[4] Dua Hati dengan Dua Perasaan☔

بسم الله الر حمن الر حيم


Cukup hidup dengan paru-paru
bukan dengan pura-pura

📖

Masih ingat kejadian tadi pagi di toko bunga? Ya, Atha memang sedang memikirkannya. Juteknya, ketegasannya, sifat keibuannya membuat Atha sulit untuk tidak memikirkan Zahra. Dalam satu hari, Atha dapat melihat dua sisi dari diri Zahra.

Zahra berbeda. Dia begitu jutek pada Atha dan jujur wanita seperti itulah yang sebenarnya Atha cari. Bukan perempuan yang terus mendekatinya tanpa henti. Sebenarnya yang paling penting adalah agamanya. Atha baru merasakannya. Merasakan hatinya berwarna, darahnya berdesir, dan hiwanya terasa hangat. Atha selalu menanyakan pada Allah apa yang terjadi padanya bahkan saking Atha penasaran apa yang terjadi pada dirinya ia sampai konsultasi pada psikolog.

Cinta. Benarkah rasa ini adalah cinta? Atha hanya takut salah menjatuhkan hati pada manusia karena manusia adalah penghancur harapan terbaik. Jika berharap pada manusia, harus siap menahan ngilu di hati yang entah kepan bisa terobati. Manusia memang bisa menghancurkan harapan siapapun karena pada hakikatnya manusia tidak dapat memberikan kepastian. Sudah tau tidak bisa memberikan kepastian, mengapa tetap keras kepala dengab menggantungkan jutaan harapan padanya?

"Om Atha kenapa sih senyum-senyum sendiri? Ayran jadi takut liatnya"

Suara lembut penuh kepolosan itu menarik Atha dari lembah khayalnya. Benarkah kata Ayran bahwa ia tersenyum sendiri? Rasanya Atha tidak seperti itu.

"Kamu bohong ya sama Om?" desak Atha dengan tatapan mengintimidasi kepada anak selucu Ayran yang tengah ia genggam tangan mungilnya.

"Hidih, gak percayaan. Bukan urusan Ayran kalo Om nggak percaya sama Ayran. Yang penting Ayran udah ngasih tau. Kembali lagi ke Om Atha yang mau percaya atau nggak. Intinya, terserah" celotehan Ayran mampu menarik kedua sudut bibir Atha untuk membentuk lengkungan senyum.

Ayran yang memegang erat buket bunga dari Zahra sepertinya merajuk walau genggaman tangan pada jemari Atha tidak ia lepaskan. Paman dan keponakan itu tetap berjalan beriringan membelah keramaian trotoar kota Paris pagi ini.

"Ayran marah sama Om?" jujur Atha tidak bisa menyembunyikan senyumnya melihat keponakannya yang sering merajuk. Marahnya Ayran adalah sebuah kelucuan bagi Atha. Ia menjadi serasa memiliki adik lagi selain Atthala.

"Setetes"

Setetes? Anak kecil itu rupanya memang benar-benar menggemaskan. Rasanya Atha tidak tahan untuk tidak mencubit pipi Ayran saat ini. Ia jadi ingin mempunyai anak.

"Om gendong ya biar setetes kemarahan kamu itu lenyap" Atha menggendong tubuh mungil Ayran tanpa izin. Bocah kecil itu tertawa riang dan bahagia. Tentu bahagianya Ayran menular pada Atha. Anak kecil memang lebih mudah tertawa.

"Kenapa ketawa, hm?" tanya Atha sambil mencubit gemas pipi Ayran layaknya mencomot kue pancong.

"Karena Ayran suka digendong sama Om" anak kecil itu melingkarkan tangan mungilnya di leher sang paman dan dagunya yang ditopangkan di bahu Atha. Mereka layaknya ayah dan anak.

"Om juga suka gendong anak selucu kamu, Ay-Ay"

Lapar. Satu kata yang menggambarkan kondisi Zahra saat ini. Perutnya serasa kosong berbulan-bulan padahal ia hanya tidak sarapan pagi ini. Selera makan Zahra pun ikut bertambah dengan kehadiran makhluk kecil di rahimnya. Ah, rasanya bahagia bisa berbagi makanan dengan anaknya.

Zahra melirik arloji yang melingkar indah di pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukan pukul 13:21. Rasa lapar kian menggerogoti detik demi detik. Zahra harus keluar dulu untuk mengisi kekosongan di perutnya.

Jangan tanya soal insiden tadi pagi. Rasanya Zahra kesal saja mengingat Atha. Atha di mata Zahra? Dokter yang kejam! Entah mengapa Zahra kapok bertemu lagi dengan Atha. Saat melihat batang hidung lelaki itu, rasanya Zahra seakan dikejar ribuan jarum suntik. Laki-laki penebar pesona itu, entahlah. Rasanya Zahra ingin melahapnya hidup-hidup.

Zahra mulai merasakan rasa kesalnya sampai ke ubun-ubun saat ia baru sadar saat lelaki itu memakaikan cincin dari Alif tanpa aba-aba. Awalnya Zahra termenung dengan kejadian itu, namun ketika waktu telah berubah menjadi 24 jam lebih ia baru sadar jika yang dilakukan Atha adalah sebuah kelancangan. Zahra rasanya ingin lebih sekedar dari menggigit Atha.

Zahra yang sudah berdiri pun kini kembali terdudum kala benaknya kembali mengingat dokter muda bernama Atha. Seketika moodnya kacau dengan hanya mengingat nama itu. Apa alasannya? Yang jelas Zahra menaruh rasa kesal atas insiden dengan musuh bebuyutannga, jarum suntik. Atha bagai sekutu jarum suntik untuk menghancurkan Zahra. Terlalu dramatisir memang.

Ting!

Sebuah tanda notifikasi masuk membuat atensi Zahra beralih. Tangan putihnya meraih benda pipih tersebut.

Helwa istri Mas Agnan
Za, kamu pulang sekarang
juga, ya. Kamu belum makan
dari tadi. Maaf aku nggak
sempet ke toko bunga
karena aku aja masih di panti
jompo

Zahra menopang dagunya diatas meja. Ia ingin makan saat ini, tapi kakinya terlalu malas untuk diajak berjalan sampai apartemen. Cuaca yang sedikit terik semakin mendukung kadar kemalasan Zahra untuk berjalan.

Helwa memang sering ke panti jompo ataupun ke panti asuhan untuk menyalurkan donasi dari komunitas Muslim di kota Paris ini. Zahra sering mengikuti Helwa, namun tidak setiap saat karena Zahra pun harus mengurus toko bunga ini.

Jari Zahra mengetuk-ngetuk meja jatinya. Matanya masih menatap ke arah pesan yang dikirim oleh Helwa. Rasa malas serasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Hari ini toko bunga sedang tidak seramai biasanya dan rasanya hal itu bisa Zahra jadikan untuk istirahat seharian di apartemen.

"Moly" panggil Zahra pada karyawatinya.

"Iya, Bu?" seorang gadis berambut pirang itu berjalan mendekati bosnya.

"Saya akan pulang sekarang. Untuk mengunci toko, lebih baik memakai kunci cadangan yang saya berikan padamu supaya nanti kamu tidak perlu repot untuk mengantarkan kunci toko pada saya. Saya titip toko, ya" Zahra membereskan barang-barangnya yang berserakan di meja lalu memasukannya ke dalam tas.

"Baiklah, Ibu Zahra"

Waktu sedetik demi sedetik berjalan meninggalkan masa yang nantinya akan disebut masa lalu. Matahari mulai berpulang ke peraduannya di ufuk Barat dan kini yang tersisa tinggal langit malam yang mengeluarkan rintik-rintik kecil yang membuat jalanan kota Paris di musim semi ini menjadi basah.

Keramaian rasanya menjadi bukti bahwa tangisan langit tidak membuat langkah mereka tercegat. Jalanan masih dipadati banyak orang meski di jam yang seharusnya orang-orang tengah berkumpul bersama keluarga untuk menikmati makan malam.

Atha. Lelaki itu kini tengah menatap langit malam yang tidak secerah biasanya. Setiap malam, biasanya Atha akan melihat taburan bintang, namun kali ini ia melihat air justru turun membasahi bumi.

Atha menghembuskan napasnya, lelah. Ia cukup lelah dengan pola tingkah laku adiknya, Atthala. Malam tadi, Atthala tidak pulang dan tidak bisa dihubungi. Cukup membuat Atha stress memang, namun rasa peningnya itu terkalahkan dengan rasa khawatirnya sebagai seorang kakak.

"Apa Thala malam ini gak akan pulang, ya?" Atha bermonolog, mencoba bertanya kepada dirinya sendiri walau ia tau bahwa dirinya tidak akan mendapat jawaban. Air hujan yang bisu pun tidak akan bisa menjawab pertanyaannya.

Atha masih terdiam di ruangannya. Beberapa jam lalu shifft nya sudah selesai, namun ia enggan keluar ruangan ini. Rasanya ia masih betah dan tidak ingin beranjak sebelum ada kabar dari Atthala.

Atha melangkahkan kakinya meninggalkan balkon karena udara dingin yang muali menusuk sampai ke tulang-tulang. Matanya tidak sengaja menengok ke tong sampah. Ia melihat ada jarum suntik disana.

Jarum suntik. Rasanya benda itu begitu identik dengan seseorang yang akhir-akhir ini sering mengunjungi pikiran Atha. Apa kabarnya dia yang disana setelah bertemu Atha? Benci? Mungkin. Atha bisa mengerti jika memang Zahra membencinya karena satu benda bernama jarum suntik. Tapi, percayalah jika Atha hanya meyakini hal itu sebanyak seperempat persen dari 100%. Sisanya Atha masih optimis jika Zahra tidak menaruh dendam padanya. Memang tingkah percaya diri Atha diatas rata-rata.

Atha mendudukan tubuhnya yang terasa lelah. Pasien hari ini cukup banyak dan sedikit banyak juga mempengaruhi sendi-sendi di tubuh Atha. Ia mulai merasakan ingin pulang sekarang. Ia ingin merebahkan tubuhnya yang terasa kaku di kasur yang akan terasa sangat nyaman. Membayangkannya saja sudah membuat Atha ingin tidur.

Krubuk

Suara itu mengalihkan atensi Atha. Ia larak-lirik ke sekelilingnya untuk memastikan tidak ada yang mendengarnya selain dirinya padahal ia juga tau bahwa di ruangan ini hanya ada dirinya. Ia menjadi malu sendiri dengan cacing yang mulai demo untuk segera menurunkan makanan ke dalam perut. Wajar saja Atha merasakan getaran di perutnya karena lapar sebab selepas shalat Ashar jam 06:11 PM tadi ia belum makan apa-apa lagi.

Di tengah konflik krisis laparnya perut, Atha berharap ada orang berbaik hati yang memberinya makanan. Ia malas jika harus keluyuran mencarinya sendiri. Udara dingin serasa membunuh secara perlahan.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam warahmatullah"

Mata Atha berbinar dalam hitungan detik saat kedua suara mengucapkan salam. Dua orang berbeda kelamin dan usia itu berjalan ke arah Atha dengan senyuman terbingkai di bibir mereka.

"Atha sayang" sapa wanita berhijab dengan usia 29 tahun itu.

📓

Assalamu'alaikum

Hehe, setelah membuka buku Azahra, kita tutup lagi di chapter 4 ini. Hihi, ada yang salfok kah dengan kata-kata ku diatas? Maksudnya gini, bayangin aja cerita Azahra ini adalah buku dan berhubung baru sampe sini jadi tutup lagi aja. Halu 'kan aku? Efek rindu sama Dokter Atha😂. Gak papalah Dokter Atha selingkuh sama aku juga 'kan aku yang nyipatain dia hahaha (tawa jahad)

Oke, see you next chapter💕
Jazakumullah khairan katsiiran

Azahra © 2020
by Tania Ridabani.

• A z a h r a •

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top