13. Sistem
Tips menulis ala Adia :
"Menulislah dengan tujuan untuk berbagi, bukan karena ingin terkenal."
_._._.___✍️
Reist baru tahu aku dan Bhanuar pacaran setelah kembali masuk sekolah.
Ia terperangah di mejanya begitu dapati Bhanu datang ke kelas. Memanggilku, berbincang, kemudian pergi lagi setelah memberiku selembar kertas kosong.
Aku berjalan congkak di hadapannya. Memberi gestur 'salahmu sendiri terlalu asyik dengan duniamu, sampai tidak tahu aku dan Bhanuar sudah seperti ini.'
Tidak ada dialog. Kuputuskan menjauhi tatapannya yang minta penjelasan.
Amarahku awet bahkan sampai berhari-hari. Dan Reist, sekalipun tidak berusaha mendekat sekedar meminta maaf.
Benar-benar pasangan suami istri yang buruk.
Di jam istirahat. Lapangan basket ramai penonton. Katanya ada pertandingan kecil antara kelas 2 dan kelas 3.
Begitu kudatangi karena penasaran, bagiku seperti pertandingan Reist versus Bhanuar.
Aku menonton di pinggir lapang. Tidak ikut berteriak seperti para cheersleader di sampingku.
Bhanuar menyadari kehadiranku. Di tengah pertandingan ia melambaikan tangan. Kubalas dengan senyuman. Lalu tertangkap basah oleh Reist di lapangan.
Pertandingan berubah seru ketika skor angka susul menyusul.
Kata ketua cheersleader, pertandingan mereka diikuti taruhan. Yang kalah harus keliling lapangan 50 kali.
Gila. Sudah lelah bertanding, harus keliling lapangan pula. Pertaruhan konyol.
Dalam satu momen, Reist dan Bhanuar berhadapan. Bola ada di tangan Bhanu, Reist menghadang.
Bhanu mendribble dengan lihai, ia berhasil menghindar. Diambilnya ancang-ancang melakukan shoot ke keranjang.
Tidak terlihat, Reist ada di hadapannya. Sama-sama melompat. Mereka tak memperhatikan arah jatuh, tahu-tahu saling tubrukan dan bertumpuk.
Refleks aku berdiri. Hampir saja keluar nama Reist dari mulutku. Beruntung otakku lebih cepat daripada mulut.
Aksi berdiriku ini tak lebih karena mengkhawatirkan Bhanuar. Sebab seluruh sekolah tahu, aku dan Bhanuar pacaran.
Peluit panjang dibunyikan. Dua orang itu tak juga bangun. Kesakitan memegangi tangan dan kaki.
Aku berlari ke lapangan. Inginku menuju Reist, ia yang tertindih badan tinggi Bhanuar. Tapi berbelok ke arah Bhanuar. Formalitas.
"Aku tidak apa-apa. Tapi sepertinya Reist terluka." Ucapan Bhanuar memberiku kesempatan untuk mencemaskan Reist.
Tapi Reist dengan dinginnya menepisku saat akan melihat lututnya yang lecet tergerus aspal lapangan.
Reist beringsut pergi. Ia terpincang-pincang jalan ke pinggir lapangan.
Aku terus memperhatikan Reist yang keras kepala dengan sikap tak acuhnya.
Di saat bersamaan Bhanuar mengumumkan pertandingan dihentikan. Lapangan dibubarkan karena bel berbunyi nyaring.
Bhanuar menepuk pundakku. Mengantar sampai ke kelas lalu bilang pulang sekolah nanti janjian di halte. Aku mengiyakan. Tepat ketika Reist masuk kelas melewati bahuku.
"Reist, kakimu harus diobati," saran Bhanuar cemas.
"Tidak usah!" balas Reist tanpa memperhatikan lawan bicaranya.
Sampai kapan dia akan seperti ini.
Pulang sekolah, Bhanuar mengantarku sampai pagar dan pamit pulang.
Aku mematung di jalan masuk antara rumah dan kamar Reist. Ada Reist di sana, lampu luarnya menyala.
Aku menimang sebentar. Lalu ke rumah mengambil betadine dan plester.
Aku ke kamar Reist. Tidak mengetuk pintu karena kutahu Reist tidak akan merespon.
Aku menerobos masuk. Mendapati Reist duduk bersandar menghadap jendela. Wajahnya kuyu, tatapan sendu.
Ia sadar aku datang, tapi tak bereaksi dan masih saja menampilkan pemandangan nelangsa itu.
"Reist, lututmu baik-baik saja?" tanyaku kemudian.
"Ini bukan apa-apa."
"Aku akan obati lukamu."
Aku mendekat padanya di sisi jendela. Meluruskan lututnya hingga berada dalam jangkauanku.
Reist memperhatikan. Saat betadine tumpah ke sekitar luka, juga plester menutupi lecet di lututnya.
Aku selesai dan menghela napas. Kucari pandangan mata Reist. Meminta dia menatapku sekali saja.
"Kumohon. Berhentilah menghindariku," pintaku.
"Bukannya kamu butuh itu."
"Aku butuh kamu," seruku. "Ada banyak yang mau aku ceritakan. Tentang bagaimana kalau cara ini ternyata bukan cara yang tepat. Atau bagaimana mengakhiri cerita ini selain harus berciuman dengan Bhanu. Banyak sekali yang mau aku ceritakan. Tapi kamu tak ada."
Reist diam. Kelopak mataku mulai basah. Aku tidak mau menangis. Aku berdiri mencegah air mataku mengalir.
Lalu Reist menangkap pergelangan tanganku. Menempelkan keningnya di punggung tanganku. Aku membisu.
"Aku rindu kamu," suaranya nyaris tak terdengar. "Aku rindu anak-anak. Rindu rumah. Rindu balapan. Semakin kupikirkan, semakin aku merindukan kalian."
"Kenapa kamu rindu padaku, aku ada di hadapanmu."
Reist mendongak. "Kamu Maia, bukan Adia."
Sekali lagi aku sakit hati dengan ucapannya. Aku menarik tanganku darinya.
"Sudahlah, kupikir aku bisa menghiburmu."
Aku membalik badan untuk pergi. Reist mencegahku dengan kalimatnya.
"Aku cemburu. Kamu dengan Bhanuar. Membuat dadaku sesak," jujur Reist.
Aku menahan diri. Mengepal tangan kuat-kuat. Tak bisa kutahan lagi karena setelahnya aku berbalik, mencari tubuhnya, memukul bahu Reist dengan keras.
"Kamu pikir aku mau begini? Kamu kira aku suka berpura-pura depan Bhanu? Aku tidak mau bermain drama seperti ini. Kamu pikir karena siapa?" Aku berteriak. "Aku mau pulang, Reist. Aku lelah."
Tanganku tak berhenti memberondongnya dengan pukulan. Reist diam saja, pasrah.
"Kenapa aku bisa ada di sini. Omong kosong apa yang sudah kulakukan sampai dapat kutukan ini. Apa salahku?" Aku menangis. Terisak-isak. Reist tidak mengubah raut wajahnya.
"Karena aku. Kamu koma karena aku. Kamu ada di sini karena aku. Semuanya karena aku."
Aku menelan ludah. "Ceritakan. Apa yang sebenarnya terjadi padaku di dunia nyata?"
Reist diam cukup lama. Tatapannya kosong. Selama itu pula aku menunggunya.
Tak peduli malam semakin pekat. Atau Ibu mencariku sampai kemari. Aku merasa perlu mendengar penjelasan Reist.
"Kamu mencoba bunuh diri. Di pantai. Menyayat pergelangan tangan."
Aku terbelalak. "Kenapa aku melakukannya?"
"Karena aku ... meninggalkanmu."
📖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top