16. Aren dan Keanehan

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

Diantara anak-anak baru, ada satu orang yang sangat berbeda, aneh dan tampangnya seperti tampang kutu buku yang minta dirisak. Panggilannya Aren. Tapi sebenarnya namanya cukup keren, Clarence Maretta, cewek bertubuh tinggi asal Ambon yang kalau bicara logat ke-ambonannya tidak hilang.

Ada isu kalau Aren ini penderita autisme yang terobsesi dengan serial Detektif Conan dan bercita-cita menjadi agen rahasia. Tapi karena orang-orang tidak percaya bahwa penderita autisme dapat memiliki nilai IQ yang sesuai standar, maka muncul satu isu miring lainnya kalau sebenarnya Aren ini anak autisme dari pasangan konglomerat yang tidak disebutkan namanya dan karena keluarganya kaya hampir tiga turunan, mereka menyogok instansi Bawah Tanah untuk memasukkan Aren ke sekolah ini.

Hampir semua orang mempercayai isu itu dan menjauhinya, menatapnya dengan sinisme dan berbicara tentangnya di belakang punggungnya. Aku sendiri memandang isu yang berkembang sebagai olok-olok biasa dari anak-anak jahat yang gatal melihat orang seperti Aren. Aku juga tidak heran mengapa semua orang menganggapnya begitu. Dari penampilannya saja yang terbelakang, sudah membuat semua orang serentak ingin mengucilkannya. Bayangkan saja, di era moderenisasi abad 21, masih ada orang yang memakai kacamata bulat berlensa super tebal dan memiliki rantai, lalu anting bulat plastik yang berwarna-warni, kaus kaki di atas lutut dengan motif garis-garis hitam putih dan rambut ikal coklat kemerahan bekas keranjingan berjemur di bawah matahari yang seringnya dikepang dua kanan dan kiri. Berkat penampilannya yang nyeleneh, seragam super keren Bawah Tanah jadi tampak sampah dipakai olehnya.

Aku sering memperhatikannya dan bertanya-tanya bagaimana cara kerja otaknya ketika dia berkaca di pagi hari dan melihat pantulannya yang seperti ondel-ondel taman Lawang tapi tetap percaya diri untuk berjalan menuju kelas dan belajar bersama kami. Setiap aku memperhatikan sosok Clarence Maretta yang buta mode, aku juga sering menangkap Anya memperhatikanku dan biasanya dia akan bertanya, "lo tertarik banget sama dia, kenapa nggak nyoba temenan?"

Saat itu ku jawab, "sejak kapan gue suka sama ondel-ondel?"

Jangan tersinggung dengan jawabanku.

Meskipun aku bukan tipe anak Borjuis angkuh yang suka merisak anak orang hanya karena berkacamata dan penghuni dunia buku-buku tebal, aku juga bukan anak berhati malaikat yang tidak jijik meskipun harus berteman dengan bocah ingusan secara harfiah. Lagipula, menurutku bukan hanya penampilan Aren saja yang bermasalah, melainkan sikapnya juga. Di hari pertama kami melakukan kegiatan olahraga wajib, kami hanya disuruh joging mengelilingi lapangan basket outdoor  yang sama dengan yang kemarin ketika kulihat para senior sedang lari pagi. Bukan lapangan lari super luas yang kemarin di pakai untuk tes kebugaran. Baru dua keliling, aku melihat Aren terseok-seok di pinggir lapangan. Karena kulitnya yang pucat ada semburat merah di hampir sebagian wajahnya. Bajunya basah, jalannya kian tak berpijak dan luntang-lantung, tak lama kemudian aku lihat dia terjatuh. Tapi bukan pingsan. Dia ngesot untuk mengelilingi lapangan dengan sisa-sisa tenaganya. Aku dan anak-anak lain hanya melihatnya sekilas kemudian melewatinya.

Jangan pertanyakan dimana simpati kami, kumohon.

Guru kebugaran kami, Pak Frans, lelaki awal tiga puluhan yang punya badan super atletis, berkulit eksotis dan berwajah tegas langsung meniup peluit dan membentak-bentak begitu melihat Aren kini merangkak. Saat itu aku ingat dia berkata, "hei! Kamu sedang apa? Cepat bangun! Lari!"

Lihatkan?

Bahkan guru di sini tidak punya belas kasih. Jadi, wajar kalau semua orang disini bersikap tidak peduli.

Sebenarnya, bukan itu alasan utama aku mengacuhkannya. Tidak seperti Anya yang —secara mengejutkan— tidak peduli berapa puluh kali dia melewati Aren yang terlihat seperti orang sekarat, matanya bahkan tidak melirik sedikitpun ke arah gadis itu. Wajahnya keras seolah tidak ada Aren di sana. Dibandingkan dengan cewek itu —yang sekarang aku yakini adalah seorang sosiopat—  Aku tentu masih lebih manusiawi. Begini-begini, aku masih punya hati dan setidaknya ada sedikit rasa kasihan ketika melihat dia sudah tidak punya daya untuk menggerakkan seujung jaripun. Lagi-lagi, ini semua karena aku yang gagal paham dengan pola pikirnya. Maksudku, kalau manusia normal mungkin akan berhenti, mengangkat tangan dan meminta izin untuk beristirahat di UKS. Walau aku tidak yakin Pak Frans akan mengizinkannya. Aku bahkan berpikir kalau pura-pura pingsan adalah opsi yang lebih baik daripada harus mengelilingi lapangan dengan merangkak. Tapi sepertinya otak Aren tidak sampai pada pemikiran itu. Dan aku benci semua orang yang bertingkah bodoh sepertinya.

Bukan hanya itu saja yang membuatku enggan untuk berkawan dengan cewek nyeleneh itu. Aku pernah lihat dia tidur di kelas dengan aliran sungai diujung mulutnya. Aku juga pernah lihat Aren berbicara sendiri sambil memukul-mukul kepala. Semua sikapnya yang aneh itu menjauhkan dia dari semua orang. Aku tidak bisa menyalahkan si penyebar isu miring karena Aren memang terlihat begitu. Tapi sisi baik yang tidak semua orang notice, sebenarnya, Aren itu cukup pintar. Dia bisa memecahkan kasus di kelas Studi Kasus dan kudengar ia ikut kelas intensif pemrograman.

Kelas Studi Kasus adalah kelas yang paling kusukai, sejauh ini. Selain karena gurunya menyenangkan, itu karena aku bisa pamer kemampuan. Iya, selain Aren, aku juga pernah memecahkan satu kasus rumit. Di kelas ini, kami diberi map berisi banyak data sebuah kasus. Lalu diminta mencari penyelesaian masalah dengan logika berdasarkan bukti yang ada. Dalam beberapa kasus rumit, kami bahkan diizinkan untuk melakukan riset kecil-kecilan.

Pada dasarnya, semua anak murid di Bawah Tanah itu punya kemampuan nalar dan inteligensi di atas rata-rata, tapi di kelas Studi Kasus ini kentara sekali siapa-siapa yang paling menonjol. Aku tidak perlu menyebutkan diriku karena tentu saja aku akan termasuk. Tapi aku juga bisa menyebutkan Aren sebagai salah satunya karena —tidak seperti rumornya— gadis itu cukup pintar.

Suatu hari, pagi-pagi berikutnya di kelas olahraga wajib, Aren di belakang sudah sempoyongan di tengah-tengah menuju putaran ketiga. Aku melihat Pak Frans dengan urat-urat yang timbul tengah mengawasi siswa lain yang jarak larinya sudah jauh dari Aren. Kalau sampai ngesot mungkin dia akan diteriaki lagi. Aku biasanya tidak punya motivasi untuk peduli pada urusan orang lain, kecuali itu hal yang menyangkut nyawa atau benar-benar genting. Prinsipku, selama masih bisa dilakukan sendiri, maka lakukan sendiri. Tapi entah kenapa hari itu aku bimbang. Aku berlari dua langkah ke depan dan belum berapa lama aku juga mundur dua langkah sebelum akhirnya memilih untuk kembali maju dan berhenti tepat disampingnya. Aren melirikku sejenak yang berlari kecil di sebelahnya.

"Hai, hh ... Hh ...," Sapa nya sambil ngos-ngosan, "apa aku terlihat kacau? Hh ... Hh ... Ini memang agak melelahkan, bukan? Aku selalu buruk dalam hh ... olahraga hh ... Hh ... tapi orang-orang tampaknya tidak punya masalah dengan itu. Kamu sendiri kelihatan sangat bugar. Ah ... Hh ... Aku iri—"

"Berhenti saja."

Gadis berkepang itu cengo, "hah?"

Aku heran dengan kepribadiannya yang seperti orang tolol. Padahal, di kelas studi kasus, dengan kacamata bulat miliknya ia terlihat sangat jenius. Sungguh.

"Berhenti," sahutku, "kalau capek berhenti saja. Jangan ngesot di lapangan dan ngalangin orang!"

Dengan muka bodohnya, aku tidak yakin apakah dia mengerti kata-kataku atau tidak. Tapi setelah aku berlari meninggalkannya tanpa pernah menaruh peduli lagi, kulihat Aren masih mencoba untuk berlari. Tapi yang berbeda, ia tidak lagi ngesot atau merangkak.

...

Empat hari melewati rutinitas Bawah Tanah tidak terlalu berat. Secara keseluruhan, aku merasa seperti berada di sekolah biasa. Jujur, ini di bawah ekspektasiku. Tapi meskipun begitu ada saat-saat tertentu di mana aku merasa bahwa aku sedang berada di sekolah elit pemerintah yang dikhususkan bagi anak-anak pilihan. Sejak masuk sini, kadar kesombonganku memang rada meningkat. Mungkin itu karena Zero bilang tidak semua orang bisa masuk sini dan jumlah murid yang sedikit mengindikasikan fakta tersebut. Membuat aku merasa ... Spesial.

Masa-masa itu adalah satu-satunya masa di mana aku bisa benar-benar bersyukur telah memilih untuk menerima beasiswa aneh yang dikirim dengan gaya surat cinta itu. Tapi di satu titik kehampaan yang kadang bertandang di malam di mana hanya ada aku dan pikiranku, aku merasa sungguh tersiksa atas rindu yang meruah. Aku merindukan rumahku yang sepi, kamarku yang hening, film Thailand, teh, dan setumpuk mi instan di dapur. Kadang kala juga aku merindukan Teresa dengan kecerewetannya. Aku gemas ingin mengambil ponselku dan curhat semua yang telah aku lalui di sini. Tapi sayangnya aku tidak bisa. Sejak menandatangani lembar kesediaan siswa, memori dan kartu teleponku diganti dengan yang baru. Yang hanya berisi kontak keluarga untuk menghindari penyadapan. Kartu sebelumnya hanya bisa dipakai ketika libur semester. 

Jam sepuluh pagi adalah waktunya rehat dan makan siang. Aku biasa berisitirahat dengan Anya. Masuk sini, tidak benar-benar membuatku bertambah teman karena selain muridnya sedikit, kebanyakan dari kami memiliki satu kesamaan, buruk dalam sosial. Ya, walau tidak semua. Seperti Anya, cewek mata sinis yang kutemui di kelas beberapa hari lalu, dan beberapa lainnya yang punya kepribadian supel.

Bawah Tanah punya sebuah kafetaria besar di lantai dua. Terdiri dari kios-kios makanan yang sangat aku syukuri karena semuanya gratis. Sekadar informasi, beasiswa yang ditawarkan Bawah Tanah bukan sekedar sekolah gratis dengan resiko besar saja. Tapi mencakup kebutuhan hidup seperti konsumsi. Untuk fasilitas daring, ada WiFi yang disediakan untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar. Aku rasa mungkin ini sebabnya murid di sini terlampau sedikit. Butuh dana yang besar untuk menunjang pendidikan dan kebutuhan kami.

Aku duduk di salah satu meja dengan Anya. Di depanku ada semangkuk mi instan yang dimodifikasi dengan telur, cabai rawit dan taburan sosin. Sementara di depan Anya ada nasi uduk, telur balado dan sekumpulan lalap.

"Kenapa lo nggak pernah berubah, sih? Mi lagi?"

Aku menyuap makananku dengan tak acuh, "ini makanan favorit gue dari lahir. Dimanapun, kapanpun, emang paling enak mi."

Anya merutuki jawabanku, "kasian amat temen gue yang nggak pernah ngerasain masakan selain mi. Ntar kapan-kapan gue bawa lo ke rumah deh, biar ngerasain itu yang namanya masakan rumah."

Aku tidak membalasnya lagi dan makan dengan tenang. Terhitung tadi malam aku mengalami gangguan tidur karena otakku yang terus aktif. Aku memikirkan banyak hal termasuk perasaan sentimentil tentang kerinduan. Kadang-kadang aku merasa kesepian dan sangat ingin bercerita pada Anya. Tapi aku tidak terbiasa berbicara tentang perasaan padanya.

"Kenapa lo ngeliatin gue?"

Aku memalingkan pandanganku. Terkadang, untuk jujur pada seseorang tentang perasaan itu sulit. Meskipun orang itu adalah Anya yang notabenenya adalah orang terdekatku di sini. Aku tidak tahu harus bagaimana ketika aku menatap matanya yang penasaran dan suaraku tercekat di pangkal tenggorokan. Hingga hanya kesunyian aneh yang terasa di antara kita.

"Nggak, gue baru ngeh lo kalau makan suka kayak orang kelaparan tiga bulan," celetukku asal. Anya melotot tapi tidak berkata apa-apa. Aku langsung membelokkan topik, "udah milih program studi?"

Anya melirik sekilas sebelum mengangguk.

"Apa?"

"Berkuda."

Ah, ya. Tentu saja. Berkuda. Mas Raga.

"Hanya itu?"

"Memang Mas Raga jadi pembina program studi apa lagi selain berkuda?"

Aku menatapnya jijik. Di Andalas, ada istilah aneh untuk orang yang hidupnya hanya berpikir soal cinta. Kalau tidak salah namanya 'bucin', aku pernah disebut sekali oleh Teresa saat masih punya hubungan dengan dia-yang-tidak-boleh-disebutkan-namanya. Tapi, setahuku istilah bucin hanya disebutkan untuk orang yang pacaran. Aku tidak tahu apa istilah itu berlaku untuk Anya yang —kurasa— tidak punya hubungan apa-apa.

"Lo pilih kelas apa?"

Berbanding terbalik dengan Anya yang sudah menentukan pilihan, formulir program studiku masih teronggok tanpa isi di atas meja di kamar asrama. Aku belum tertarik dengan semua kelas intensif soft skills seperti menjahit, rias, atau yang lainnya. Tapi sebenarnya aku sedang mempertimbangkan kelas intensif beladiri silat. Beberapa bulan sebelum aku masuk sini, aku nonton maraton semua film Iko Uwais dan terpukau. Aku mau coba belajar dan langsung mempraktekkannya kepada dia-yang-tidak-boleh-disebutkan-namanya seandainya kita bertemu lagi.

"Gue pengen coba silat, sih."

"Silat? How klise. Kenapa nggak coba karate, taekwondo, kungfu?"

Karena Iko Uwais penggerak silat. Bukan karate, taekwondo, ataupun kungfu.

"Cintailah produk Indonesia, Faradita Anya yang Indo tulen."

Anya berdecih, "lo yang blasteran nggak usah sok keIndoan."

"Heh, blasteran pala lo peang. Gue Indo tulen ya!" Sanggahku, sedikit kaget. Jadi selama ini Anya menganggap aku setengah pribumi setengah asing?

"Lah, kalau bukan blasteran terus kenapa rambut lo coklat, terus kulit lo putih amat. Gue udah curiga dari dulu lo itu keturunan penjajah kan? Ngaku lo!"

"Buset! Mana ada penjajah dengan jiwa sepatriot gue?! Kalaupun iya gue blasteran, gue cinta tanah air, kali. Sampai punya cita-cita jadi tentara cuma demi melindungi tanah air kita tercinta."

"Iya, iya, mbak calon tentara," aku tidak suka Anya yang mengatakan itu dengan sorot jenakanya. Padahal kan, cita-citaku itu serius. Aku masuk SMA Andalas yang merupakan SMA semi militer. Bahkan sampai jadi anggota paskibra. Itu semua sebagai bekal untuk menunjang latar belakangku agar kemungkinan lolos seleksi lebih besar.

"Lagian, kenapa sih lo pengin banget jadi tentara? Lo kan pinter. Dengan nilai lo, gue rasa masuk UI kedokteran bisa, deh. Kenapa nggak nyoba ngelanjutin ke univ?"

Brakk!

Sebelum aku sempat menjawab, suara bedebum yang keras diikuti dengan suara pecahan dan kelontang besi yang beradu dengan lantai menarik perhatian semua orang. Tak lama dari suara yang mengejutkan itu, suara bentakan nyaring terdengar. Aku menoleh pada asal suara. Sebuah meja di belakangku yang jaraknya tak jauh. Mungkin hanya lima atau enam meter. Di sana, aku melihat cewek mata sinis dengan para antek-anteknya sedang berteriak-teriak marah pada anak perempuan yang duduk menunduk dalam ringkukkan ketakutan.

Dari rambutnya yang berkepang dua, aku tahu itu adalah Aren.

...

"Anak idiot kayak lo tuh nggak pantes ada di sini!"

Aku berbalik dan menghadap mangkuk makananku. Menciduk mie beserta kuah dan irisan rawit dengan sendok kemudian memakannya dalam diam. Sebelah tanganku yang lain mengetuk-ngetuk meja sementara otakku menghitung berapa kali aku mengetuk meja itu. Pelan dan konstan.

Satu

Dua

"Ra, itu Aren ..."

Pernahkah aku mengatakan mi kuah ini akan menjadi dua kali lipat lebih enak ketika aku memakannya dengan hasrat yang membara?

Ah, kurasa belum.

Karena perpeloncoan di belakang baru saja terjadi. Aku kasihan pada Aren yang berteriak meringis kesakitan karena entah apa yang telah dilakukan para perisaknya di belakang punggungku. Anya berwajah penasaran memandang ke belakang tubuh ku. Ya, seperti yang kuduga. Tidak ada sorot kasihan pada netranya yang hanya memandangi kejadian di belakang sana seolah seni pertunjukkan drama spontan.

Tiga

Empat

Mi kuah ini sungguh enak. Aku melahap satu suapan komplit lagi sembari masih mengetuk meja. Sekarang sudah hitungan keberapa? Apakah sudah sepuluh ? Aku sangat menyukai angka sepuluh.

"Akh ... Ampun."

"Bangsat kayak lo berani-beraninya ngelawan gue, hah?!"

Lima

Enam

Tujuh

Di Andalas, tepatnya di kesatuan paskibra, sepuluh hitungan jadi tolak ukur sebuah kegiatan dilakukan. Seperti sepuluh hitungan harus sudah baris di lapangan, sepuluh hitungan harus sudah kembali ketempat dengan posisi sikap sempurna, sepuluh hitungan harus sudah kembali ke kelas dengan posisi duduk siap. Aku sangat menyukai sepuluh hitungan. Karena ketika aku memberi perintah sepuluh hitungan pada pasukanku, mereka akan melakukan nya sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Delapan

Sepuluh hitungan adalah ambang batas kesabaranku.

Sembilan

Sepuluh hitungan adalah waktunya untuk berhenti.

Sepuluh

"Wah, gila tuh cewek— eh, Aurora!"

Aku tidak menghiraukan panggilan Anya yang terkejut ketika aku bangkit dari kursiku dan berjalan cepat kearah pertunjukkan. Aku juga tidak menghiraukan mata-mata penasaran siswa-siswa Bawah Tanah yang hanya memandangi tanpa bertindak dengan sangat pengecutnya.

Yang kutahu, setelah aku berdiri, aku berjalan dengan wajah keras kearah cewek mata sinis dan Aren yang sekarang kulihat sudah tidak berbentuk. Sangat mengenaskan. Kemudian ketika aku semakin dekat dan cewek mata sinis itu menyadari kehadiranku dan menoleh sesaat, aku tidak menunggu sepatah katapun darinya. Tanganku bergerak sendiri menarik rambutnya ke belakang. Tidak peduli dia berteriak dan meronta kesakitan.

"Emangnya lo siapa, sih? Sampai orang-orang harus pada takut sama lo?"

Antek-anteknya yang terdiri dari dua orang menatap beringas padaku. Sudah berancang-ancang akan menyerang. Tetapi ketika aku menekan kepala cewek mata sinis ini hingga tertunduk kebawah dan memelototi mereka dengan menantang, mereka langsung ciut dan mundur dua langkah.

Ah, payah.

Aku merasakan sakit di kuku jempolku.

"Ah, bangsat!"

Dasar cewek mata sinis sialan! Pintar sekali dia menarik kukuku ke atas saat aku sedang lengah untuk melepaskan diri. Padahal kan aku suka wajahnya yang menghadap ke bawah seperti tadi. Jauh lebih enak dipandang.

"Lo yang bangsat! Apa-apaan lo, hah?!"

Aku mendengar gemuruh kerusuhan dari arah aku datang. Rupanya Anya menyusul kemari, "Ra, lo ngapain?!"

Tidak kuhiraukan ia dan maju menantang si mata Julid ini,  "lo datang dari kampung, ya? Pantesan. Gue kasih tahu sama lo ya. Bully-bullyan itu udah nggak zaman di kota. Jadi stop, deh. Gangguin orang lagi makan aja."

"Emang kenapa, hah?! Gue ini keponakannya kepala sekolah disini. Gue pantas ngelakuin apa aja yang gue mau. Sekarang gue mau duduk di meja ini. Jadi kalau gue bilang dia harus pergi ya pergi!"

Jawabannya membuatku murka, "heh, keponakan kepala sekolah, gue tahu lo bego, tapi jaga image dikit dong! Meja di sini kan banyak. Kalau lo nggak bisa ngitung, seenggaknya mata lo bisa lihat kali. Atau mata lo itu sebenarnya katarak ya, sampai nggak lihat kalau meja lain masih pada kosong?"

Wajah si keponakan kepala sekolah itu memerah murka. Dia kemudian berteriak kesetanan membuatku membelalakkan mata akan tingkah menjijikkannya, "gue maunya disini!"

Tanganku bergerak sendiri lagi. Kali ini menabok wajahnya. Lolongan heboh massa terdengar ketika si keponakan kepala sekolah tersungkur ke lantai. Anya sampai ternganga.

Jangan tanya aku. Aku pun sama terkejutnya.

Di tengah-tengah itu semua, tiba-tiba saja kehebohan lain timbul. Khalayak ramai yang mengelilingi kami serentak menoleh ke satu arah dan berbisik-bisik. Aku menoleh juga. Mendapati kerumunan membelah ketika segerombolan orang berjalan di antara mereka. Ada tiga orang dalam gerombolan itu. Yang pertama kukenali sebagai guru olahraga kami, Pak Frans. Kemudian di samping kirinya kulihat Zero dan di samping kanan lelaki berotot itu cewek berambut bob yang membacakan janji siswa saat upacara penerimaan beberapa hari lalu.

"Kalian bertiga ikut saya ke ruang kesiswaan!" Katanya pada aku, Aren dan keponakan kepala sekolah itu. Suaranya bernada rendah, tapi dingin dan tegas.

Tepat ketika aku dan Aren hendak beranjak dari tempat kami, saat itu juga si mata Julid berdiri dan mengamuk. Berteriak-teriak tidak keruan padaku hingga Zero lekas turun tangan agar ia tidak melukaiku.

"Lo tuh nggak spesial," katanya sambil menunjuk mukaku, "lo bukan Kak Sarah. Lo nggak ada apa-apanya dibanding dia. Lo  bisa masuk sini cuma karena om gue suka sama lo. Lo nggak spesial!"

"Velidsa! Apa-apaan kamu?!" Bentak Pak Frans padanya. Urat-urat di dahinya terlihat dan membuatku ngeri.

Kakak tingkat satunya yang datang bersama Pak Frans menghampiriku. Selagi Keponakan kepala sekolah —yang ternyata namanya Velidsa itu— diseret paksa oleh Zero, aku dan Aren yang kepangannya sudah rusak sebelah digiring oleh kakak kelas ini mengikuti Pak Frans. Puluhan pasang mata mengikuti kemana kami pergi. Termasuk Anya yang kini memandangku khawatir. Aku menggenggam tangannya sejenak sebelum benar-benar pergi dari sana.

Sepanjang perjalanan aku dibuat risih dengan tingkah Aren. Gadis itu menggenggam erat ujung lengan seragam kemeja putihku, membuat sikuku gatal ingin menyodok tulang rusuknya. Tapi tentu saja tidak bisa karena aku sudah cukup terlibat banyak masalah karenanya.

"Ih, lepasin Ren," sentakku, mendepak lengannya dari area sikuku. Blazer biru dongker kutenteng di lengan kiriku. Seandainya tidak ada Pak Frans di depan kami, blazer itu pasti sudah melayang ke muka Aren.

"Ma-maaf," ia mencicit kecil.

Aku mengabaikannya dan berjalan lebih dulu. Tapi anak itu malah berlari dan kembali menempeliku.

"Apa sih?!"

Aren membetulkan letak kacamatanya, "aku tidak pernah punya seseorang yang yang akan berdiri di depanku seperti kamu. Keren kali kamu tadi. Makasih, ya."

Aku meniup poni depanku bosan. Siapa juga yang melakukannya untuk dirinya. Aku hanya tidak suka tentang bagaimana Velidsa-Velidsa itu bertingkah seolah dia adalah ratu dan yang lain adalah rakyat jelata yang harus menuruti semua permintaannya. Lagipula, dia hanya keponakan kepala sekolah. Bukan anaknya. Dan lagi, sekolah ini milik pemerintah bukan milik keluarganya. Aku heran kenapa masih ada orang yang selalu merasa lebih dominan terhadap orang lain hanya dengan bermodalkan nama keluarga, jabatan ayahnya atau harta warisan. Kenapa semua itu menjadi tolak ukur tinggi rendahnya derajat manusia. Karena seingatku dalam pelajaran HAM yang dibahas guru PPKN di Andalas, derajat, harkat dan martabat semua manusia itu sama.

"Ah, perkataan Velidsa tadi ... Tidak usah dimasukkan ke hati. Kurasa ia hanya iri. Tampaknya kamu benar seperti kabar burungnya."

Aku menghentikan langkahku. Menoleh kearahnya dengan alis terangkat, "kabar burung apa?"

"Oh, katanya, dua murid terbaik dikerahkan dalam perekrutanmu. Tampaknya, kepala sekolah kita —Pak Tahir— lumayan tertarik dengan kemampuanmu. Mungkin kamu akan jadi salah satu murid yang ditunjuk untuk mengikuti misi besar tahun ini. Sekarang, jujurlah, kemampuan apa yang kamu punya sampai—"

"Tunggu, tunggu," aku memutus racauan cepat nan tak bertitik Aren yang isinya membingungkan, "lo ngomongin apa? Dua murid terbaik? Siapa?"

Sedetik kemudian Aren meresponku dengan sangat berlebihan. Matanya membola hingga aku mengira mereka akan berguling dan keluar dari tempatnya. "kamu tidak tahu? Well, salah satunya sedang memunggungi kita."

Aku menatap kedepan. Ada empat orang yang memunggungi kami. Pak Frans, Velidsa yang terus meracau dengan suara cemprengnya, cewek janji siswa, dan Zero yang berjalan paling belakang. Kepalanya menoleh kearah kanan, pada jendela besar yang menyuguhi pemandangan taman Bawah Tanah. Tapi aku bisa melihat dengan jelas, matanya terpaku ke titik yang berbeda. Kearah kami.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top