1-3 | Home [Part 3]

Moorevale High School
6 November 2020

Sang surya telah berada di puncak, menghasilkan terik yang membakar kulit. Nancy Grayson membuka pintu untuk keluar dari ruang kepala sekolah, diikuti oleh putra semata wayangnya. Ibu dan anak itu diliputi keheningan panjang, hanya suara langkah kaki yang terdengar di sepanjang koridor Moorevale High School.

Dylan menunduk, tak berani menatap wajah sang ibu, maka karena itu dirinya berjalan di belakang Nancy. Pemuda itu tahu, begitu sampai di rumah, masalah besar akan menimpanya.

Tak hanya di sekolah, di dalam mobil keduanya pun tak saling melempar kata. Ekspresi wajah Nancy sulit ditebak. Wanita itu menatap lurus ke jalanan Kota Moorevale, masih sibuk dengan kemudi dan pedal mobil, mengabaikan putra semata wayangnya yang terlihat cukup ketakutan. Dylan duduk di bangku penumpang depan, menunduk sambil memainkan kuku-kuku jarinya.

Jelas saja Dylan sedang dalam masalah. Selain kedua orang tua Chloe, Principal Graham juga memanggil Nancy, memberitahu bahwa putra semata wayangnya membolos sekolah selama satu minggu lebih. Tentu wanita itu terkejut, karena Dylan mengatakan bahwa tripnya bersama Chloe dan Quentin adalah bagian dari kegiatan sekolah. Setelah kepulangannya dari Portland, Dylan selalu berangkat dan pulang sekolah sesuai jadwal. Tidak ada tanda-tanda membolos.

Jadi, ke mana Dylan pergi selama ini?

Menit demi menit berlalu, tibalah ibu dan anak itu di depan kediaman mereka. Nancy masih membisu, wanita paruh baya itu memarkirkan kendaran, kemudian keluar dari dalam mobil dan melangkah menuju pintu rumah dalam keheningan. Dylan mengikutinya, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan sang ibu.

"Mom ...," lirih Dylan.

"Masuk. Mom kebetulan sudah memasak makan siang," jawab Nancy datar.

Berbanding terbalik dengan apa yang dibayangkan Dylan, ibunya justru tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Namun, kedua netra wanita itu menunjukkan ribuan emosi yang sulit didefinisikan. Hal ini membuat Dylan semakin frustrasi. Lebih baik sang ibu memarahinya sekarang juga daripada bersikap cuek padanya.

"I'm sorry, Mom, aku takut jika berkata jujur, aku tidak akan diizinkan untuk pergi ...."

"Tentu saja aku tidak akan mengizinkanmu pergi, karena kau berbohong padaku." Nancy menoleh ke arah putranya. "Mom tidak pernah mengajarimu untuk berbohong."

Dylan membuka mulutnya, hendak berbicara, tetapi ia urungkan. Pemuda itu tahu, jika ia berkata jujur sekarang, itu tidak akan membuat amarah ibunya mereda, semuanya sudah terlambat.

"Harus berapa kali kau pergi, menghilang, dan berbohong padaku?" tanya Nancy, suaranya bergetar. "Ke mana saja kau selama ini? Apa yang kau lakukan sampai harus membolos?"

Dylan tak sanggup menjawab. Pemuda itu menunduk, memalingkan pandangan dari kedua netra sang ibu yang masih menatapnya tajam. Tidak mungkin, 'kan, jika ia mengatakan hal yang sebenarnya tentang Sean Grayson dan tripnya ke Portland?

"Jika kau ingin hidup sesukamu, silakan saja. Mom tidak akan memaksamu untuk kembali ke rumah."

"I have my own reason, Mom—"

"Simpan ranselmu di kamar dan pergilah makan!" Nancy memotong perkataan Dylan. Wanita itu merasakan emosinya akan meluap, ia berusaha semampunya untuk tidak membentak Dylan.

"I'm sorry." Hanya maaflah kata yang sanggup diucapkan Dylan. "Maukah Mom memaafkanku dan berhenti marah? Aku berjanji akan menjelaskan semuanya di saat yang tepat."

"I'm not mad, Dylan. I'm disappointed," jawab Nancy.

Dylan menunduk. Mendengar pengakuan Nancy, seakan ribuan anak panah menghunjam jantungnya.

Nancy menggeleng perlahan. "Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi. Kembalilah pada Mom jika kau sudah berjanji untuk selalu berkata jujur."

Dylan hendak berbicara lagi, tetapi wanita itu sudah berbalik badan dan pergi menuju kamarnya. Hal terakhir yang didengarnya adalah pintu kamar yang terbanting cukup keras. Keheningan meliputi kediaman keluarga Grayson. Meskipun samar, pemuda itu dapat mendengar isakan Nancy dari dalam kamar.

Kekecewaan yang amat besar tersirat di kedua netra ibunya, membuat Dylan semakin merasa bersalah. Namun, kebingungan juga melanda pemuda itu. Bagaimana ia menjelaskan semuanya pada sang ibu? Bagaimana respons Nancy ketika mengetahui sang suami ternyata memiliki ambisi yang gelap? Apa ia harus menutupi kebohongan dengan kebohongan lainnya? Dadanya terasa sesak, ia hanya bisa menunduk, menatap kosong ke arah lantai.

Pada akhirnya, Dylan memutuskan untuk berdamai dengan hati dan pikirannya yang kalut. Pemuda itu melangkah menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya. Ia melepas ranselnya, meletakkannya sembarang ke lantai, lalu merebahkan diri di atas ranjang. Dylan menatap kosong ke arah langit-langit kamar, berusaha mengatur napas akibat rasa sesak di dadanya.

Melamun seharian di dalam kamar mulai membuat Dylan bosan. Pemuda itu memutuskan untuk mengecek ponselnya. Sejak kepulangannya dari Portland, ia mengabaikan pesan dari semua orang, termasuk Abby dan Sam. Ia juga sempat membolos di kelas Fisika, merasa bingung bagaimana harus menghadapi Chloe nantinya.

Namun, hati kecilnya berkata lain, pemuda itu merindukan Chloe. Debaran jantungnya semakin tak terkendali ketika melihat notifikasi voice note dari gadis itu. Tanpa banyak berpikir, Dylan memutarnya.

"Hai, Dylan, aku hanya ingin mengecek keadaanmu. Awalnya aku berencana untuk mengunjungi rumahmu, tapi, coba tebak! Ayahku menjadikanku tahanan rumah selama satu minggu! Menyebalkan, bukan?" Gadis itu tertawa miris di dalam rekaman. "Kukira aku tidak bisa membenci ayahku lebih dari ini.

"I hope you're doing okay. I'm worried about you, Dylan. Aku hanya ingin kau tahu, kau tidak perlu menghadapi segalanya sendirian. You have me, right? Dan segalanya belum berakhir. Maksudku ... perang nuklir itu? Kita tidak bisa bersikap seolah-olah tidak mengetahui apa-apa. Balas pesanku secepat mungkin setelah kau menerima voice note ini, oke?"

Hening. Chloe menjeda ucapannya.

"You know, I've never miss someone like this. So, can you reply my message, at least once?"

Perlahan, pemuda itu mengukir senyum. Ia membuka aplikasi chatting, hendak memberi Chloe kabar terbaru tentangnya. Namun, kilasan peristiwa kala itu kembali terputar di benaknya.

Dylan kembali ke laboratorium darurat milik Sean, tepatnya di bunker Kota Portland. Pemuda itu melihat pemandangan yang cukup memilukan. Chloe limbung dan jatuh, tak kuasa menahan penglihatan mengerikan yang baru saja diberikan Sean. Pria itu juga beberapa kali membenturkan kepala Quentin ke meja. Beruntung, pemuda keturunan Jepang itu berhasil menyikut rahang Sean dan melepaskan diri dari serangan.

Quentin menyentuh dahi sambil meringis, merasakan pusing yang luar biasa, darah segar mengalir di hidung dan pelipisnya. Ia melemah, kondisinya tidak lagi prima, tetapi pemuda itu memaksakan diri untuk kembali bertarung. Sayangnya, Sean telah mendominasi pertarungan. Hanya dengan satu hantaman di pipi, pemuda berambut sewarna langit malam itu tumbang. Ia terkapar tepat di sebelah Chloe.

Emosinya berkecamuk, Dylan tidak bisa membiarkan sang ayah berbuat lebih jauh. Ia berlari ke arah Chloe dan Quentin, menghalangi mereka dari ayahnya.

"Back off, Dad! Mereka berdua bisa terbunuh!" bentaknya pada sang ayah. Pemuda itu mendorong mundur tubuh Sean.

"Katakan itu pada teman-temanmu. Mereka yang memulai semua ini!"

Sean menangkis lengan Dylan, membuat dirinya limbung dan nyaris terjatuh ke belakang. Pemuda itu merasakan sesak di dada. Selama hidupnya, ia tidak pernah melihat sang ayah bersikap seperti ini.

Seseorang itu bukanlah Sean Grayson yang dikenalnya.

Spontan, Dylan menyelimuti tubuhnya dengan Partikel 201X. Tidak ada cara lain, hanya inilah satu-satunya cara untuk menghentikan Sean.

Waktu berhenti berputar. Sean mematung di tempat, begitu pula dengan Chloe dan Quentin yang membeku dalam posisi bersimpuh. Keduanya telah berusaha sekuat tenaga menghindari maut. Sayangnya, energi mereka sudah habis, bahkan untuk menggeser tubuh mengindari Sean pun tak sanggup. Dylan melihat pelipis dan sudut bibir Quentin yang robek, darah segar mengalir di sana. Terdapat lebam di beberapa bagian wajah Chloe, seperti dahi dan tulang pipi.

Ya, mereka sudah kalah dalam pertarungan ini. Dylan tahu ia tidak bisa terlalu lama menghentikan waktu, dirinya harus membuat keputusan sesegera mungkin.

Ia harus menentukan siapa yang hidup dan mati. Siapa yang harus diselamatkan dan siapa yang tidak.

Perlahan, ia mengambil Glock 43 dari saku celana, kemudian mengarahkannya ke kepala Sean dengan tangan yang bergetar hebat. Pemuda itu memejamkan kedua netra, menghela napas dalam-dalam sebelum menarik pelatuk. Partikel 201X mulai menggerogoti tubuhnya. Jika ia lebih lama menghentikan waktu, maka dirinya yang akan tewas.

Dylan membuka kedua netra yang memburam akibat air mata. Pemuda itu mengembalikan waktu sebagaimana mestinya, cahaya putih kebiruan di tubuhnya meredup. Segalanya terjadi begitu cepat, ia melihat tubuh Sean ambruk ke lantai tepat setelah peluru melubangi kepala ilmuwan itu.

Ketika suara tembakan memekakkan telinganya, Dylan tahu bahwa dirinya tidak akan bisa melihat sang ayah lagi. Itulah harga yang harus dibayar untuk menyelamatkan nyawa Chloe dan Quentin.

Lamunannya buyar. Dylan kembali mengunci ponsel, kemudian membanting benda pipih itu ke ranjang. Rasa sesak menyerang dadanya ketika kilasan masa lalu itu kembali menghantui. Pemuda itu mengacak rambutnya kasar, kemudian menutup mata dengan kedua tangan, berusaha mengatur napasnya menjadi normal kembali.

"Mengapa aku tidak memiliki pilihan untuk menyelamatkan semua orang ...," lirihnya.

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

*****

Gak bisa nulis yang sedih-sedih terus kayak gini aku tuh 😢

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top