25 🌵 Hidup untuk Akhirat

بسم الله الرحمن الرحيم

This is part of their story
-- happy breakfasting, happy reading --

takjil manis ya untuk semuanya 😍😍

🥢👣

LELAH, yang selalu berbalas dengan kepuasan. Bahkan setiap langkah meski sangat berat namun karena niat semua dapat dijalani tanpa keluhan.

Iftar berbuka puasa pun tidak perlu kembali ke penginapan, jika bersedia menyantap makanan yang ada di masjid dari orang-orang yang bersedekah pasti tidak akan merasa kelaparan, mashaallah. Dan selama sepuluh hari berada di Mekah, Aya cukup menikmati seluruh kegiatannya. Bahkan Aya telah beberapa kali mengikuti kegiatan umroh bersama rombongan juga secara mandiri.

Hingga mendekati 10 hari terakhir hari puasa Aya memang ingin memusatkan kegiatan di Masjidil Haram saja sehingga seluruh rangkaian umroh dia selesaikan sebelum 10 hari terakhir puasa.

"Ya, nggak ingin ikut umroh lagi?" tanya Intan saat mereka bersama di masjid.

"Dari travel sudah selesai kan?" tanya Aya.

"Iya, kemarin banyak yang minta untuk penambahan namun dengan biaya sendiri paling 10 real." Dan sepertinya tidak ada yang salah jika Aya ikut rombongan mungkin untuk yang terakhir kali sebelum masuk iktikaf 10 hari terakhir.

Dan akhirnya keesokan harinya Aya berangkat mengambil miqot bersama teman-teman. Ini adalah umroh kesekian kalinya bagi Aya, berada di Mekah benar-benar memberikan warna tersendiri bagi hidupnya.

Tidak lagi memikirkan dunia karena kini dia begitu dekat dengan akhirat. Semua ibadahnya dia tujukan kepada Allah Azza wa Jalla. Kegiatan selanjutnya setiap hari mungkin akan banyak dihabiskan di masjid dan tidak ada alasan lain yang lebih indah selain hidup untuk akhirat di sini. Setelah menyelesaikan sa'i di Bukit Marwah kini saatnya Aya melakukan tahalul. Dia meminta Intan untuk memotong sebagian rambutnya.

Melakukan sholat dua rakaat di Al Aisya, kemudian segera melaksanakan thawaf dan sa'i hingga berakhirlah rangkaian umrohnya di Bukit Marwah setelah melakukan tahalul. Namun mata Aya kini menangkap sesosok bocah perempuan usia kurang dari 5 tahun sedang menangis memanggil-manggil papanya.

Aya kemudian mendekati gadis kecil itu kemudian bertanya, "Hai Sayang, kenapa menangis?"

Melihat Aya medekat kemudian mengulurkan tangan si bocah bergerak mundur namun kemudian terhenti dan memandang lekat manik mata Aya. Kemudian bibir mungilnya menyebutkan 'Papa__Papa' dan menangis lagi. Aya kemudian merengkuh dan membisikkan sesuatu di samping telinganya. "Kita tunggu papa di sini ya, tante akan temani kamu. Jangan menangis lagi."

Aya langsung berusaha untuk membuat si bocah nyaman berada bersamanya. Sebenarnya dalam benak Aya ada rasa takut, samar jika nanti polisi Arab menangkapnya dengan tuduhan berusaha untuk menculik anak kecil. Tahu sendiri bagaimana di sana. Meski dengan sedikit menjaga jarak namun bisa membuat si bocah berhenti menangis.

"Mbak Aya kita mau balik dulu ke hotel, bagaimana ini?" tanya Bu Narsih dan juga ada Intan beserta suaminya di sana.

"Aku di sini saja dulu menunggu siapa tahu orang tua anak ini akan kembali ke sini untuk mencarinya. Nanti komunikasi lewat whatsapp saja Tan. Bu Narsih saya di sini dulu, Ibu silakan kembali ke hotel bersama yang lain." Jawab Aya kepada Intan dan Bu Narsih.

Sepeninggalan teman-temannya, kini bocah kecil itu bertanya kepada Aya, "Tante namanya Aya juga? Sama denganku dong. Namaku juga Ayya dengan dobel Y." Suara imut yang keluar dari bibir mungil Ayya membuat senyum Aya mengembang sempurna.

"Iya? Mashaallah ini bukan karena kebetulan yang diberikan sama Allah untuk kita berdua ya, Sayang." Kata Aya sambil mencium kedua pipi mungil milik Ayya. "Ayya rumahnya dimana? Ke sininya sama siapa?"

"Rumah Ayya di Yogyakarta, Tante. Ke sini sama papa, uti dan kakung." Jawab Ayya dengan lancarnya. Ada terbersit tanya di hati Aya mengapa bocah cilik ini tidak menyebutkan mama juga untuk menyertainya. Namun pertanyaan ini segera dianulirnya dengan segera rasanya tidak etis di kota suci ini dia berpikir yang seharusnya tidak perlu dipikirkannya. Hingga akhirnya Aya mengajak Ayya untuk menghapalkan beberapa doa sehari-hari sambil menunggu orang tua atau siapa pun keluarga yang mencarinya. Hingga hampir satu jam Aya membersamai bocah kecil berusia 4 tahun itu.

"Ayya___" suara tegas akhirnya terdengar juga di telinga mereka berdua. Karena nama panggilan keduanya sama maka baik Aya maupun Ayya menoleh kepada orang yang memanggil namanya.

Kilatan roll film kembali berputar secara kilat. Dua puluh enam tahun berlalu namun masih sangat segar dalam ingatan keduanya. Bermain bersama, tertawa bersama, bahkan ketika Aya menangis dialah yang menjadi tameng dan pelindung yang senantiasa melindungi Aya dari keusilan teman-temannya.

"Papa__" suara mungil keluar dari bibir Ayya. Kemudian dengan spontan dia berlari menuju ke arah Andi yang kini sedang terkesima. Seolah tidak percaya tetapi nyata. Putri kecilnya kini sedang bercengkerama dengan wanita yang telah 26 tahun ini tidak dia ketahui keberadaanya.

Sorot mata itu masih sama dengan 26 tahun yang silam, senyum, bahkan cara bicaranya masih diingat oleh Andi dengan begitu jelas. Wanita yang selalu menjadi ratu di dalam hatinya. Wanita yang membuatnya menjatuhkan cita-cita dan mewujudkannya sekarang, serta karena wanita inilah yang akhirnya merubah haluan hidupnya untuk cenderung lebih introvert dan menutup semua akses tentang hati dan keinginannya untuk berdekatan dengan kaum hawa.

"Papa, mengapa papa lama sekali. Untung ada tante Aya yang menemani adik di sini." Kembali celoteh riang dari Ayya mencoba untuk memperkenalkan orang yang telah menolongnya selama dia tidak bersama dengan papanya.

Tiba-tiba terdengar suara wanita yang kembali menyebut nama Aya tapi kini dia tidak memandang Ayya melainkan lurus menatap Aya dengan tatapan rindu dan haru.

Melihat semuanya Aya kembali memutar memorinya. Ingatannya kembali terporos pada satu titik. Dia mengingat dan tidak mungkin melupakan namanya.

"Budhe Narni, kamu masih ingat? Ini Budhe Narni yang dulu pernah satu kostan di Arosbaya dengan ayahmu." Aya mengingat semuanya dengan baik namun tidak bisa mengeluarkan kata-kata saking terkejutnya. Dahulu Aya memang menghabiskan masa kecilnya di sebuah kecamatan di Bangkalan itu bersama ayahnya kala ayahnya masih menjadi pengajar di sebuah SD di kecamatan Arosbaya.

"Aya kan? Bhatari Ratimaya? Derremmah kabareh, Bing?" tanya Narni yang kini hendak memeluk Aya. -- bagaimana kabarmu, Bing(panggilan untuk perempuan) --

"Budhe Narni dan Pakdhe Agus Ondo?" dua kalimat tanya yang akhirnya langsung membuat air matanya meluncur dengan begitu cepat. Sahabat ayahnya ketika dulu di Madura ini memang pernah satu area kontrakan di rumah pak Klebun. Orang yang selama ini dia cari bersama ayah dan ibunya.

"Alhamdulillah bhâgus kabhârna." Lidah Aya kembali mencoba untuk berbicara dengan aksen Madura yang telah begitu lama dia tinggalkan.

Reuni, itulah yang pas untuk mereka akhirnya. Terpisah selama 26 tahun dan dipertemukan kembali oleh Allah di kota suciNya.

"Dhâddhih Ayya anèko potoh Budhe?" kembali Aya bertanya kepada Narni dan dijawab anggukan olehnya. -- Jadi Ayya ini cucunya budhe --

Andi bergeming di tempatnya berdiri. Masih mengenakan pakaian ikhramnya. Sekilas Aya melihat ada setetes air mata yang menetes dari laki-laki yang kini tengah menggendong Ayya. Aya masih mengingat, ini jelas mas Andinya dulu namun dia tidak ingin langsung menyapanya terlebih dulu. Masih terlalu kaku untuk memulai.

Jika dilihat dari postur dan perawakannya tidak akan pernah salah. Andi sesuai dengan ingatan yang selalu ada di dalam benaknya. Meski sudah 26 tahun berpisah Aya masih ingat dengan pasti bagaimana senyumnya yang selalu merekah ketika bersamanya.

Mas Andi yang selalu ada saat Aya butuhkan, selalu siap sedia membantu Aya, yang selalu membuat Aya tersenyum, yang rela kehujanan demi membelikan makanan yang diinginkan Aya kala itu. Andi adalah cinta kedua Aya setelah ayahnya.  Namun karena tak secuap kata pun keluar dari bibir lelaki yang kini berada di depannya membuat Aya menjadi ragu, benarkah angannya selama ini?

Laki-laki ini bukan suami dari mbak Dewinta.

"Budhe adsur, abana Ayya panèka sèrah yâ? rakana Mbak Dewinta?" -- Budhe maaf, Ayahnya Ayya ini siapa ya? Suaminya Mbak Dewinta? --

"Dhâddhih abâ'na nder bhender loppa? Arèya Mas Andi, super hero abâ'na lambâ'." Kembali suara Narni dengan bahasa Madura yang masih sangat kental dengan logatnya. -- Jadi kamu benar-benar lupa? Ini kan Mas Andi, super heromu dulu --

"Subhanallah, Mas Andi. Mimpi apa aku bisa bertemu kembali dengan kalian di sini. Mashaallah___" Aya mencoba untuk menutup kegugupan hatinya dengan pernyataan yang sebenarnya tidak perlu untuk di ungkapkan karena memang sedari awal Aya telah yakin bahwa laki-laki itu adalah Andi. Benar-benar tidak pernah dia bayangkan sebelumnya bisa bertemu dengan keluarga Andi di Mekah.

Dari awal memang ayahnya Aya membiasakan untuk memanggil Pakdhe dan Budhe kepada mereka. Orang lain yang sudah seperti saudara karena sama-sama di perantauan.

Keluarga Andi yang asli berasal dari Yogyakarta, Agus Wondo dulu adalah seorang polisi yang bertugas di polsek Arosbaya sedangkan Adhi Prasojo, ayahanda Aya yang asli dari Malang adalah seorang guru SD yang bertugas di sana juga.

"Bojomu endi?" tanya Andi akhirnya. Dia bingung harus bertanya apa kepada wanita yang selalu dia rindukan itu. -- suamimu mana? --

Pertanyaan yang sebenarnya sangat Aya hindari. Mungkin memang pantas jika semua orang akan memberikan pertanyaan itu. Melihat dengan penampilan dan juga muka Aya yang kini terbilang sudah bukan remaja lagi.

"Aku hurung rabi Mas. Mrene yo dewe ki."-- Aku belum menikah Mas. Kemari juga sendiri -- Sebenarnya masih ada rasa kikuk untuk menjawab sapaan akrab Andi, tapi bibirnya tidak bisa mengerem saat kalimat yang akhirnya dia munculkan. "Lah sampean, endi mamah e Ayya? Kok ya mung keloron wae loh." -- Kamu, mana mamanya Ayya, kok hanya berdua saja? --

Semua hanya dijawab senyuman oleh Andi. Rasanya buncah bahagia kini sedang bermekaran di hati Andi. Tidak sia-sia penantiannya selama 26 tahun, bunga yang selama ini dia impikan belum dipetik orang lain.

Akhirnya mungkin 10 hari terakhir ini akan mendekatkan Narni dan Aya bisa kembali akrab seperti dulu. Dalam perjalanan mereka kembali ke penginapan Narni menceritakan sedikit tentang Andi. Selama hampir 10 tahun menolak untuk membina rumah tangga dan keluarga bahkan tidak mengetahui secara detail karena alasan apa.

Berpuluh-puluh wanita coba dikenalkan oleh semua orang yang mengenalnya dengan baik. Tapi Andi selalu berdalih masih ingin sendiri dan belum ingin membina rumah tangga.

Aya bahkan hanya bisa membulatkan mata dan menutup mulutnya. Tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ah, mengapa seolah cerita mereka sama? Andi memang telah asyik bersama Ayya dan Aya berjalan bersisihan dengan Narni. Saat mereka menyadari bahwa ternyata sebenarnya menginap di satu hotel yang sama, Andi seketika langsung teringat dengan wanita yang pernah bertanya kepadanya saat sahur pertama di Mekah setelah umroh pertama yang dilakukannya dulu.

"Ay, apa kamu memakai Minna Tour untuk travel umrohmu?" tanya Andi kepada Aya saat mereka telah sampai di depan lift yang akan membawa mereka ke kamar.

"Iya, kok Mas Andi tahu?" Andi tersenyum kemudian menjawab. "Mungkin waktu itu kamu baru sampai di Mekah saat bertanya kepada seseorang tentang catering sahur dari Minna Tour dimana. Namun temanmu memanggil memberitahukan tempatnya sebelum dijawab oleh laki-laki yang kamu tanyai."

Aya mencoba mengingat dengan baik dan setelah teringat dia seolah bertanya dengan tatapan matanya. Senyum Andi kembali merekah dan kemudian berucap kembali. "Coba kamu mau bersabar sebentar waktu itu tidak langsung pergi, karena saat aku menoleh kamu sudah tidak ada di tempat."

"Subhanallah, jadi waktu itu aku bertanya kepada Mas Andi?"

Hidup secara dalam sinetron. Berada ditempat yang sama bahkan sangat dekat namun jika Allah belum mengizinkan maka baru sekarang dipertemukan dalam pertemuan yang begitu indah.

Hingga Andi harus berpisah dengan Aya karena mereka berbeda lantai setelah saling bertukar nomor whatsapp yang bisa dihubungi selama di Mekah.

Sepuluh hari terakhir rasanya menjadi semakin sempurna. Tidak akan hilang raut bahagia itu terpancar dari wajah Aya sampai Intan pun menyapanya saat dia telah sampai di kamar.

"Kesambet apa Aya, senyum-senyum seperti itu? Tadi balik ke hotel dengan ustad Abid ya?" Aya justru semakin menambah lebar senyumnya mendengar ucapan Intan. Iya dia bahagia, bahkan sangat bahagia, namun bukan karena ustad Abid melainkan telah bertemu dengan Andi Alfarizzy. Orang yang selama ini di cari dan dicintainya dalam sebuah cerita dalam hatinya.

"Aya, are you ok?" tanya Intan sekali lagi saat Aya hanya memilih tersenyum tanpa berniat untuk membalas pertanyaannya.

Kemudian Aya memilih untuk membersihkan badan dan beristirahat sebentar sebelum berangkat kembali ke masjid bersama budhe Narni, Ayya dan tentunya Andi juga pakdhe Agus.

"Kamu berangkat sekarang?" tanya Intan setelah mengetahui Aya telah bersiap setelah beristirahat.

"Iya, aku berangkat dulu ya." Intan semakin curiga karena tidak biasanya sahabat barunya ini bersedia berangkat ke masjid tanpa teman.

"Kamu sendiri?"

"Tidak, aku berangkat dengan Ayya dan budhe Narni." Aya mengatakan sejujurnya namun dia belum mengabari ayah dan ibunya yang ada di Indonesia bahwa dia telah bertemu dengan keluarga pakdhe Agus di Mekah.

"Ayya?"

"Iya, cucunya Budhe Narni."

"Saudaramu?" tanya Intan, khawatir Aya bertemu dengan orang yang belum bisa dia percayai. Biar bagaimanapun sebagai room mate dia wajib mengetahui dengan siapa temannya meninggalkan hotel.

"Tetangga dulu ketika kami tinggal di Bangkalan."

Malam ini memang iktikaf pertama kalinya, memasuki malam ke-21, para jamaah akan menghabiskan seluruh malam dengan berdiam diri di masjid, melangitkan doa-doa dan mengucapkan segala kesyukuran.

Aya bersiap dengan bantal kecil dan segala perlengkapannya.

"Papa, nanti sama tante Aya di masjidnya?" tanya Ayya saat Andi mempersiapkan perlengkapan Ayya di dalam tas.

"Adik senang bersama tante Aya?" tanya Andi kepada putrinya.

"Senang, tante Aya itu siapa kita? Saudara seperti budhe Dewi?"

"Bukan. Tante Aya itu temannya Papa." Jawab Andi.

"Berarti tante Aya nggak bisa tinggal bersama kita dong Pa, kalau bukan saudara?" Andi tidak menjawab dia hanya menggendong Ayya setelah tas perlengkapannya selesai. Karena Narni dan Agus Wondo telah menunggu mereka di lobby hotel.

Aya meminta tas perlengkapan milik Ayya dari pundak Andi kemudian mereka berangkat ke masjid bersama-sama. Tidak ada kecurigaan sama sekali dari Narni dan juga Agus Wondo mungkin karena dulu mereka sudah seperti saudara sehingga saat bertemu pun sudah tidak lagi merasa canggung untuk saling membantu.

"Adik, nggak boleh nakal sama tante Aya. Kalau ngantuk nanti tidur saja ya."

"Iya Pa." Mereka memang harus berpisah saat para wanita telah memperoleh tempat untuk berdiam diri selama di masjid.

"Mas___" kata Aya yang bersamaan dengan Andi memberikan informasi.

"Nanti kalau Ayya ngantuk dibuatin susu saja, ada di dalam tas, beserta termos air panasnya. Dia suka pegang jempol tanganku biar cepat tidur, nanti di coba saja seperti itu denganmu." Pesan Andi kemudian meninggalkan ketiganya.

Saat Aya mulai membuka mushafnya, Narni juga demikian, Ayya sibuk dengan lego yang dibawakan papanya di dalam tas. Beberapa kali membuat benda-benda dari lego kemudian dibongkarnya hingga dia bosan dan merajuk kepada Aya.

"Tante___"

"Adik ngantuk? mau minum atau makan?" tanya Aya.

Ayya meringis dia memang lapar, tapi mengerti bahwa belum terdengar adzan maghrib sehingga untuk makan masih merasa enggan.

"Aku mau berdoa saja sama Allah, biar maghribnya dicepetin." Aya terkekeh mendengar omongan bocah berusia 4 tahun itu. "Ya Allah, adik lapar mengapa maghribnya masih lama sekali?" Aya kemudian bergegas menuangkan susu ke dalam botol dan menyeduhnya dengan air hangat kuku lalu memberikan kepada Ayya.

"Kata Allah, adik boleh minum sekarang karena sudah berdoa kepadaNya."

"Tidak nunggu adzan?" Aya menggeleng kemudian Ayya menerima botol minumnya dari tangan Aya lalu meminumnya setelah membaca doa sebelum makan. Setelah menghabiskan satu botol susunya kemudian Ayya membisikkan sesuatu ke telinga Aya karena takut utinya mendengar.

"Tante, tanyakan sama Allah juga ya. Adik sudah berdoa kepada Allah, kata papa kalau nanti bertemu dengan tante pemilik boneka Nina Bear maka adik akan dipanggil mbak Ayya sama adik bayinya, Dik Ayya. Tanyakan sama Allah kapan bertemu dengan tante Nina Bear?"

"Nina Bear?" tanya Aya lirih sambil mengingat sesuatu yang tak akan pernah lepas dari ingatannya.

"Iya, boneka beruang berwarna merah yang dimasukin plastik sama papa dan nggak boleh dibuat mainan sebelum tante yang punya itu ke rumah dan mau bermain bersama Adik." Jawab Ayya dengan lucu. Aya menggigit bibir bawahnya, jika dia tidak salah mengartikan boneka beruang berwarna merah yang diberi nama Nina Bear itu sama seperti miliknya dulu yang pernah dilemparnya kepada Andi dengan kondisi kakinya patah.

Tangan kanannya terulur mengusap kepala Ayya yang tertutup jilbab. Banyak pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya dari Andi, apakah Andi juga memiliki perasaan yang sama dengan Aya hingga memilih untuk belum menikah padahal usia mereka sudah sangat siap untuk bisa hidup berumah tangga. Namun Aya masih belum berani bicara ataupun bertanya. Rasanya masih terlalu cepat untuk mengetahui itu sedangkan mereka baru bertemu kembali beberapa jam yang lalu.

Lamunan Aya terhenti saat gawai yang ada di depannya bergetar dan ada pesan masuk yang terlihat dari layar pipihnya.

Mas Andi
Ayya tidak nakal? maaf merepotkanmu

Aya segera membalas pesan dari Andi. Ayya memang tidak nakal selama bersamanya dan Aya akhirnya memberanikan diri untuk memancing sesuatu agar Andi menjawabnya dengan jujur.

Ayya tidak nakal Mas, dia bahkan berdoa ingin segera bertemu dengan tante pemilik Nina Bear.
Nina Bear?
Boneka beruang warna merah?

Tak berapa lama kemudian panggilan suara terdengar di gawai Aya dari Andi dan dia menjawabnya segera.

"Milikmu. Nina Bear itu milikmu."

"Mas Andi____" Aya tak kuasa menahan air matanya kini. Bahkan Ayya mulai bingung saat melihat tante Aya-nya meneteskan air mata.

"Aku masih menyimpannya hingga kini." Lemas sudah hati Aya. Memilih untuk mengakhiri sambungan telepon itu sepihak.

Melambungkan harapan bahwa apa yang diyakininya selama ini adalah suatu fakta kebenaran. Berharap bahwa inginnya tidak lagi bertepuk sebelah tangan. Dan mendekap Ayya adalah hal yang paling memungkinkan untuk saat ini meluapkan rasa bahagianya.

'Allah ini bukan sebuah mimpi untukku bukan?' tanya Aya dalam hati.

🥢👣

-- to be continued --

💊 ___ 💊

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️

Jazakhumullah khair

💊 ___ 💊

Mohon cek typo yaaaaa

Blitar, 18 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top