⭐Chapter 8🌼

Happy reading....



"Den Bintang emang nitip sesuatu buat Non Teratai," ujar Bi Iyam saat aku telah tiba di rumah Bintang. "Ayo, ikut Bibi, Non."

Bi Iyam mengajakku ke kamar Bintang. Aku masuk menyusul Bi Iyam yang telah masuk lebih dulu. "Ada apa di sini, Bi?" tanyaku masih belum mengerti.

"Silakan Non masuk ke ruangan itu." Bi Iyam menunjuk sebuah pintu di salah satu sudut kamar Bintang. Pastinya itu bukan pintu kamar mandi, sebab pintu kamar mandi letaknya tak jauh dari pintu kamar. Aku juga baru pertama kali melihat pintu itu, aku baru tahu ada ruangan lain di kamar Bintang. Seingatku, di sudut itu dulunya tempat lemari pakaian Bintang. "Itu ruangan rahasia Den Bintang, tapi hanya Non Teratai yang diizinkan masuk," lanjut Bi Iyam menjelaskan. Wanita paruh baya itu kemudian menyerahkan sebuah kunci dengan gantungan Bintang dan bunga Teratai.

Aku mengambil kunci itu. Tersenyum melihat gantungan kuncinya yang sangat imut dan menggemaskan. Aku lalu menatap Bi Iyam. "Aku beneran boleh masuk, Bi?"

"Iya, Non. Silakan. Bibi tinggal ke dapur, ya." Bi Iyam keluar dan menutup pintu kamar. Membiarkan aku sendiri berdiri terpaku menatap pintu ruangan berwarna jingga itu.

Aku pun melangkah perlahan mendekati pintu yang katanya rahasia itu. Aku mulai membuka kuncinya, dan melangkahkan kakiku untuk masuk. Nuansa kuning menyambutku kala tiba di dalamnya. Ruangan itu tak begitu besar, tapi tak kecil juga. Aku tak bisa memastikan ukuran detailnya. Terdapat sebuah lemari dan dua buah meja kecil, satu kursi, dan sisanya ... peralatan fotografi?

Sejak kapan Bintang menyukai dunia fotografi?

Ah, ya. Terakhir aku bertemu Bintang saat menjelang masuk SMA. Sudah sekitar enam tahun lamanya, wajar saja jika banyak hal yang tak kuketahui tentangnya. Termasuk hobi barunya. Ketika SMP, Bintang hanya menyukai futsal, tidak ada hal lain yang ia sukai.

Aku menjelajahi berbagai macam foto yang ditempel di dinding ruangan itu. Foto-foto di sana didominasi oleh foto bunga-bunga dan pemandangan alam. Indah sekali. Ternyata Bintang sudah sangat mahir memotret. Sudah seperti fotografer profesional.

Tunggu!

Bunga-bunga dan pemandangan alam?

Aku baru ingat sesuatu. Foto-foto yang ada di sini ... aku pernah melihatnya.

Aku langsung mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempangku dan dengan cepat membuka akun instagram. Di kolom search, aku mengetik nama akun yang selalu membuatku penasaran sejak beberapa hari kemarin. Untuk ke sekian kalinya aku memperhatikan feed instagramnya, membandingkan hasil fotonya dengan hasil foto Bintang. Hingga akhirnya aku sadar, tak ada yang bisa dibandingkan. Sebab foto-foto yang ada di instagram itu benar-benar mirip dengan foto-foto yang tertempel di kamar Bintang.

Itu artinya ... akun @pecintabunga adalah akun Bintang? Ah, pantas saja. Aku tersenyum mengingat hal konyol ini. Membayangkan wajah iseng Bintang ketika mengomentari fotoku, atau mengirim direct message padaku, ia pasti melakukannya dengan wajah jailnya. Sama seperti ketika SMP, ia juga sering sekali mengerjaiku.

Tanganku tergerak untuk mengirim pesan ke instagramnya.

Kamu udah ketahuan, pecinta bunga!

Sembari menunggu balasan dari Bintang, aku melanjutkan mengelilingi ruangan itu. Tepat di salah satu sudut ruangan, mataku menangkap sebuah foto yang tertempel lengkap dengan sebuah kertas merah muda di sampingnya. Itu adalah fotoku dan Bintang ketika SMP. Aku tersenyum. Sekarang Bintang memang jauh lebih tampan jika dibandingkan saat masih SMP. Sementara aku? Tak ada yang berubah dariku. Aku kemudian mulai membaca kata-kata yang tertulis di kertas merah muda tepat di samping kanan foto itu.

Aku tak bisa mengatakan bahwa wanita itu cantik atau tidak, selama aku belum mengenal dan dekat dengan hatinya. Kamu cantik. Bahkan seandainya mataku buta, aku tetap bisa mengatakan bahwa kamu cantik. Sebab aku sudah mengenal hatimu.

- Bintang Angkasa Permadi

Sungguh, aku tak bisa menyembunyikan senyumku setelah membacanya. Di sisi lain, mataku juga berkaca-kaca. Aku seperti tak percaya bahwa ada pria yang menyukaiku seperti Bintang. Bukankah kebanyakan lelaki sekarang sering memilih? Ada yang bilang bahwa fisik bukanlah yang utama, yang penting hatinya. Namun, pada kenyataannya kebanyakan lelaki memang tertarik pada fisik. Entahlah, itu hanya pendapatku.

Masih ada setengah bagian kosong di kertas itu. Aku juga ingin menuliskan sesuatu untuk Bintang. Aku segera bergerak mencari pena di ruangan itu dan akhirnya kutemukan di salah satu meja. Aku pun mulai menulis tepat di bawah tulisan Bintang.

Aku hanyalah Teratai yang tumbuh di air kotor. Sedangkan kamu adalah bintang yang menyinari langit luas nan indah. Kita sangat berbeda. Namun, katamu itu tak masalah. Terima kasih. Kamu telah mengajariku bahwa cinta itu tentang ketulusan, bukan keterpaksaan, apalagi rasa kasihan.

- Teratai Dwi Safira

Finish! Aku segera memotret tulisan itu dan ingin langsung kukirimkan pada Bintang. Baru saja aku ingin membuka whatsapp, direct message dari Bintang akhirnya datang.

Gimana? Kaget nggak? Hehe...
Kamu tahu? Setiap kali aku memotret bunga, yang ada di otak aku itu hanya kamu.
Apalagi kalau motret bunga Teratai. Soalnya bunga-bunga itu cantik kayak kamu.

Aku hanya bisa tersenyum membaca pesan dari Bintang. Tetapi jujur saja, aku sama sekali tak tersentuh ketika ia mengatakan bahwa aku cantik. Sebab menurutku aku sangat jauh dari kata cantik. Jika yang ia maksud adalah kecantikan hati, aku hanya bisa mengaminkan, mudah-mudahan aku bisa menjadi gadis yang benar-benar cantik hatinya.

Aku tak lagi membalas direct message-nya, melainkan langsung beralih ke whatsapp dan mengirim tulisanku. Hanya beberapa detik, foto yang kukirim itu langsung menunjukkan centang biru. Namun, tak ada balasan darinya. Aku melihat bahwa ia tak lagi sedang online. Lima menit, sepuluh menit, bahkan hingga dua puluh menit aku duduk di ruangannya, tak kunjung ada balasan darinya. Mungkin sibuk, pikirku.

Aku pun memutuskan untuk kembali ke rumah. Berharap semuanya baik-baik saja, walaupun entah kenapa perasaanku mendadak tidak enak. Namun, aku tetap berusaha berpikiran positif. Ia pasti baik-baik saja.

***

Pada kenyataannya, keyakinanku ternyata salah besar. Hingga hari ini, tiga hari pasca aku pergi ke rumah Bintang, pria itu sama sekali tak bisa dihubungi. Semua akun media sosialnya tidak aktif, bahkan nomornya pun tidak aktif. Selama tiga hari ini pula aku susah tidur, memikirkan apa yang mungkin terjadi pada Bintang. Justin bahkan rela mencari tahu alamat ayah Bintang dan berhasil menemukannya. Namun, ayahnya juga mengatakan bahwa sejak tiga hari yang lalu ia juga tak bisa menghubungi Bintang. Satu hal yang baru aku ketahui, Bintang telah berbaikan dengan ayahnya. Entah kenapa ia belum menceritakan hal itu padaku.

"Ra, ayo makan dulu. Kamu jangan sampai nggak makan, nanti sakit." Untuk ke sekian kalinya Kinar membujukku. Namun, aku benar-benar kehilangan selera.

"Bintang pasti baik-baik aja, Ra. Ini baru tiga hari. Mungkin kegiatannya bener-bener padat," imbuh Justin.

"Sepadat apa sampai nggak bisa pegang handphone? Nggak bisa ngabarin kita bertiga bahkan papanya sendiri?" balasku telak. Kinar dan Justin akhirnya diam.

Aku tahu, maksud mereka baik ingin menghiburku. Namun, hatiku sudah telanjur khawatir. Bagaimana jika terjadi sesuatu di sana. Ia sendirian. Tak ada yang bisa dihubungi. Bagaimana bisa aku tidak khawatir?

Bintang ... cepat kabari aku, aku mohon.

⭐⭐🌼🌼

10 Maret 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top