#2

Sesuai apa yang dikatakan sebelumnya, Kathryn pergi menemui sang guru pembimbing dengan draf esai yang dimaksud. Mereka berdiskusi cukup lama hingga hari mulai gelap. Bangunan Amaryllis Academy tampak sangat sepi. Hanya ada beberapa orang penjaga malam lalu lalang, serta guru yang baru saja selesai dengan pekerjaannya.

“Baiklah, kita cukupkan saja sampai di sini. Saya lihat tulisan kamu sudah cukup bagus. Hanya perlu sedikit revisi lagi sebelum dipublikasikan,” jelas seorang wanita setengah baya yang berperan sebagai pembina klub penelitian ilmiah di akademi tersebut.

Gadis itu mengangguk kemudian mengemasi barang-barangnya. “Kalau begitu, saya pamit dulu,” ucapnya sopan. Wanita itu menanggapinya dengan senyuman, lalu kembali merapikan meja kerja. Sementara Kathryn sudah beranjak pergi dengan wajah puas. Bagaimanapun, pujian dari gurunya itu adalah hal yang sangat berharga.

Ia sampai di ruang lobi beberapa saat kemudian. Langit yang semakin gelap menyambut. Tidak ada satu pun kendaraan yang melintas di jalan raya. Kecuali para polisi yang berpatroli, dan mereka yang menjuluki diri sendiri dengan sebutan “Tim Pemburu Vampir”.

Kathryn tidak peduli. Ia lebih memilih untuk mengomeli Kepala Akademi yang malas membeli lampu untuk dipasang di bangunan akademi. Tanpa berpikir dua kali, ia menyalakan senter dari ponsel, kemudian berjalan sambil membaca pesan-pesan pribadi yang masuk ke aplikasi media sosialnya.

Tepat saat ia hendak membalas pesan yang dikirimkan Miranda, sebuah panggilan masuk membuat benda persegi itu berdering. Dia mengernyit melihat nama yang tertulis di bawah foto profil si penelepon, lalu tanpa pikir panjang mengangkatnya. “Ada apa kau meneleponku malam-malam begini, Louis?” Kathryn bertanya to the point.

“Maaf kalau aku mengganggumu, Kate. Hanya saja … sebelum bicara, ada yang harus kukatakan padamu,” ujar si penelepon dengan nada ragu-ragu.

Gadis bermanik merah darah itu mendekatkan ponsel ke telinga, menoleh ke sekitar guna memastikan tidak ada yang terganggu dengan pembicaraan mereka. “Ada apa?”

Lawan bicaranya terdiam cukup lama, sebelum akhirnya berbicara dengan nada datar. “Kita sedang video call.”

Begitu mendengarnya, perempuan itu langsung memindahkan posisi ponsel yang kini menampilkan wajah seorang laki-laki berkacamata dengan rambut cokelat memasang wajah datar. “Sudahlah, abaikan saja soal yang tadi itu. Langsung saja beritahu alasan kau meneleponku,” balasnya jengah.

Pemuda bernama Louis itu membuang napas panjang usai melihat tindakan memalukan yang dilakukan teman kecilnya. Terlihat seperti orang dari masa lalu yang belum pernah mengenal fitur panggilan video.

“Beritahu Mrs. Ellie. Mungkin aku tidak bisa pulang cepat malam ini. Jadi, tolong jangan pasang palang pintunya kalau tidak ingin aku membobol jendela seperti pencuri,” jelas Louis panjang lebar. Tentu itu hanya gurauan. Mana berani ia berhadapan dengan wanita temperamental yang menjadi induk semangnya itu.

“Baik, baik, akan kusampai-” Perempuan itu menghentikan ucapan ketika dirinya baru menyadari jika ada sesuatu yang aneh. “Tunggu! Apa yang membuatmu sampai tidak bisa pulang, hah?! Jangan lakukan yang aneh-aneh seperti para berandal yang malam-malam begini berkumpul di bar! Awas saja. Akan kulaporkan pada Mama kalau kau berani melakukannya.”

Louis menyengih mendengar ancaman itu. Namun, yang bisa dia lakukan hanya terdiam sambil menunggu Kathryn selesai bicara. “Kenapa diam?! Apa karena niat busukmu sudah ketahuan? Cepat pulang atau aku pergi ke tempatmu sekarang juga?”

Lelaki bermata empat itu kembali mengembuskan napas berat. Berurusan dengan temannya yang satu ini memang sangat merepotkan. “Dengarkan dulu, Kate. Memangnya kau tidak tahu aku sedang memakai pakaian apa, dan semua peralatan ini untuk apa?” Dia menjauhkan posisi watch phone agar gadis itu bisa melihat seluruh tubuhnya.

“Ah, jangan bilang kau tidak tahu, wahai Kate yang gagap teknologi.” Louis menyeringai, mengejek Kathryn yang kini terlihat mengembungkan pipi. “Aku akan pergi berburu dengan timku. Jadi jangan berpikir apalagi melaporkan hal yang aneh-aneh pada Mama atau Mrs. Ellie,” dia balas mengancam.

Mendengar pernyataan itu, Kathryn yang sebelumnya jengkel karena ejekan tidak bisa menahan tawa sampai matanya berair. “Ya Tuhan. Ada apa sebenarnya denganmu? Kenapa kau mau saja bergabung dengan orang-orang kurang kerjaan itu? Lebih baik kau pulang saja dan membantu mencarikan referensi tambahan untuk tugas esaiku.”

Louis menghela napas panjang. Wajah pemuda itu tampak serius. Matanya menampakkan semangat yang tak bisa diruntuhkan oleh apa pun juga. “Aku tidak peduli apa pun yang ingin kau katakan, dendam tetaplah dendam. Aku pasti akan membunuh semua vampir di dunia ini!”

“Aku tahu, Louis. Saat usia sepuluh tahun, kau suka sekali bermain-main menjadi seorang kesatria selama di rumah. Tetapi, delapan tahun sudah berlalu. Tahun ini kita sudah masuk ke perguruan tinggi. Aku benar-benar berharap kau lulus tes masuk jurusan kriminologi. Supaya nanti setelah lulus, kau bisa melupakan apa pun soal dongeng itu.” Kathryn mencoba untuk tampak dewasa dengan mengajak laki-laki itu berpikir jernih.

“Sudahlah, Kate. Aku hanya minta kau beritahu Mrs. Ellie. Terserah, kau boleh menyelidiki kasus kematian keluargaku. Tetapi aku akan tetap pergi bersama mereka,” putus pemuda berkacamata itu. Tekad yang amat kuat itu sukses membuat Kathryn menepuk dahi.

“Aku tutup dulu. Eh, tunggu sebentar. Apa di sana kau pulang sendiri?” Kathryn hanya mengangguk tanpa beban. “Jangan nekat begitu, Kate. Aku akan segera menuju tempatmu. Kau pakai kalung perak yang kuberikan? Cepat, bagikan lokasimu!” Dia berusaha untuk menyembunyikan rasa khawatir. Sampai lupa bahwa alat yang dia bawa bisa dengan mudah melacak lokasi seseorang selama perangkat target masih online.

“Kenapa aku harus takut? Vampir itu tidak ada, tahu,” balas Kathryn tidak acuh. “Ayo, kalau kau berani datanglah kemari. Kita buktikan apakah mereka memang ada atau tidak dengan mata telanjang,” lanjut gadis itu hingga membuat Louis yang merasa kepeduliannya tidak diperhatikan semakin kesal.

Akhirnya karena ketua tim tersebut segera memberi perintah -- serta tidak ingin berdebat panjang lebar -- Louis segera menutup sambungan panggilan video tersebut. Sebelumnya ia memanjatkan harapan semoga perempuan itu baik-baik saja dalam perjalanan. Tetapi, lagi-lagi Kathryn menyepelekan hal tersebut.

Gadis bermanik merah darah itu kembali memasukkan ponsel ke dalam saku. Ia memilih untuk fokus pada sekitar kali ini. Sesekali menatap langit yang memperlihatkan bulan purnama yang turut menerangi kota. Kathryn tertawa kecil. Di tengah kota yang sepi ini, bisa-bisa dialah yang disangka sebagai vampir karena berani berjalan sendirian.

Amaryllis City, julukan “kota” hanya sebuah formalitas. Nyatanya tempat tersebut tidak jauh berbeda dengan permukiman kecil di pinggir hutan. Hanya ada rumah dengan jumlah tak mencapai ratusan, serta beberapa fasilitas umum di area-area strategis. Bangunan besar bisa dihitung dengan jari. Sisanya berupa lahan yang masih tertutup oleh pohon besar dan semak-semak.

Ingatannya kembali melayang pada kasus menghebohkan yang terjadi saat berusia lima tahun. Rumah berlantai tiga di sebelah tempat tinggalnya tiba-tiba dipenuhi mayat anggota keluarga Shuldberg dengan kondisi tak wajar pada pagi hari. Louis kala itu hanya bisa meringkuk ketakutan di sudut ruangan menyaksikan rumahnya yang dipenuhi bercak darah di mana-mana.

Semenjak kejadian tersebut, keluarga Kathryn memutuskan untuk mengadopsi anak laki-laki malang itu. Sehingga, mereka berdua resmi menjadi saudara angkat. Louis tidak terlalu terpengaruh dengan tragedi yang menimpa keluarganya. Beberapa hari kemudian, ia tampak kembali ceria. Hanya saja, tekadnya untuk membasmi semua vampir semakin membara.

“Aku melihatnya sendiri. Mereka semua bukan manusia!” suara Louis kecil yang mencoba untuk memberikan kesaksian kepada para penyidik kembali terngiang dalam benak Kathryn.

Bukan berarti Kathryn tidak berbelasungkawa atas tragedi yang menimpa keluarga sahabat sekaligus saudara angkatnya. Tetapi ia meyakinkan diri jika itu hanya kasus pembunuhan biasa. Karena baginya, menganggap peristiwa tersebut adalah ulah vampir sama saja dengan membuat pelaku yang sebenarnya berkeliaran bebas.

Dia menghela napas panjang. Angin malam yang mendadak berembus semakin dingin memaksanya merapatkan sweter. Sinar bulan purnama yang semula tampak terang perlahan mulai tertutup oleh awan. Kathryn menoleh ke sekitar sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangan guna mengusir dingin.

Suara semak yang bergerak-gerak mengagetkan Kathryn. Dia segera berbalik, memeriksa sekeliling. Karena tidak ada hal mencurigakan yang ditangkap oleh retina mata, ia kembali menghadap depan. Namun, kakinya seolah tidak mau bekerja sama dengan tetap diam di tempat.

Tiba-tiba, ia seperti merasakan seperti embusan napas pelan tepat di bagian tengkuk. Sangat dingin, berbeda dengan manusia normal. Bulu kuduknya mulai berdiri tegak. Dia ingin berlari secepat mungkin, tetapi kekuatan dari sesuatu yang menahannya semakin kuat. Napasnya pun mulai terengah-engah.

Embusan napas tersebut lama-kelamaan semakin terasa. Sebuah tangan tiba-tiba merengkuhnya dari belakang, nyaris seperti memeluk. Sementara yang satu lagi muncul beberapa detik kemudian dan membekap mulut Kathryn, mencegahnya mengeluarkan suara apa pun.

Perempuan itu terbelalak. Tubuhnya yang ingin memberontak seolah kehilangan semua tenaga. Hanya beberapa saat sebelum sebuah rasa sakit yang luar biasa muncul di lehernya, menjalar ke seluruh tubuh. Bekapan sesosok di belakang begitu kuat hingga suara jeritan Kathryn tertahan.

Kathryn hanya menangis tanpa suara karena sakit yang tak tertahankan dan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat itu. Bahkan sampai sekarang otaknya menolak untuk percaya pada keberadaan makhluk yang dirumorkan di seluruh penjuru Amaryllis City.

“Semoga kau bermimpi indah, gadis kecil.” Ia tiba-tiba mendengar sosok di belakang berbisik pelan. Kedua lengan yang mengunci gerakannya terlepas begitu saja. Akan tetapi, alih-alih bisa berlari sekencang mungkin seperti yang dibayangkan, tubuh gadis itu terhuyung kemudian jatuh ke trotoar seolah tak ada lagi sisa energi untuk berdiri barang sedetik dengan rasa sakit yang masih bertahan di lehernya.

Kepalanya berdenyut keras dengan penglihatan yang seperti melihat dunia berputar. Tangannya perlahan terangkat seperti hendak meraih sesuatu di udara. Matanya menatap kosong, seolah menolak untuk tertutup rapat. “Louis …, maafkan aku. Di mana kau berada … sekarang? Kumohon … datanglah.”

*

14 Juni 2021, 13:59 WITA.

Jangan lupa vote dan comment, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top