🚀Jarak Abstrak Tak Terelak

"Ris, tunggu!"

Baru saja Gamma menghentikan motor dan menyimpan helmnya di kaca spion, Iris sudah lari-lari pecicilan memasuki kawasan perpustakaan. Gamma bukanlah laki-laki jamet yang ingin pergi kemana pun dengan bergandengan tangan bersama pacar. Tidak! Bukan apa-apa, hanya saja, Iris belum melepas helmnya.

Oh, ayolah. Mana mungkin Gamma membiarkan Iris cosplay menjadi Shandy, tupai Bikini Bottom, yang nyasar di lorong perpustakaan, 'kan? Nasib baik, persis ketika di depan bingkai pintu masuk, Iris mendengar panggilan Gamma, lantas berbalik. Di atas motornya, Gamma menunjuk-nunjuk kepala. Iris pun tersadar.

Gadis itu ber-oh ria, lalu menyerahkan helm penguinnya kepada Gamma. Baru saja Gamma selesai mengamankan benda itu di bagasi sepeda motor, sosok Iris sudah kembali menghilang. Gamma kelabakan menyusul. Hati kecil Gamma berbisik, menarik kesimpulan yang keakuratannya dapat terverifikasi oleh sistem kehidupan. Tampaknya, Iris memanglah maju paling depan ketika mengantre pembagian energi oleh Tuhan. Tak heran jika kapasitas energinya overload begini.

Begitu memasuki bangunan perpustakaan, Gamma menyugar rambutnya. Segar. Tak disangka, ruangan yang biasa diisi anak kutu buku berkacamata ini ternyata nyaman juga. Tahu begini, Gamma mending membolos ke perpustakaan saja, daripada halaman belakang yang panas terik. Namun, yah ... itu berarti dirinya tidak bisa merokok. Peluang ditemukan guru juga jauh lebih tinggi. Membosankan. Gamma terlalu malas untuk mengurusi hal semacam itu.

Tanpa banyak bicara, Gamma langsung duduk di salah satu bangku yang persis berada di dekat dinding kaca, sehingga memampangkan pemandangan jalanan padat Kota Tasikmalaya. Suasananya pasti akan jauh lebih indah kalau malam tiba. Gamma mengeluarkan alat tulisnya dari ransel, mulai bersiap mengerjakan tugas fisika. Sementara itu, Iris dibiarkan untuk menjelajah setiap koridor perpustakaan seorang diri.

Tak lama, Iris menghampiri Gamma dengan dua buku tebal astronomi di tangan. Iris mengempaskan badannya di kursi sebelah Gamma, lantas tenggelam dalam dunianya sendiri. Waktu berlalu tanpa bisa diminta menunggu, sementara di antara mereka hanya sunyi yang mengisi.

Situasi ini terlalu asing bagi Gamma. Tanpa bisa dihindari, Gamma menguap lebar. Mengantuk. Demi menjaga dirinya tetap terjaga, Gamma harus berkali-kali mengucek mata juga mengacak-acak rambutnya frustrasi. Tugasnya kapan selesai, ya? Buku paket di hadapannya seolah menampilkan huruf Thailand yang seperti cacing-cacing kepanasan di mata Gamma. Tidak dapat dimengerti!

Heran. Kenapa Iris bisa bertahan selama itu di posisinya, ya? Hanya ditemani buku-buku tebal? Padahal dia anak yang tidak bisa diam, kenapa mendadak bisa kalem maksimal jika bergelut dengan buku itu? Apakah bacaannya memanglah punya kekuatan magis yang begitu besar? Mengandung zat adiktif?

Menyadari sudut mata Gamma yang malah mengamati dirinya, Iris pun balas menoleh. "Kenapa? Gammy sudah selesai tugasnya?"

"Mana ada. Ngantuk." Bahu Gamma merosot. Kepalanya sudah mendongak ke sandaran kursi, sementara pulpen hitam yang belum menyentuh kertas itu menggelinding dari tangannya. Gamma tampak menyerah dan tak punya semangat hidup.

Dengan kedua alis yang terangkat penasaran, Iris meraih pulpen Gamma. Dianalisisnya soal fisika yang tengah berusaha Gamma taklukkan sejak tadi. Detik berikutnya, Iris menjentikkan jari. "Oh, fluida dinamis. Ini tinggal dihubungkan sama rumus debit aja, Gammy."

Seketika, Gamma langsung menegakkan tubuh. Matanya begitu berkilat bersemangat menatap Iris lamat-lamat. "Kamu bisa mengerjakannya, Ris?"

"Ini, kan, sudah diketahui volume dan waktunya, ya. Kita tinggal cari debit sama luas permukaannya saja." Tak butuh waktu lama, Iris sudah mencoretkan rumus dan digit angka di atas halaman buku tulis Gamma yang masih begitu mulus. "Volumenya dibagi dengan waktu. Rumus debit itu kecepatan dikali luas permukaan. Jadi, jika debitnya sudah diketahui, tinggal bagi saja dengan luas permukaan untuk menghasilkan kecepatan."

Sesaat, Gamma terdiam merenung. Matanya terus mengikuti tangan Iris yang menggoreskan tintanya dengan cepat.

"1.1 m/s. Jawabannya B, 'kan?"

Sudah selesai! Gamma melotot.Barulah ia tersadar, lalu bersorak kencang. "Woah!"

Iris langsung berdesis sambil meletakkan telunjuknya di depan bibir, memberi kode pada Gamma untuk memelankan suaranya. Gamma kaget. Lekas-lekas Gamma kembali memusatkan fokusnya pada pengerjaan Iris, berusaha untuk tidak menghiraukan tatapan-tatapan menyebalkan dari pengunjung lain.

"Kok bisa cepat?" bisik Gamma sambil mencondongkan kepalanya ke dekat telinga Iris. "Kamu masih kelas sepuluh, lho! Kenapa bisa menguasai materi kelas sebelas?"

Iris mengernyitkan kening, justru keheranan mengenai pertanyaan Gamma yang seolah menyiratkan bahwa kemampuan Iris adalah suatu hal yang abnormal. Yah ... mempelajari materi sebelum diajarkan sekolah bukanlah suatu hal aneh, 'kan? Setidaknya begitu menurut Iris. "Enggak kuat, habisnya. Penasaran!"

"Penasaran sama Fisika? Apa? Kenapa?" cecar Gamma, seakan kehilangan rasionalitas. Sejak awal, semua tentang Iris memang selalu di luar nalarnya. Aneh. "Kenapa bukan penasaran sama cogan-cogan Persatas aja? Sama Gamma, misalnya?"

Bukannya muntah mendengar narsisme Gamma, Iris justru menggeleng polos. "Emang bakal muncul di soal ujian, ya?"

Capek. Gamma melebarkan senyuman hambarnya. Tak apa. Namanya juga Iris. Teringat sesuatu, Gamma memperbaiki posisi duduk supaya dapat melihat Iris di sebelahnya dengan lebih leluasa. "Oh, ya. Kok kamu mau diajak main, sih, Ris? Terlepas dari tempat tujuannya yang Iris banget, aku kira kamu tipikal anak rumahan yang bakalan lebih milih belajar seharian suntuk di kamar, daripada main ke luar."

"Lho? Kita juga belajar, kan, ini?" Iris mengarahkan bola matanya ke sebelah kanan, tengah memproses bagaimana pemikiran Gamma bisa begitu. "Tapi Iris suka main, kok. Apalagi ke Kedai DoDi, mi ayam pangsit! Main ke rumah Juno, minta traktiran Juno, habisin stok makanan mamanya Juno, panjat pohon kersen punya pamannya Juno, sepedaan bareng Juno, mandi hujan di dekat Cimulu bareng Juno ...."

Juno? Sebelah alis Gamma terangkat.

"Ah!" Menyebutkan nama Juno membuat Iris teringat sesuatu. Pesan wasiat Juno! Iris refleks mengacungkan tangannya, heboh. "Gammy suka melanggar peraturan, ya? Lepas dasi, enggak pakai sabuk, baju dikeluarkan, merokok ... itu buat apa?"

Gamma mengerjap kebingungan? Eh? Kenapa tiba-tiba sekali? Gamma memiringkan kepala, menimang-nimang apa yang akan dikatakannya. "Bukan apa-apa, sih. Seru aja. Cuma peraturan sekolah, 'kan? Aku percaya ada nilai moral yang jauh lebih penting dibandingkan sekadar patuh pada aturan seperti robot kehidupan."

"Moral?" Iris mengangguk-angguk. "Iya, sih, ya. Orang yang sikapnya bagus, memakai atribut lengkap, belum tentu punya nilai moral. Tapi menurut Iris, sih, setiap orang bermoral pasti taat peraturan."

Gamma mengerutkan alis, kebingungan mengapa pembicaraan mereka jadi sampai ke topik ini.

Meski begitu, Iris melanjutkan kalimatnya. "Peraturan emang bukan segalanya, sih, ya. Tapi tahu, enggak, sih, Gammy? Dari sini, kita belajar disiplin dan bertanggung jawab. Semuanya berasal dari lembaga kecil seperti sekolah. Kalau peraturan berskala kecil begitu saja diabaikan, bagaimana dengan hukum yang lebih tinggi, nantinya? Ini termasuk ke dalam pendidikan dan pembiasaan, lho. Apalagi peraturan seperti dilarang merokok itu buat kebaikan Gammy sendiri, kok."

Taat peraturan, ya? Yah ... sebenarnya, Gamma juga tidak memiliki alasan khusus untuk berbuat onar. Selama ini, ia hanya apatis dengan sekitar. Tak peduli pada hukuman, teguran anak OSIS, ataupun peringatan dari guru BK. Gamma hanya mau melakukan apa yang ia mau. Apakah itu memang tidak seharusnya dilakukan? Apakah ... Gamma harus berhenti bermain-main dengan kehidupannya sendiri?

Iris menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Tak apa. Kalau soal kelengkapan atribut sekolah, Gammy bisa coba untuk enggak terlalu memaksakan diri. Berproses. Tapi untuk merokok, boleh enggak, Iris minta Gammy diusahakan untuk mulai menguranginya? Pelan-pelan aja ... ya?"

Gamma membisu, mengamati kelingking mungil yang diulurkan Iris dalam diam. Tanpa kata atau bahasa, Gamma menautkan kelingkingnya. Janji jari kelingking.

Tunggu. Gamma tidak sedang kena hipnotis, 'kan?

•   🦁   🐧   🐻   •

Hari Senin yang sangat panas. Terlebih lagi, di kelas X MIPA-1 baru saja terjadi peperangan serius antara Mat dan Alfis yang berebutan ingin mengerjakan soal Matematika di papan tulis. Akan tetapi, selama keduanya sibuk mencari perhatian Pak Prana, pada akhirnya, spidol dikuasai Bintang yang baru saja menyelesaikan operasi perhitungannya.

Di baris kedua yang dekat dengan jendela, Iris malah asyik sendiri di dunianya. Tangan mungil itu sibuk mengerjakan soal-soal di buku paket, melebihi dari jumlah nomor yang gurunya tugaskan. Meski begitu, Iris tak tertarik untuk tampil menonjol seperti agen MaFiKiBi Society.

"Bi, kamu curang!"

Protes dari Mat dan Alfis hanya dibalas juluran lidah oleh Bintang. "Makanya, jangan gelut terus!"

"Lho, ada apa ini? Eh? Sudah memulai sesi pencarian top scorer di mata pelajaran kali ini?" tanya Kiano, baru memasuki kelas setelah memenuhi panggilan alam yang mendesak-desak karena sarapan dengan soto ayam Mang Dod dan overdosis sambal. Detik berikutnya, suara kentut terdengar menggelegar. Kiano menutup mulut, padahal anginnya tidak keluar dari rongga tersebut. "Pak Pran! Beri aku soal yang lain, sebelum balik lagi ke toilet, nih!"

Kacau. Kerusuhan hanya terjadi di bagian depan kelas, sementara anak lainnya bersyukur karena punya kesempatan untuk sekadar menyambangi alam mimpi di bangku belakang. Tak terasa, waktu istirahat tiba. Kantuk yang menggantung di langit-langit kelas seketika lenyap tanpa memerlukan trik sulap. Battery fully charged.

Setelah kepergian Pak Prana, seisi kelas langsung buyar. Begitu pula dengan Iris. Kerongkongannya terasa kering sekali. Iris lupa tidak membekal susu kotak stroberi dari rumahnya. Apa boleh buat. Beli di Bang Ren saja, deh.

Iris dapat menerobos kerumunan food court dengan mudah. Tak perlu waktu lama, Iris sudah menggenggam apa yang diinginkannya. Namun, baru saja Iris menusukkan sedotan, seorang gadis tinggi menghadang jalannya. Manusia lain berlalu-lalang di sekitar, tetapi pergerakan Iris malah dihentikan.

Kepala Iris mendongak, lantas mendapati name tag bertuliskan Bianca Aprilia di hadapannya. Bianca? Iris tidak mengenalnya. Kakak kelas kah? "Kenapa, Kak?"

Tawa hambar mengalun dari bibir Bianca. Gadis itu meletakkan tangannya ke dinding, memberi intimidasi lebih pada Iris. Bianca tersenyum miring. "Dasar, bocil. Bisa-bisanya Gamma malah pilih cecunguk tengik ini?"

Iris memiringkan kepala, tak begtu nyaman dengan tatapan heran siswa lain yang kebetulan melintasi koridor. Meski begitu, tidak ada yang berminat untuk terlibat. Iris angkat suara. "Maaf, Kak. Tapi aku sudah mau dapat KTP, dua tahun lagi."

"Itu, sih, masih lama!" Bianca melotot, seolah hendak memangsa Iris hidup-hidup. Menyadari emosinya yang mulai memuncak, Bianca mendecih ringan. "Enggak usah sok pacar-pacaran, deh, anak ingusan."

"Ingusan? Syukur, sih, Iris enggak lagi pilek, sekarang. Tapi kalau maksud Kakak ingus itu selaput lendir penghasil mukus yang di dekat bulu hidung, ya ... ada, Kak! Syukur juga, sih. Selaput lendir itu berperan penting dalam menyaring udara yang masuk ke dalam sistem pernapasan."

Kedua alis Bianca menukik kesal. Bukan hanya karena dihadiahi materi biologi tanpa diminta, melainkan juga karena Iris yang malah kelewat totalitas mengeduk hidung, bermaksud menunjuk selaput lendir yang dimaksudnya. Bianca mengepalkan tangan. Bagaimana kalau upil kering malah menyangkut di kelingking Iris? "Jorok!"

Di saat Bianca mendorong bahu Iris untuk menjauh, muncullah Selena, entah dari mana. Gadis itu pasang badan di depan Iris seraya melipat tangan di depan dada. "Oi, oi. Ngapain, Bi? Beraninya kok, ngelabrak adik kelas, sih?"

Bianca mendelik, malas menanggapi.

Di belakang punggung Selena, Iris akhirnya paham situasi dan menjauhkan jarinya dari hidung. "Kak Sel?"

"Hai, Ris!" Selena berbalik. "Maaf, ya? Kamu enggak pantas menerima perlakuan begini."

Kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Ya, itu tidaklah cukup.

•   🦁   🐧   🐻   •

Hai, aku kembali! Labrak-labrak gini tuh drama banget ga, sih? Kok aku pengen nangis alay, yah, nulisnya😭.
Beteweee, udah pada ketemuan sama Mat, Alfis, Kiano, Bintang, temen sekelas Iris di X MIPA-1, belum? Ayo, ketemuan di lapak sebelah! Judulnya, MaFiKiBi Society!🤩

See u next page!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top