21. Kadang
Tips menulis ala Adia :
"Tulislah. Endapkan. Baca ulang. Edit. Jangan sampai terbalik."
_._._.___✍️
Satu bulan. Aku tertidur selama itu.
Ketika terbangun seluruh tubuhku mati rasa. Terutama bagian punggung. Tenggorokanku kering seperti terbakar. Juga lemas kurang energi.
Bayangkan saja, satu bulan tak beranjak dari kasur. Hanya tidur dengan satu posisi. Terlentang. Dan suntikan infus satu-satunya sumber kehidupan.
Hari ini aku sedang berada pada masa pemulihan. Kakak bilang aku harus melakukan sesuatu dengan wajah pucat pasiku. Juga lengkung bibir yang tidak juga bergerak untuk senyum.
Bukan tidak mau. Aku masih kesulitan. Seluruh tubuhku lemas luar biasa.
Syukurlah, keluargaku tidak lelah mengurusi. Bergantian antara Mama dan Kakak berjaga di kamar rumah sakit VIP.
Kenapa harus kusebutkan VIP?
Keluargaku punya alasan khusus memilih rumah sakit juga ruangan ini.
Karena statusku.
Menjadi pesohor rupanya tidak melulu menyenangkan. Buktinya ketika kabar percobaan bunuh diriku terendus massa, tempat beristirahatku diburu paparazi.
Bisa dibilang, di sini aku bersembunyi. Para dokter dan perawat sudah dibungkam. Nomor kamar dirahasiakan dari media massa.
Keluargaku merasa perlu zona privasi, untuk kesembuhan juga kewarasanku.
Dalam suara serak dan sengau, aku bertanya keberadaan Reist. Aku memang tidak membayangkan Reist akan ada di sampingku saat terbangun.
Dibanding aku, Reist lebih tersohor lagi. Namanya dalam kancah internasional sudah diakui.
Kalau aku saja diburu publik, apalagi Reist. Sungguh berita panas mendapati istri pembalap dunia bunuh diri karena frustrasi. Reist pasti lebih kewalahan dibanding aku.
Aku membayangkan Reist juga tertidur, sama sepertiku. Dan bangun di waktu yang sama denganku.
Aku heran saja, kenapa Kakak ataupun Mama tidak juga memberitahu tentang Reist.
"Khawatirkan dirimu sendiri. Sembuhlah dulu!" perintah Kakak yang saat itu sedang mengupas jeruk.
Aku memperhatikan wajah Kakak dari samping. Gambaran letih tercetak di wajahnya, terutama di kantung mata.
Dia kakakku satu-satunya. Lelaki yang masih bujang di usianya yang ke-35 tahun. Bukan tidak laku, ia selektif dan terlalu mencintai keluarganya. Sampai lupa untuk mencari jodoh.
Kakak bekerja sebagai editorku, penyambung antaraku dengan penerbit.
"Kak!" panggilku lemah.
Ia berdengung sambil terus mengupas jeruk. Perhatiannya tak teralihkan. Seperti sedang menjalani misi. Misinya adalah mengupas jeruk dalam waktu tercepat.
"Kakak tahu novel Before After?"
Kakak menyodorkan potongan jeruk ke mulutku. "Novel perdanamu, satu-satunya novel yang tidak kusentuh sebagai editormu. Novel yang terlalu polos sampai aku ingin mencorat-coretnya waktu kamu tidur."
Oke, dia berlebihan. Sebutkan saja dia tahu.
"Memangnya kenapa?" lanjutnya.
Aku menyeringai dengan mulut penuh jeruk.
"Tahu tidak, saat aku tidur aku mimpi masuk ke dunia Before After. Aku jadi Maia, bertemu Bhanuar, diusili Sevi. Berada di sana terasa sangat nyata, bahkan aku masih bisa merasakannya sampai sekarang." Aku menggebu.
"Jadi karena itukah kamu tidur sangat lama?"
"Bukan, aku dan Reist tidak mudah menemukan jalan keluar."
"Reist?"
"Iya. Percaya tidak, dia juga ada di mimpiku. Reist yang itu, si menyebalkan yang aku suka. Dia datang dan menyadarkanku kalau semua itu mimpi."
Bisa kuperhatikan sedetik tadi Kakak sempat berhenti. Seperti tak sengaja telah kutekan tombol off. Hanya beberapa detik. Lalu Kakak melanjutkan kegiatannya lagi. Kali ini dengan bahunya yang tegang.
"Kami yakin, kami bisa keluar setelah menyelesaikan alur dan ending. Tapi di tengah jalan malah kacau. Benar-benar ending yang melenceng dari semestinya."
"Lalu kalian keluar karena Plot twist? Karena akhirnya kamu memilih Reist daripada Bhanuar?"
"Kok, Kakak tahu?"
"Gampang ketebak. Aku sudah jadi editormu bertahun-tahun. Kamu paling tidak suka novelmu berakhir biasa. Kamu merasa harus membuat satu atau dua karakter menderita dulu, baru ending. Bad author."
Aku tersenyum. Kakakku satu-satunya orang yang paling tahu isi kepalaku. Otak kami satu frekuensi, untuk itulah ia memilih bekerja denganku, si author gila.
"Aku memikirkan ini belakangan, kalau Reist tidak datang, tidak memberitahuku kalau aku sedang bermimpi. Juga tidak keluar dari mimpiku. Bagaimana aku nanti. Mungkin saja aku ma--"
"Husss!! Kamu tahu bagaimana Mama menangis tiap denyut jantungmu melemah, atau waktu dokter sempat putus asa dan menyuruh kami memulangkanmu saja."
Bibirku mengatup. Aku tahu, bukan Kakak saja yang kantung matanya menghitam, Mama juga. Ditambah sembab yang tidak bisa menghilang setelah aku bangun dan memeluknya.
"Jangan mudah bilang hal menakutkan begitu. Kami di sini berjuang, dengan doa, dengan usaha. Kamu tidak boleh mudah menyerah."
Ucapan Kakak menohok jantungku. Ingin rasanya membayar kesalahanku. Si bodoh ini sudah merepotkan banyak orang.
"Maaf!" hanya itu yang bisa kukatakan.
Kakak tersenyum simpul. Ia menepuk kepalaku dua kali lalu berbisik menyuruhku tidur.
"Tidurlah. Siapkan energi. Besok akan jadi hari melelahkan untukmu."
Aku memiringkan kepala. Heran.
"Besok anak-anakmu akan menjenguk. Bibi yang akan mengantar."
"Ah, benarkah?"
Aku rindu sekali mereka. Apalagi si bungsu. Sayang mereka tidak boleh datang terlalu sering.
Selain karena aku belum sembuh benar, juga karena paparazi yang selalu menunggu di halaman luar.
Anak-anakku tidak boleh terpapar publik. Tidak bagus untuk mental mereka yang masih polos.
Besoknya mereka datang dibawa Bibi, adik Mama. Sengaja untuk menyegarkanku lagi. Terutama si kecil yang sekarang berusia 3 bulan. Pipinya gembul, bibir tipis juga mata sipit.
Ia memiliki wajah Reist. Seperti melihat Reist dalam versi mini juga berjenis kelamin perempuan.
Anak sulungku sudah kelas 2 SD. Ia memamerkan hasil prakarya yang ia pelajari di sekolah. Juga kemampuan membaca cepatnya yang makin mahir.
Anak-anakku sumber penyembuhku. Kehadirannya membuatku ingin cepat pulih. Ingin cepat pulang dan berkumpul sebagai keluarga utuh.
Si sulung yang tak bisa diam itu merajuk ingin bermain gadget. Mama melarang. Gantinya TV di kamar ia nyalakan. Menampilkan acara kartun yang tidak begitu disukai.
Uh, sifat memaksanya itu sangat mirip seseorang.
Si sulung tiduran dekat kasurku. Remote TV ia ambil alih, mulai bosan dengan kartun. Terus bergonta-ganti channel.
Lalu, sebuah saluran menampilkan breaking news. Latarnya sirkuit Qatar juga MotoGP.
Aku meminta si sulung berhenti memindahkan channel. Menaikkan volume TV.
Jelas sekali berita menunjukkan gambar Reist di TV. Ia mengendarai motornya di lintas balap. Melakukan wheelie atau akrobat kemenangan dan ...
Kakak merebut remote TV. Menekan tombol off. Mematikannya.
Kamar jadi sunyi. Kulihat urat di pelipis Kakak menegang. Matanya terbelalak menatapku.
Lalu Mama tiba-tiba menutup mulutnya dengan kedua tangan. Menangis.
Tangisannya disahut si bungsu. Bibi menggendongnya cekatan sambil membawa keluar anak-anak. Sebab tiba-tiba saja keadaan kamar berubah tegang.
"Apa yang terjadi?"
Aku merasa wajib bertanya setelah segala keanehan ini. Ada yang mereka sembunyikan dariku. Tentang Reist.
"Berikan remote-nya padaku!" tanganku terjulur meminta.
Kakak menggeleng. Mama tidak berhenti menangis, malah semakin keras.
"Sudahlah, Kak! Beritahu saja Adia." Suara Mama bergetar.
"Tidak! Ma ... Mama keluar dulu. Kumohon!" perintah Kakak halus. Mama menurutinya. Tangisnya berganti tempat. Sekarang hanya ada aku dan Kakak di kamar.
"Apa artinya itu? Apa yang kalian sembunyikan?" aku berteriak.
Kakak menarik napas panjang. Mengembuskannya seperti kesakitan.
"Ada sesuatu dengan Reist kan? Dia tidak akan masuk berita kalau tidak ada apa-apa. Kakak, beritahu aku!"
"Tidak, Adia. Kamu belum sembuh."
"Masa bodoh dengan itu. Aku lebih butuh kabar Reist daripada kesembuhanku. Kak, ada apa?"
Kakak masih diam. Ia menggigit bibirnya. Bola matanya sayu. Aku bersumpah membenci Kakak yang melakukan hal-hal itu. Sangat mengganggu.
"Kak ... Kumohon!"
Aku mesti menggoyang-goyangkan lengannya agar ia memberitahu. Aku mesti memanggil namanya agar Kakak mulai bicara.
"Adia ..." suara Kakak pelan.
Aku harus mendekatkan telinga agar suaranya kedengaran.
"Reist ... sudah meninggal."
📖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top