Bab 8. Si Canggung

***

Zanna tidak bisa tidur.

Padahal sudah banyak cara Zanna lakukan supaya bisa tertidur, tapi tetap saja, kelopak matanya enggan terpejam, seolah-olah ada lem yang menahannya untuk terus terjaga. Alhasil, Zanna hanya berguling-guling tidak jelas di atas kasur. Baterai ponselnya dalam keadaan lowbat karena terus-menerus dia pakai untuk menonton drama Korea—salah satu cara yang seharusnya ampuh mengundang rasa kantuk, tapi kali ini justru tidak berfungsi sama sekali.

Merasa bosan, Zanna akhirnya terduduk, menatap kamarnya yang didominasi warna pastel—tentu dia sendiri yang memintanya setelah menikah dengan Sebastian—sampai tiba-tiba satu ingatan mengenai kejadian di taman belakang rumah mertuanya kembali berputar di kepala. Tanpa sadar, tangan Zanna terangkat, menyentuh bibirnya yang sempat bertemu dengan bibir tipis Sebastian. Meski hanya sekilas, dia sempat merasakan bagaimana lembutnya bibir pria itu. Zanna menggigit bibir bawahnya. Kalau lebih dalam lagi, mungkin dia bisa...

Bisa apa?

Alarm di kepala Zanna seketika berbunyi, membuatnya cepat-cepat menggeleng sambil menepuk pipinya. Astaga ... apa yang sudah dia lakukan? Bisa-bisanya dia membayangkan kembali berciuman dengan Sebastian? Sepertinya otaknya benar-benar perlu dicuci supaya tidak aneh-aneh lagi.

Gara-gara kejadian itu pula, Zanna jadi bahan godaan Nadine, Abian dan teman-temannya. Dia bahkan sampai malu menunjukkan wajahnya pada siapa pun, terlebih Sebastian. Tak pelak, mereka dilanda kecanggungan ketika dalam perjalanan pulang, takada yang berbicara, hanya suara radio yang Sebastian nyalakan dengan volume sedang yang menjadi bukti kalau masih ada kehidupan di dalam mobil. Dan, begitu sampai di rumah, Zanna langsung mendekam diri di kamarnya hingga sekarang, masih belum siap berhadapan dengan Sebastian setelah apa yang terjadi.

Rasa haus mendadak menghampiri Zanna. Dia melirik gelas kaca di atas nakas yang sudah kosong. Walaupun agak malas harus keluar kamar saat tengah malam, mau tak mau dia harus melakukannya daripada tenggorokannya seret. Harapannya hanya satu; jangan sampai dia bertemu dengan Sebastian.

Sambil membawa gelas, Zanna membuka pintu kamar. Kepalanya melongok, menatap kamar Sebastian yang berada di seberangnya. Lampu kamar pria itu mati, yang berarti si empunya sedang terbawa arus mimpi. Oke, baguslah, dia aman. Kemudian, Zanna mulai menuruni anak tangga dan pergi menuju dapur.

Namun, langkahnya seketika terhenti tatkala melihat sosok bertubuh tinggi sedang berdiri membelakanginya. Siapa lagi kalau bukan Sebastian. Entah sedang apa pria itu di tengah malam begini, waktunya sangat tidak tepat sekali.

Zanna misuh-misuh, lalu berbalik.

"Kamu ngapain?"

Tubuh Zanna langsung kaku. Dia menggerutu dalam hati. Ya, ampun, kenapa harus ketahuan, sih?

"Laper juga?"

Dengan gerakan sepelan mungkin, Zanna menoleh, menatap Sebastian yang sedang mengaduk mie instan, menguarkan aroma yang membuat cacing-cacing di perutnya memberontak meminta jatah.

"Kamu laper?" Ternyata, suara konser seriosa tersebut terdengar hingga ke telinga Sebastian.

Malu!

Zanna spontan memegang perut dengan sebelah tangannya yang bebas. "Eng-enggak. Cuma nggak sengaja lewat. Ya, udah. Aku balik ke kamar dulu."

"Mau ambil minum?"

Belum sempat Zanna berbalik, Sebastian kembali mengeluarkan suara. Pria itu mengambil posisi duduk di pantry seraya menatap Zanna.

"Enggak." Saat berbicara, Zanna menatap kakinya yang memakai sandal bulu-bulu, supaya tidak menatap Sebastian yang akan semakin mengingatkannya pada adegan ciuman dadakan tersebut.

Oh, enyah tolong!

"Terus, kenapa bawa gelas?" Mata Sebastian tertuju pada gelas yang berada dalam genggaman Zanna.

"Enggak sengaja kebawa." Zanna buru-buru menyembunyikan gelasnya di balik punggung.

Helaan napas meluncur dari bibir Sebastian. Dia mengaitkan jari-jarinya di atas meja. "Masalah tadi ... lupain aja."

Perlahan, Zanna mendongak sebentar sebelum kembali menunduk. Jari-jari kakinya yang memakai kutek berwarna maroon bergerak-gerak. Entah kenapa, mendengar Sebastian yang mengucapkannya seringan kapas, ada kekesalan di hati Zanna. Apa, ya. Dia bukannya tidak ingin geer dengan berharap Sebastian menganggap ciuman mereka adalah sesuatu yang spesial, tapi bagaimanapun, itu pertama kalinya Zanna berciuman, jadi setidaknya Sebastian meminta maaf padanya atau mengatakan kata-kata manis yang melegakan hati.

Memang, sih, aktor seperti Sebastian pasti sering sekali melakukan adegan mesra atau bahkan berciuman, hanya saja ... dia bukan Sebastian yang bisa bersikap biasa saja.

"That's my first kiss too, Na."

"Hah?" Dengan eskpresi yang mirip seperti orang cengo, Zanna langsung mengangkat kepalanya, membuat Sebastian menyeringai.

"Kenapa? Kaget? Kamu kira aku tipe laki-laki yang mau cium perempuan mana pun? Aku juga pemilih, Na."

Baiklah, Zanna tahu kalau tingkat kepercayaan diri Sebastian sudah melampaui angkasa, tapi respons pria itu terlalu santai untuk orang yang baru saja kehilangan ciuman pertamanya.

"Aku nggak percaya." Ya, di zaman serba modern ini, langka sekali orang yang belum pernah berciuman, apalagi untuk orang setenar Sebastian. Pasti pria itu hanya berbohong saja.

Sebastian mengangkat bahu acuh tak acuh lalu mulai memakan mie-nya. "Terserah kamu. Lagi pula, yang tadi termasuk kecupan, bukan ciuman. Kalau ciuman itu, lebih dalam dan—"

"Bas!" Pipi Zanna langsung terasa panas. Benar-benar Sebastian itu, kenapa takada malu-malunya, sih, membahas begituan? Frontal sekali!

"Kenapa? Aku ngomong kenyataan. Jadi, kamu nggak perlu ngerasa panik. Kecupan bisa terjadi—"

"Bas! Udah, diem! Aku nggak mau denger!" Sesegera mungkin, Zanna berderap menjauhi dapur, daripada mendengar ucapan Sebastian yang semakin tak terkendali. Persetan dengan rasa hausnya, dia harus menghindari Sebastian!

***

Pernah mengalami perasaan malas untuk bekerja atau berkegiatan? Zanna sedang berada di fase itu sekarang. Akibat tertidur jam setengah dua dini hari, Zanna jadi tidak punya semangat untuk menjalani hari. Belum lagi kepalanya yang nyut-nyutan, semakin menambah beban di siang hari yang sangat terik ini, membuatnya memilih berteduh di bawah pohon mangga seraya menyaksikan jalannya syuting.

"Kamu keliatan capek banget." Sekotak jus mangga terulur di hadapannya, yang langsung mengalihkan tatapan Zanna. Ada Bang Jefri yang berdiri di sebelahnya dengan senyum lima jari.

"Bang Jef? Makasih." Zanna menerima jus mangga tersebut, menusukkan pipet, lalu meminumnya. Tenggorokannya seketika terasa segar sekaligus menghilangkan dahaganya karena panas matahari.

"Gimana acaranya kemarin? Lancar?"

"Eh? Bang Jef tau dari mana?"

Bang Jefri menunjuk Sebastian yang sedang memerankan adegan perkelahian menggunakan dagunya. "Suami kamu nggak pernah absen kasih tau kegiatannya sama Bang Jef. Kalau enggak gitu, Bang Jef mana bisa nyesuain jadwalnya?"

Zanna mengangguk paham. Ah, benar. Dia lupa kalau seorang manajer harus mengetahui jadwal dari aktornya, semata-mata kalau ada hal-hal mendadak terjadi, bisa dihandle secepatnya. Zanna bersyukur karena Bang Jefri lah yang menjadi manajer Sebastian, pasalnya pria itu sangat baik sekali, bukan hanya pada Sebastian, tapi juga Zanna. Buktinya, pria itu sangat mendukung pernikahannya dengan Sebastian, bahkan tidak berusaha untuk mengambil keuntungan dari pernikahan diam-diam ini, justru Bang Jefri membantunya supaya tidak sampai terendus media.

Maka jangan ditanya betapa beruntungnya istri dari pria 35 tahun itu.

"Lancar, kok, Bang." Selain adegan singkat 18+ yang terjadi tanpa bisa dicegah tentunya. Semalaman itu juga, Zanna mencoba untuk melupakan semua kejadian tersebut yang menjadi penyebab dirinya telat tertidur.

"Kamu baik-baik aja?"

"Baik-baik aja? Maksudnya?"

"Terkait pemberitaan yang menyeret kamu." Saat berucap demikian, ada sarat khawatir di dalam nada Bang Jefri. Zanna jadi terharu. Padahal Sebastian yang notabenenya suaminya saja bersikap tidak peduli dengan keadaannya setelah berita tersebut dikeluarkan, tapi orang lain malah yang lebih khawatir. Memang dasar Sebastian tidak punya hati.

"Aku baik. Mungkin masih agak syok karena sempet dikira orang ketiga, tapi yang namanya berita, pasti suka melebih-lebihkan."

"Kalau kamu tau gimana marahnya Bastian waktu berita itu keluar, mungkin kamu nggak bakal percaya."

Zanna mengernyit. Dia menatap Bang Jefri yang bersedekap dada dengan perhatian terpusat pada Sebastian.

"Bang Jef bilang apa?" tanya Zanna memastikan. Sungguh, dia tidak mendengar dengan jelas kalimat yang diucapkan Bang Jefri lantaran suara pria itu yang tidak sekeras tadi, bahkan Zanna rasa suara angin lebih kencang daripada suara Bang Jefri.

Pria itu menoleh ke arahnya lalu menggeleng. "Enggak. Bukan apa-apa."

Mestinya Zanna percaya, tapi saat melihat senyum penuh arti yang dilayangkan Bang Jefri, Zanna jadi curiga.

***

Sebetulnya, hari ini aku lagi gak enak badan, hiks, tapi berusaha buat tetep apdet demi Lovey :)

Mungkin karena cuaca yang memasuki pancaroba, jadi nggak jelas kayak hubungan dan ngebuat imun aku jadi lemah. But, gak apa-apa. Gwenchana gwenchana, ora opo-opo aku tuh.

So, doain biar bisa apdet cepet lagi, ya, Lovey!

See ya!

Bali, 6 Oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top