9. Ruwet


Happy baca 💚
Sorry for typo
.
.
.





Senyum mengembang sempurna di wajah Erlangga mendengar jawaban Gistara. Awal yang bagus untuk sebuah kesepakatan. Kalau semuanya berjalan lancar, Erlan akan memaparkan syarat serta membawa Tara menemui notaris untuk menandatangani kontrak kerjasamanya. Jawaban Gistara lumayan menenangkan pikirannya, sementara ini Erlan merasa telah aman dari kejaran sang mama tentang ' kapan menikah?'

Erlangga akan mengatur jadwal pertemuan antara dirinya, Gistara dan keluarga mereka masing-masing. Meski pernikahan ini nantinya berjalan atas nama kontrak, tapi Erlan tidak boleh membuat kesalahan sekecil apa pun. Dia harus menciptakan suasana seakan dirinya dan Gistara memang benar-benar memiliki hubungan.

"Kalau gitu kapan kita bisa saling mengunjungi keluarga masing-masing, Gistara?" Adalah kalimat Erlan setelah sekian detik dia dan Tara sama-sama terdiam.

Gistara meresponsnya dengan kerutan kening. "Sebentar, kamu belum jelasin klausul kerjasama kita, aku mau tahu dulu, Mas." Memasang wajah tak sukanya menampani keagresifan Erlangga. Bagaimana pun Gistara harus memahami dulu poin-poin yang tertera dalam surat kontrak tersebut. Pasalnya dia akan menjadi pihak yang paling rugi ketika kontrak ini berakhir ; Gistara harus bersiap menyandang gelar sebagai janda. Jangan sampai klausul kerjasama yang dicetuskan Erlan akan lebih banyak menumpahkan beban kerugian bagi Gistara.

"Sure, kamu tinggal bilang kapan ada waktu, kita ke notaris saya, Tara."

"Sebelum ke notaris kamu pasti udah punya ancang-ancang isi kontrak itu kan, Mas? Bisa kasih lihat aku sekarang, kan?"

Erlangga menggeleng. "Enggak bisa, kamu baru boleh lihat kalau kita sudah sama-sama ke notaris, Gistara."

Satu kata dari Gistara untuk Erlangga ; Ribet! Apa susahnya tinggal menspoiler sedikit saja perihal isi kontrak pada Gistara? Ruwetnya Erlangga mengalahkan cewe Gistara rasa.

"Kalau gitu kasih aku satu alasan kenapa Mas Erlan bisa kepikiran punya ide nikah kontrak?" Cecar Gistara berapi-api. Kepalanya terasa berisik sibuk menciptakan hipotesa akan keanehan pada Erlangga. Seperti lampu yang dinyalakan otomatis pemikirannya menjadi terang, Gistara menatap Erlan disertai mata membias kaget. " ... jangan-jangan benar ya, Mas Erlan enggak normal?" Tebaknya terkejut.

Refleks jari Erlan menyentil kening Gistara - gerakan tak asing yang dulu acapkali lelaki itu lakukan pada Gistara versi kecil. "Kalau ngomong jangan sembarangan, Tara!" Erlan mendengkus. "Saya sangat normal!" Peringatnya pada Gistara.

"Kalau normal, kenapa Mas Erlan mau nikah kontrak? Kan, aneh?" Masih tidak habis pikir dengan ide 'gila' Erlangga.

Embusan napas terlepas dari rongga hidung Erlangga, lelaki itu melirik Gistara sinis lantas berujar, "Kamu tahu sendiri gimana mama saya kemarin waktu wedding party sepupu saya, kan, Tara?! Saya rasa kamu cukup peka dengan alasan saya ingin segera kasih menantu sama mama saya itu, ternyata pikiran kamu cetek sekali." Suaranya sinis sekali terarah pada Gistara.

Gistara melirik sangsi. "Cuma itu?" Rasanya sulit percaya alibi yang diucapkan Erlan barusan. Hanya ingin menghadiahi mamanya seorang menantu, lantas Erlan mengambil keputusan nekat semacam ini?

"Iya!" Erlangga menjawab singkat, tidak lupa memamerkan wajah datarnya. Gistara balas menatapnya dingin. Pikirannya berkecamuk sendiri.

Erlangga ini ... ganteng, tampilan rapi, kaya, mapan, dikira benar jodohnya, ternyata hanya numpang status doang.

"Gimana Tara, kapan kita bisa menindaklanjuti kerjasama ini?"

"Buru-buru banget sih, Mas Erlan? Aku mau tahu dulu, nanti setelah nikah, kamu enggak bakal ngapa-ngapain aku, kan?" Oke, kali ini Gistara ingin menampar bibirnya sendiri atas pertanyaan bodoh barusan.

Erlangga tertawa mengejek, "Tidak ada sentuhan fisik, tidak ada saling mencampuri urusan masing-masing, dan yang paling penting tidak ada yang akan jatuh cinta. Pernikahan ini cuma status, tanpa hati. Ingat tanpa perasaan, Gistara. Hanya sebatas status, tidak lebih!" Tegas Erlangga mengingatkan.

Sementara Gistara menanggapi kalimat jemawa Erlangga dengan decihan sebal, lantas menantang laki-laki 34 tahun yang sebentar lagi akan diklaim sebagai suami; andai semua ya berjalan lancar nanti.

"Berani taruhan, kalau sampai kamu yang terbawa perasaan duluan, kamu berani kasih apa ke aku, Mas Erlan?"

"Are you kidding me? Itu tidak akan pernah terjadi Gistara."

"Kenapa enggak?"

"Karena saya sudah punya..." Urung dilanjutkan. Erlangga menggeram sebal. Hampir saja dia keceplosan menyebut kalau sudah memiliki kekasih. Gistara tidak boleh tahu apa pun menyoal Naima.

"Sudah punya apa?" Selidik Gistara dengan tatapan curiga.

"Sudah punya surat kontrak yang akan kamu tanda tangani!"

"Oke, kasih aku waktu, aku butuh meyakinkan mama papa sebelum pertemuan keluarga kita. Udah enggak ada yang dibicarakan kan? Aku pamit balik ... Mas Erlan." Beranjak dari duduk, Gistara menganyun langkah tanpa perlu repot-repot menunggu jawaban Erlangga.

___

Velyn menatap putrinya penuh selidik. Sejak Gistara datang totalnya sudah hampir satu jam dia dicecar sang mama di ruang tengah. Sofa tunggal there seater yang saat ini diduduki Tara terasa seperti pengadilan dengan sang mama sebagai hakim dan dia tersangkanya.

"Jelasin yang detail sama mama, kenapa kamu tiba-tiba bilang mau nikah, Tara?!" Evelyn memasang wajah tak sabaran setiap kali mencecar anak gadisnya.

Gistara membuang napas. Sudah menebak jauh hari pasti mamanya akan bereaksi demikian ketika dirinya memaparkan rencana ingin menikah.

"Tara udah dewasa, kata mama sama papa juga gitu, kan? Daripada jadi beban kalian, mendingan Tara nikah aja." Ini bukan si ditanya, tapi lebih bisa dikatakan sebuah protes terselebung Gistara pada kedua orangtuanya. Punya anak semata wayang, tapi mama papanya selalu penuh perhitungan. Oke, Tara tahu dia beberapa kali berbuat salah, tapi apa salahnya kalau kasih kesempatan sekali lagi dengan mensupport berupa bantuan menangani masalahnya.

Gantian Evelyn membuang napasnya panjang. Wajahnya menyirat lelah terpancang ke arah sang putri.

"Please, Tara, jangan bikin mama emosi ya. Mama benar-benar tanya serius, orangtua mana yang enggak kaget dengar putrinya tiba-tiba memutuskan mau menikah, padahal selama ini hampir enggak pernah kenalin cowo ke mama papa?" Nada bicaranya penuh tuntutan, ingin mendapat jawaban yang pasti dari Gistara.

"Cepat jelaskan, siapa laki-laki itu? Gimana latar belakang keluarganya? Kerjaannya?" Bombardir cecaran masih keluar dari mulut Evelyn.

"Mama juga kenal kok, dia teman baiknya Mas Naka, yang dulu sering main sama Mas Naka. Mama enggak perlu khawatir soal latar belakang keluarganya, pendidikan atau kerjaannya. Yang pasti dia bakal kasih mahar three billion buat Tara kalau bersedia jadi istrinya." Tumpah ruah semuanya lewat penjelasan singkat Gistara pada mama.

Evelyn memasang wajah tak tenang. "Teman baiknya Naka? Siapa, Tara?"

Gistara menekuk wajah, bibirnya cemberut sempurna. Lelah memikirkan isi kontrak Erlangga, ditambah cecaran mama, menambah ruwet isi kepalanya.

"Mas Erlan," jawabnya pasrah. "Erlangga Putra Danapati." Menambahi dengan menyebut nama panjang Erlan. Berharap mamanya masih ingat dengan sosok Erlan yang sepuluh tahun lalu seringkali datang ke rumah Naka.

"Mama enggak terlalu ingat sama teman Mas-mu. Begini saja, kamu bawa Erlangga ke sini, kenalin sama mama papa dulu, baru kali bisa memutuskan untuk setuju atau tidak sama keputusan kaku itu, Tara."

Gistara mendongak, bukan tidak setuju dengan ucapan mamanya. Memang dia akan mengenalkan Erlan, membawa lelaki itu ke ruang ini. Tetapi untuk keputusan setuju atau tidak Gistara rasa tidak perlu pertimbangan kedua orangtuanya. Yang mau menjalani nantinya, kan, dirinya sendiri.

"Ma, enggak perlu pertimbangan lagi. Tara beneran mau nikah sama Mas Erlan."

Evelyn menggeleng pelan. "Lantas kami bakal biarin kamu diambil gitu saja? Tentu saja, enggak, Tara. Mama papa harus tahu dulu, Erlangga itu orangnya seperti apa." Evelyn mengangkat tangannya ke udara ketika Gistara ingin menyela. "Mama enggak mau didebat, pokoknya itu syaratnya kalau mau mama papa kasih restu sama pilihan kamu."

___

Kepulan asap rokok melikuk di sela jemari Naima. Rambut panjangnya dijepit pada bagian tengah mengenakan jedai - terkesan berantakan karena anak-anak rambut yang berlarian tertiup angin. Perempuan cantik itu menatap kosong ke arah jendela kaca apartemennya. Satu nama telah menganggu tidur nyenyaknya akhir-akhir ini. Gistara!

Sejak Erlangga menyatakan ide gila pada dirinya, Naima tidak bisa membohongi diri jika dia dikepung resah dan sakit hati secara bersamaan.

Erlangga adalah kekasihnya selama kurun waktu lima tahun ini. Tentu saja hubungan lama ini tidak berjalan mulus layaknya jalan tol. Beberapa kali sempat putus nyambung, hingga akhirnya Erlan sendiri yang mengatakan jika tidak bisa jauh dari Naima.

Umpatan terlontar dari bibir sensual Naima, mengingat rumitnya relationship yang dibangun dengan Erlangga. Andai saja tidak terganjal restu Ibu Suri alias mamanya Erlan, sudah pasti dia telah menyandang gelar sebagai nyonya Erlangga Danapati sejak beberapa tahun lalu.
Sayangnya hubungan ini terkendala restu mamanya Erlan. Perempuan paruh baya itu terang-terangan menyatakan rasa tidak sukanya dengan kedekatan Naima dan putranya.

Lantas, Naima bisa apa? Tidak ada nyali untuk meninggalkan Erlangga, selain rasa sayangnya, juga karena dia bergantung penuh pada lelaki itu. Hidup sebagai perantauan yang jauh dari keluarga membuat Naima sulit menanggalkan berbagai kemudahan yang dia dapat dari sang kekasih.

Naima berasal dari Solo. Salah satu kota kecil di Jawa Tengah. Perempuan dua puluh delapan tahun itu saat menginjakkan kaki di Surabaya terkenal sangat santun, lembut, gaya bicaranya lambat mirip putri keraton. Namun, kerasnya kota metropolitan mengubah perilaku Naima menjadi lebih berani. Gaya hidup dan berpakaian ikut tergerus pergaulan. Terlebih ketika mengenal Erlangga, lantas keduanya menjadi dekat dan menjadi sepasang kekasih. Naima rela melakukan apa pun agar Erlan tetap berada di sisinya. Tetapi, rasa was-was akan kehilangan perhatian Erlan kini menghantui kembali. Gistara, dia akan mencari tahu tentang gadis itu nanti. Naima akan memastikan Gistara paham bahwa dia hanya menikahi Erlangga sebatas status, tidak lebih.

__








Curcol dikit, ya.

Wah, lama ya saya enggak update. Maap. Sebenarnya saya diambang bimbang, ada dorongan ingin berhenti menulis.
Capek di duta, aktivitas yang padat dari subuh sampai malam, kadang udah penat banget jadi enggak ada semangat buat ngetik.
Tapi saat saya sudah berusaha banget biar bisa update, banyak banget sidernya (pembaca gelap) jangankan komen, buat sider ini keknya haram banget menekan tombol bintang. Ah, entahlah. Seketika semangat saya ikutan down.

Makasih banget yang udah support 💚


15-11-2024
1558

Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top