6. After Drama
Bawah Tanah:
The Rumor Comes True
A novel by Zivia Zee
•••
Terik matahari selalu menjadi makanan sehari-hari. Para paskibraka SMA Andalas yang tidak pernah punya libur meski sekolah tengah libur semester. Hari itu, lapangan Andalas sudah penuh oleh kegiatan organisasi ini. Tiga pasukan dibariskan untuk berlatih. Suara derap sepatu pantofel bergema, bersahut-sahut dengan suara tegas sang danton. Para pelatih berada di pinggir lapangan mengawasi mereka. Ada juga senior yang sesekali bersuara menyentak. Memacu para paskibraka untuk semangat berlatih.
Dari sudut pandang siapapun kegiatan ini lumrah terjadi. Organisasi yang memiliki sistem didikan semi militer seperti Paskibra dan Pramuka —terutama di sekolah ini— memang tak jarang mengambil hari libur untuk latihan. Latihan tambahan ini biasanya diadakan apabila ada acara tertentu seperti upacara bendera untuk hari kemerdekaan, lomba, atau upacara di hari penting lainnya.
Tapi, lumrahkah ini ketika sudut pandang itu adalah sudut pandangku?
Dalam sudut pandangku, aku baru saja mengalami perisitiwa dramatis nan traumatis yang tidak bisa dilupakan. Maksudku, itu masih dua hari lalu. Belum genap seminggu setelah kejadian. Belum pudar dalam memoriku setiap bagian yang terjadi pada hari kelulusan waktu itu. Bahkan aula sekolah masih membentuk puing-puing hancur. Tapi Hari ini, aku berada disini untuk untuk latihan paskibra. Aku berteriak-teriak menyerukan perintah pada pasukanku seolah-olah dua hari kemarin itu tidak pernah ada. Seolah-olah kejadian itu hanyalah salah satu bagian dari mimpi terburukku.
Tidakkah ini terasa sangat aneh?
Sekolah terasa sangat damai. Pelatih, para senior, bahkan pasukanku, tidak ada satupun dari mereka yang merasa janggal. Atau sekedar bertanya-tanya kenapa aula sekolah bisa begitu porak-poranda.
"Bubarkan dulu, Aurora. Kita istirahat dulu." Aku mengangguk ketika Kak Zifa memberiku instruksi. Segera kububarkan pasukanku. Dititik lain di lapangan, aku melihat Anya —danton pasukan merah— turut membubarkan pasukannya.
Aku melepaskan topi paskibraku. Segera menepi ke koridor kelas. Cuaca hari ini benar-benar cerah dan terik. Topiku berwarna hitam jadi rasanya kepalaku terbakar.
"Lo negak berapa ton asam jawa, Ar? Gue iri sama suara lo, sumpah." Anya mendekatiku.
Asam jawa adalah minuman yang wajib dikonsumsi oleh semua anggota Paskibra setiap kali latihan. Terutama yang jadi danton seperti aku dan Anya. Katanya, minuman ini dapat membuat suara menjadi lantang dan lepas. Aku, sih, percayanya aku memang sudah punya bakat jadi danton. Jangan anggap aku angkuh kali ini karena pemahamanku di dasari oleh dua hal. Pertama, sebelum aku rajin mengonsumsi minuman asam itu seminggu dua kali, aku sudah sering menjadi pemimpin upacara ketika SD. Suaraku terlatih sejak kecil dan memang bagus dari sananya untuk jadi danton. Kedua, tidak semua rekanku yang mengonsumsi asam jawa bisa tiba-tiba jadi punya suara lantang seperti aku dan Anya. Jadi, kupersepsikan bawah asam jawa tidak terlalu berpengaruh bagi kami.
"Gue, mah, emang udah bakat dari lahir. Lo nggak usah mimpi mau nyaingin, ah. Entar jatuh, sakit lho."
Anya tertawa tanpa minat, "kok gue kesel, ya, ngomong sama lo?"
Aku meneguk air mineral ku, "canda, canda. Gue mah minum kalau latihan aja."
Anya menatapku tidak percaya. Sudah lama kami bersaing untuk menjadi danton terbaik. Seringnya, hanya Anya yang berkompetisi karena, semua tahulah bagaimana aku pandai mencintai diriku sendiri, aku juga pandai memuji diri sendiri.
"PIMPINAN. SAYA AMBIL ALIH. SIAP GERAK!"
Tapi terkadang aku juga suka menggodanya. Anya punya semacam ambisi untuk menjadi nomor satu dalam segala hal. Tapi entah karena sial atau memang kurang ibadah, ia selalu menjadi nomor dua. Mulai dari tanggal lahir, nomor absen, peringkat, sampai nomor anak, Anya adalah anak nomor dua.
"Gue tahu suara danton lo kece, nggak usah pamer deh," Anya menyikut lengan ku. Wajahnya memberenggut tidak suka. Kalau sudah begini, biasanya aku malah makin menjadi-jadi.
"Ah, payah! Jadi sekarang udah nyerah nih? nggak mau saingan lagi sama gue?"
Aku tersenyum miring melihatnya. Anya memelototiku. Ia tertawa dengan gaya yang sangat sarkas sebelum memposisikan tubuhnya untuk berdiri tegak dan mengambil ancang-ancang untuk bersuara. Anya mudah sekali terpancing.
"PIMPINAN. SAY—"
"Hei, kalian berdua!" suara Kak Zifa menghentikannya, Anya terlihat agak sebal karena selaan itu. Kami berdua menoleh. "Jangan teriak-teriak mulu. Ada Kang Akur, tuh. Masuk!"
Aku baru sadar kalau di sekeliling kami sudah tidak ada siapa-siapa. Koridor ini sepi. Di depan kelas di mana Kak Zifa berada, sudah banyak sepatu pantofel berderet rapi. Semua rekan-rekanku sudah masuk kedalam kelas. Aku bergegas melepas pantofel milikku dan membariskannya bersama yang lain. Anya mengikutiku. Menghadap pintu, kami berbaris. Aku yang berada didepan mengangkat tangan ke atas sebelum bersuara lantang.
"Kang Akur!"
Di dalam kelas, seorang pria berperawakan tinggi yang wajahnya ramah sedang berdiri di depan kelas, menoleh kepada kami ketika aku menyerukan namanya. Dialah Kurniawan Algadri, atau kami biasa menyebutnya Kang Akur —disebut begitu karena asalnya dari Bandung. Pelatih Paskibra yang wajahnya dapat menipu. Karena biar senyumnya manis dan ramah, apabila sudah menginjak lapangan Kang Akur adalah salah satu orang paling galak yang pernah melatih kami.
Dalam sejarahku sebagai Paskibraka disini, tak terhitung berapa kali sosok ini membentak-bentakku dengan posisi wajah berjarak tiga sentimeter. Kalian bisa membayangkan bagaimana tegarnya aku saat itu, yang saking tegarnya aku sampai tidak berani bernapas.
"Ya."
Aku menurunkan tanganku. "Nama, Aurora Bhayangkari. Jabatan, komandan pasukan hitam. Tingkat, Rakanta. Izin memasuki ruangan bersama satu orang rekan."
Kang Akur membuat gestur tangan seraya mengatakan, "silahkan masuk."
Kami berdua masuk ke ruangan. Menghampiri Kang Akur terlebih dahulu. Aku memberinya salam hormat. Salam hormat adalah salam yang diberikan untuk anggota paskibraka dengan tingkat yang lebih tinggi. Seperti senior —dalam kasusku senior adalah kakak kelas kami yang sudah mencapai tingkat Rimata— dan pelatih seperti Kang Akur. Caranya adalah dengan hormat terlebih dahulu, kemudian melakukan salam khas paskibra: bersalaman tangan, kemudian mengubah gerakan tangan menjadi seperti menggenggam ibu jari lalu mengubahnya lagi menjadi bersalaman tangan biasa.
"Ada materi apa?" tanyaku pada Silva —teman sebangkuku— ketika aku sudah duduk di sampingnya.
"Nggak ada. Kang Akur cuma sharing-sharing pengalaman aja sama nanya keluar dari SMA kita mau jadi apa dengan bekal pengalaman kita sebagai paskibraka sekarang."
Aku mengangguk. Aku tahu Kang Akur melihat latihan kami tadi. Biasanya ia akan mulai mengkritik progres kami sebelum memulai materi. Tapi sepertinya hari ini latihan kami cukup memuaskannya. Itu berarti kami tidak membuat kesalahan apapun. Aku bisa bernapas lega sekarang.
Penilaian Kang Akur selalu to the point, tajam, dan terkadang kata-katanya bisa sangat nyelekit di hati. Dan kalau sudah begitu, biasanya para komandan pasukan yang akan disalahkan, dimintai keterangan dengan sangat tidak santai, dan diberi hukuman yang dapat membuat badan pegal berbulan-bulan. Itulah kenapa aku dan Anya bisa menjadi begitu dekat. Selain karena persaingan sepihak, nasib kami sebagai komandan pasukan yang terkadang tak mujur membawa kami yang merasa bernasib sama untuk saling akrab satu sama lain. Meskipun Anya senantiasa mengibarkan bendera perang acap kali aku iseng meledek dan menantang suaranya.
"Akang dulu di Bandung ditanya sama pelatih akang, 'Kurniawan, mau jadi apa kamu setelah keluar dari sini?' akan jawab, 'siap, tidak tahu!'. Akang dulu nggak punya cita-cita. Karena akang sadar, akang lemah di bidang akademik. Kata guru matematika akang 'kamu tidak bisa menjadi orang sukses kalau kamu tidak pintar'. Tapi pelatih akang bilang sama akang, kalau akang nggak boleh menempatkan kesuksesan hanya berporos pada satu titik, pintar," ia menjeda kalimatnya.
Kami semua mendengarkan dengan seksama. Setiap kali Kang Akur bercerita tentang pengalamannya adalah bagian favoritku di setiap sesi latihan. Setiap ceritanya selalu berhasil menyihir kami dengan kekaguman. Membuat kami terhenyak pada alur yang dibuatnya. Cerita Kang Akur selalu dapat memberikan kami pelajaran dari setiap pengalaman yang ia bagikan. Tak jarang pula memberikan kami motivasi, inspirasi, serta semangat dan rasa bangga sebagai seorang paskibraka.
"Sukses itu tidak diukur dari seberapa pintar orang tersebut. Karena setiap orang punya bakat dan kelebihannya masing-masing. Ada yang punya kelebihan dalam akademik, ada yang berbakat dalam menciptakan seni dan karya, ada yang jago dalam berbahasa, ada juga yang diberi kelebihan dengan fisiknya. Karena itu, jangan minder jadi anak Paskibra. Semua pengalaman di Paskibra bisa kalian manfaatkan untuk menjadi apapun yang kalian mau. Paskibra bukan cuma soal baris-berbaris, tapi Paskibra mengajarkan tentang arti kebersamaan, disiplin, kekompakan, dan menghargai satu sama lain. Kalian bebas menentukan akan menjadi apa diri kalian di masa depan meskipun kalian tidak pintar dalam semua bidang."
"Bahkan menjadi presiden?" Silva bertanya.
Kang Akur menatap kami semua," bahkan presiden, tentara, polisi," Ia tersenyum. Ada jeda yang panjang sebelum ia berkata, "Mata-mata..."
...
Ada yang bilang kalau fase patah hati pada wanita itu, seminggu pertama adalah waktu dimana hati seperti baru saja digorok hingga membentuk sebuah lubang berdiameter dua puluh sentimeter hanya dengan kuku. Bukan main sakitnya. Sebulan pertama, fase dimana masih terlintas wajah sang mantan menghantui tiap-tiap malam. Fase-fase dimana sangat susah untuk move on. Baru sebulan berikutnya, hati akan mulai terbiasa dengan kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi hubungan yang mengikat. Fase ini adalah fase dimana para perempuan yang mengalami patah hati akan mulai bisa menghembuskan napas lega, dan membuka hati untuk berkelana mencari sebuah ikatan baru. Alias sudah move on.
Yah, terlepas dari apakah informasi itu benar berdasarkan bukti dari suatu penelitian atau hanya omong kosong belaka, aku sepertinya bisa berpendapat bahwa informasi itu sedikit ada benarnya.
Memang, dua hari ini aku seperti uring-uringan sendiri. Hati gelisah tak tenang. Sampai jantung berdebar-debar. Bukan karena sedih dicampakkan oleh si brengsek itu, tentu saja. Meskipun kemarin itu aku menangis karena sakit hati. Mohon dimaklumi. Cewek kalau emosi memang penginnya nangis.
Tapi, bukan itu yang membuat aku tidak bisa tidur dua harian ini. Bukan karena dicampakkan, bukan. Aku berani jamin pada siapapun yang tidak percaya. Tapi karena orang yang mencampakkanku itu. Orang itu, ah, setelah kejadian hari itu —kejadian dimana dia menamparku dengan sangat teganya— sekarang aku menganggap bahwa namanya sama terlarangnya dengan nama Voldemort. Tidak boleh disebutkan. Jijik sekali.
Lalu kenapa aku uring-uringan karenanya?
Tentu saja karena si brengsek itu harus minta maaf! Dia telah berselingkuh di belakangku, mencampakkanku, membentak dan bahkan menamparku. Jelas-jelas dia harus minta maaf kan? maksudku, orang itu tidak mungkin se brengsek itu sampai tidak punya motivasi untuk meminta maaf padaku setelah semua yang dia lakukan.
"Lo lupa? Orang brengsek itu bahkan tega nampar lo. Lo yakin dia nggak se brengsek itu?" Teresa, duduk di depanku sambil menyeruput kuah mi-nya.
Sore tadi, usai latihan paskibra anak itu sudah stand by di gerbang dengan mobilnya. Mau jemput sahabatnya yang dua hari kemarin tega banget mengusir dia, katanya. Aku sih pura-pura tidak dengar saja.
Teresa menerima kabar soal teror bom kemarin. Diantara banyaknya anak Andalas yang mendapat kabar secara online tentang penyerangan itu, hanya Teresa yang kutemukan reaksinya sesuai dengan dugaanku. Ia panik dan khawatir. Setelah mengetahui aku terlibat, ia langsung menjemputku disekolah. Memaksa akan main ke rumahku untuk memintaku menceritakan semua yang terjadi. Sekalian menemaniku yang tinggal sendirian.
Apa lagi? Tentu saja aku tidak punya alibi apapun untuk menolak. Hari ini, aku menceritakan semuanya pada Teresa sedetail mungkin. Bahkan sampai pada bagian di mana aku salah fokus di ruang kepala sekolah. Usai menceritakannya, sebagai tuan rumah yang baik, aku menyuguhinya dengan semangkuk mi instan buatanku yang sudah melegenda di antara semua teman-temanku akan rasa lezatnya. Bukan aku bermaksud tinggi hati, tapi terbiasa tinggal sendirian sejak aku masih kecil membuat tanganku jadi begitu ahli meracik rasa dan komposisi tambahan untuk mi instan.
"Gue kenal dia udah lama, sih," kataku.
Teresa memicingkan mata, "kok, gue curiga lo ada maksud lain deh selain cuma nunggu permintaan maaf Kak Djanu,"
Aku tersedak kuah mi-ku. Teresa ini bicara apa sih. Tidak masuk akal sekali. Mana mungkin aku ada maksud lain. Aku sepenuhnya menunggu permintaan maaf resmi darinya. Tidak, aku sama sekali tidak pernah berharap bahwa orang brengsek itu akan datang sambil menangis-nangis minta balikan denganku. Mengatakan bahwa ia menyesal dan telah khilaf karena memilih si bawang merah itu. Sungguh, aku tidak pernah mengharapkan hal itu.
Ah! Sepertinya aku memasukkan terlalu banyak cabai. Wajahku jadi panas sekali. "Ngomong apa sih, lo? gue jelas nggak mau balikan sama dia."
"Gue nggak bilang kalau lo mau balikan sama Kak Djanu, Ra."
Sial! Sepertinya memang terlalu banyak cabai.
"Tahu, kok," aku memalingkan wajah.
Ruangan makan yang kami tempati sangat sepi. Setelah aku dan Teresa tidak lagi membahas soal orang itu, hening menyergap kami seketika. Di rumah ini, suasana sepi layaknya kuburan begini sudah biasa. Aku sudah bilang, kan, aku yatim piatu. Ibuku meninggal saat aku berumur lima tahun, ayahku menyusul empat tahun setelah nya. Sejak saat itu, aku tinggal sendiri. Aku sempat dibawa ke rumah tanteku di Bandung, tapi setelah sebulan aku memilih untuk kembali ke sini dan tinggal sendiri. Tentu saja tidak sepenuhnya sendiri, saat aku jadi yatim piatu waktu itu umurku masih sembilan tahun. Tante menyetujui aku kembali ke Jakarta, tapi dengan syarat ada yang menemani.
Akhirnya, Om Hardi —adik dari ayah ku— bersedia mengurus ku. Om Hardi juga yang mengambil alih bisnis ayahku sementara, sebelum nantinya akan diserahkan kembali kepadaku ketika aku sudah cukup umur. Sampai sekarang harusnya aku masih tinggal bersama om Hardi, sebenarnya. Tapi karena seringnya beliau sibuk, aku membujuknya untuk kembali saja ke rumahnya yang lebih dekat dengan kantor ayah dan menjenguk aku seminggu sekali.
"Eh, tapi Ra," Teresa menatapku, "gue jadi kepikiran, katanya pas lo debat sama Kak Djanu bom nya meledak. Terus, gimana caranya lo bisa selamat?"
"Ya, di detik-detik terakhir itu, gue sempat refleks lempar bom nya keluar jendela, sih. Kayaknya bomnya meledak di tengah lapangan upacara, soalnya suaranya masih kedengaran keras banget. Kalau orang itu nggak narik gue, kayaknya gue bakal kena deh," ceritaku. Aku memang sempat melempar bom itu ke luar jendela. Kebetulan sekali di depan jendela ruang UKS adalah lapangan upacara. Jadi bangunan sekolah nggak rusak-rusak amat. Sebagai gantinya, lapangan kami hancur dan berlubang-lubang. Saat itu, kalau orang brengsek itu tidak menarikku hingga kami tersungkur kelantai dan melindungiku dengan lengannya, aku mungkin sudah luka-luka kena hujanan batu.
Teresa bergumam menanggapiku. "Terus, gimana? Lo udah ketemu lagi sama Kak Djanu?"
Ini dia! ini dia masalahnya!
"Dia tuh kayak hilang ditelan bumi, Te. Nggak ada dimana-mana. Nomornya bahkan nggak aktif sampai sekarang," aku menunjukkan ponselku yang tengah memanggil nomor orang itu. Namun yang mengangkat justru adalah suara operator wanita mengatakan nomornya tidak aktif. Aku juga bercerita padanya bahwa rumahnya mendadak kosong. Aku sempat iseng-iseng lewat rumahnya pagi tadi, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan disana. Mendadak juga, seluruh teman-temannya hilang kontak dengannya. Tidak ada satupun orang yang pernah bertemu dengan orang brengsek itu setelah kejadian di hari kelulusan itu. Dia benar-benar menghilang dari jangkauan radar semua orang.
Teresa tidak mengatakan banyak hal selain respon "terus?", "Jadi" dan "oh". Dia bilang, "ya, orang yang diusir waktu kejadian perkara nggak akan tahu jawaban dari pertanyaan lo!" sekali lagi, aku pura-pura tidak dengar.
Teresa pulang setelah kami berbincang-bincang sedikit. Basa-basi, biasalah. Beberapa menit setelahnya, Om Hardi datang. Dia bilang mau menginap disini menemaniku. "Mumpung libur. Om nggak tega kamu sendirian terus," aku hanya tersenyum saat dia berkata begitu.
Omong-omong, aku tahu dari Teresa kejadian waktu kelulusan itu ditutupi. Rupanya, semua guru termasuk kepala sekolah yang waktu itu ada di podium saat ledakan selamat. Aku bingung bagaimana bisa itu terjadi —karena rasanya sangat tidak mungkin, tapi aku juga sudah terlalu malas untuk peduli dan mencari tahu. Kepala sekolah kami mengeluarkan banyak dana untuk membuat agar berita itu tidak tersebar keluar lingkungan Andalas. Itu sebabnya Om Hardi tidak tampak khawatir. Informasi Teresa membuatnya terasa wajar.
Sekarang, yang tidak wajar adalah seluruh respon anak-anak Andalas yang mengetahui hal itu. Terkecuali Teresa, tentu saja. Semuanya tampak tidak terkejut. Sampai sekarang aku heran setengah mati, kenapa Anya tidak menanyakan apapun soal kejadian teror dua hari kemarin, padahal aku yakin dia tahu kalau aku sempat terlibat. Kenapa juga semua rekan-rekan Paskibra tidak ada yang bertanya-tanya saat melihat aula dan lapangan upacara hancur lebur. Sampai-sampai kami harus berlatih di lapangan basket yang letaknya ada didalam yang dikelilingi oleh gedung Andalas. Dan, yang lebih aneh lagi, kenapa aku latihan paskibra padahal baru dua hari kejadian itu berlalu. Kenapa semua orang menganggap seolah-olah kejadian itu sudah biasa terjadi seminggu dua kali.
"Kayaknya semua kaset yang om bawa udah kita tonton. Kamu nggak ada kaset punyamu? yang mau kamu tonton?" Om Hardi sedang duduk di karpet mengobrak-abrik album kaset film koleksi nya. Kami berencana nonton film. Om Hardi sudah membawa alat-alat lengkap seperti camilan dan dua botol minuman soda.
Aku tidur terlentang di sofa panjang. Malas untuk bergerak, kutunjuk tangga menuju lantai dua yang ada di belakangku tanpa menoleh, "di kamar Ara kalau nggak salah ada kaset film di meja belajar. Punya Teresa. Film Korea tapi. Kalau mau, om ambil ya, Ara capek."
"Oke aja. Bentar ya," Om Hardi beranjak menaiki tangga ke kamarku. Aku mengacungkan jempolku padanya.
Ponsel ku bergetar tidak lama setelah Om Hardi naik keatas. Sebuah notifikasi pesan muncul dilayar ponselku.
---
PASKIBRA ANDALAS
Silva Kanindra : terjadi lagi, rekan-rekan.
Ardi Riski : kakak gue dulu sekolah di Andalas juga. Katanya, dia sudah feeling kalau tahun ini bakal kejadian juga.
Dean Sawangga : siapa kira-kira kandidatnya?
Silva Kanindra : gue.
Reka Tsanita : gue.
Ardi Riski : ah, gue kali.
Faradita Anya : ngarep lu pada.
Faradita Anya : bukannya udah jelas.
Faradita Anya : [at]Auroraa
Dean Sawangga : katanya anda terlibat, bagaiman tanggapan anda saudari Aurora?
Silva Kanindra : bagaimana tanggapan anda setelah diisukan menjadi kandidat?
Ardi Riski : apakah anda sudah mendapat surat pernyataan dari organisasi tersebut?
Faradita Anya : [at]Auroraa gue bantu tag orangnya.
Aurora Bhayangkari : pada ngomong apa, sih?
Aurora Bhayangkari : apa yang terjadi lagi? Kandidat apa?
Aurora Bhayangkari : surat?
Faradita Anya : lho, lo nggak tahu? Sekolah kita kan memang sudah biasa ada kejadian-kejadian aneh. Tapi nggak pernah heboh masuk berita.
Reka Tsanita : habis itu, tiba-tiba ada yang pindah sekolah. Tahu-tahu lost contact Aja. Nggak bisa dihubungin. Ini sudah rumor dari lama kali, Ra. Lo kemana aja?
Aurora Bhayangkari : rumor?
Silva Kanindra : katanya, ada organisasi rahasia yang suka narget anak-anak sekolah kita buat direkrut jadi mata-mata. Makanya suka ada kejadian aneh tapi nggak pernah heboh. Terus tiba-tiba ada yang pindah sekolah terus nggak bisa dihubungin lagi.
Ardi Riski : nama organisasi nya...
Faradita Anya : bawah ranah
Faradita Anya : bawah rumah
Reka Tsanita : bawah bantal
Dean Sawangga : bawah selimut:-)
Ardi Riski : tetangga::-)
Faradita Anya : BAWAH TANAH. ngaco lo semua.
Dean Sawangga : ih, Atut:-(
Reka Tsanita : jijique
Faradita Anya : gimana, Ra? lo dapat surat-surat aneh apaa gitu, nggak?
Ardi Riski : sudah terlibat, masa nggak dapat. Dapat ya lo? kandidat beneran ya lo?
Aurora Bhayangkari : apaan, sih, lo semua? Gue nggak dapat surat apa-apa. Gue bukan kandidat apa-apa. Jangan pada ngaco, deh.
Dean Sawangga : sayang sekali pemirsa.
---
Aku melempar pelan ponselku ke karpet bulu di depan sofa. Kupikir apa. Rupanya hanya omong kosong. Rumor-rumor soal Bawah Tanah memang sudah ada sejak pertama kali sekolah ini berdiri. Aku pernah mendengar beberapa kali orang membicarakannya.
Tapi, yang benar saja, mana mungkin organisasi semacam itu sungguhan ada. Selama ini tidak pernah ada bukti apapun yang dapat membenarkan keberadaan organisasi itu. Pemerintah juga tidak pernah berkata apa-apa soal adanya organisasi rahasia Bawah Tanah yang digadang-gadang berada dibawah naungan salah satu badan negara, BIN. Mungkin Bawah Tanah hanya cerita karangan orang gabut yang terlalu kreatif saja. Itu jelas-jelas tidak masuk akal.
Dan lagi, kalau dengan adanya rumor itu kalian meminta aku untuk percaya bahwa kejadian traumatis nan menegangkan kemarin adalah rekayasa pemerintah untuk merekrut calon mata-mata. Maaf-maaf saja, aku pikir itu terlalu tidak masuk akal bahkan untuk sekedar cerita karangan. Maksudku, kejadian itu benar-benar terjadi. Bomnya benar-benar meledak dan menghancurkan aula sekolah ku. Aku juga sungguhan kena trauma. Asal tahu saja, lepas dari kejadian itu aku jadi mudah sekali terkejut dan panik tiap kali mendengar suara yang keras. Itu tidak mungkin hanya rekayasa belaka. Maksudku, yang benar saja!!
"Raa," kudengar suara Om Hardi berteriak. Dia masih diatas. Om nyari apa, sih, di kamarku. Lama sekali.
"Iya, om, Kenapa?"
"Ada tiga kasetnya. Kamu mau nonton yang mana?"
"Bawa aja semua, om," aku berteriak. Tidak ada niatan untuk nonton film Korea sebenarnya. Tetapi Teresa terus mengatakan kalau kali ini filmnya sangat recommended. Aku pasti suka, ia bahkan berani bilang begitu saking inginnya aku menonton film itu.
Aku menoleh sedikit kearah tangga. Om Hardi belum juga turun. Dia sedang apa sih.
"Aurora," itu om Hardi, kembali berteriak. Aku bangun dan duduk menatap tangga.
"Kenapa om?"
Tak lama kulihat pria yang punya bentuk wajah identik dengan ayah itu keluar dari pintu kamarku. Di ujung tangga, ia menatapku dengan senyum aneh. Tangannya disembunyikan dibalik punggungnya. Menatapku dengan tatapan yang, gimana gitu. Aku sulit mendeskripsikannya saking anehnya ekspresi Om Hardi.
"Kenapa, om?" tanyaku lagi. Entah perasaanku saja atau memang ia tengah berusaha menahan tawa.
"Kamu punya pacar?" tanyanya. Ada diam yang sangat panjang setelah itu.
Apa sih.
"Hah?"
Kemudian ia mengeluarkan tangannya dari balik badannya. Sekarang aku bisa melihat apa yang selama ini Om Hardi sembunyikan. Sebuah surat. Berwarna merah muda. Dan senyum om Hardi semakin lebar ketika melihat aku begitu terkejut.
Mungkinkah itu ... dari orang itu...
Aku segera beranjak. Ingin sekali berteriak. Tapi tiba-tiba saja aku kehilangan kemampuan untuk bersuara. Karena setelah aku berlari menaiki tangga. Setengah jalan, kakiku seperti dipaksa berhenti saat om Hardi tiba-tiba tertawa, dan berkata,
"Jadi, siapa, nih, Bawah Tanah?"
Mendadak aku merindukan Anya.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top