"Karena kulihat dia sedang mengobrol dengan bocah Monastery ini!" Brody menunjuk Guinevere.

"Aku hanya menolong dia, aku juga tidak mengenalnya!" sahut Silvanna.

"Benet, sebaiknya kau bawa Brody menjauh dari sini," titah Granger pada adik perempuannya yang bebal itu.

"Itu tidak akan terjadi sebelum dua Monastery ini mati di tangan kami!" Benedetta kembali mengayun pedang itu lalu menyayat pipi Silvanna yang pernah terluka sebelumnya.

Silvanna menghindar lalu menyerang balik Benedetta dengan tombaknya. Dua wanita pejuang itu saling mengadu senjata, menghindar, bahkan menyerang untuk mempertahankan dirinya. Begitu juga dengan Brody yang melawan Guinevere. Pria menyebalkan itu bahkan sudah melepaskan senjatanya untuk menyerang gadis Monastery yang melawannya tanpa senjata.

"Cukup Benet, Brody!" Granger melompat ke tengah untuk melerai perkelahian itu. Beberapa peluru dilepasnya untuk menggertak mereka. Siapapun tahu, peluru Granger begitu mematikan.

Benedetta seakan tak peduli dengan tembakan peringatan itu, ia kembali menyerang Silvanna yang sudah siap bertarung lagi. Satu sapuan dari kaki Benedetta membuat Silvanna jatuh terduduk. Begitu juga dengan Brody yang tengah menyerang Guinevere di sisi yang lain. Saat itu, Granger tak ingin ada yang terbunuh. Ia harus menolong kedua perempuan itu.

Tapi, Benedetta segera mengacungkan samurainya dan bersiap untuk menghunus Silvanna. Beruntung, tendangan Granger berhasil menyelamatkan Silvanna malam ini. Benedetta mental ke belakang lalu memegang perutnya yang baru saja ditendang sang kakak. 

Di saat yang sama, Brody berhasil menghunus senjatanya tepat di perut Guinevere. Gadis monastery itu memuntahkan darah sebelum dibiarkan jatuh tak berdaya di depan Brody.

"Bedebah! kalian beraninya keroyokan!" seru seorang gadis yang sudah meletupkan satu peluru dari senapan laras panjangnya. "Gwen!" serunya lagi sebelum memimpin beberapa pasukan untuk menghampiri Brody dan Benedetta.

Siapapun tahu kalau perang yang lebih parah akan segera pecah!

"Granger, tolong adikmu! Aww!" Silvanna mencoba bangkit namun kakinya tak mau memberikan kekuatan untuk berdiri. Ia kembali terduduk di tanah. Entah kenapa, Granger malah berlutut dan bersiap untuk menggendongnya.

Di samping itu, sang gadis bersenapan laras panjang, membalikkan tubuh Guinevere yang terbujur kaku. "Tidak!" serunya lalu menatap tajam ke arah Brody dan pasukannya. Ia lalu menembak asal pelurunya ke arah lawan hingga lawannya kebat-kebit menghindar.

Begitu juga dengan pemuda yang berdiri di sampingnya, ia melemparkan lima buah pisau sebagai awal serangannya. Salah satu pisau itu menyayat lengan Granger yang berusaha melindungi Silvanna.

"Granger, adik kamu bagaimana?" tanya Silvanna yang tahu-tahu sudah ada dalam gendongan Granger.

"Diam saja, dia tahu cara menyelamatkan diri," kata Granger lalu membawa Silvanna pergi jauh-jauh dari sana.

"Lalu--"

"Sudah jangan banyak tanya, yang penting kau selamat!" tukas Granger membuat Silvanna terdiam. Ia semakin erat memeluk leher pemuda itu dari gendongannya.

"Dia memang dingin. Namun, dia juga yang menyelamatkanku kali ini." Kurang lebih, begitu kata hati Silvanna saat itu.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top