-5-

Ansan.

Sepanjang perjalanan jauh yang Jaemin kecil lakukan, ia hanya dapat mengerti gumaman kata itu. Salah satu kata yang terus dirapalkan ibunya.

Lingkungan di tempat barunya pun dipenuhi rumah-rumah dua tingkat berderet dengan kesunyian memekakkan telinga. Meski terdengar lebih baik dari beberapa jam atau sehari sebelumnya di mana bunyi pecahan kaca dan beling ikut berdengung tidak hanya di telinganya, tetapi di pikirannya juga.

Jaemin bernapas lega ketika satu langkah kakinya berhasil menapaki sisi trotoar di depan rumah yang sekelilingnya sepi. Membuatnya tidak harus bersusah payah memasang wajah ramah-tamah untuk sekadar melakukan tatakrama sebagai seorang tetangga baru.

Selain itu, setidaknya Jaemin harus memberikan ruang pada ibunya yang tengah menghabiskan sisa air mata, untuk keputusan mereka kabur dan melayangkan surat entah apa pada ayahnya. Jaemin kecil tahu, ibunya tidak akan meneteskan sedikit pun air mata di hadapannya, beliau terlalu kuat untuk menahan pedih bahkan di saat mulut Jaemin berujar dengan polosnya.

"Mama, kenapa kita meninggalkan Papa sendirian di rumah? Apa kita akan berjalan-jalan tanpa Papa?"

Senyum menenangkan terukir lembut dengan gurat-gurat halus ikut serta di wajahnya. Ibunya kala itu kembali mengendarai mobil setelah mengusak halus rambutnya dan memastikan Jikyung-adik balitanya yang tertidur di belakang sana dalam keadaan baik. Sampai di saat Jaemin terbangun di malam kelam, samar-samar terdengar bunyi sesengukan dari luar mobil. Mulai saat itu Jaemin berharap, ia menjadi lebih dewasa untuk mengerti arti tetesan air mata yang ibunya keluarkan.

______________

Di tengah derap langkah kakinya yang semakin menjauh dari rumah, Jaemin mendongak selepas melihat trotoar tempatnya berpijak berganti dijalari sulur hijau. Hamparan ilalang melebihi tinggi dahinya tampak mengisi iris mata sampai di ujung penglihatannya mampu memandang.

Embusan sepoi angin sore diam-diam menerbangkan anak rambut milik Jaemin selama ia menikmati panorama sisi kota yang tak biasa di lihatnya.

Tanpa ragu ia melangkahkan kaki memasuki kumpulan ilalang yang masih menari pelan ikut tertiup angin. Ada sesuatu yang terbawa ketika embusan angin menerpa seluruh tubuhnya, melepas beban yang cukup berat ia pikul di umur yang seharusnya penuh kebahagiaan untuk bermain. Walau saat ini bebannya terhempas angin yang sesaat menghilangkan problemanya, tetapi masalah yang akan datang sudah siap menanti. Tak peduli sejauh apa pun ia dan ibu serta adik kecilnya berlari, masalah tidak bisa dihindari.

Jika saja Jaemin mengerti bahwa yang ia lakukan saat ini pun adalah menghindar dari masalah yang memberatkan pikirannya.

Jaemin tidak mengerti dengan pasti hanya saja bunyi gesekan kecil antar ilalang yang tertiup angin benar-benar menenangkan pikirannya. Ya sampai di tengah suasana yang cukup sunyi itu terdengar debuman keras layaknya besi yang saling beradu terhempas di atas tanah.

Merasa penasaran, Jaemin memacu langkah kakinya lebih cepat-mungkin tepatnya berlari menghampiri sumber suara-hingga akhirnya dia menemukannya. Sesuai dugaan bunyi debuman itu mengisyaratkan seseorang terjatuh, tepatnya jatuh dari sebuah sepeda diantara hamparan ilalang tinggi ini.

Kenapa dia bermain sepeda di ilalang seperti ini? Kening Jaemin mengernyit cukup dalam memikirkan alasan yang mungkin untuk anak itu pilih saat bermain di sini. Akan tetapi, ia segera tersadar ketika ringisan kecil merasuk ke pendengarannya.

Dia terluka! Lututnya mengeluarkan darah!

Dengan sigap Jaemin menurunkan tubuhnya-berjongkok di depannya yang masih meniupi luka di lutut. "Kamu berdarah," ujar Jaemin dengan mata yang tidak lepas melihat segumpalan darah terus mengucur dari lutut anak itu.

Dia terus terisak sembari sesekali meniupi lukanya, berharap lekas sembuh dengan tiupan, tetapi tidak membuahkan hasil seperti yabg diharapnya.

"Kamu bawa botol minum?" tanya Jaemin yang membuat dia mengalihkan sejenak pandangannya dari luka untuk menatap Jaemin.

"Aku berdarah! Kena-pa kamu malah nanya botol minum???" pekik anak tersebut sambil terisak.

"B-bukan begitu, kita harus membersihkan lukamu dulu dengan air." Jaemin gelagapan ketika ditatap penuh penghakiman seperti 'Aku terluka, tetapi kenapa kamu malah ingin minum'. Walau demikian, akhirnya dia mengerti maksud Jaemin.

Tangisnya masih berlanjut sembari meratapi lututnya yang tak henti-henti mengucurkan darah. "Aku ... tidak bawa."

Jaemin tadinya menatap kecewa, ia memiliki plester satu-satunya yang ia punya di kantung celana. Akan tetapi, percuma saja jika luka itu tidak dibersihkan dengan air terlebih dahulu.

"Tapi ... kalau kamu ke sisi kanan saat masuk padang rumput ini, ada keran air di sana." Dia berujar pelan meski sesenggukan masih menyertai, tangan kirinya melepas pegangan di lutut kemudian menunjuk arah yang tadi dikatakannya.

Jaemin mengangguk lalu segera menuju keran air tersebut. Menyusuri lagi jalan yang dilewati saat memasuki hamparan ilalang tanpa memikirkan kenapa ada keran air di sisi rumput liar yang menjulang tinggi.

Sesampainya di sana, Jaemin kembali berpikir bagaimana membawa air tersebut karena tidak mungkin untuk membawanya dalam tangkupan tangan, percuma saja. Matanya melihat ke sekeliling keran mencari wadah yang bisa digunakan untuk menampung air, tetapi ia tidak menemu-

"AH! IYA!"

Beberapa botol bekas yang sudah tak terpakai tergeletak di bawah keran, tampaknya bisa untuk menampung air. Jaemin membersihkan sisa kotoran pada botol tersebut sebelum ia mengisi sekitar tiga botol dan kembali lagi ke tempat tadi.

______________

Angin di sekitaran mereka bertiup semakin kencang, menambah efek dingin pada lutut dia yang sedang terguyur air. Ringisan yang keluar dari mulutnya mungkin terdengar kecil, tetapi air mata anak itu masih terus mengalir. Sesakit itu kah? Jaemin juga pernah jatuh dari sepeda, tetapi tidak seperti ini.

Apa lagi ketika ringisannya mendadak berubah menjadi pekikan karena tangan Jaemin harus ikut mengusap agar darah itu berhenti berkumpul di lututnya. Tenang saja Jaemin telah mencuci tangannya tadi.

"Tahan ya, ini akan sedikit perih," pinta Jaemin.

"Iya, pelan-pela--sakit ...," pekiknya menahan rasa sakit.

" ... Maaf."

Jaemin telah membersihkan luka anak tersebur. Sekarang mereka sedang menunggu area lutut anak itu mengering untuk nantinya dipasangi plester. Ketika keduanya tengah diam, terfokus pada satu titik yaitu memperhatikan lutut. Sebenarnya Jaemin ingin mengalihkan perhatian dia dari sana, tetapi ia tidak tahu harus melakukan apa dalam keadaan canggung seperti ini. Bahkan anak di depannya terus menundukkan kepala.

Setelah dirasa area lutut itu sudah tidak basah lagi, Jaemin segera mengeluarkan plester dan menempelkannya perlahan di sana. Walau tiba-tiba Jaemin tersentak karena anak itu malah mengeraskan tangisannya. Jaemin bertanya-tanya panik, "K-kenapa menangis lagi??"

"AKU BENCI MERAH MUDA, ITU WARNA MILIK PEREMPUAN!!" sahutnya dengan menangis keras seolah-olah telah dikhianati orang paling kejam di dunia.

Jaemin tidak bisa menahan tawanya lagi. Entahlah baru kali ini ada orang yang memikirkan hal seperti itu di saat dirinya sedang terluka.

Dia merengut dengan kerutan yang menumpuk di dahinya. Terpaksa Jaemin meredakan tawanya dan berujar, "Kupikir kamu memang anak perempuan tadinya ... tapi untuk anak laki-laki seukuran kamu manis juga." Jaemin tersenyum menampilkan deretan giginya. Tatapan mereka bersirobok bersamaan, terhanyut dalam lautan bening yang disuguhkan bola mata keduanya. Apa yang indah selalu nampak di cerita fiksi dan drama televisi?

Jaemin rasa tidak. Bagaimana seseorang begitu bersinar meski jejak air mata masih tampak di pipinya? Matanya terlihat bening berkilauan dengan kulit pipi yang sedikit pucat dan bibir tipisnya menganga kecil saat melihat Jaemin. Di belakangnya, ilalang pun tampak bergoyang memperindah refleksinya di mata Jaemin.

"Siapa namamu?"

"Renjun."

______________

Kejadian beberapa saat lalu menghentikan detik-detik waktunya. Hanya ada bunyi gemerisik ilalang di kala Jaemin terpaku melihatnya. Kesadarannya juga sedikit belum kembali-Jaemin terus-menerus memandangi Renjun dengan tatapan terpananya bahkan ketika mereka tengah bersama-sama menuntun sepeda kembali ke komplek. Untungnya Renjun tidak risih-atau mungkin tidak mengerti arti tatapan Jaemin. Akan tetapi, Jaemin juga tidak yakin sudah mengerti hal itu.

"Kenapa kamu bisa bermain sepeda di antara rumput liar?" tanya Jaemin pada hal yang memang membuatnya penasaran sedari awal. Lagi pula mereka harus membangun percakapan bukan?

"Karena di sana indah," jawabnya singkat. Well, bukan singkat mungkin, memang pada dasarnya anak kecil selalu mengatakan hal yang mereka rasakan saja. Alasan yang cukup sederhana untuk diungkapkan.

"Di komplek juga indah, tidak bermain di sini?"

Renjun termenung. Tentu komplek mereka tinggal juga indah, tetapi dia tak mengerti, mengapa suasana di sini tidak menyenangkan. Dia hanya tidak paham harus menjawab apa sekarang.

"Tidak ramai, tidak ada teman seumuran yang bisa di ajak main di sini." Pada akhirnya Renjun hanya mengungkapkan hal yang tidak pernah dia temukan sama sekali ketika di perumahan.

"Ah benarkah?" Jaemin memegang dagunya dan menganggukkan kepala. "Memangnya berapa umurmu?"

"Tujuh tahun."

"Aku seumuran denganmu! Kalau begitu kita bisa bermain bersama!" seru Jaemin seolah dia menemukan solusi untuk mengatasi persoalan yang dialami Renjun.

"Kamu tidak bohong kan? Berarti kamu teman pertamaku sekarang!" Renjun merespon dengan tak kalah antusiasnya. Dia pun seakan lupa pada kesedihannya tentang luka atau tidak memiliki teman.

"Mulai sekarang kita adalah teman dan tetangga, kan?"

"Tentu, Jaemin!"

______________

Jaemin adalah teman pertamanya dan yang paling berharga di hidup Renjun.

Entah mengapa Renjun malah mengingat itu ketika jalan bersama Jeno kini menuju apartemennya-Jeno menawarkan diri untuk mengantar Renjun pulang karena langit juga sudah mulai gelap. Tidak baik katanya pemuda manis berjalan sendirian di kegelapan malam seperti waktu itu.

Saat percakapan mereka terhenti, pikiran Renjun terus melayang pada masa di mana ia dan Jaemin bertemu pertama kalinya. Renjun tiba-tiba merasakan sesuatu yang mendesak. Apa ia tengah khawatir karena Jaemin tidak meneleponnya sama sekali hari ini? Sejak di apartemen saja mereka bertemu, tetapi Jaemin tidak memberinya kabar sampai detik ini.

Renjun menarik napasnya pelan dan menggelengkan kepala berharap pikiran buruk tentang Jaemin menghilang. Sedikit banyaknya Renjun merasa bersalah tidak menemani Jaemin ke pemakaman mengingat pemuda itu suka terlarut dalam rasa bersalahnya ketika tidak dapat menjaga adik perempuannya dengan benar.

Nanti sesampainya di apartemen Renjun harus menghubungi Jaemin segera.

"Kenapa? Ada sesuatu?"

"Apa? Ada apa?"

Jeno memergokinya menggelengkan kepala. Untuk beberapa saat ia kedapatan pula tidak menaruh perhatian pada kata-kata Jeno.

"Kamu sedang tidak fokus, padahal kita sebentar lagi sampai." Jeno menegurnya. Tanpa Renjun sadari, mereka akan memasuki lift menuju lantai tiga. Apa sebegitu lama ia memikirkan Jaemin sampai tidak menyadari kawasan depan apartemen sudah mereka lewati?

Renjun kembali menggeleng. Entah membantah kalimat Jeno kalau ia sedang tidak fokus atau mengisyaratkan tidak tahu jika benar-benar kehilangan fokus.

"Hati-hati. Kamu bisa saja tersandung kalau melamun terus," ingatnya lagi ketika mereka benar-benar sampai di depan pintu apartemen Renjun.

"Ah iya terima kasih sudah mengingatkanku dan mengantarku sampai sini." Renjun berkata nyaris tidak terdengar membuat Jeno sedikit menurunkan tinggi badannya sejajar dengan Renjun. Wajah tampan Jeno tepat berada di hadapan Renjun dengan jarak yang bisa dibilang dekat.

"Aku yang harusnya berterima kasih." Jeno bergumam lirih. "Waktu itu, kalau kamu tidak ada untuk menyelamatkanku, mungkin ... aku tidak dalam keadaan baik-baik saja saat ini," ucapnya melanjutkan. Kelopak matanya tampak tersenyum seiring lengkung yang menghiasi bibirnya. Jeno tersenyum tulus tepat di depannya.

"Itu bukan apa-ap-"

"Kamu tahu." Jeno menyela perkataannya tiba-tiba. Tanpa disadari kedua lengan jeno pun sudah mengungkungnya. Menumpu pada pintu kecoklatan yang kini menjadi tempatnya bersandar. T-tunggu sejak kapan Jeno melakukannya?

"Aku beruntung ditolong oleh malaikat sepertimu," bisik teramat halus yang Jeno lakukan mulai membangunkan sistem waspada di tubuh Renjun.

Renjun merasa semakin tersudutkan, menempelkan tubuhnya pada pintu apartemen saat napas hangat Jeno mulai terasa menerpa wajahnya. Jeno ini sedang kenapa sebenarnya?

"Kurasa aku memiliki perasaan khusus pada malaikat penolongku."

Apa?!

"M-maksudmu Jeno?" Samar-samar kerutan di dahi Renjun muncul. Ia tidak mengerti kemana sebenarnya Jeno membawa arah pembicaraan mereka. Akan tetapi, semakin lama Renjun memikirkannya, saat itu pula ia tidak sadar jaraknya dengan Jeno kurang dari tiga senti lagi. "A-apa yang kamu lak-"

Suara pukulan antar kulit menginterupsi tiba-tiba.

"ASTAGA!!" Renjun memekik antara kaget dan tidak percaya. Jeno sudah tidak di depannya lagi melainkan tersungkur dengan sudut bibirnya yang mulai mengeluarkan darah.

Ada Jaemin berdiri dengan tangan terkepal di sisi kirinya.

Manik elang Jaemin menatap Jeno sengit. Dia tampak mendesis meski sempat Renjun dengar pemuda bersurai soft pink itu mengumpat tadi. Dadanya kembang kempis setelah menahan emosi dengan apa yang dilihatnya. Sudah cukup masalah hari ini, jangan menambah lagi perih dihatinya!

"Apa-apaan kamu?! mengap-akh tiba-tiba memukulku?" sungut Jeno kesal. Dia dibantu berdiri oleh Renjun, walau Jeno hampir melakukan sesuatu dengannya, tetapi Jeno tetap harus ditolongnya. Jaemin juga tidak seharusnya sampai memukul Jeno hanya untuk menghentikannya pikir Renjun.

"Pergi dari sini!" jelas Jaemin menekankan setiap katanya.

"Jaemin, kenap-"

"Masuk Injun!!!"

Lagi ucapan Renjun dipotong dan kali ini oleh Jaemin. Telunjuknya mengarah tegas pada pintu apartemen. Netra Jaemin berkilat emosi menatap Jeno yang sudah bangkit di bantu Renjun.

"Jaemin!" Renjun menatap keduanya khawatir. Raut kecemasan sangat kentara terlihat.

"Kubilang masuk sekarang!!" titah Jaemin absolut. Dia mengambil kunci apartemen Renjun dan membukanya, menunggu Renjun masuk ke dalam dengan langkah yang bimbang.

Sampai punggung Renjun menghilang di balik pintu, dua pasang bola mata itu kini saling melemparkan pandangan tajam seolah-olah bersiap melemparkan belati masing-masing. Akan tetapi, tampaknya Jaemin mencuri start dengan cemoohannya.

"Then you, bastard, I don't know who you are!" Nada ucapnya sarat akan sinisme. "Don't ever think I can let your fucking lips kiss Renjun!" Jaemin yang kali ini bukan terlihat seperti Jaemin yang biasa.

"Cih! So my angel has a lackey?" Jeno lebih terlihat tenang walau matanya tak lepas menyoroti tajam pada orang yang baru saja memperingatinya. "Memangnya kamu pikir dirimu ini siapanya Renjun bisa melarangku seperti itu?"

Siapanya Renjun?

Bila dipikirkan lebih jauh lagi, Jaemin pun tak akan pernah tahu status apa yang tepat disandangnya untuk Renjun.

"Not your business!" desis Jaemin. Jeno menyeringai juga terkekeh melihat lawannya menggertakkan gigi.

"Ah okay. Aku mengerti, friendzone really hurt you, right?"

Kata-kata Jeno menusuk tepat di ulu hati terdalam tempatnya mengubur kata 'terlarangnya'. Alih-alih kembali membalas kalimat Jeno, tangan Jaemin malah menghadang pintu apartemen yang akan terbuka. Dia tak akan membiarkan Renjun melihatnya yang seperti ini.

Ini haruslah dihentikan sekarang juga!

"Fuck off!" balasnya singkat namun tajam.

Jeno pun akhirnya ditinggalkan dengan debuman keras pintu serta teriakan Renjun yang memanggilnya.

Well, Jeno masih belum lupa mata itu, sorot mata yang menatapnya tajam di saat Renjun terjatuh di pelukannya.

Di studio.

______________

Pertengkaran itu wajar.

Namun, Renjun tidak pernah merasa pertengkarannya dengan jaemin menjadi se-alot ini. Baru kali ini lagi adu argumen mereka tak membuahkan titik temu yang tepat untuk keduanya. Renjun bahkan mengerang frustrasi pada Jaemin yang terus menyanggahnya.

"Tapi Jeno bukan orang asing Jaemin! Dia hanya temanku!!" Sudah berulang kali Renjun menjelaskannya, hubungannya dengan Jeno. Akan tetapi, Jaemin lagi-lagi mengatakan pemuda bermarga Lee itu sebagai orang asing yang buruk untuknya.

"Kalian hampir berciuman tadi! Dan kamu bilang Jeno itu tidak buruk? Woah hebat."

Renjun mengalihkan wajahnya menghindari tatapan menuntut Jaemin. "Aku tidak tahu akan seperti itu."

"Lalu jelaskan! Dari mana kamu mengenalnya ... apa sebegitu sulit untuk memberitahukan identitasnya?"

Jaemin mendengus. Renjun juga selalu terdiam jika diminta untuk menjelaskan-dalam artian jelas yang lengkap-mengenai di mana ia bertemu Jeno, siapa Jeno dan apa yang mereka lakukan tadi.

"Renjun cepat!"

"Lalu kamu akan melarangku dekat dengannya seperti di SMA!!" Renjun berujar sengit, ia sudah mondar-mandir di antara sofa, bangkit dan duduk, tetapi Jaemin dengam kalem melipat lengannya mengintimidasi di seberang sana. Surai yang kini Renjun cat pirang keemasan, diacak-acaknya frustasi.

Hanya sekali Renjun pernah dalam situasi seperti ini. Sewaktunya sekolah menengah atas dan menikmati masa remaja awal. Di mana bibit cinta remaja tumbuh dan Jaemin sangat marah padanya saat Renjun tidak memberitahukan jika ada yang menyatakan cinta padanya.

"Terserahlah lupakan!" suara Jaemin kembali mengudara. Dia cukup muak membuang-buang waktu jika Renjun terus begini. Jangan lupa mereka baru berbaikan tadi pagi dan malam ini kembali runyam. "Sekarang, ceritakan padaku siapa saja yang pernah berkunjung ke ruang latihanmu."

Renjun dengan cepat menelengkan kepalanya kepada Jaemin. Kenapa Jaemin seenaknya mengubah topik pembicaraan mereka?

"Apa hubungann-"

"Ceritakan saja! Aku malas membahas pria mesum tadi."

"Hah?" Renjun pikir mood Jaemin memang dalam kondisi yang sangat berantakan. Ia tak lagi mengerti. Lagi pula tentang siapa saja yang pernah ke ruang latihannya tentu hanya Mark, Jaemin dan crew khusus milik Renjun yang Jaemin sendiri pasti sudah tahu.

Sebelah alis renjun mengangkat naik. Heran. "Kamu ini kenapa Jaemin, apa terjadi sesuatu saat di pemakaman?"

"Tidak ada apa-apa ... Bisakah kamu menjawab pertanyaanku saja?" Intonasi Jaemin terdengar datar kini. Matanya menatap lurus entah pada apa.

Oopss... Wrong word Renjun!

Suasana pertengkaran mereka berangsur-angsur lenyap. Akan tetapi, berganti ketegangan menyelimuti ruang apartemen Renjun. Bahkan perkataan Jaemin barusan terasa hampa dan dingin. Salahnya mengucapkan kata 'pemakaman' di depan Jaemin yang sedang meredakan emosi.

"Kamu pasti tahu siapa saja, kan?" gumam Renjun lirih. Situasi saat ini membawanya dalam kabut ketegangan yang Jaemin keluarkan.

"Ya, tapi bisa kamu ingat selain orang-orang itu siapa lagi yang pernah memasuki ruang latihanmu? Mungkin ketika open audition berlangsung."

Renjun tengah tenggelam dalam potongan memorinya, berusaha mengingat beberapa bulan masa kelam yang membuatnya menjauh dari dunia balet saat ini. Audisi balet memang bertepatan dengannya yang sedang berlatih keras demi konser. Akan tetapi, adakah yang menghampirinya kala itu?

Staffnya pun dilarang mendekat saat itu kecuali ....

Seorang pemuda atletis berpakaian training.

"Jaemin ... dia ...."

______________

Lagi-lagi Jaemin harus terpaksa menginjakkan kakinya di gedung penuh gemerlap dengan wajah para idol terpampang menyambutnya.

Seharusnya sudah tidak ada lagi yang menghubunginya untuk mendatangi tempat yang ia benci ini. Akan tetapi, suara bariton produser yang melakukan kontrak dengannya kembali memanggil. Jaemin tentunya berpikir pada hasil pekerjaannya yang diserahkan baru sehari yang lalu, apa mungkin terjadi kecacatan?

Jaemin harap tidak.

Ah ya Jaemin dibuat menunggu layaknya penjenguk yang akan mengunjungi pasien. Staff yang memandunya, menyuruh duduk di dekat sebuah ruangan yang entah apa itu. Semakin membuatnya bertanya-tanya untuk apa lagi Jaemin kemari?

Demi menghalau bosan menantikan si produser tambun itu, Jaemin mengirimi Renjun pesan. Mereka belum sepenuhnya berbaikan (lagi), jadi Jaemin pikir ia harus menginap untuk menyelesaikannya.

Di tengah kegiatannya berkirim pesan, di ujung lorong terdapat dua orang berjalan dengan suara percakapan yang tidak sengaja terdengar. Jaemin mendongakkan kepalanya dan .....

Jantung berpacu cepat dan seperti mengeluarkan rasa begitu melihat sosok yang sempat menaikkan darahnya.

Salah satu di antaranya dapat Jaemin kenali, mereka berhenti berjalan karena berpapasan dengan seorang staff yang memberikan instruksi.

"Kamu dan Jeno segeralah ke ruangan di lantai tiga! Nanti produser serta staff management akan memberitahukan perihal debut kalian," ucap staff tersebut dengan tegas. Kemudian mereka memberi hormat dan kembali berjalan.

Sesaat Jaemin beradu pandangan sinis dengan Jeno, tetapi setelahnya ia tersentak melihat seseorang yang turut bersama Jeno. Seseorang yang memiliki ciri-ciri sama persis dengan ....

Orang asing yang mengunjungi Renjun di ruang latihannya.

.

.

.

.
To be continued...
.

.

.

Hai apa kabar semua?

Masih ada yg nungguin ini? /slap/ nggalah dua bulan ga di update keburu bulukan dah 😥😥

Gatau kenapa sampe selama itu gak update dan sekarang entah deh feelingnya masih sama atau ngga

Bagaimana? Terkejut sama sesuatu?
Fail banget sih semuanya
Kelamaan hiatus kali wkwk
Ya pokoknya gitulah

Doain aja semoga berhasil masih punya feel buat lanjutin ini 😢 there's somethin abt norenmin that make my mood down huhu

Sebagai permintaan maaf karena luama up nih ku kasih link video noren yg aku suka /tapi keknya kalian udh nonton

#NoRen

Aku lagi seneng nonton tiga video ini bagus banget bikin melted sendiri liat momentnya 😆

Aku pernah nonton dan masih nyimpen video ini yg sayangnya udah notp

Aku cukup tertarik sama storyline yg disuguhin fmv ini jadi
aku nyoba bikin twoshot juga tentang video ini wkwk, yg versi otp ini aku takedown di wp tapi kalo mau tetep ada di ffnku
Kalo yg versi norennya ada di book yg Orchestra (Enigma)

Dah lah banyak bacot kali
Ini pendek dan mengecewakan
Tapi tetep vote and comment nya sadayana 😘
Hatur thank you

[Segera di Revisi]

Sekian dan Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top