YOU OWE ME A DATE
Selamat memperingati kemerdekaan, semoga kita semua merdeka dari beban berat yang mengimpit kita dan bisa menjalani hari dengan lebih lapang.
Kalau ingin ngobrol atau diskusi denganku, teman-teman bisa mengirim pesan di Instagram/Twitter/Facebook ikavihara, WhatsApp 0895603879876, atau e-mail di novel.vihara(at)gmail(dot)com.
####
Good morning.
Dua kata itu selalu muncul di layar ponselnya setiap pagi, sejak Gavin mendapatkan nomor ponselnya. Amia sampai hafal jam berapa dua kata itu dikirim, jam enam pagi. Setiap pagi juga, hal pertama yang dicari Amia saat bangun tidur adalah dua kata tersebut.
Menurut orang-orang bijak, menghentikan suatu kebiasaan itu lebih sulit daripada memulai suatu kebiasaan. Merokok misalnya. Berhenti merokok itu lebih susah dilakukan. Atau makan makanan manis. Lebih susah berhenti menyukai cokelat atau es krim. Atau kebiasaan bergadang. Kalau menghentikan kebiasaan—biasanya yang buruk—semudah membalikkan telapak tangan, tidak akan banyak jumlah perokok, penderita obesitas, dan orang bangun kesiangan di dunia ini.
Amia tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruknya, mencari good morning message dari Gavin di ponselnya setiap pagi. Pagi ini pesan yang muncul di ponselnya tidak hanya dua kata. Tapi diikuti sebaris pesan lainnya.
Aku jemput jam 8
Amia memutuskan untuk menyibak selimut, bangun dan ikut sarapan di dapur meskipun hari ini dia tidak perlu pergi ke kantor. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain menyadari bahwa hari ini adalah hari terakhirnya berjalan menggunakan crutch. Dia akan bisa berjalan lagi seperti biasa.
"Mama rapi banget?" Amia melihat mamanya, yang bekerja sebagai dosen di sebuah institut negeri, profesor dalam bidang fisika kuantum, sudah siap untuk pergi ke kampus.
"Kamu ke rumah sakit sama siapa? Minta antar Papa sana." Mamanya mengisikan nasi goreng ke piring Amia.
"Malu ah, Ma. Sudah gede masih diantar Papa."
Mamanya tertawa. "Makanya Mama bilang apa, Mia? Seharusnya kamu ke mana-mana diantar suami. Atau pacar minimal."
"Mia bisa sendiri, Ma." Amia mulai menikmati sarapan. Salah satu waktu favoritnya, duduk bersama keluarganya saat sarapan bersama.
"Sarapan Papa mana?" Papanya datang dan ikut duduk bersama mereka. "Kamu ke rumah sakit sama siapa, Mia?"
"Sama temen, Pa."
"Temanmu tidak kerja?"
Betul juga. Amia menghentikan kunyahannya. Gavin akan mengantarnya ke rumah sakit hari ini, berarti Gavin tidak kerja? "Nggak, Pa."
"Vara?" Mamanya membawa air putih ke meja.
"Bukan."
"Siapa?" Begini kalau Amia hanya punya teman sedikit dan keluarganya kenal.
"Oh, itu ... Gavin."
"Gavin siapa?" Mamanya sempurna menatapnya.
"Yang ke sini dulu itu, temennya Kakak yang sekantor sama Mia."
"Oh, yang itu. Kamu akrab dengannya?" Mamanya tersenyum sendiri.
"Nggak juga. Nggak boleh sama Kakak."
"Di antara kita, yang kenal lama dengannya, kan, Adrien, Mia. Mungkin Adrien tahu apa yang kita tidak tahu. Tidak ada salahnya mendengarkan kakakmu."
"Ya, Ma." Amia tidak pernah lagi membicarakan masalah ini dengan Adrien. Saat ini, untungnya, Adrien sibuk menemani Daisy yang sedang hamil, sibuk dengan kebahagiaannya karena akan punya anak, jadi tidak terlalu mengurusi urusan Amia.
***
"Bisa?" Gavin bertanya saat Amia mencoba melangkah setelah cast di kakinya dilepas. Setelah tidak digunakan berjalan selama enam minggu, terasa asing saat kakinya menjejak lantai.
"Sebentar lagi juga terbiasa." Dokter mengatakan sambil memperhatikan Amia yang mencoba berdiri tegak.
Setelah dokter memberi saran—tidak dulu naik turun tangga, memakai sepatu hak tinggi, dan sebagainya—Amia mengucapkan terima kasih dan meninggalkan ruangan. Amia hanya berjalan dengan tangan kanan berpegangan pada lengan Gavin, sambil melatih kakinya untuk berjalan lagi. Untung saja hari ini dia tidak datang sendiri. Kakinya masih kaku untuk berjalan dan Amia sudah bosan dengan crutch, yang sekarang ditenteng Gavin di tangan kirinya.
"Ini apa?" Amia melihat ada kotak berwarna hitam di front seat. Tadi saat turun dari mobil Gavin, kotak ini tidak ada.
"Hop in!" Gavin menyuruh cepat naik. Setelah memasukkan crutch Amia di kursi belakang, Gavin membantu Amia masuk ke mobil.
Amia memegang kotak tersebut dan duduk di kursi depan lalu menutup pintu.
"Wow!" Amia membuka kotak itu dan mendapati lace-up flat berwarna hitam, lalu mengambil kertas kecil di dalamnya.
You don't have to wear high heels to look elegant
"Ini buat aku?" Amia mengamati sepasang sepatu baru itu, bertanya saat mobil Gavin bergerak meninggalkan rumah sakit.
"Memangnya aku bisa pakai sepatu seperti itu?"
"Siapa tahu." Amia mengangkat bahu.
"Itu kekecilan untukku," kata Gavin.
"Kenapa kamu beli sepatu buat aku?" Baru kali ini ada laki-laki memberinya sepatu. Amia mengamati mereknya. Laki-laki ini terlalu baik dalam menghabiskan uangnya untuk seorang wanita.
"Itu untuk merayakan karena kakimu sudah bisa jalan lagi." Sebenarnya alasan Gavin membelinya adalah karena ingat wajah sedih Amia saat kehilangan sepatu saat simulasi dulu.
"Kurasa ini berlebihan. Lain kali kalau ingin memberi ucapan selamat atau apa, Bapak bisa kasih bunga saja." Amia keberatan dengan hadiah mahal seperti ini.
"No problem. Beli sepatu tidak setiap hari."
Amia tidak menjawab dan mencoba sepatu barunya.
"Dan satu lagi. Jangan memanggilku Bapak."
"Dari mana kamu tahu ukuran sepatuku?" tanya Amia ketika menemukan bahwa sepatu baru itu cocok dengan kakinya.
"Ada di data pegawai. Sekretarisku mencari ukuranmu."
"Sekretaris?" Kali ini Amia memandang ngeri ke arah Gavin. Memang semua pegawai punya ukuran kaki, baju, dan lingkar kepala untuk dibuatkan sepatu, baju, dan helm safety. Tapi Gavin tidak perlu sampai melibatkan sekretarisnya untuk tahu hal-hal seperti itu.
"Jadi dia tahu Bapak kasih saya sepatu?" Wow! Pasti ramai sekali gosip di kantor kalau Alin sampai membuka mulut kepada satu orang saja.
"Tidak, Amia. Aku hanya menyuruhnya mencari nomor sepatu beberapa orang."
Amia menarik napas lega. Semoga semua masih aman terkendali.
"Thank you." Lepas dari itu semua, sepatu ini nyaman dipakai.
"Apa? Kamu bilang apa?" Gavin ingin memastikan sekali lagi.
"Thank you?"Amia ragu-ragu mengulangi.
"Thanks, God." Gavin terdengar lega.
"Kenapa?" Amia tidak mengerti. Dia membungkuk, mengambil sepatunya sendiri dan memasukkan ke dalam kotak hitam di pangkuannya. Untuk menghormati Gavin, dia akan memakai sepatu ini sepanjang hari.
"Kukira kamu bakal marah-marah dan melempar sepatu itu ke wajahku."
"Memangnya aku separah itu?"
"Kamu lebih parah. Apa kamu tidak sadar kalau kamu suka marah-marah?"
"Aku nggak pernah marah-marah. Itu karena kamu menyebalkan." Tidak tahu kenapa setiap bersama laki-laki ini, ada saja yang memantik api di sumbu emosinya. "Jadi, kalau aku nggak terima sepatu ini, apa kamu mau pakai sendiri?"
"Kubuang." Gavin menjawab dengan santai.
"Kan? Daripada sepatu bagus dan mahal begini kamu buang, lebih baik kupakai." Amia mengamati kakinya sendiri. Sepatunya yang lenyap saat simulasi terkutuk itu tidak pernah ditemukan sampai sekarang. Anggap saja ini ganti rugi.
"Beautiful legs," kata Gavin.
Amia melemparkan pandangan ke sisi kiri, memilih mengamati taman kota yang ramai dengan anak-anak taman kanak-kanak yang bermain bersama gurunya. Apa yang sedang dia lakukan bersama laki-laki yang sedang duduk di sebelahnya ini? Permainan apa?
***
Amia berdiri dan mengeluarkan maccaroni schotel, buatan mamanya, dari microwave dan meletakkan di meja makan di hadapan Gavin.
"Nggak ada makanan lain di rumah." Dia sedang tidak ingin memasak dan malas makan di luar bersama Gavin.
Gavin hanya mengangguk.
"Kamu bolos hari ini?" Amia ragu-ragu bertanya, merasa tidak enak karena membuat Gavin terpaksa meninggalkan pekerjaan hanya demi mengantarnya ke rumah sakit.
"Aku punya jatah cuti." Gavin mengunyah makanannya.
"Kamu sebenernya nggak perlu melakukan ini, tapi ... thanks...."
"Urusan kita belum selesai, Amia. You owe me a date." Gavin menatapnya.
"Aku nggak tahu apa aku GR apa nggak, tapi kenapa kamu mendekatiku?" Amia menatap Gavin.
"Aku sudah bilang aku tertarik padamu." Harus berapa kali diulangi kalimat ini?
####
Jika teman-teman menyukai cerita yang kutulis dan bisa dibaca gratis di sini, teman-teman bisa mendukungku dengan cara membeli salah satu bukuku: Geek Play Love(Dinar/Jasmine), The Danish Boss(Kana/Fritdjof), My Bittersweet Marriage(Afnan/Hessa), When Love Is Not ENough(Lilja/Linus), Midsommar(Mikkel/Liliana), Bellamia(Gavin/Amia) dan Daisy(Daisy/Adrien). Harga mulai dari Rp 25.000,-
Tersedia di: Toko buku, Shopee Ika Vihara(Bebas ongkir), Google Playstore
Atau WhatsApp aku di 0895603879876 juga boleh message di Instagram (at)ikavihara.
Terima kasih untuk tidak membeli buku/e-book bajakan, dengan begitu aku bisa terus melakukan riset untuk menulis lagi dengan pendapatan tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top