#10

Harusnya yang dapet voucher Karyakarsa 5k cuma 1 orang yeee. Tapi chapter kemaren rame bat pergosipannya, wkwk. 

SangulosquawSarada_11ripgiantifourshafirikalesmanawatipuan_rahmattobelimilkshakeciVelan22 cek pesan. Masing-masing dapet voucher 2,5k yaa. Yaah, rugi bandar deh gw, wkwkwkwkwk.

Tapi gpp, gw demen baca komen kalian. Lanjutkan. Sapa tau dengan voucher ini, kalian bisa unlock gratis tiap gw publish extra chapter baru di Karyakarsa :)




#10



Usia sudah mendekati tiga perempat abad, tapi sepertinya Josephine—Josie—Harsono belum boleh pensiun, alias mati dengan tenang.

Beres mendampingi bungsunya, Alethia, yang stress berat karena mendadak hamil lagi di usia lewat empat puluh, sekarang dia harus gantian memikirkan masa depan si sulung, Roger, yang level burnout-nya sudah semakin mengkhawatirkan.

Yes, her son is only 55, and that is way too young to consider retirement.

Tapi Josie bukan emak-emak ambisius yang akan mendorong anak cucunya bekerja keras tanpa mementingkan keseimbangan hidup. Apalagi ini Roger.

Life was never easy for him.

Sehebat apa pun Irving—almarhum suami keduanya—juggling dalam mengurus dua perusahaan, hal itu tidak pernah mudah. Karenanya, di saat adik-adiknya masih bisa bersantai, begitu tamat Bachelor's Program, Roger harus sudah turun tangan mengambil alih peninggalan ayah kandungnya, Ray—almarhum suami pertama Josie

Well, bekerja setelah lulus strata satu memang sudah sewajarnya. Tapi Roger bukan hanya sekadar bekerja. He held a top management position at a time when his subordinates were more experienced, more educated, and more mature in age.

Tak hanya pekerjaan, nasib personal life Roger juga tidak bagus-bagus amat.

Berdekatan dengan waktu terjunnya sang putra ke Abram Holdings, Roger menikahi Tarita, kekasih sekaligus teman kuliahnya di Yale.

Well she's a fine lady; it's only that Roger isn't in a position to be with her.

Keluarga Tarita sangat akademis. She did a fantastic job at being a wife and a mom, but she would never be able to stay in Jakarta forever.

Tujuh tahun setelah melahirkan Jeffrey, Tarita yang sudah jaded dengan rutinitas di Indo, memutuskan kembali ke US untuk mengambil MBA—that's why it's logical that Jeffrey and Indo are distantly related: he's been living in the US since he was 7.

Tak lama berselang, Zane lahir bersamaan dengan krisis moneter.

Yeah, the crisis was effectively managed, albeit with some operational hiccups. However, the household of Roger and Tarita was unable to revert back to its previous state.

They were in a long-distance relationship almost forever before finally calling it quits.

Setelah bercerai, Tarita menetap di Sydney, menjadi pengajar di sebuah business school lokal—minus saat dia menghabiskan beberapa tahun mengambil DBA di UK. Jeffrey tetap di US, ikut Aghnia yang saat itu baru menikah dengan Harvey, salah satu teman baik Roger dan Tarita di Yale. Zane sempat ikut ibunya sampai pertengahan SD, sebelum kemudian satu musibah di Sydney membuat Zane harus dipindahkan ke Jakarta—and that's how Zane and Josie became besties.

Maka, setelah semua itu—tiga dekade lebih mengemban tanggung jawab besar di pundak, dengan dua dekade terakhir menyandang gelar tambahan sebagai duda—sudah sewajarnya anak lelakinya itu minta istirahat, minta lengser dari posisinya sekarang dan menikahi wanita pujaannya. Walau poin kedua agak gila, karena yang menjadi pacarnya saat ini, setelah belasan tahun absen berkencan sama sekali, lebih pantas menjadi mantu dibanding menjadi istri.

Ngomong-omong soal mantu Roger, Josie jadi ingat agendanya yang lain hari ini: mengurus masa depan cucu pertamanya, Jeffrey, yang katanya sudah mantap untuk bertunangan dan menikah tahun ini, tapi sampai sekarang belum kunjung menunjukkan batang hidung calon pasangannya padanya.

"Emang anak muda zaman sekarang pada kurang ajar, ya. Masa nenek-nenek jompo begini disuruh nyamper ke Jakarta? Kenapa bukan mereka yang ke sini?" Zane—cucu keempat—ngedumel ketika pagi-pagi muncul di rumahnya. Tapi syukurlah, pendengaran Josie sudah nggak tajam-tajam amat. Jadi dia tidak begitu merasa terganggu. "Terus, selalu aku pula yang disuruh bolak-balik Jakarta-Puncak, jadi ajudan."

Josie yang sedang sibuk mengamati koleksi fake nails oleh-oleh dari Baby—cucu ketujuh—menyunggingkan senyum tipis. Akhirnya menjatuhkan pilihan pada yang berwarna kombinasi pink dan putih, dengan taburan glitter dan manik-manik berbentuk bunga mikro, yang akan cocok dengan scarf yang mau dia pakai. "Kalau kamu izin lanjut S-2 ke luar negeri sekarang, Oma juga nggak akan berani ganggu. Kamu sih, tamat S-1 malah cuma luntang-lantung di Jakarta. Kan sayang ada sumber daya dianggurin. Mending Oma berdayakan buat temen ngobrol di jalan."

Ini juga Josie sudah baik tidak mengatakan kalau S-1 Zane tidak dianggap. Masa bapak dan abangnya alumni Ivy League, dia cuma lulusan kampus dalam negeri, yang masuknya lewat jalur nilai rapor, bukan tes tulis pula.

Josie juga bukannya ambisius, mau semua keturunannya mengenyam pendidikan di kampus mentereng di luar negeri. Tapi mbok ya jangan santuy-santuy amat jadi orang. Malu sama privilege.

"Siapa bilang luntang-lantung? Ini tuh hari kerja, Oma! Sekate-kate, main nelepon orang, nyuruh dateng. Untung kantor nggak lagi hectic." Zane berusaha membela diri, tapi tidak punya argumen yang mendukung.

Lha iya, lah. Wong dia berlagak membuat usaha EO sendiri, tapi semua klien didapat dari mijitin kaki bapaknya tiap weekend. Nggak becus nyari klien sendiri.

"Sudah, sarapan dulu sana." Bosan melihat cucunya memelas, Josie mengedik ke arah meja makan di balik punggungnya.

Dia sendiri skip sarapan pagi ini.

Jadwal sarapannya memang agak siang, alias sekarang banget. Tapi karena sebentar lagi ada janji makan siang, jadilah dia memutuskan tidak makan dulu sebelum berangkat.

Ofc, Zane can't say no to grandma's cooking.

Meski seringkali tidak sepaham, ada satu hal yang sepasang nenek-cucu itu sepakati bersama: masakan Josie mungkin nggak kalah dari kontestan Masterchef. Sayangnya, terkendala usia yang sudah senja, Josie jelas nggak bisa ikut karantina-karantinaan. Makanya nggak mungkin mendaftar.

Melihat Zane segera saja sudah memenuhi piringnya, seperti tiga hari belum makan, Josie mesem lagi.

Indeed, bahagia nenek-nenek itu sederhana.


~


"Yakin nggak mau ketemu calon Mama sambungmu?" Josie memastikan sekali lagi ketika mall tempat dia janjian bertemu dengan Isabelle sudah dekat.

Di sebelahnya, Zane menggeleng mantap, dengan wajah mengantuk karena kekenyangan. "Nggak, deh. Kalau ketemu sekarang, nanti ilfeel. Denger-denger, pacarnya masih muda banget. Lebih muda dari Jeffrey."

Jeffrey saja umurnya 32. Sedang pacar ayahnya ini 27, seumuran dengan Revanda. Kalau saat ini Zane otw 24, apa nggak wajar kalau dia merasa ilfeel punya calon ibu sambung yang lebih pantas dipanggil Kakak?

Well, not that he's complaining.

Ayahnya sangat pantas berbahagia, dan Zane tidak akan ikut campur mengenai selera si ayah. Tapi kekhawatirannya tetap valid, kan? Mending dia fokus membesarkan hatinya sendiri dulu daripada memutuskan bertemu sekarang.

"Umur cuma angka. Lagian, kalau ketemunya nanti langsung pas wedding, memangnya nggak bakal ilfeel?" Omanya bertanya lagi.

Zane mengangkat bahu dengan santai. "Seenggaknya, durasi ilfeel-nya bisa dipersingkat."

"Cih. Papamu bukan om-om yang gampang kecantol sama perempuan muda. Dua kali ketemu, I can say she's qualified."

Zane tetap menggeleng, segera mengganti topik. "Nanti dijemput nggak? Kalau ketemu Revanda, aku mau."

"Nggak usah. Revandanya yang males lihat mukamu. Muka-muka mau pansos, biar dikenalin sama selebritis." Josie juga nggak tahu kenapa ribut dengan cucunya yang satu ini terasa menyenangkan. "Oma kasih tau ya, selebritis—mau yang tulus atau yang brengsek—nggak bakal ada yang mau sama anak mami nggak bisa apa-apa kayak kamu. Dari kamu tuh, apa sih yang bisa dilihat? Ganteng doang, duit juga nggak punya. Punya mobil bagus satu, itu aja masih atas nama Bapak Roger Abram."

"Idih." Zane hanya terkekeh pelan.

Boro-boro tersinggung. Dia sudah lelah duluan mendengarkan neneknya. Nggak sempat mikir.

Akhirnya begitu kendaraan berhenti, lelaki itu lalu turun duluan.

Ketika hendak mengulurkan tangan membantu Omanya turun, tangannya malah ditepis pakai Hermes.

"Daripada Hermes dipake mukul-mukul, sini hibahin ke aku, biar kujual. Biar ada modal dikit kalau mau tebar pesona ke cewek."

Josie tidak menggubris lagi. Segera mengedik ke asistennya dan berjalan duluan melewati pemeriksaan di entrance.


~


Selain usianya yang kelewat muda, tidak ada hal lain yang bisa dikeluhkan dari pacar Roger.

Isabelle Tanjung adalah wanita dewasa yang pandai membawa diri. Bukan cabe-cabean genit yang mendekati om-om CEO hanya untuk uang dan status sosial. Baru tiga kali bertemu, Josie sudah paham mengapa putranya jatuh hati—selain karena Ibel ini cantiknya nggak karuan.

Josie suka makeup dan outfit-nya yang tidak berlebihan.

Josie suka pilihan menu healthy food yang dia rekomendasikan.

Josie suka topik sederhana yang dia pilih untuk diobrolkan.

Mungkin karena sudah tua, Josie capek dan tidak lagi tertarik diajak membicarakan hal-hal heboh.

Pada masanya, dia juga senang diskusi soal topik-topik terkini, soal perekonomian, sosial budaya, bahkan politik. But not anymore. Berwawasan luas itu bagus. Tapi seiring usia bertambah, harus pandai memilah mana yang perlu dan tidak perlu. Pusing kalau semua mau dikuasai hanya demi bisa nyambung ngobrol dengan orang yang bahkan nggak dikenal-kenal amat.

Siang ini, berawal dari mengomentari daftar menu, mereka berdua hanya membicarakan preferensi masing-masing. Lalu menyeret-nyeret preferensi Roger.

"Sampai sekarang juga masih picky, sih, Mami." Ibel mulai bercerita. Josie yang memintanya memanggil Mami. "He's the least foodie person I know. Pergi ke restoran baru, cuma kalau direkomendasiin orang yang bener-bener udah paham seleranya. Begitu cocok sama satu menu, pasti diulang terus, selalu mesen itu tiap dateng. Emang belum bosen, katanya. Di rumah juga. Terakhir, he asked me to cook soto bening for five days in a row. Sebenernya mau diperpanjang, tapi kayaknya kasihan sama saya. Soalnya bikinnya susah. Kelamaan dikit ngerebus kaldunya, jadi butek. Terlalu sebentar, anyep, nggak ada rasa."

Josie yang ketemu putranya hanya satu atau dua kali dalam sebulan, jelas lebih bahagia dengan topik tersebut dibanding soal kebakaran savana Bromo yang disebabkan oleh kebodohan pengunjung. "Kalau Ibel, foodie?" tanyanya balik.

"Enggak juga. Tapi nggak separah Bapak." Ibel meringis tipis. Kalau ada perempuan meringis tapi tetap cantik seperti Ibel ini, berarti kalimat 'cantik itu relatif' sudah nggak lagi relevan baginya. Yang begini ini jelas cantiknya mutlak. "Kalau saya, biasanya bingung mau makan apa. Ujung-ujungnya sama, we ended up eating the same menu over and over again, cuma alasannya aja yang beda. Mami khawatir urusan dapur bisa bikin ribut, ya? No way, Mami. We're adults. We don't argue about food. Prinsipnya cuma satu: choose the healthiest."

Dari makanan secara general, lalu topik mengerucut ke daging.

Dari daging, jadi ngomongin sapi.

"Daging merah, masih makan, asal nggak dimasak berlebihan." Josie memberitahu, berhubung hari ini mereka memilih menu vegetarian. "Untungnya anak cucu Mami kalau ke rumah nggak minta dimasakin yang berempah medok dan bersantan. Yang deep fry juga enggak. Tapi Mami jelas masih doyan banget marbling fat wagyu, Bel."

Mendadak Ibel teringat sesuatu. "Mam, ini random abis. Mami tau nggak, nanti kalau udah pensiun, Bapak mau ngapain?"

"Pindah ke tempat tinggal yang minim polusi, kayak Mami."

Ibel mengangguk. "Selain itu, kepikiran nggak, dia mau ambil kesibukan apa?"

Josie mengeryit sejenak. "Paling ngikut aja ke mana kamu pergi, Bel. Maybe kamu mau ambil PhD ke mana gitu, palingan dia dengan senang hati ikut kamu, jadi bapak rumah tangga."

Ibel tertawa bahagia, tampak excited dengan ide itu. "Iya sih, he told me that too, Mam. Tapi selain itu, dia lagi punya minat yang bener-bener random." Karena Josie tidak terpikirkan apa pun meski sudah diberi clue, Ibel lalu memberi tahu, "Peternakan sapi wagyu, Mam. Dia mau punya peternakan sapi wagyu kalau udah pensiun nanti."

Jelas Josie ternganga mendengar ucapan calon mantunya itu.

Rasanya agak sulit membayangkan Roger yang seumur hidup pakai setelan Tom Ford dan sepatu mengkilat mendadak ganti pakai celana jeans, leather boots, dan topi cowboy. Lalu naik kuda untuk mengecek hamparan peternakan sapinya di Sumbawa, atau di mana saja, terserah.

Not bad. Sudah tua memang jangan diem aja di rumah. Harus aktif bergerak. Tapi tetap saja lucu.

Ibel lalu melanjutkan lagi. "Jadilah belakangan kalau nganggur dikit, dia baca-baca soal waste management peternakan sapi. Bapak nggak mau dong, punya peternakan, tapi berdampak buruk ke lingkungan. Mana peternakan sapi katanya salah satu industri penghasil metana terbesar tuh, Mam. Sampai empat puluh persen dari total emisi global. Jadi rada-rada guilty deh kita berdua tiap kali makan daging, apalagi mau berbisnis di bidang itu."

"Interesting." Josie mengangguk-angguk. "Mami dulu kenapa nggak kepikiran, ya? Masa goals pensiun Mami cuma hijrah dari Menteng ke puncak. Berkebun pakcoy sama tomat hidroponik doang sehari-hari."

"But still, you're the healthiest Oma-oma I know, Mam. Kalau foto berjajar sama Bu Aghnia dan Bu Alethia, masih kayak kakak adik. Beneran, nggak peres. Ini ketemu langsung siang-siang begini juga kelihatan sehat dan muda banget. Saya sampe insecure nih kantung mata nggak bisa ditutupin."

"Instagram filters work, Bel. Terus di sini kinclong efek lampu neon aja. Duh, kamu tuh bisa aja bikin nenek-nenek happy!" Josie tertawa pelan, rada malu. "Anyway, soal PhD, beneran ada rencana? Roger sempet kasih tau, hobimu itu belajar. Dapet LL.M magna cum laude, pasti pengen PhD, dong. I can already portray Roger as bapak-bapak rumah tangga beneran, sementara kamu sekolah lagi, and he would definitely love that."

"Belum jadi prioritas, tapi sekadar kepengenan sih ada, Mam. Nanti rencananya mau prioritasin dulu nyari tempat tumbuh yang aman dan nyaman buat anak-anak."

Mau tak mau garis senyum di wajah Josie tidak hilang-hilang. Antara geli dan bahagia. Kemarin Alethia, lalu Roger. Well, Josie tidak keberatan menambah dua cucu yang seumuran dengan cucu buyut—kalau memang Jeffrey-Revanda kebetulan nanti nggak menunda momongan.

"You're gonna make a great mom. Mami udah denger kamu ngerawat adikmu dari kecil. Kita mungkin baru kenal, but I'm so proud to hear the two of you made it and grew up to be decent women." Josie tulus mengatakannya. She already loves these siblings, biarpun belum pernah bertemu adik Ibel secara langsung.

"You know what, Mam, adik saya ternyata malah udah kenal lama juga sama Zane. Nggak satu fakultas, nggak satu angkatan, eh, ketemu di BEM universitas. Malah sekarang nyemplung juga di Relevent, buat kesibukan sementara sambil nunggu jadwal wisuda. Mirip-mirip sih mereka berdua. Zane ngerecokin bapak, minta dicariin klien. Sabrina ngerecokin saya. Alhasil, kemarin nikahan Christian—teman saya sama Mas Jeffrey—pake EO mereka."

Josie ternganga, entah untuk keberapa kalinya. "What a coincidence. Udah ketemu dong, kamu sama Zane."

"Udah, beberapa kali." Ibel mengangguk. "Cuma saya belum bilang aja. Nggak mungkin juga ngasih surprise urusan personal di tempat kerja. He took his job seriously, tho. Di acara Christian kemarin aja, pada muji kerja EO-nya bagus."

Walau yakin Zane nggak semain-main itu, mendengar testimoni dari mulut orang lain agak membuat Josie lega. "Oh ya, balik ke rencana kalian tadi, Roger suka anak-anak lho, Bel. Jadi kamu nggak perlu khawatir makan ati bayangin suami nggak mau gantian bangun tengah malam gantiin popok bayi."

Ibel mengangguk-angguk puas. "Tinggal bayangin aja, Bapak nanti udah almost sixty, tapi masih harus lari-larian ngejar toddler."

"Halah, he's getting healthier, ya kan? Sejak sama kamu, udah nggak pernah ngeluh insomnia. Oh ya, kamu kok nyebutnya Bapak mulu sih dari tadi? Kuping Mami agak gimanaaa, gitu."

"Oh ...." Ibel bahkan tidak menyadari jika sebutan itu mungkin tidak terdengar enak dikuping orang, seolah meng-emphasize age gap yang dia dan Roger miliki. "Kebiasaan ngomong sama Mbak yang bantu di rumah, Mam. Biar nggak ketuker nyebutnya sama nyebut Mas Jeffrey."

"Oh ya sih, that's more practical." Josie manggut-manggut setuju.

Kemudian, pada akhirnya, mengingat jam makan siang Ibel yang segera berakhir, obrolan yang seru tetap harus diakhiri.

"Bel, don't worry too much, okay?" Josie menggenggam tangan calon mantunya erat. "Kamu nggak sendirian. Semua keluarga ada di pihakmu. Memang, untuk sementara ini, go public nggak bagus buat kalian. Tapi bukan berarti sabar nunggu sampai Roger retire adalah satu-satunya solusi. Kalau kalian ada rencana lain, go talk to me. Maybe I can give my two cents."

Ibel mengangguk-angguk dan balas menggenggam tangan calon ibu mertuanya sama eratnya.

"Sayang banget, kita ke PI cuma makan doang." Josie mengerling asistennya, yang telah selesai makan juga di meja lain, untuk bersiap-siap. "Kapan-kapan kamu temenin Mami belanja, ya. Berdua, atau bertiga sama si Revanda. Kasihan dia, di rumah doang, nggak punya temen. Let's spend some of Roger's hard work. Eman-eman, Roger duitnya banyak, tapi nggak ada pengeluaran karena kerjaannya diem doang di rumah, baca buku sama jadi narasumber podcast. Nggak ngerti caranya bersenang-senang tuh calon suamimu itu. Jadi masa depan terjamin aman. Kalau ada yang bilang om-om kayak dia nggak ada yang polos dan anak rumahan, sini ribut sama Mami."

Untuk kesekian kalinya juga, Ibel manggut-manggut terharu oleh sambutan baik calon ibu mertua.

Lalu, pertemuan siang itu ditutup dengan pelukan erat dan senyum bahagia di wajah masing-masing.



... to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top