1. Rapat

Setumpuk berkas nyaris menutupi tubuh Sean yang tengah duduk di kursi kerjanya, berkas-berkas tersebut membuatnya pusing belakangan ini karena harus dia selesaikan sebelum bulan berakhir dan pekerjaan lainnya sudah menunggu untuk dikerjakan.

"Mas Sean! Mas Sean!" panggil seorang wanita yang baru saja masuk ke dalam ruangan Sean.

Pria dengan tinggi tubuh 180cm itu kemudian bangun dari duduknya, menyembulkan kepalanya dengan cepat sehingga perempuan yang baru saja masuk terkejut dan melangkah mundur. "Astaga, Mas. Kenapa sembunyi di situ?"

Sean menghembuskan napasnya kasar sebelum menjawab pertanyaan dari Riska, bawahannya. "Ada apa?" tanya pria itu tanpa basa basi.

Riska sedikit gugup menanggapinya, dia tau perasaan Sean tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. "Begini, Mas. Saya mau nyampaikan bahwa sekarang, Mas ditunggu, di ruang rapat," jawab Riska sembari menundukkan kepalanya.

Sean mulai mencerna maksud ucapan Riska yang agaknya membingungkan. Tanpa membalas apa yang bawahannya itu sampaikan, Sean bergegas pergi ke ruang rapat yang berada di lantai teratas, dekat dengan ruang pemilik perusahaan.

Setelah beberapa kali mengetuk pintu, Sean masuk ke dalam ruangan yang cukup ramai tersebut. Matanya kemudian bertemu dengan Fajar, pemilik perusahaan tempat dia bekerja. "Silakan duduk, Sean," perintahnya yang langsung Sean lakukan.

Satu persatu slide mulai Fajar jelaskan kepada semua pegawainya termasuk Sean. Sembari memperhatikan, dahi pria itu mengerut bingung setelah melihat dokumentasi tentang Desa yang jarang terjamah oleh warga luar.

"Jadi, saya mau kalian menjadi perwakilan untuk pergi ke sana dan mendampingi relawan lain," ucap Fajar mengakhiri presentasinya.

Para pegawai pria itu saling bertatap sembari berbicara dengan raut wajah yang tidak bisa dibaca. Hanya Sean yang masih fokus pada slide di hadapannya. Desa Dadak.

"Jadi, nggak ada yang mau pergi ke sana?" tanya Fajar lagi setelah tidak ada satupun pegawainya yang mau menawarkan diri.

Suara pria itu menyadarkan Sean yang tiba-tiba melamun entah karena apa. "Saya mau," ucap pria tinggi tersebut.

"Kamu yakin?" tanya Fajar memastikan.

"Iya, saya yakin. Asal pekerjaan saya ada yang handle."

Mendengar jawaban Sean, beberapa pegawai terlihat mengangkat tangan. "Saya, saya bisa kerjain tugas tersebut," tawar pria bernama Dandi, setidaknya dia tidak harus di kirim ke sebuah desa terpencil dalam kurun waktu sebulan.

"Ya sudah, sekarang tugas kamu sudah ada yang ngurus dan kamu bisa pergi ke desa itu lusa."

Sean mengangguk pelan sebelum akhirnya Fajar menutup rapat yang dilaksanakan dadakan itu.

Setelah hanya tinggal Sean dan Fajar, yang lebih tua mulai mengangkat suaranya."Kamu yakin mau ke sana?" tanya Fajar lagi.

Sean yang sebelumnya ingin beranjak dari tempat duduknya, mengurungkan niatnya dan kembali duduk seperti sebelumnya. "Iya, saya yakin. Lagipula saya sudah capek dengan pekerjaan saya, ya hitung-hitung refreshing."

Fajar tertawa kecil menanggapi jawaban Sean yang membuat pria berkacamata tipis itu mengangkat kedua alisnya. "Kenapa? Apa jawaban saya salah?"

"Bukan salah, cuman kurang tepat. Kamu ke sana bukan buat liburan, tapi kerja. Kamu liat sendiri kan, gimana tanggapan yang lain? Mereka tau beratnya pergi ke sana dan apa yang akan mereka hadapi. Sayangnya, kamu malah menawarkan diri."

Wajah Fajar terlihat masih tak percaya akan tindakan yang Sean lakukan, karena pria itu hanya tau pekerjaannya di kantor. Tanpa tau bagaimana perusahaan mereka mengelola salah satu agenda wajib mereka, yaitu menjadi relawan.

Setelah perdebatan yang tidak terlalu dalam tersebut, Sean pergi ke ruangannya dengan perasaan gelisah. Dia tiba-tiba merasa kurang yakin dengan keinginannya pergi ke desa yang jauh itu.

Belum hilang rasa bingungnya tentang desa yang akan dia tuju, perasaan Sean semakin dibuat bergetar saat setumpuk berkas di mejanya sudah tidak ada. Kemana mereka semua?

Sean tentu melupakan tentang pekerjaannya yang akan diambil alih oleh pekerja lain. Pria itu kemudian duduk di kursi kerjanya dan menyadarkan tubuh sembari menatap langit-langit ruangannya. Apa aku ngundurin diri aja ya? Aku takut nggak bisa ngejalaninnya.

Lagi, rasa gelisah itu lagi-lagi datang dan membuat kepala Sean sakit.

Belum sempat pria itu memejamkan matanya untuk beristirahat sejenak, sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya. Dengan cepat, Sean bangun dari gaya santainya dan mengambil ponsel yang dia letakkan di atas meja.

"Iya, halo," jawab Sean setelah mengangkat panggilan dari ibunya.

"Kamu dari mana aja sih, Nak? Kenapa baru angkat telepon Ibu?"

Sean memutar bola matanya malas setelah mendengar jawaban tersebut, pria itu hanya lambat mengangkat dan bukan tidak ingin mengangkat panggilan tersebut. "Maaf, Bu. Ada apa?"

"Kamu sibuk tidak, lusa nanti? Ibu mau temuin kamu sama anak temen ibu. Anaknya cantik banget, ibu yakin kamu bakal suka."

Entah sudah berapa kali, ibunya menawarkan seorang perempuan pada Sean dan semua perempuan itu tidak bisa menggerakkan hati Sean yang sudah membatu karena sering kali dipermainkan.

"Bu, aku sudah bilang. Aku belum mau nikah."

"Ibu nggak nyuruh kamu nikah, Nak. Setidaknya, kamu bisa deket sama dia dulu. Gimana mau nikah, kalau kamu aja nggak mau kenalan sama cewek tawaran ibu."

"Pokoknya, aku belum mau kenalan sama cewek lagi, Bu. Aku juga bakal sibuk sebulan ini, aku harus pergi ke sebuah desa sebagai relawan."

"Hah, relawan? Kenapa kamu nggak minta persetujuan ibu dulu?"

"Aku sudah gede, Bu. Aku sudah bisa ngambil keputusan sendiri," jawab Sean tegas. Dia tidak mau ibunya mengambil alih kehidupannya mulai sekarang. "Kalau nggak ada yang mau ibu omongin lagi, aku tutup ya."

Tanpa menunggu balasan ibunya, Sean menutup telepon tersebut dan kembali menyadarkan tubuhnya. Gimana ya wujud Desa Dadak itu?

Rasa penasaran Sean membawa pria itu kembali bangun dan mulai mengetik beberapa kata di keyboard komputernya. Desa Dadak, ejanya di dalam hati.

Satu-satunya artikel yang muncul di google tentang desa tersebut adalah letak wilayahnya yang cukup jauh. Selain harus menggunakan pesawat sebagai alat transportasinya, Sean juga perlu menggunakan mobil dan berjalan kaki untuk masuk ke dalam desa yang berada tepat di tengah hutan tersebut.

"Nggak ada fotonya ya?" monolog Sean setelah tidak menemukan foto apa pun tentang desa Dadak tersebut.

Desa yang sangat jauh dari perkotaan itu, membuat Sean semakin penasaran dengan apa yang ada di sana. Pria itu mulai membayangkan bagaimana kegiatannya selama satu bulan dan sepertinya, akan banyak hal menarik yang terjadi.

Oke, aku bakal pergi ke sana.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top