Chapter 8

Written by. Sheliu 

Aku langsung membuang tas ke sembarang arah dan melemparkan diri ke ranjang dengan perasaan nggak menentu. Capek, itu yang kurasakan. Juga, sakit hati. Aku nggak habis pikir dengan pemikiran seorang dewasa yang sudah berpengalaman dalam percintaan, rumah tangga, dan harusnya udah paham laki-laki.

Untuk kesekian kalinya, Tante Rika ngomong hal yang nggak benar sama sekali. Om Rian yang begitu perhatian dan menanyakan kondisiku dijadikan masalah. Tante Rika menuduh kami berselingkuh. Ya Tuhan, apa nggak bisa dilihat dan dipikir ulang kalau aku lebih cocok jadi anaknya Om Rian? Mereka sudah punya empat anak, apa mungkin aku bakalan ngaco banget buat jalan sama suami orang? Tertarik aja nggak, hiiyyy.

Dan setiap kali kayak gitu, aku sedih. Aku nggak suka perasaan dituduh dan dianggap nggak benar padahal aku nggak melakukan apa-apa. Hal itu cukup bikin aku tertekan. Aku pengen resign tapi aku juga butuh. Kalau udah kayak gini, menangis jadi satu-satunya pilihan buatku.

Capek, sedih, sendirian, dan nggak ada yang ngertiin gimana jadinya aku sekarang. Apa ini namanya karma dari anak yang nekat keluar dari rumah? Apa penghakiman Papa dan Mama bener-bener terjadi disaat aku terus merasa dituntut dan diperlakukan nggak adil?

Menangis terisak sendirian, aku tambah sedih. Lampu kamar masih belum kunyalakan, juga rasanya terlalu pusing untuk bergerak, tapi gejolak mual itu kembali sampai aku harus terpaksa beranjak untuk berlari kecil ke kamar mandi, lalu muntah di kloset.

Sudah semingguan ini, maag-ku kambuh. Aku terus merasa mual, muntah, juga nggak bisa tidur nyenyak. Gara-gara itu juga, aku nggak nafsu makan, bahkan sering terlambat makan karena kerjaan yang banyak, juga jalanan yang macet di setiap kali pulang kerja.

Aku sudah ke dokter dan katanya gejala tipes. Cuma dasar aku yang nggak betah buat istirahat, juga banyak kerjaan yang aku harus kerjain, jadinya tetep kerja dan hasilnya aku jadi makin lemas tak berdaya.

Tadi siang, aku hampir jatuh karena pusing. Om Rian langsung menyuruh supirnya, yaitu Pak Karim, untuk mengantarku ke rumah sakit terdekat. Dia membuat janji dengan dokter keluarganya, membayarkan biaya dokter dan obat-obatan, juga menyuruh Pak Karim untuk mengantarku pulang. Hal itu yang bikin Tante Rika menuduhku punya hubungan dengan Om Rian lewat teleponnya sebelum aku sampai di sini. Rasanya nggak karuan ketika dituduh yang bukan-bukan.

Terdengar suara ketukan, dan aku segera beranjak untuk menekan flush lalu membersihkan mulut. Kemudian, aku membuka pintu dan mendapati Zozo yang melihatku naik turun di sana.

"Lu kenapa? Sakit?" tanyanya judes.

"Bukan urusan lu," jawabku langsung.

"Cewek tuh suka rese ya. Apa yang bukan jadi urusan, umumnya bakalan jadi urusan, jadi nggak usah belagu. Lu tinggal di rumah ini, otomatis kalau lu kenapa-napa, itu jadi urusan gue," ucap Zozo dengan nada yang begitu cepat.

"Jangan ganggu dulu, bisa gak?" tanyaku dengan perasaan yang capek banget.

Aku sudah pusing, ngeliat Zozo makin pusing. Tersentak, aku merasakan tangan besar Zozo ada di keningku sambil menatapnya kaget. Dia juga kaget.

"Lu demam, Anjir!" serunya kaget dan langsung menyerbu masuk kamar bersamaan aku yang langsung mundur.

"Kenapa nggak nyalain lampu? Lu mau kesandung?" sewot Zozo sambil menyalakan saklar lampu dan kamarku terang seketika.

Mataku terpejam karena kesilauan. Zozo menyuruhku untuk berbaring sambil komat kamit nggak karuan. Jujur aja, aku nggak tahu dia ngomelin apa karena nggak bisa menyimak. Kepalaku semakin pusing dan yang bisa kulakukan hanya berbaring.

"Lu udah ke dokter?" tanya Zozo yang sepertinya ada disampingku.

Aku yang sudah terbaring menyamping cuma bisa membuka setengah mata dan mendapatinya berada di dekatku. Entah karena pusing atau gimana, aku lihat Zozo kayaknya kuatir banget.

"Udah," jawabku sambil mengangguk lemah.

"Udah makan?"

"Nggak."

"Mau makan apa?"

"Nggak mau."

"Kenapa?"

"Eneg."

"Tetep harus makan."

"Nanti aja."

Aku tuh heran yah dengan tanya jawab ini. Kenapa aku makin baper? Zozo kayak yang terlalu perhatian jadi orang sekarang ini.

"Lu sadar nggak kalau masakan lu selama dua hari ini nggak enak! Kalau nggak keasinan, malah lupa dikasih garam. Gue udah yakin ada yang salah sama lu. Apa karena lu harus beresin rumah sehabis pulang kerja makanya jadi tumbang? Gue udah bilang kalau nggak perlu tiap hari since kita berdua nggak stay seharian yang otomatis lantai juga nggak kebanyakan diinjek," omel Zozo yang makin bikin pusing.

"Lu mau gue sembuh?" tanyaku sebal dan Zozo mengangguk walau ekspresinya bingung.

"Kalau gitu diem. Lu ngomong malah bikin gue makin puyeng," lanjutku ketus.

Zozo berdecak nggak terima dan beranjak sambil memperhatikan sekeliling kamarku, lalu kembali menunduk sambil bertolak pinggang untuk menatapku.

"Gue pesenin bubur polos buat lu, abis itu, lu minum obat. Bilang sama bos lu nggak usah maksain orang kerja kalau dia nggak bisa kasih nyawa cadangan," ujarnya tegas.

Setelahnya, Zozo keluar dari kamarku. Aku cuma bisa bengong dan kembali menutup mata sambil mengingat apa yang terjadi barusan. Meski Zozo jauh dari kata baik, juga bukan keluarga, tapi dia yang bisa perhatian dan niat untuk menolong orang bikin aku merasa diperhatikan. Aku bisa bilang kalau aku cukup senang. Gini yah rasanya dikuatirin?

Aku ngantuk banget, bahkan mata terasa begitu berat tapi otak kemana-mana. Pikiranku kebanyakan dengan banyaknya urusan. Gimana kerjaanku? Apa Kak Dea bisa handle kerjaanku disaat dia juga lagi bentrok sama laporan pajak? Apa Tante Rika semakin benci aku karena aku yang nggak di kantor? Apa nanti Om Rian bakalan ribut besar sama istrinya? Ya Lord, kenapa aku banyak urusan banget?

"Heh! Bangun lu! Kenapa tidur sambil nangis?"

Terdengar suara bentakan yang membuatku tersentak dan semua yang ada dalam pikiranku hilang berganti rasa kaget hingga kepalaku berat dan makin pusing.

"Lu kenapa sih?" suara Zozo yang sewot membuatku spontan mengusap kedua pipiku yang ternyata basah. Ya Lord, aku nggak sadar kalau aku lagi nangis.

"Nggak apa-apa," balasku lemah sambil menggeleng.

Zozo terdiam sambil memperhatikanku yang masih tidur menyamping. Dia kayak lagi mikir dan aku nggak punya tenaga buat sekedar bertanya apa maunya.

"Bubur lu udah sampe," ucap Zozo kemudian.

Aku cuma bisa mengangguk dan berusaha memejamkan mata kembali, tapi nggak jadi karena tangan Zozo mendarat di pipi yang membuatku kembali kaget.

"Gue nggak tahu apa yang terjadi sama lu karena itu bukan urusan gue, tapi insting gue bilang kalau lu butuh sesuatu," ujar Zozo yang berusaha menjelaskan.

"Sesuatu?" tanya aku bingung.

Zozo mengangguk dan langsung berpindah posisi untuk duduk di tepi ranjang sambil menarikku pelan agar aku bangun dan duduk berhadapan dengannya. Ini orang mau ngapain sih?

"Gue minta maaf kalau ini buat lu nggak nyaman. Lu boleh tampar atau pukul gue setelah lu puas, oke?" lanjutnya dengan serius yang membuatku merasa takut.

Tanpa menunggu balasan dariku, Zozo menarikku mendekat padanya dan memelukku begitu erat. Deg! Aku nggak bisa mikir apa-apa selain bingung, takut, canggung, sedih, pilu, dan semakin sedih, juga merasa terluka.

Pelukan Zozo yang erat seolah membakar tubuh aku dari dalam. Aku merasa panas, sesak, dan kaku. Tubuh Zozo yang besar seolah mengukungku, memberi rasa nyaman yang asing, dan degup jantungku bergemuruh cepat. Seperti ada yang mendesak keluar, juga nggak tertahankan, bukannya mendorong Zozo menjauh, aku bahkan mengangkat dua tangan untuk memeluk pinggang Zozo bersamaan dengan isak tangis yang terasa berat dan begitu sesak saat aku melakukannya.

Aku menangis kayak anak kecil untuk pertama kalinya di depan orang yang bukan kenalan, juga nggak bisa dibilang sebagai teman.

110423 (14.30)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top