11 Lahirnya Alter Ego

Terkadang, dibutuhkan kesedihan untuk mengetahui arti kebahagiaan, kebisingan untuk menghargai keheningan, dan kehilangan untuk menghargai kehadiran.

~~oO~~

Bola mata Kamala nyaris meloncat keluar. Kakinya benar-benar jadi pengkhianat sejati dengan enggan menuruti keinginan Sarah.

"Mbak Kamala," panggil Sarah lagi, kali ini diikuti dengan tarikan keras di lengan.

Kamala terhuyung. Dia nyaris terjatuh. Wanita itu memasang ekspresi bingung. Senyum malu-malu Kamala tersungging diiringi gerakan salah tingkah.

"Pa, Ma. Ini Mbak Kamala yang sering Mas Dion ceritakan." Sarah memberi pengumuman.

Sering?

Kamala langsung melempar lirikan tajam pada Dion. Pria itu dengan bijaksana memilih mengabaikan Kamala.

"Harusnya masmu yang memperkenalkan calonnya. Bukan kamu." Pria paruh baya yang disapa Papa oleh Sarah menegur.

Alis Kamala terangkat tinggi.

Calon? Calon apa?

Wanita itu masih diselimuti kebingungan. Otaknya mendadak tumpul, tidak mampu mencerna apa yang terjadi.

Perkenalan singkat terjadi. Papa dan Mama menyambut kehadiran Kamala dengan hangat. Mereka keluarga yang menyenangkan dan cepat akrab.

Itulah yang dirasakan Kamala dari tiga puluh menit pertama berinteraksi dengan mereka. Wanita itu merasa diterima dan perlahan-lahan mulai nyaman, meski di sebagian besar waktu dia terus berdiam diri.

"Jadi, Nak Kamala ini kerja jadi editor?"

Kamala mengangguk singkat. Dia menahan panas dari ayam bakar yang dipesannya.

"Asalnya dari Malang juga, ya?"

Kamala membeku. Pertanyaan itu membuatnya sangat tidak nyaman. Dia takut saat seseorang bertanya tentang masa lalunya.

"Ya, saya dari Malang," jawab Kamala santun.

Wanita itu kembali menundukkan pandangan. Dia tidak berani berkata-kata lagi. Jantungnya berdebar-debar menunggu pertanyaan lanjutan yang pasti tidak jauh-jauh dari orang tuanya.

Namun, tidak ada yang terjadi. Kedua orang tua Dion tidak menanyakan hal lain seputar latar belakangnya. Bahkan mereka tidak menanyakan berasal dari daerah Malang mana pastinya Kamala tinggal pun tidak.

Akan tetapi, dua orang tua itu justru bertanya hal yang membuat Kamala semakin bingung. Wanita itu mendongakkan pandangan dan bertemu Dion yang tengah menatapnya sangat intens.

"Jadi, gimana, Yon? Sudah mantap?" Papa bertanya.

Dion terlihat enggan mengalihkan pandangan dari Kamala. Hanya saja pertanyaan papanya perlu segera dijawab.

"Iya, Pa. Dion sudah mantap. Bismillah," jawab pria itu tegas.

Kamala menatap tidak mengerti pada dua pria di hadapannya. Ekor matanya sempat menangkap basah senyum misterius Sarah. Perempuan itu bahkan terang-terangan menatapnya dengan wajah berbinar-binar.

"Kalau begitu, Papa dan Mama percaya pada keputusanmu." Wanita paruh baya di seberang Kamala berkata lembut.

Tangan Mama merogoh sesuatu dari dalam tas kulitnya. Wanita itu mengeluarkan satu kotak kecil berlapis beledu biru dan menyodorkannya pada sang putra.

"Ini pesananmu, Sayang. Sesuai permintaanmu." Mama berkata.

"Ini milik Nenek?" tanya Dion memastikan.

Mama menganggukkan kepala. "Benar. Mama mengambilnya sendiri dari rumah Nenek."

Kamala melanjutkan acara makan malamnya yang tertunda. Dia tidak curiga sama sekali. Hingga satu peristiwa terjadi.

Terdengar suara derit kursi bersamaan dengan Dion yang berdiri. Pria itu mendekati Kamala. Seolah semesta tengah berkompromi dengan kehendak Dion, keramaian restoran tiba-tiba menurun.

Kamala terbelalak saat melihat Dion yang berlutut di sampingnya. Pria itu mengacungkan kotak beledu pemberian mamanya. Suara Dion mantap dan tegas.

“Kamala, aku memang belum terlalu lama mengenalmu. Tapi aku sudah menjalani istikharah dan yakin betul kamu adalah jodohku.”

Badan Kamala membeku. Darah serasa berhenti mengaliri wajahnya. Mata wanita itu masih terbelalak.

Dia berusaha menggelengkan kepala. Namun, gerakannya kalan cepat dengan suara Dion yang kembali terdengar.

“Kamala, maukah kamu menikah denganku?”

Dunia serasa berhenti bergerak. Waktu berhenti berputar. Kamala terperangah dengan hati mencelus.

“Yang … yang benar saja,” kata Kamala gugup. “Ki–kita bahkan baru mengenal. Kenapa kamu–”

“Karena aku yakin, kamu adalah jodoh terbaik untukku,” potong Dion tegas.

Kamala terbelalak. Satu kata itu meluncur keluar begitu saja dari mulutnya tanpa bisa dicegah.

“Sinting,” ujar Kamala dengan nada tidak percaya.

Anehnya Dion justru memberikan senyum lebarnya. Pria itu tida terganggu dengan kekagetan Kamala.

"Sekarang memang terdengar sinting. Tapi percayalah, setelah kita menikah, aku dan kamu akan menjadi satu, lalu kita jadi sinting bersama."

Kamala merutuk dalam hati. Mendengar balasan Dion, dia justru ingin tertawa. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala.

"Dion, tolong berpikir dengan kewarasanmu." Kamala mulai frustrasi.

Dia menoleh pada Sarah dan orang tua perempuan itu. Namun, sepertinya tiga orang tersebut sangat mendukung Dion dan bersekongkol dengan pria itu.

"Kamu adalah psikolog. Kamu paling mengerti kondisi mental seseorang. Menikah bukan suatu hal yang remeh."

"Aku tahu. Menikah adalah hal yang sakral. Mitsaqan ghalidza yang kekuatan perjanjiannya setara dengan Rasul dan Sang Pencipta." Dion menyela.

Saat merasakan Kamala tidak memberikan respons positif, pria itu kembali berusaha meyakinkan.

"Aku tidak sembarangan melamar, Kamala. Bisakah kita berdiskusi setelah kamu menerima lamaranku?"

Sayangnya pertanyaan Dion langsung disambut gelengan kepala Kamala. Wanita itu gemetar hebat. Dia sampai perlu meletakkan alat makannya agar tidak berdenting keras karena beradu dengan piring.

"Dion, maafkan aku. Tapi aku tidak bisa."

Suasana di meja makan itu langsung hening. Tidak hanya di meja Dion, tetapi juga di meja sekitar mereka.

Kamala buru-buru bangkit. Dia menyambar tasnya. Wanita itu menatap Dion dengan air mata merebak.

"Maafkan aku. Maafkan aku."

Hanya itu kalimat yang mampu diucapkan Kamala. Dia bergegas pergi meninggalkan keluarga kecil itu. Tidak sekalipun Kamala menoleh.

Begitu tiba di luar restoran, wanita itu langsung menghentikan taksi yang kebetulan melintas. Hati Kamala bergetar untuk sebab yang menyedihkan. Di kursi belakang taksi air mata wanita itu akhirnya kembali tumpah.

"Tuhan, kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa? Kenapa Kamu mengujiku dengan hal yang sama dan berulang?"

~~oOo~~

Esok paginya Kamala masuk kerja dengan suasana hati sangat buruk. Kepalanya berdenyut-denyut. Dua lingkaran hitam tercetak jelas di bawah mata. Efek dari begadang semalam suntuk.

Tidak ada yang peduli pada Kamala. Wanita itu juga sama. Dia tidak menginginkan kepedulian orang lain. Begitu tiba di kantor, Kamala langsung menenggelamkan diri pada pekerjaan.

Namun, penyiksaan mental baru dimulai saat jam makan siang. Gerimis yang turun sejak pertengahan hari membuat Kamala tidak bisa pergi ke rooftop. Alhasil Kamala harus puas makan siang di kubikelnya dan menebalkan telinga dari sindiran pegawai lain.

"Apa aku sebaiknya resign aja, ya?" Kamala mengembuskan napas panjang.

"Suasana di sini udah nggak enak banget. Aku nggak senggol mereka sama sekali. Tapi semua orang di sini kayaknya musuhin aku banget."

Kamala mengembuskan napas panjang untuk kesekian kali. Satu tangannya menyuapkan sesendok besar nasi goreng dingin. Satu tangan yang lain lincah menggerakkan tetikus.

"Tapi aku malas kerja di kantor. Editor freelance mungkin oke. Ah, tapi bayarannya kecil padahal aku lagi butuh uang banyak."

Makan siang terabaikan. Ingatan akan lamaran dadakan Dion kembali menari-nari di pelupuk mata. Pipi dan leher Kamala sontak memanas.

"Duh, apaan sih? Dion kebanyakan gaul sama pasiennya sampai jadi sinting macam gitu. Kenal belum ada sebulan juga, kok. Ini tiba-tiba main lamar gitu aja."

Wanita itu memijat pelipis. Kepalanya masih berdenyut-denyut. Semalam suntuk dia memikirkan lamaran Dion.

Andai situasinya berbeda, bisa jadi saat itu juga Kamala akan menerima pinangan Dion. Toh, tidak ada yang salah dengan pria itu.

Secara fisik Dion menawan dan tidak memiliki cela. Pekerjaannya juga bagus. Dion juga terlihat cukup religius dengan hafalan-hafalannya yang cukup banyak.

Dibanding deretan mantan Kamala sebelumnya, hanya Dion yang belum pernah bersentuhan fisik dengannya. Sama sekali belum pernah.

Pria itu memang pernah duduk dekat dengannya di pesawat. Dion juga pernah mengantarnya pulang. Namun, tidak ada kontak fisik terjadi. Pria itu sangat menjaga jarak dan berhati-hati menghadapi Kamala.

"Apa kamu tetap bakal lamar aku kalau tahu latar belakangku, Dion?" Wanita itu bertanya masygul.

Kamala menghela napas berat. Dia memutuskan menyudahi acara makan siangnya. Wanita itu menepikan kotak bekal dan menyanggul cepol kecil rambut panjangnya.

Lalu Kamala mulai menulis.

Hanya sekadar menulis untuk melampiaskan kegundahan hati. Psikiater yang pernah menanganinya memberi saran bagi Kamala untuk menemukan aktivitas yang mampu meredakan kecemasan Kamala.

Karena dirinya tidak suka bersosialisasi, Kamala pilih menenggelamkan diri dalam dunia tulis-menulis. 

Awalnya sekadar menulis bak mengisi diari. Makin ke sini tulisan Kamala mulai membentuk satu cerita utuh.

Dan kini Kamala sudah hampir berada di penghujung ceritanya. Wanita itu tertegun memandangi layar laptop.

"Apa-apaan ini?" Kamala terperangah. "Ini beneran aku sudah berada di akhir cerita? Aku beneran berhasil bikin novel? Oh, astaga!"

Kamala membekap mulut. Mata wanita itu terbelalak.

"Kayaknya jadi penulis seru juga. Apa aku alih profesi saja? Kamala editor dan Kamala penulis. Ah, tidak. Tidak. Kamala si penulis harus punya nama lain. Ini adalah alter ego aku."

Kamala membaca ulang bab terakhir yang sudah diketiknya. Wanita itu berpikir panjang.

"Syaron …," gumamnya lirih. "Selamat datang di dunia, Syaron."

~~oOo~~

Penghujung Ramadhan.
Semoga kita lolos puasa tahun ini
dan masih bertemu Ramadhan
tahun depan.

(EliyNorma)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top