Chapter 70
|| Apakah kalian pernah baca ulang cerita ini? Berapa kali?
Suara langkah kaki seorang wanita tertatih-tatih menyusuri sepanjang hutan yang gelap, darah tidak berhenti menetes dari beberapa luka di tubuhnya, kakinya pun penuh luka, lebam pula, serta tampak kotornya karena ia sudah tak mengenakan alas kaki lagi. Tidak peduli kakinya sakit karena menginjak duri dan batu-batu kecil nan tajam karena yang ia harus lakukan adalah terus berlari. Beberapa kali ia terjatuh hingga tubuhnya terasa sakit, tetapi lekas dibantu seorang anak laki-laki dan juga boneka untuk berdiri lagi. Kini ia melangkah, langkah yang sedikit memperlihatkan kaki jenjangnya karena ia terpaksa memangkas gaun yang ia kenakan demi memudahkannya berlari di hutan ini.
Lihatlah betapa kotornya gaunnya kini yang penuh bercak tanah serta darah. Rambutnya yang indah sudah sangat berantakan, sementara itu wajahnya terdapat luka serta sedikit pucat. Kemudian temannya yang berupa boneka Belphoebe juga tak kalah kacau-balau, lalu anak kecil yang wajahnya sudah kusam, kaos yang ia kenakan sebagian sobek, darah keluar dari luka di bahunya dan juga kaki kecilnya. Hanya saja, dia masih mampu membantu wanita di sampingnya ini. Dengan suara lembutnya, ia meminta agar wanita itu berjuang sedikit lagi, ia yakin jika akan ada seseorang yang menolong mereka. Sungguh padahal anak itu dan boneka Belphoebe bisa saja pergi lebih dulu, meninggalkan sang wanita---yang sudah hampir pingsan---dan menyelamatkan diri sendiri. Namun, mereka memilih untuk tetap bersama. Mengapa?
"Lilura, aku sudah tidak kuat berlari. Kau pergilah, kumohon, bawa Hozier dan kembalilah ke desa." Suara Ambrosia sudah tidak begitu terdengar lagi, napasnya tak beraturan itu membuat dadanya sesak, kepalanya sakit hampir seperti hendak meledak, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia menggenggam kuat lengan Lilura, seolah benar-benar memohon agar Lilura dan Hozier segera meninggalkan dirinya.
"Tidak, kau pikir, aku akan meninggalkanmu!" Lilura menatap tajam pada Ambrosia yang kembali menahan tangisnya saking ia merasakan tubuhnya sakit sekali, manik mata itu seolah akan redup.
"Nona Lilura benar, kita akan pergi bersama. Aku yakin---"
"Tidak Hozier, kita tidak bisa." Perlahan Ambrosia menatap Hozier, memegangi kedua bahu anak itu dengan tangannya yang gemetar. "Tinggalkan aku, kumohon, aku hanya akan menghambat kalian. Setidaknya kalian harus selamat, jadi kumohon, kumohon."
"Aku tahu ini egois." Amarah Lilura memuncak. "Namun, aku takkan pergi meski kau membenciku Ambrosia. Biar Hozier yang pergi, aku akan tetap di sini bersamamu."
Kini Lilura menatap pada Hozier, harusnya Lilura tidak mengizinkan ketika Hozier hendak menyelamatkan Ambrosia juga. Harusnya ia bawa anak ini lebih dulu ke desa Shakaleta. Sungguh bodoh Lilura. Ia pantas dihina bodoh karena melibatkan anak yang tak bersalah. Namun, ada pertanyaan yang sejak tadi terlintas. Mengapa para monster dan Phantomius terus mengejar mereka, apakah hanya karena Lugaldaba tak mau melepaskan Ambrosia? Atau ada alasan lain? Lalu mengapa pula setiap monster yang menyerang mereka, para monster tak masalah jika melukai Ambrosia dan Lilura. Namun, mereka tak mau membuat Hozier terluka parah. Seolah-olah anak lelaki ini harus dibawa hidup-hidup.
Mungkinkah yang para monster incar sebenarnya adalah Hozier?
"Hozier dengarkan aku---"
"Tidak! Aku takkan pergi meninggalkan kalian, aku takut, tapi lebih takut jika harus berlari sendirian tanpa kalian. Jika mati, aku rela mati di sini. Jangan, jangan, kumohon." Hozier menangis kembali, air mata yang sangat tulus dari anak desa karena kebaikan hatinya padahal ia akan menghadapi kematian jika terus memikirkan orang lain.
"Dengarkan aku, kau tak bisa di sini karena yang diincar mereka adalah kau. Kurasa ada sesuatu dalam dirimu, jadi kumohon pergilah, demi aku dan Ambrosia. Kuyakin di hutan ini ada seseorang yang akan menyelamatkan kita, atau para Orly yang iba pada kita jadi memutuskan menyelamatkan kita, jadi Hozier, ini permintaanku. Pergi sekarang juga, selagi bisa."
Hozier paham. Dia tahu bahwa ada sesuatu di dalam dirinya yang spesial, seperti itulah yang almarhum ayahnya katakan. Sesuatu dalam dirinya yang punya kekuatan besar dan tak terduga sehingga bangsa iblis mengincarnya. Alasan inilah yang sebenarnya membunuh sang ayah karena sungguh ayahnya tak mati karena penyakit, melainkan melindungi Hozier dari serangan iblis.
Kini Hozier akan membawa kematian juga pada orang lain.
"Kau mau ya Hozier? Kumohon, ini demi kita semua."
"Baiklah akan kulakukan, tapi Nona Lilura harus berjanji akan kembali bersama nona Ambrosia, janji," ucap Hozier sambil memberikan jari kelingkingnya.
Lilura sebenarnya tidak bisa berjanji, ia berpikir jika hidupnya dan Ambrosia akan berakhir di sini, tetapi lebih baik begitu dibandingkan ia harus meninggalkan Ambrosia yang telah menjadi separuh jiwanya selama bertahun-tahun. Maka Lilura memutuskan untuk berjanji meski ia akan ingkar. "Ya, aku berjanji akan kembali bersama Ambrosia."
"Lalu kita minum teh sama-sama."
"Ya." Suara Lilura terdengar getir. "Kita akan minum teh bersama."
"Nona Lilura harus percaya, kalau para Dewa akan menurunkan malaikat pelindung untuk kita. Ayahku bilang begini, jadi kuyakin ada malaikat yang datang dan menyelamatkan kita."
"Dia akan datang, jadi pergilah, sekarang!" teriak Lilura, maka lekas Hozier berlari pergi dari sana, meninggalkan Ambrosia dan Lilura.
"Dia sudah pergi ya, anak yang pemberani." Ambrosia berujar, kini iq bersandar di pohon besar. "Harusnya kau pergi juga bersamanya, kau bodoh Lilura."
Perlahan Lilura duduk di samping Ambrosia sambil berusaha menyembuhkan luka di perut Ambrosia meski sangat pelan penyembuhan itu. "Mana mungkin aku meninggalkanmu, aku akan gila jika pergi meninggalkanmu di sini."
"Kau ini, padahal jika kau mati, kau masih bisa hidup loh." Ambrosia tersenyum tipis.
"Tidak, aku akan mati selamanya karena kau satu-satunya pemilikku. Bukan Lilura jika bukan Ambrosia lah pemilikku," ujar Lilura menatap pada telapak tangannya yang sudah tidak memancarkan cahaya neith karena tenaganya sudah habis, ia tidak bisa menyembuhkan luka Ambrosia. "Sial."
Perlahan tangan Ambrosia bergerak menyentuh tangan Lilura, lalu wanita itu menggeleng. "Simpan untuk melawan para monster nanti, kita harus menahan mereka agar memberi waktu pada Hozier. Dia harus selamat."
Lilura tertunduk, tangannya mencengkeram erat gaun Ambrosia yang awalnya berwarna putih kini menjadi sangat kotor. Ia menatap kaki Ambrosia yang tak mengenakan high heels seperti biasanya. Serta wajah pucat, meskipun begitu Ambrosia tetaplah cantik terutama manik mata pink rouge-nya. "Harusnya kuhentikan ketika pria itu bertanya di mana restoran yang enak."
Ambrosia terkekeh, mengapa Lilura tiba-tiba membicarakan pria di masa lalunya? Bukan, bukan Viscount Lugaldaba, tetapi pria yang menjadi cinta pertama Ambrosia. "Aku yang salah, karena menawarkan makan siang bersama dengannya."
"Harusnya kuhentikan juga kau mengobrol dengannya. Kenapa kau lakukan hal itu? Kenapa kau menyukainya?" Lilura tak habis pikir. Wanita seperti Ambrosia yang tidak pernah terpikirkan untuk memiliki hubungan serius dengan pria, lebih senang mengunjungi anak-anak panti, serta menolak banyak perjodohan dengan para bangsawan. Namun, pada akhirnya jatuh cinta pada seorang pria yang kemungkinan dicintai oleh ribuan wanita di dunia ini.
Benar, harusnya hari itu, Lilura secepatnya sadar dan menghentikan Ambrosia pergi makan bersama pria itu.
"Kenapa ya ...." Ambrosia berpikir sejenak, ia memang hendak melupakan cintanya itu, tetapi setiap hendak ia lupakan, terlintas satu alasan mengapa ia jatuh cinta. "Aku menyukai senyumannya."
"Manusia memang aneh, bagaimana bisa jatuh cinta hanya karena senyumannya padahal pria itu pada akhirnya mencampakkanmu." Sekali lagi, Lilura tidak mengerti dengan salah satu ciptaan para Dewa ini, manusia. Begitu kompleks dan rumit.
"Aku yang salah Lilura, harusnya aku tak pernah jatuh cinta padanya apalagi aku tahu sebenarnya siapa dia. Dia terlalu jauh untuk digapai, dia berada di tempat yang berbeda dengan kita."
Lilura sangat paham ekspresi Ambrosia, meski wanita itu berkata hendak menyerah dan melepaskan pria yang ia cintai, tetapi jauh di matanya itu, masih ada harapan. "Bolehkah aku berharap. Jika dia akan kemari kemudian menolong kita berdua? Menaiki kuda putihnya dan menyelamatkanmu."
"Ini bukan dongeng Lilura," balas Ambrosia.
"Namun, ini Athinelon, apa pun dapat terjadi di dunia ini. Bahkan hal yang paling tidak masuk akal, bukankah banyak kisah-kisah tuan putri diselamatkan pangerannya?"
"Aku bukan tuan putri." Ambrosia menekan perkataannya.
"Dan dia bukanlah pangeran," balas Lilura cepat. Maka Ambrosia tersenyum tipis mendengar perkataan Lilura, sesaat hatinya menjadi hangat, entah mengapa perasaan yang ia kubur, perlahan-lahan timbul lagi.
Ambrosia tersenyum tipis. "Ya, dia bukan pangeran ...."
"ROAAARKKKHHHHH."
Terdengarlah raungan para minotaur yang kini Ambrosia dan Lilura merasakan tanah mulai bergetar. Perlahan Lilura bangkit, Ambrosia menjulurkan tangannya, kemudian dibantu Lilura untuk bangun.
Kini muncul pentagram sihir berwarna merah muda hampir senada dengan manik mata Ambrosia. Terasa neith yang begitu kuat, lalu Ambrosia mengarahkan tangannya ke depan, begitu pula Lilura. Kini keduanya sama-sama merapalkan mantra, "Ardere Amaryllis."
Sihir berupa api berkobar sangat panas dan begitu besar, menyerupai bunga amarilis, langsung membakar seluruh pasukan minotaur yang menerjang ke arah mereka. Suara jeritan para monster itu terdengar bersamaan suara lolongan serigala yang juga terbakar dalam kobaran api yang perlahan apinya menjadi semakin merah lalu hampir menghitam. Beberapa minotaur serta serigala yang lepas, segera terkena serangan sihir lagi yang dilancarkan oleh Ambrosia berupa mantra, "Euphorbia Venenatus."
Bunga-bunga Euphorbia bermunculan dari tanah, mekar pula bunga-bunga tersebut, tetapi bukan itu poin utamanya karena di bunga-bunga tersebut, berada di tanah, menerjang ke atas akar-akar berduri yang berhasil menusuk setiap monster hingga menembus daging dan tulang mereka. Benar-benar definisi bunga mahkota berduri.
"Ambrosia!" Lilura berteriak ketika Ambrosia ambruk, memuntahkan banyak darah yang sangat kental, tangannya gemetaran hebat, wajahnya semakin pucat. Ketika diperhatikan darah yang tergenang di tanah itu, terlihat ada warna keunguan. "Sial, apa ini karena racun yang diberikan Lugaldaba? Sebanyak apa dia memberimu racun."
"Aku tidak tahu, aku tidak mengingatnya." Ambrosia menggeleng terus. "Kepalaku sangat sakit, perutku juga sangat sakit."
Lilura sangat panik, dia tak tahu harus berbuat apa. Kabur bukanlah jawabannya karena Ambrosia tidak bisa bergerak, mereka juga tak bisa menahan para monster karena kondisi buruk Ambrosia kalau begini mereka akan mati sia-sia dan Phantomius bisa mendapatkan Hozier.
"Kita harus pergi, setidaknya mengulur waktu." Lilura benar-benar bingung.
"Tidak, aku tidak bisa! Tubuhku sakit sekali, harusnya kau pergi bersama Hozier, tapi kau malah memilih di sini bersamaku!"
"Karena aku tak bisa meninggalkanmu! Aku menyayangimu seolah kau separuh dari jiwaku, Ambrosia! Aku anggap kau seperti keluarga, melebihi segala di dunia ini. Bagaimana bisa aku meninggalkanmu!" Lilura berteriak, andai ia manusia, sudah tak terkira berapa banyak air mata akan dia keluarkan, betapa jantungnya akan berdegup kencang karena semua ini.
Perlahan-lahan pentagram sihir milik Ambrosia menghilang, ia sudah tidak mampu menggunakan sihir lagi. Kini para monster yang tersisa, meraung-raung karena akan segera mendapatkan santapan mereka pada hari ini. Sementara itu, dari arah belakang, datang lagi berbondong-bondong monster jenis minotaur dan Beer Misvormwolfir. Bagaikan tsunami yang sebentar lagi akan membinasakan banyak nyawa.
"Maaf ini salahku," ujar Ambrosia, kelopak matanya hampir tertutup, ia hendak kehilangan kesadarannya.
"Ini bukan salahmu Ambrosia." Perlahan Lilura menatap gerombolan pasukan monster dengan sangat sinis, seolah ada seseorang yang paling ia benci berada di sana. "Ini salah dari wanita jalang itu! Minna Hesperia bajingan pengkhianat! Dan kini, jalang itu ada di sini."
Ambrosia sudah tak sadarkan diri. Kini hanya Lilura yang sadar jika di tengah-tengah para monster itu ada seorang manusia yang mengenakan gaun merah muda begitu cantik. Wanita itu menjentikkan jarinya membuat para monster berhenti menyerang, begitu patuh dan tunduknya para monster pada seorang monster juga.
"Akhirnya jalang yang sesungguhnya sudah datang, baru kau menampakkan diri karena takut pada kami??" ucap Lilura.
"Tutup mulutmu itu, Lilura. Masih kau banyak bicara dasar boneka cacat. Padahal kau dan pemilikmu akan segera mati!" Mina Hesperia mengenakan gaun sangat cantik dengan warna merah muda, sulamannya seolah ia membeli gaun itu di butik ternama, Eleanora Alfarezel, serta sepatu high heels berwarna perak yang mengkilap. Ia juga mengenakan riasan yang semakin menambah kesan cantiknya. Terakhir rambutnya digelung.
Sesaat Lilura bisa melihat Ambrosia di hadapannya hingga ia sadar jika Minna Hesperia benar-benar meniru Ambrosia seolah berniat mengambil tempat Ambrosia. Gila, wanita ini benar-benar gila!
"Apa maumu, Hesperia. Mengapa kau lakukan semua ini? Mengapa harus Ambrosia, bukankah dia menganggapmu sebagai seorang sahabat!" Lilura meninggikan suaranya. Sementara itu, Hesperia malah bersedekap sambil menatap naas.
"Sahabat kau bilang? Sejak awal tidak sekali pun aku menganggapnya sebagai sahabat, aku membencinya, sungguh sangat membencinya! Hingga aku gila rasanya ingin segera melenyapkan Ambrosia dari dunia ini!"
Lilura tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia hanya diam, tahu benar jika perkataan Hesperia benar-benar akan menghancurkan hati Ambrosia berkeping-keping, padahal sangat tulus Ambrosia mempercayai Hesperia. Mungkinkah manusia selalu begini? Mungkinkah sudah bukan rahasia lagi jika seorang teman menusuk dari belakang? Kini Lilura berpikir jika menjadi manusia adalah kutukan dengan semua kesempurnaan yang mereka miliki.
"Kenapa? Apa yang membuatmu begitu membencinya?"
Hesperia sedikit melirik pada Ambrosia yang terbaring tak sadarkan diri di samping Lilura, senyuman terukir melihat wanita itu yang begitu menyedihkan. "Dia memiliki segalanya, aku membenci hal itu. Anak satu-satunya dari Bangsawan Marquess Ambrosia serta putri yang paling disayangi, memiliki orang tua yang sangat menyayanginya! Meskipun kedua orang tuanya sibuk, tetapi dia tidak pernah kekurangan kasih sayang, mereka akan memberikan segala yang Ambrosia mau! Segalanya!! Betapa banyak cinta yang ia miliki terlebih dia cantik, suaranya indah, cerdas, bahkan banyak yang memuji-muji matanya yang indah itu. Aku benci dengan semua yang para Dewa berikan padanya, termasuk boneka yang rela mati demi dirinya. Berbeda dengan hidupku, lihatlah betapa tidak adilnya para Dewa di hidupku."
Hesperia melangkah pelan, ia memunculkan sebuah tongkat besi yang berwarna merah, ujungnya sangat tajam serta menetes cairan berwarna ungu. Bulir air mata perlahan jatuh dari matanya yang terukir jelas dendam dan kebencian yang sudah bertahun-tahun dia pendam. Sadar jika Hesperia hendak berniat buruk dengan tongkat merahnya yang kemungkinan mengandung racun, lekas Lilura mengangkat tubuh Ambrosia kemudian perlahan menyeretnya.
"Ambrosia mendapatkan segalanya, berbeda denganku meski aku lahir sebagai bangsawan juga. Namun, aku tidak memiliki orang tua yang menyayangiku, mereka memang ada untukku, tapi tidak sedikit pun mereka memuji setiap keberhasilanku, lebih suka menuntutku, mengekangku dari mimpi-mimpiku. Bahkan berkali-kali menjodohkanku dengan pria buruk yang tak kucintai hanya demi meningkatkan derajat mereka sebagai bangsawan. Aku sangat sakit mengetahui Ambrosia yang seumuran denganku, tapi memiliki kehidupan yang berbanding terbalik denganku. Awalnya aku ingin memaafkan dia, setelah kutahu jika Ambrosia pernah dicampakkan seorang pria, maka aku berpikir dia akhirnya punya nasib buruk dan merasakan sakit juga. Ya, aku berniat memaafkannya!
"Hingga suatu hari, aku jatuh cinta pada Lugaldaba, aku rela menjadi Phantomius hanya untuknya, mungkin jika bersama dengannya, aku akan mendapatkan kebahagiaan yang selama ini aku cari. Namun, lagi dan lagi! Takdir berpihak pada Ambrosia! Lagi dan lagi, aku harus merasakan sakit karena pria yang kucintai tidak mencintaiku! Lugaldaba malah mencintai Ambrosia! Aku hancur, aku semakin hancur saat keluargaku tahu jika aku menjadi penyembah Raja Iblis."
Lilura susah payah menyeret tubuh Ambrosia, sementara itu, Hesperia terus melangkah dengan tongkatnya yang kini ia seret di tanah. Ketika ujung tongkat tersebut mengenai rerumputan maka rerumputan itu langsung layu, menghitam, kemudian mati. Sudah dipastikan jika racun itu adalah racun tingkat tinggi.
"Ayah dan ibuku marah besar ketika tahu aku adalah Phantomius, maka mereka pun mengurungku di bawah tanah, berniat melaporkanku ke pihak Kerajaan. Namun, aku sudah mengetahui hal itu akan terjadi, maka aku berhasil diselamatkan Phantomius lain, lalu kuhabisi seluruh keluargaku, hari itu juga. KUBUNUH SELURUH KELUARGAKU DENGAN TANGANKU SENDIRI!"
"Mustahil!" teriak Lilura, "aku mendengar jika bangsawan Hesperia masih beraktivitas seperti biasa, mereka tetap menjalankan tugas, hadir di pesta bangsawan maupun salon, meski tidak begitu aktif seperti dulu karena kabar jika istri Kepala Keluarga Hesperia sedang sakit! Itulah yang Ambrosia ceritakan!" Lilura sangat ingat jika tak ada kabar yang berisi akan kematian keluarga dari Bangsawan Hesperia.
"Apa kau tahu, keluarga kami punya keahlian dalam sihir pengendalian, kami ahli menghipnotis, serta mengontrol manusia meski tidak sebaik Majestic Families. Konsep kekuatan kami dengan mengibaratkan seseorang sebagai boneka, digerakkan dari jarak tertentu."
Mendengar perkataan Hesperia, maka membulatlah manik mata Lilura. "Jangan bilang kau ...."
"Benar, hari setelah aku dibebaskan dari kurungan, maka kuhabisi jiwa seluruh keluargaku; ayah dan ibuku, saudara dan saudariku kemudian kujadikan mereka boneka yang di mana Phantomius lain yang membantuku untuk menggerakkan mereka, seolah-olah mereka masih hidup! Padahal jiwa asli mereka sudah lama mati. Hal yang sama juga kulakukan pada Ambrosia, awalnya aku tidak bisa lama mengendalikannya karena Ambrosia cerdas. Namun, setelah Kepingan Zephyr ditemukan, aku bisa mengendalikan Ambrosia lebih leluasa, lalu perlahan-lahan kuruntuhkan hidupnya.
"Kujadikan dia bonekaku untuk menggantikanku hadir di rapat para Phantomius. Kubuat Ambrosia membunuh tiga murid itu agar hidupnya benar-benar hancur, tapi nyatanya ketika ia akan dibawa ke pengadilan, Lugaldaba menyelamatkannya, aku sekali lagi hancur! Harusnya hari itu Ambrosia mati saja! Kenapa, kenapa Lugaldaba tak bisa melihatku sedikit saja! Kenapa selalu Ambrosia!" Seketika pancaran neith begitu kuat berwarna merah gradasi hitam tersebar ke mana-mana. "Kini kurasa sudah waktunya, takkan ada yang menyelamatkan Ambrosia lagi bahkan kau, jadi dia harus mati di sini."
Hesperia mengayunkan tongkat merahnya yang berhasil ditahan Lilura dengan sihir, tetapi ia malah terpental karena tenaga Hesperia sangatlah kuat, terutama Lilura sudah mulai kehabisan tenaga. Hesperia tidak akan membunuh Ambrosia langsung karena ia hendak melihat bagaimana wanita yang sangat ia benci itu merasakan penderitaan terlebih dahulu sebelum mati dibawa malaikat kematian.
"Kau pikir bisa mengalahkanku dengan sihir lemah ini, dasar boneka bodoh." Pentagram milik Hesperia muncul dan berhasil menetralisir sihir Lilura, kemudian satu ayunan tongkat merah tersebut berhasil menghancurkan kaki kiri Lilura hingga menjadi berkeping-keping. Untung Lilura dapat melayang, jadi ia tidak begitu khawatir kakinya hancur, tetapi tenaganya yang semakin habis membuatnya kesulitan untuk melayang juga.
Sekali lagi Lilura memunculkan pentagram sihir, kemudian merapalkan mantra. "Ardere Amaryllis."
Hanya saja, sihir tersebut tidak berefek sedikit pun, Hesperia terkekeh kecil lalu balik menyerang dengan sihir yang berhasil mengenai Lilura kemudian membuat tubuh Boneka itu tersengat aliran listrik bertegangan tinggi hingga membuat tubuhnya menjadi retak, gaun yang ia kenakan gosong sebagian, lalu ia terempas hingga terseret ke tanah. "Menyedihkan, jika kau meninggalkan Ambrosia, kau pasti akan selamat."
Lilura sudah takut sekali jika Hesperia menyerang Ambrosia begitu saja, tetapi wanita itu malah melangkahi Ambrosia kemudian menuju Lilura. Berdiri di hadapan boneka tersebut, Hesperia mengangkat tongkatnya kemudian ia tancapkan ke kaki Lilura yang berhasil ia hancurkan lagi kaki boneka tersebut.
"Sebelum kubunuh kau dan kusiksa Ambrosia, beritahu aku, di mana anak laki-laki bernama Hozier itu?" Hesperia menatap sangat sinis.
"Dia sudah pergi jauh, untuk apa kau mencarinya? Dia tak punya Zephyr! Lepaskan anak itu!" teriak Lilura yang terkejut karena tubuhnya semakin retak akibat diinjak oleh Hesperia.
"Apa kau pernah mendengar Sanctus Graviel." Senyuman Hesperia terukir kecil di sana.
"Tidak mungkin, itu hanya legenda, tidak mungkin benda itu ada pada Hozier!" teriak Lilura.
"Namun, benda itu bukanlah legenda, itu benar nyata dan kini ada di dalam diri anak itu yang seorang Armorum Clavis Copia."
Sanctus Graviel atau dikenal sebagai Cawan Pelebur Kekuatan adalah sebuah benda atau harta suci yang berbentuk cawan atau cangkir dengan gagang panjang, berwarna emas, permata mengelilinginya badan cangkirnya. Dibuat pada generasi keempat dari Majestic Families. Pembuatnya adalah salah satu keturunan dari pandai besi terkemuka, lalu dibentuk juga melalui peleburan darah dari Makhluk Suci, para Santo dan Saintess. Sehingga Cawan tersebut sangatlah kuat. Kegunaan dari cawan itu, jika memasukkan darah dari makhluk hidup tertentu, maka yang meminum darah itu melalui cawan tersebut. Kekuatan makhluk itu akan ada di dalam dirinya serta berlipat ganda.
Armorum Clavis Copia adalah makhluk berbakat di dunia yang tubuhnya bisa menyimpan benda suci, senjata magis, atau benda yang memiliki kekuatan sihir kemudian disegel di dalam tubuh tersebut, kemudian untuk mendapatkan benda yang sudah disegel di dalam tubuh tersebut, hanya pemilik tubuh yang bisa mengambilnya kembali.
Sehingga cara apa pun bahkan sihir tingkat tinggi pun takkan bisa mengambil benda yang tersegel di dalam tubuh tersebut tanpa keinginan pemilik tubuh. Jika mati pun, maka benda yang tersegel di dalamnya akan lenyap pula bersama pemilik tubuh. Makhluk spesial yang memiliki bakat dalam Armorum Clavis Copia, sangatlah berharga untuk melindungi harta suci. Kemudian ada kemungkinan keturunan dari Armorum Clavis Copia, memiliki bakat yang sama dengan pendahulunya.
"Hozier, leluhurnya memiliki bakat tersebut, begitu pula Ayahnya Hozier yang juga berbakat kemudian turun pada anak itu. Sehingga pendahulu Hozier turun-temurun melindungi Sanctus Graviel. Hanya segelintir pihak kekaisaran yang tahu akan hal ini karena cawan itu lebih berharga dibandingkan Zephyr, maka dari itu, seperti melindungi Zephyr, pihak Kekaisaran membuat desa Shakaleta seperti desa pada umumnya agar tak seorang pun sadar. Sayangnya pihak Kekaisaran terkadang bodoh, mereka tak bisa menyerahkan beban sebesar itu pada desa Shakaleta. Takdir tidak pantas diberikan pada mereka. Hanya karena anak itu adalah seorang Armorum Clavis Copia. Lihatlah, berkat kami, kau mengetahui jika kekaisaran Ekreadel tidak sesuci yang dunia ketahui."
"Lalu, apa hubungan cawan itu dengan Zephyr!"
"Selain darah, segala benda apa pun yang dihancurkan kemudian ditaruh ke dalam cawan tersebut kemudian diminum, maka kekuatan benda itu akan dimiliki oleh seseorang yang meminumnya. Zephyr ketika dibakar dan diberi tumbal, maka akan meneteskan cairan, jika cairan dari Zephyr itu dimasukkan ke dalam cawan kemudian diminum, maka kekuatan sejati Zephyr akan berada di dalam tubuh yang meminumnya dan menyatu bahkan berkali-kali lipat lebih kuat. Raja Iblis kami, akan meminum Zephry melalui Sanctus Graviel, maka kekuatan Zephyr untuk mempengaruhi dan mengendalikan makhluk lain akan menyatu dengan Raja Iblis, semakin mudah dia menggunakan kekuatan tersebut, bila Zephyr dicuri kembali oleh bangsa manusia, tidak masalah karena kekuatan Zephyr di dalam tubuh Raja Iblis takkan lenyap. Itulah tujuan kami yang sebenarnya, alasan mengapa Shakaleta menjadi desa terakhir kami incar. Namun, bajingan kalian malah mengacaukan rencana kami, jadi katakanlah, di mana anak itu berada?!"
"Sudah kubilang anak itu pergi, dia pasti sudah mencapai desa Shakaleta!" Lilura tersenyum tipis karena pasti Hesperia akan mengamuk kembali.
"Begitu? Kurasa kau terlalu percaya diri. Apakah kau tidak tahu, hutan ini sudah disebar puluhan monster dan serigala serta para Phantomius maupun prajurit manusia. Jika pun anak itu berhasil sampai desa, maka Zahava dan seluruh pasukannya akan menghancurkan desa itu dan menghabisi seluruh warganya."
Muncul pentagram sihir merah yang langsung menahan Lilura sehingga ia tidak bisa bergerak bahkan menggerakkan jarinya. "Diamlah kau di sana, saksikan bagaimana aku menyiksa separuh jiwamu ini."
"Tidak! Jangan dekati dia, jangan dekati Ambrosia!" teriak Lilura.
"Memohonlah pada Dewamu yang bahkan tak berniat menolong kalian," ucap Hesperia kemudian mengarahkan tangannya pada Ambrosia kemudian rantai besi menjerat kedua tangan Ambrosia. Membawanya setengah melayang, posisinya seperti dipasung di sebuah tiang kayu. "Bagusnya, harus kuapakan dia? Langsung kupisahkan jantungnya atau kugunakan sihir penyiksa sampai dia bangun?"
"Jangan, jangan! Kumohon jangan lakukan itu, biar aku saja, hancurkan aku saja! Kumohon! Lakukan padaku saja, jangan Ambrosia."
"Kini aku semakin muak!" teriak Hesperia, "aku muak karena wanita ini, selalu memiliki seseorang yang melindunginya. Betapa tidak adilnya dunia ini. Athinelon ini benar-benar hina, harusnya bangsa iblis runtuhkan saja dunia ini sejak dulu!"
Hesperia mengeratkan genggamannya pada tongkat merahnya, sudah diputuskan jika ia akan menusuk tubuh Ambrosia berulang kali hingga wanita itu bangun dari pingsannya. "Bersiaplah, pertama-tama kuhancurkan wajah cantik yang kau miliki itu agar tak ada lagi pria yang bisa memujimu."
"Hesperia jangan!" teriak Lilura kembali. "HESPERIA---"
Hesperia tidak jadi menusukkan tongkatnya karena serangan kecil mengenai bahunya hingga gaun yang ia kenakan sedikit menghitam. Lalu terdengar suara anak kecil laki-laki yang ternyata adalah Hozier. "Jangan sakiti Nona Ambrosia!"
"Hozier, dasar anak bodoh, dungu! Mengapa kau malah kembali! Harusnya kau pergi, bodoh!" Lilura sudah kehabisan akal, ia tidak tahu lagi harus berbuat apa terutama Hozier malah kembali bukannya kabur seperti yang ia perintahkan tadi.
"Maaf, Nona Lilura. Aku tak bisa ke mana-mana, banyak monster yang mengincarku jadi lebih baik aku kembali. Lagi pula Anda harus tenang, mereka takkan membunuhku." Hozier berujar tanpa ada rasa gentar, begitu pula ketika ia melangkah menghadap Hesperia.
"Bocah kecil yang sudah berandai-andai menjadi pahlawan, hebat juga kau, jadi kini kau mau apa? Melawanku untuk menyelamatkan tuan putri Ambrosia?"
"Lepaskan nona Ambrosia dan nona Lilura." Hozier berucap.
"Berani kau meminta hal itu?"
"Jika Anda melepaskan mereka, maka aku akan menyerahkan diriku dengan sukarela." Terdengar teriakan Lilura yang tak setuju dengan perkataan Hozier. Namun, lelaki itu abaikan. "Hanya aku yang bisa mengambil cawan di dalam tubuhku ini, aku akan berikan pada bangsa iblis, tapi dengan syarat lepaskan mereka berdua."
"HOZIER BODOH KAU!" teriak Lilura kembali. "Ambrosia akan marah padamu, dia akan membencimu jika kau melakukan semua ini. Hozier!"
Sekali lagi, Hozier mengabaikan Lilura karena keputusannya sudah sangat bulat. "Bawa aku pergi, aku takkan ingkar janjiku, setelah kuserahkan cawannya. Bunuh lah aku, lagi pula aku ingin bertemu ayah dan ibu di surga nanti." Hozier tersenyum tipis.
Hesperia terdiam, berpikir sejenak. Ia hendak menyiksa Ambrosia, tapi ia harus mendapatkan anak ini demi kelancaran misi mereka dan demi Lugaldaba berpaling dari Ambrosia kemudian menuju pelukan Hesperia. Lagi pula, Ambrosia sudah di ujung jurang kematian, ia takkan bisa selamat. "Baiklah, kuterima permintaan dan syaratmu itu."
"Terima kasih."
Maka Ambrosia terlepas dari sihir milik Hesperia kemudian ambruk ke tanah, kini Hozier dijerat semacam rantai di kedua tangannya. Lalu lekas ia ditarik hingga ke samping Hesperia. Perlahan senyuman Hesperia terukir. "Hozier, kulepaskan mereka, tapi bukan berarti mereka akan hidup."
"Apa?" Hozier menatap Hesperia.
"Pasukan monster di belakangku sedang kelaparan, sedangkan aku merasa bosan. Jadi kuberi waktu untuk Ambrosia dan Lilura tersayangmu ini, melarikan diri, setelah waktunya habis. Mereka akan menjadi santapan dari seluruh monsterku." Suara tawa Hesperia terdengar sedangkan Hozier menjerit-jerit.
"Tidak! Bukan ini yang kuinginkan, kau harus membebaskan mereka, jangan bunuh mereka. Tidak!" Perlahan Hesperia membawa pergi Hozier yang wajahnya dipenuhi tangis, jeritan anak itu masih terdengar, ia menatap Lilura dan Ambrosia yang semakin menjauh. Lalu perlahan-lahan pandangannya buram karena Hesperia membuatnya pingsan.
"Anak polos ini, menaruh kepercayaan pada iblis, kasihan sekali," ujar Hesperia kemudian melepaskan Lilura dari kekangan sihirnya, maka boneka itu perlahan menyeret tubuhnya menuju Ambrosia.
Terdengarlah suara raungan para monster yang sudah sangat kelaparan. Hesperia sebelum menghilang ditelan kabut putih, ia menatap Ambrosia dan Lilura untuk terakhir kalinya. "Aku akan bawa anak ini, kuberi kau waktu untuk kabur Lilura. Kurasa lima menit sudah cukup, lalu nikmatilah ketika kau menyaksikan tubuh Ambrosia dicabik-cabik dan dimakan para monster. Ini sangat menyenangkan!"
Hesperia melihat tubuh Lilura yang gemetar, boneka itu kini mendekap erat Ambrosia. Perlahan Lilura berujar dengan penuh benci dan amarah. "Aku punya kata-kata terakhir untukmu. Meski kami berdua mati, meski tubuh kami akan hancur, tapi ketahuilah Hesperia. Bahwa kau akan dihukum lebih kejam lagi, maka dengan seluruh jiwaku ini, aku berdoa pada seluruh Dewa pemilik langit dan dunia ini. Kau, kau akan mendapat hukumannya!"
Hesperia tidak menyahut, ia berbalik kemudian kabut putih menelannya dan menghilangkannya dari sana bersama Hozier. Maka waktu lima menit yang Hesperia berikan dimulai, Lilura dengan sisa tenaganya, perlahan menggunakan sihir sehingga menciptakan berlapis-lapis selubung pelindung yang mengelilinginya dan Ambrosia. Kemudian ia melayang sedikit, lalu menyeret tubuh Ambrosia secara perlahan-lahan. Dia masih mau berusaha sampai titik darah penghabisan karena mempercayai perkataan Hozier bahwa ada malaikat yang akan datang untuk menyelamatkan mereka berdua.
Jadi maukah para Dewa mengabulkan permohonan Lilura itu?
****
Pertemuan antara Aalisha dengan Arthur adalah yang tak pernah ia duga dan rencanakan, terutama pria itu mengetahui identitasnya sebagai keturunan Majestic Families De Lune. Sialan, entah sejak kapan Arthur tahu akan Aalisha? Jangan katakan jika sejak memasuki Eidothea, Arthur sudah tahu, tetapi diam saja selama ini, mungkin karena inilah alasan Arthur sedikit memperlakukan Aalisha dengan semena-mena bahkan perkataannya yang terkadang aneh ternyata menyinggung Aalisha sebagai keturunan Majestic Families.
"Sudah memang aneh sejak dia yang menjemputku di kota lalu mau menemaniku membeli barang-barang kebutuhan akademi."
Aalisha sebenarnya hendak tahu bagaimana cara Arthur menyadari akan dirinya sebagai De Lune. Mustahil jika Owen membeberkannya begitu saja, meski pamannya itu terlewat batas dalam memperlakukan Aalisha, tetapi ia takkan melanggar perintah dari pihak keluarga untuk menyembunyikan identitas Aalisha sebagai De Lune. Mungkin Aalisha bisa mendapatkan sedikit jawaban jika bertanya tadi, tapi ia tidak punya banyak waktu, ada hal yang harus ia selesaikan secepatnya sebelum kehancuran dibawa ke dunia ini.
"Sudah pantas dia kumasukkan sebagai manusia yang harus kuwaspadai, terlalu banyak rahasia yang dia miliki. Ya bukankah aku juga?" Aalisha tersenyum tipis. Dia sudah keluar dari rumah reyot, sepertinya Arthur juga menyudahi sihir hologramnya.
"Sekarang Arthur terang-terangan tahu siapa aku, jadi apa yang harus kulakukan ya ...."
Kini di hadapannya adalah Hutan Kimari yang terbentang sangat luas. Dikarenakan Arthur sudah tahu identitasnya, maka ia tidak bisa berlama-lama lagi untuk terus mengenakan topengnya, apalagi ia merasakan firasat yang sangat buruk. Maka sebelum melangkah memasuki hutan itu kembali. Aalisha memunculkan cyubes-nya kemudian ia sambungkan pada seseorang yang berada di sebelah Utara hutan Kimari, sangat jauh dari Aalisha.
"Oberon," ujar Aalisha.
"Aku bisa mendengar suara Anda, Yang Mulia," sahut Oberon yang kini berada di sebuah bukit, menatap pada hutan kimari yang terbentang luas pepohonan hijaunya. Sosok pria yang Aalisha panggil dengan nama Oberon adalah Orly tingkat tinggi yang mengenakan pakaian bangsawan dengan warna hitam gradasi putih, rambutnya berwarna putih salju dan panjangnya melebihi bahu, serta manik mata merah.
"Kuharap kau menjalankan perintahku yang kuberikan sebelumnya." Aalisha agak terganggu akan kebiasaan Oberon karena memanggilnya dengan nama Yang mulia atau Your Majesty. Sepertinya ia harus membicarakan masalah nama panggilan ini.
"Tentu saja, aku takkan pernah mengecewakan Anda," sahut Oberon tersenyum tipis.
"Kalau begitu jelaskan secara singkat saja, apa kau menemukan di mana keberadaan Viscount Lugaldaba?"
"Ketika aku mengecek kediaman Lugaldaba, tidak ada satu pun penjaga di sekitar halaman dan area mansion-nya, lalu aku masuk ke dalam. Ketahuilah, bahwa aku menemukan sangat banyak penjaga yang mati dimulai para penjaga dari bangsa manusia serta para monster, sangat mengenaskan mansion itu yang menjadi tempat pembantaian."
Raut wajah Aalisha berubah. Ia sama sekali tak menyangka hal ini akan terjadi. Sungguh, semua ini tidak termasuk rencanannya. "Lalu bagaimana dengan Lugaldaba?! Kau menemukannya?"
"Dia tidak ada di dalam mansion tersebut, jadi aku memperbesar lokasi pencarian Lugaldaba, dan saat kutemukan dia, ternyata Lugaldaba sudah mati."
Mati, mati!!! Aalisha memikirkan ulang kata yang terucap itu.
Harusnya Oberon bisa melihat wajah Aalisha. Ya, gadis kecil itu terkejut bukan main karena mendengar kematian Lugaldaba. Sungguh Viscount gila yang memaksa menikahi Ambrosia kini ditemukan mati? Benar mati! Padahal Aalisha berniat menyingkirkan Lugaldaba terakhir saja setelah menyelesaikan masalah yang ada di hutan ini, tetapi apa-apaan ini? Bagaimana bisa? Sialan, siapa yang bisa membunuhnya, apa kemungkinan Ambrosia membunuh Lugaldaba kemudian kabur ke hutan ataukah ada orang lain yang ikut campur? Mungkinkah Arthur karena dia tahu Aalisha terlibat dengan Zephyr. SIALAN SEKALI MASTERNYA ITU!
"Yang Mulia Aalisha," ucap Oberon karena hening sekali di seberang sana. "Yang Mulia, apa Anda baik-baik saja. Aku juga mau menjelaskan, jika Lugaldaba ditemukan di---"
"Tidak, jangan sekarang, aku tak punya waktu." Aalisha memegangi kepalanya karena kini ia jadi pusing. "Jelaskan nanti saja karena keadaan di sini lebih genting. Lagi pula dia sudah mati. Oh Dewa ... siapa yang membunuhnya? Mungkinkah Arthur, sialan."
"Baiklah, sebelum itu, aku hendak mengabarkan juga kalau nona Andromeda dan tuan Cressida baik-baik saja."
"Aku tidak meminta kabar mereka," balas Aalisha.
"Namun, Anda tetap mengkhawatirkan mereka bukan? Syukurnya mereka baik-baik saja dan sepertinya sedang berusaha mencari Anda." Sungguh Oberon tersenyum kecil karena ia jarang sekali melihat masternya ini mengkhawatirkan seseorang selain kakaknya, Aldrich.
"Tidak, aku tak mengkhawatirkan mereka!" balas Aalisha.
"Sungguh gengsian dan pemalu sekali Anda, Yang Mulia. Mengapa Anda sembunyikan jika Anda mengkhawatirkan mereka?" sahut Oberon.
"Persetan, diamlah kau Oberon!" Harusnya bisa Oberon lihat jika wajah tuannya ini memerah entah karena amarah atau malu. "Sekarang tutup panggilannya, aku akan memberi perintah yang lain ketika sudah kutemukan profesor Ambrosia."
"Perlukah kucarikan tumpangan untuk ke sana?" tawar Oberon.
"Tidak perlu," sahut Aalisha, "karena aku sudah memanggil tumpanganku, Tinnezs menuju kemari."
Maka benar sesuai dengan perkataan Aalisha, suara langkah kaki kuda yang sangat cepat itu datang padanya, Tinnezs adalah kuda yang berasal dari akademi Eidothea. Ia benar-benar berlari dari akademi hingga kemari karena Aalisha memanggilnya.
"Bagaimana dengan menemukan nona Ambrosia? Apakah aku perlu membantu Anda?"
"Wah, wah Oberon, kau jahat sekali karena sering meremehkanku. Apakah kamu lupa ...." Perlahan Aalisha menaiki Tinnezs. "Bahwa aku adalah De Lune, Aalisha Galad De Lune maka seluruh binatang di hutan ini, bisa menjadi mataku."
Setelah perkataan Aalisha itu. Burung-burung di langit-langit berkicau, tupai-tupai yang tertidur seolah terbangun kemudian mulai menyusuri pepohonan, kelinci melompat-lompat, rusa yang menikmati rerumputan kini menatap ke langit kemudian bersuara sebelum pergi menyusuri hutan tersebut.
"Selamat bersenang-senang, Yang Mulia. Oh, lalu kumohon, sedikit lebih ramah, Anda masih punya batasan." Panggilan cyubes mereka terputus.
"Tinnezs, ayo, mari selamatkan profesor Ambrosia dan bawa dia kembali." Maka Tinnezs menaikkan dua kaki depannya kemudian meringkik sangat kencang, lalu mencongklang. Ibarat kuda dalam peperangan yang sudah terbiasa membawa kesatria menerjang ke benteng musuh, maka Tinnezs tidak seperti kuda yang hanya digunakan para murid akademi. Dia sangat cepat, secepat kilat dan begitu kebanggaan tercetak di wajah Tinnezs karena kini yang menungganginya adalah putri De Lune yang akan mengubah takdir banyak manusia.
Ya mengubah takdir di setiap langkahnya.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Kini sudah tahu alasan kenapa Hesperia benci sekali dengan Ambrosia?
Akankah Aalisha berhasil menyelamatkan profesor Ambrosia dan Lilura?
Katakan sesuatu untuk chapter ini?! Adakah hal yang membuat kalian tertarik?
People's before: Run Aalisha, Run!
People's now: Run, it's Aalisha De Lune!
Prins Llumière
Kamis, 16 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top