Chapter 5: Cogitatio

Seminggu setelah masuk asrama, 8 Februari.

愛:生東虚金円痔実全多和道地北小余

978 - 019 – 9580 - 31 - 6

Entah berapa lama Ranita memandangi tulisan ini. Semakin dilihat, semakin membuatnya sebal. Keragu-raguan terbit dalam akalnya: apa maunya asrama ini dengan segala teka-tekinya? Apakah mereka sebenarnya panitia cerdas cermat antar galaksi? Dimulai dengan misi dalam sambutan Nona Rachmah, sandi di lukisan, lalu sandi di amplop—yaitu kode pada kartu berpola di balik amplop, yang bisa dilihat menggunakan plastik merah berbentuk bunga amaranth di amplop merah muda. Sandi Jepang inilah yang tertera pada kartu tersebut.

"Nah, setiap sandi memiliki pengurai dan dalam hal ini musik waltz adalah pengurai pertama – yang sudah diputar di asrama selama berhari-hari sampai aku bosan.Waltz setidaknya memiliki ketukan 3/4, yang artinya setiap birama terdiri dari tiga ketukan. Tak! Tik! Tuk! Coba perhatikan."

Rin mulai mengetuk kanji-kanji itu, kira-kira begini

Tak-tik-tuk Tak-tik-tuk Tak-tik-tuk Tak-tik-tuk Tak-tik-tuk

"Dengan begini sandi sudah dipilah menjadi tiga kombinasi, yaitu yang dijatuhi 'Tak', 'Tik', dan 'Tuk'. Masing-masing kombinasi ini bisa ditelaah satu per satu. Kita mulai dari— Eh?"

Penjelasan Rin berhenti ketika menyadari gumpalan asap yang mengepul dari telinga Rensi. Dengan panik Tata mengambil sebotol minuman isotonik dan memberikannya pada Rensi.

"Ehem, aku lupa kemampuan otak kita berbeda," Rin memijit dahi, gerakan yang khas ketika Ia jengkel.

"Bagian yang merepotkan itu bisa kita lewati, jadi aku beritahu saja kalau kombinasi yang paling meyakinkan adalah barisan 'Tuk' yaitu

児痔多地余

Alasannya? Karena umumnya kanji memiliki beberapa cara baca, tetapi kombinasi ini masing-masing kanji-nya memiliki satu cara baca. Selain itu petunjuk pertama kita adalah angka 3 dari 300 DC, jadi sudah ada dua teori yang mendukung kombinasi ini."

Meskipun tampak kepayahan, Rin sadar bahwa Ranita, Tata, dan Rensi berusaha mengimbangi penuturannya. Sementara itu dalam benaknya, Ranita bahkan bertanya-tanya kenapa mereka mau melakukan ini?

"Paham? Ah... Akhirnya. Nah, dengan begitu kanji ini bisa diba—"

"Ko – JiTaChi – Yo"

Sahutan itu membungkam perkataan Rin. Gadis itupun menaikkan alisnya dengan tatapan menyelidik pada sosok yang tiba-tiba bergabung bersama mereka.

"Jawabannya Ko – JiTaChi – Yo, 'kan? Kanji itu dibaca demikian."

Seorang gadis jangkung berdiri tepat di belakang Ranita. Ia membalas tatapan Rin dengan senyuman yang tulus. Sementara itu, Rin yang sudah mengatasi keheranannya pun tersenyum menantang.

"Ho... Ternyata di sini ada juga yang otaknya encer."

"Maaf, aku tadi mendengar diskusi kalian dari taman. Sekarang tahu-tahu aku sudah ada di sini. Maaf, aku permisi—"

"Tidak, tidak. Silakan dilanjutkan. Kami mau mendengar penjelasan lengkapnya."

Gadis itu memandangi mereka satu per satu dengan sungkan. Sesaat Ranita sadar bahwa sang gadis tersenyum dan menatapnya, sebelum menarik napas dalam-dalam," (ai: cinta) pada awal sandi merujuk pada Cinta yang Tak Tergantikan, sehingga cukup jelas tanpa diubah maknanya. Kemudian, menurutku sandi yang mengikutinya memiliki konsep scytale sederhana; tidak seperti scytale tradisional yang menggunakan tongkat pengurai, sandi ini menggunakan irama sebagai pengurai, yaitu irama waltz. Ko – JiTaChi – Yo tidak bermakna apa-apa dalam bahasa Jepang, karena itu adalah pelesetan dari kata Latin 'cogitatio' (baca: ko–ji–ta–ti–o) yang berarti renungan atau cerminan. Kenapa bahasa Latin? Sebab 978-019-9580-31-6 adalah kode ISBN (International Standard Book Number) untuk Oxford Latin Dictionary—terlihat dari pola angkanya. Kamus itulah pengurai kedua. Kira-kira begitu jawabanku, maaf jika keliru."

Rin menggelengkan pelan, "Tidak, jawaban kita sama." Kemudian Ia memperlihatkan hasil penelusuran di handphone-nya yang menampilkan kamus bahasa Latin di situs toko daring.

"Jadi Cinta yang Tak Tergantikan itu diawali dengan bercermin atau merenung, ya? Apa hubungannya dengan membela diri sendiri untuk selamat dari masa lalu?"

"Maaf, aku tidak bisa memahaminya lebih dari itu." Gadis itu menjawab Tata tanpa melunturkan senyumnya. "Mm... Aku harus pergi, ada yang harus aku selesaikan," ucapnya dengan terburu-buru.

"Ah, namamu siapa? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya," ucap Ranita serentak berbalik dengan tatapan ingin tahu.

Sosok itu pun menengok dan memandangnya sejenak, "Priskila Yobel."

---------------------------------------------------------

Baik itu membela diri sendiri maupun cogitatio, Ranita sudah sangat penat olehnya! Semua penghuni asrama membicarakan tentang hal ini. Sudah seminggu mereka disuguhi teka-teki, Ia bahkan tidak mengerti hubungan istilah-istilah itu dengan keberadaan mereka di asrama.

'Misi ini akan membawa kalian pada kebahagiaan yang selama ini tidak kalian dapatkan.' Ia sangsi; mungkin hanya Rin yang bahagia.

Kemampuan kognisi Ranita, Tata, dan Rensi senantiasa menjadi korban keganasan Rin. Ia tidak pernah menahan diri untuk membuat Rensi berang dengan sindirannya dan membuat Tata kerepotan menenangkan sahabatnya itu. Sebuah hobi baru bagi Rin. Uniknya dua sahabat itu pun tidak kenal kapok untuk mendiskusikan dengan Rin tentang kemajuan dan petunjuk yang mereka dapat; di balik ketidaktertarikannya, Rin selalu menerima mereka. Bagaimana dengan Ranita? Tanpa disangka, ia ternyata sekamar dengan Nona Schreiber, sehingga mau tidak mau Ia sering terseret dalam lingkaran "pertemanan" itu. Kendati sikap tidak acuhnya, Rin adalah stimulan alami yang selalu berhasil mendorong mereka memutar otak. Mungkin suatu saat Ia akan menjadi guru yang hebat, itulah yang Ranita rasakan. Terlepas dari itu, Ranita sadar bahwa bergabung dengan asrama ini adalah keputusannya yang terbaik. Hanya, Ia sadar masih ada momok yang terpancang erat dalam dadanya sejak hari itu; hari kepergiannya dari sarang penyamun.

Lamunan Ranita terputus bersama bayang-bayang tirai dan binar senja yang merayapi lantai. Ia menudungi matanya dari sengatan ringan matahari sore dan mengamati jam dinding dari sela-sela jemari.

"Sudah waktunya," gumam gadis itu.

Ia pun beranjak.Hiruk-pikuk penghuni asrama sudah mereda dan percakapan dari ruang mentor diganti kebisuan. Ranita bukanlah seseorang yang antisosial, buktinya ia rela berteman dengan Tata, Rensi, dan Rin—walaupun ia ragu apakah hubungan mereka layak disebut berteman. Ranita ingin bebas, tetapi ia masih tawanan bagi amygdala-nya.Tidak jarang ia menghabiskan waktu lama mencuci tubuhnya, karena baginya di suatu tempat—di balik tanda lahir kecil yang berada di bawah pusarnya—masih tersisa kenajisan. Kebenciannya pada binatang itu tidak terukur, tetapi membunuh adalah urusan lain. Sejak saat itu setiap kali memandang ke atas, Ranita melihat sebilah pedang yang tergantung di atas kepalanya, berayun-ayun dicumbu angin. Ia tahu pedang itu akan menghujamnya, seperti ia menghujamkan pecahan botol waktu itu. Ketakutan merundung Ranita, tapi tidak mungkin ia membicarakan hal ini seakan membahas lauk sarapan tadi pagi.

Sejak seminggu yang lalu, Ranita selalu pulang belakangan untuk menunggu Pak Tito, satpam berusia 40-an yang tegas, beranjak dari tempatnya biasa duduk sembari menikmati kopi. Tujuannya adalah beberapa halaman koran yang menjadi teman beliau sehari-hari, yang ia curi ketika sore dan kembalikan sebelum matahari terbit. Tidak berbeda dari biasanya, kali ini pun Ranita menyimpan lembaran kelabu itu di dalam tas dan kembali ke asrama; hal yang berbeda hanya langit saat itu, jingga kental dengan sapuan violet di sisi-sisinya.

Seusai makan malam, Ranita kembali ke kamar dan mendapati Rin sedang berbaring bersama buku-bukunya, seraya kakinya menendang-nendang udara.

"Ada sandi baru lagi?"

Rin melepaskan earphone kirinya, "Tidak ada. Mungkin mereka menyiapkan clue selain sandi-sandi. Di sini, kan, bukan kursus kartografi."

"Oh, syukurlah."

Sembari membiarkan Rin dengan kesibukannya, tangan Ranita menyelipkan lembar koran ke dalam buku bacaan dengan berhati-hati, agar Rin tidak mendengar gemerisiknya yang gaduh. Tanpa menunggu lama ia lalu bergegas menuju selasar, hingga ia tiba di sebuah taman terbuka di sisi bangunan asrama. Tidak banyak penghuni asrama yang menghabiskan malamnya di situ, sebab mereka tidak nyaman dengan suasananya yang sepi serta bingkai-bingkai kelam di balik pepohonan. Mungkin cuma Ranita yang tidak keberatan; jalan yang dilaluinya setiap pulang kerja sambilan lebih mencekam. Malah, taman ini memberinya ketenangan dan kenyamanan yang tidak terbayarkan.

Kebiasaan ini sebenarnya sebuah siksaan tersendiri bagi Ranita. Tidak membaca koran untuk sehari saja, akalnya berontak dan batinnya mencabik-cabik kewarasannya. Kendati demikian, setiap kolom berita pada lembaran ini selalu membuat Ranita ingin mengeluarkan jantungnya sejenak, dan memasukannya kembali begitu selesai membacanya. Malam ini juga sama. Ia ingat benar, saat itu ia tidak sedang mengenakan earphone dan menyetel lagu dengan volume maksimum, tetapi dentuman-dentuman dahsyat mendobrak rusuknya.

"Ranita?"

Kali ini Ranita benar-benar berdentum dan terlonjak. Bukunya terlempar dan mendarat di hamparan kerikil, menyisakan lipatan koran yang melayang malu-malu sebelum bertemu bumi. Kelopak matanya tersibak penuh seraya mengamati si pemilik suara: seorang gadis, yang saat itu membungkuk untuk mengambil buku dan koran, serta menyodorkannya pada Ranita. Ia tersenyum sembari meminta maaf.

"A-a-a-ada apa, Priskila?"

Walaupun gemetaran, tangan Ranita menyambut pemberian Priskila sementara batinnya berusaha menjinakkan jantungnya. Sang tamu mendudukkan diri di sisi Ranita tanpa mengalihkan tatapannya.

"Kenapa kamu sendirian di sini?"

"Aku ... cuma mau sedikit tenang. Di asrama ribut sekali, sulit memahami bacaan kalau tidak dalam suasana sepi."

Ranita berbohong.

"Kamu selalu membaca koran sendirian?"

Pertanyaan itu membuat Ranita terperanjat,untuk sejenak Ia terdiam. Benaknya mengkhianatinya dan mengira segala sesuatu sudah tersembunyi dengan baik, yang akhirnya menggiring Ranita pada kebohongan baru.

"Selalu? Ya... Begitulah... Aku suka berita kriminal," sahutnya sembari melambaikan surat kabar itu, "Isinya tidak rumit."

Seutas senyum membusur pada bibir Priskila. Ia memiringkan kepala dan pipinya bertumpu pada telapak tangan. Sebagian rambutnya yang tidak terikat tampak berayun hingga menutupi alisnya. Tatapan itu memperkosa ketenangan hati Ranita, seakan menyelidik dan menelanjanginya.

"Setiap malam kamu bergumul dengan berita lokal maupun kriminal, serta menyusuri setiap kolom berita dengan panik. Kamu sedang mencari berita yang spesifik? Maksudku, kamu bukan sedang membaca berita, melainkan menunggu suatu berita. Benar begitu?"

Kala itu Ranita sangat berharap kalau-kalau ada sedikit saja peluang baginya menyangkal tuduhan itu. Nahas, perkataan barusan berhasil melucuti batinnya; tebakan tersebut tepat.

"Kamu selama ini menguntitku!?"

"Tapi, aku tidak bermaksud buruk."

"Apa!?"

Serentak dengan tinju yang mengepal, Ranita bangkit dan menatap Priskila dengan rasa muak; tubuh dan kakinya bergetar hebat akibat rasa takut yang menggerogoti akalnya. Alih-alih menyeramkan, ia justru tampak seperti bocah yang menyedihkan. Namun, tindakan Priskila lagi-lagi membuatnya tercengang. Priskila menggenggam tinju itu dengan kedua tangannya, cahaya lampu taman menyiratkan tautan matanya pada Ranita.

"Ran, aku tahu kamu ketakutan. Aku tahu setiap hari adalah neraka untukmu. Jujur, aku tidak tahu apa yang telah kamu lakukan, tapi aku tahu apa yang akan terjadi padamu. Aku tahu apa yang menunggumu di depan, selama kamu terus terjebak dalam perasaan itu."

Ranita menarik tinjunya, "Kamu bicara apa, sih?"

Priskila membisu, lalu perlahan mengacungkan telunjuknya ke atas.

"Ran, apa kamu berani melihat ke atas?"

"Hah? Pris, kamu ini kenapa?"

"Apa kamu berani melihat ke atas?"

"Memang kenapa? Ada apa di atas?"

"Pedang, Ran. Aku tahu kamu melihatnya juga."

Kegilaan menyusupi pikiran Ranita. Bagaimana bisa Priskila tahu tentang itu? Ranita sadar kalau semua orang bisa melihatnya membaca koran dan panik seperti orang sinting, tapi... kok bisa ada orang lain yang tahu tentang pedang itu? Dalam mimpi pun Ia tidak pernah membicarakannya. Tanpa menunggu, Priskila pun bangkit dan memegang lengan gadis itu; jemarinya yang kurus menenangkan Ranita. Dari sorotan lampu taman yang menerpa wajah Priskila, tampak selaput tirta menyelubungi iris matanya yang cokelat cerah.

"Ran, aku tidak mau itu terjadi,karena tidak ada jalan kembali. Aku mau menolongmu sebelum pedang itu terlepas dan membunuhmu."

Suara Priskila terdengar serak. Benar-benar gadis yang aneh, Ranita bahkan hanya tahu tentang namanya. Bagi Ranita, malam itu terasa sangat menggelikan. Air matanya ingin tertumpah karena tertawa, namun terjadi hal yang lebih menggelikan: ia terisak-isak di hadapan seorang gadis aneh di tengah taman yang suram. Ranita tidak akan lupa bahwa saat itu Iaakhirnya menumpahkan segalanya pada Priskila. Semua rahasia dan harga diri Ia percayakan pada pangkuan kenalan barunya itu.

Tindakan yang ceroboh. Ranita tahu akan hal tersebut, tetapi membicarakan semua itu dengan Priskila terasa lebih mudah daripada membicarakan lauk sarapan tadi pagi.

"Kenapa baru sekarang kamu datang, Pris?" bisiknya.

---------------------------------------------------------

"Ran!"

Kedatangan Priskila mengagetkan sosok yang sedang bermalas-malasan di meja; yang dipanggil mendongak dan menyambut kedatangan gadis itu dengan mata setengah mengantuk, namun pupilnya berbinar. Senyum di antara pipi Priskila selalu membuat Ranita terpesona: sederhana dan menawan, mengingatkannya pada sebutir mutiara. Priskila menyodorkan kotak kecil dari tangannya, sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan.

"Aku tunggu nanti, ya."

"Oke!"

Ranita memberi isyarat dengan jari-jari kanannya seraya mengantarkan kepergian Priskila dengan tatapannya, kemudian Ia kembali pada mainan di atas meja.

Plop! Plop!

Dengusan pelan menjelaskan sebuah kepuasan yang bersajaha, memanjakan pendengaran Ranita. Mainan baru itu tidak rumit—bahkan ia ragu menyebutnya sebagai mainan. Ia hanya perlu menekan jempol pada bola-bola udara, sampai terdengar suara letupan kecil yang merangsang endorfinnya. Ini adalah hadiah pertemanan yang diberikan Priskila, pagi hari setelah pertemuan mereka malam itu. Selembar bubble wrap. Aneh, bukan? Jelas aneh. Tanpa mengindahkan matanya—yang terpaut pada bubble wrap—pikiran Ranita memuat ulang ingatannya tiga hari yang lalu, saat Priskila memergokinya mengendap-endap setelah mengembalikan lembaran koran yang "dipinjam".

"Aku harap ini terakhir kalinya, Ran. Kita tahu kalau ini harus berakhir, atau kita akan terus berjalan di tempat. Tidak ada gunanya mencari tahu tentang berita pembunuhan itu, Ran."

Ranita mengiyakan perkataan Priskila, tetapi rasa penasaran masih berkeriapan dalam kepalanya.

"Pris, apa menurutmu ini wajar? Sudah lewat satu minggu, tidak ada berita tentang kasus pembunuhan yang kulakukan. Aku yakin kalau sudah menelusuri koran dengan teliti setiap hari."

Kali ini Priskila mengangkat bahunya, "Aku tidak tahu, Ran. Asrama ini ... pasti ada misteri yang belum kita pahami. Terlepas dari itu, menunggu berita pembunuhan itu tidak akan mengobatimu. Kalau berita itu muncul, kamu akan ketakutan karena tahu polisi sedang mencarimu; kalau berita itu tidak muncul, kamu akan ketakutan kalau-kalau ayah tirimu masih hidup dan sedang mencarimu. Dua-duanya hanya satu aliran sungai yang bercabang. Setidaknya sekarang kita yakin, keterlibatan asrama ini lebih dalam dari yang kita tahu. Ada hal di dirimu yang berharga dan layak untuk dilindungi."

"Aku harap begitu, Pris. Aku sangat berharap."

"Kalau begitu, janji?"

"Janji."

"Sebagai pengingat janji, aku mau kamu menerima ini. Jangan ragu untuk menggunakannya setiap kali kamu merasa ingin, Ran."

Ranita memegang janji itu. Tidak pernah tebersit, memecahkan bola udara bisa menjaga akalnya supaya tidak terlepas dan menggelinding menuju tempat sampah di sudut ruangan. Bel siang sudah berbunyi sejak tadi, kini giliran Ranita memuaskan lambungnya.

---------------------------------------------------------

Sembilan hari kemudian, 20 Februari malam.

Dengan hati-hati Ranita menggosok matanya dengan pangkal ibu jari, sementara jari-jarinya masih menggenggam kuas kecil yang basah. Ia meletakkan kuas itu dalam sebuah tabung kecil berisi pewarna, lalu membenamkan kepalanya pada bantal Priskila.

"Ah... Capek juga."

"Kamu semakin mahir, Ran. Aku suka dengan yang ini."

"Oh, ya? Berarti yang sebelum-sebelumnya?"

"Mm... Suka, sih. Tapi tidak sesuka yang ini."

"Ya, ya, ya. Jangan sungkan-sungkan kalau mau jujur, Pris," pungkasnya sembari mengangkat kotak plastik kecil, menghalau cahaya lampu dari mukanya. Pernak-pernik dalam kotak transparan itu melukiskan pola-pola kelabu pada wajah Ranita.

Bunyi keletak-keletuk terdengar ketika Ia mengguncangnya. Isinya? Kuku tiruan. Buat apa? Melukis kuku. Sudah seminggu lebih ia menekuni kebiasaan baru ini. Priskila yang memperkenalkannya. Kendati bukan seorang pesolek, kuku-kuku Priskila selalu tampak indah dan kadang berhias dengan unik. Awalnya Ranita iseng untuk bertanya; Priskila menunjukkan dan mengajarnya nail art. Itulah seni pertama yang dicintai Ranita.

"Kenapa jingga dan violet, Ran?"

"Kenapa?" Pertanyaan itu mengundang senyumnya, "Supaya menyerupai senja. Aku tidak pernah lupa senja,di mana aku terakhir mengambil koran, sebelum malam itu."

Mendengar itu Priskila turut tersenyum dan mencubit Ranita.

"Ngomong-ngomong kemampuan menulismu juga semakin mantap. Aku suka puisi-puisi yang kamu kutip di belakang buku catatanmu. Ehem, 'Aku melihatmu tersenyum di siang hari dan pada malam hari kamu menangis di balik pintu ini. Sekarang aku menunggumu datang kembali, di depan pintu ini, di senja hari.' Itu puisi siapa, Ran?"

"Ah! Castro. Itu puisi Castro!"

Ranita berusaha tenang sembari menutupi kegaduhan di balik rusuknya, walaupun alhasil pipinya yang merah lebih jujur daripada bibirnya. Ranita tahu tidak ada penyair bernama Castro; tentu saja itu bohong. Itu adalah puisi anonim yang lahir dari benaknya. Perasaan lega menaungi Ranita saat mendapati Priskila tidak mengacuhkan kepanikannya, merogoh tas, dan mulai mengotak-atik handphone.

"Ran, aku boleh minta sesuatu?"

"Ya? Tumben?"

"Setelah semua challenge ini selesai, kamu mau menulis tentang kita berdua selama bersama di sini?" Priskila memperlihatkan layar handphone-nya, sesaat tampak huruf W berwarna jingga, "Aku suka membaca di situs ini, akan menyenangkan kalau suatu saat aku menemukan tulisanmu di sini."

Pertanyaan—tepatnya permohonan—itu membuat Ranita terperangah, "Aku... Jujur, aku kaget dengan permintaanmu ini. Tentu saja aku mau, Pris!"

"Yeay! Terima kasih, Ran!"

Ranita mengangguk tanpa memudarkan senyumnya.

"Mm... Selain itu, aku tahu ada hal yang mengganggu pikiranmu selama ini—aku merasa bersalah jika membiarkannya. Tidak masalah 'kan kalau kita ketemu di taman asrama besok malam, Ran?"

"Tentu, sehabis makan malam?"

"Mm... Boleh."

Ranita tidak menyangkal, berbagai pertanyaan memang bersarang di kepalanya sejak mengenal Priskila. Priskila pun paham kalau teka-tekinya akan membuat Ranita merasa dikhianati.

Dentang jam yang menunjukkan pukul 9 malam menyapu lamunan Ranita. Perpisahan malam itu akan membawa mereka pada sebuah keputusan baru, dan mereka sadar betul tentang itu.

Di kamar, Rin sudah terlelap di kasurnya dengan posisi telentang sempurna. Ranita mengamati gadis itu dengan heran.

"Bagaimana bisa, ada orang yang tidur seperti maneken?"

Ia pun masuk ke dalam selimut. Sebelum mengatupkan mata, Ranita menilik kedua tangannya. Dua minggu yang lalu jemari itu tidak pernah berhenti gemetar, tidurnya tidak pernah tenang, dan nuraninya gentayangan. Siapa yang tahu selembar bubble wrap dan beberapa botol cat kuku bisa menyelamatkannya dari penjara itu? Bukan! Jika bukan karena Priskila, maka saat ini pun Ia masih meringkuk seperti seorang buronan.

---------------------------------------------------------

Pssstt! Pssstt!

"Aku siap!" bisiknya pelan tetapi mapan.

Cukup dengan celana training dan kaus longgar,Ranita siap untuk bertemu dengan Priskila. Ia mengantongi semprotan anti nyamuk itu dan segera menyusuri selasar yang senyap. Dari kejauhan Priskila melambai-lambaikan tangannya,memacu langkah Ranita menjadi semakin bergegas. Gadis itu lalu menepuk-nepuk alas bangku di sampingnya. Namun, sesuatu mengusik penglihatan Ranita: seekor nyamuk gemuk. Tidak ayal ia melayangkan tamparannya, menghasilkan pekikan tertahan dari Priskila dan bercak merah pekat di antara tulang jemarinya. Gadis itu mengusapnya seraya meringis.

"Maaf, maaf... Nah, ada apa, Pris?"

Tanpa menunggu, Ranita mendaratkan bokongnya di tempat yang dimaksud tadi. Priskila dengan sabar menunggunya tenang sebelum mulai berbicara.

"Kamu sudah siap? Aku harap kamu tidak terkejut, Ran."

Priskila menyodorkan handphone-nya, tampak potret seorang gadis bertubuh gempal dan gagah. Rambutnya menggantung hingga ke pangkal leher disertai poni pendek menutupi dahinya. Ranita tidak mengenali sosok gahar itu, sampai matanya terbiasa dan sadar kalau potret tersebut mirip dengan seseorang; kontur wajah itu identik dengan salah seorang kenalannya. Ranita berusaha menyatukan kepingan logika yang terpencar.

"Kamu terus bertanya-tanya, siapa aku ini? Apa alasanku melakukan semua ini? Kenapa aku tahu gerak-gerikmu? Pedang yang bergelantung di atas kepalamu? Nah, Ranita, malam ini aku ungkapkan semuanya tanpa terkecuali," Priskila menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi dan menarik napas dalam-dalam.

"Sebelumnya, aku minta maaf karena sudah berbohong. Tanggal dan tahun lahirku, itu bohong. Aku lebih tua dari itu, Ran; mungkin aku yang tertua di antara semua penerima undangan. Mengenai gerak-gerikmu dan pedang itu, tentu saja aku tahu, sebab aku juga seorang pembunuh. Pembunuh berantai berdarah dingin." Priskila menatap Ranita seraya membenamkan kedua tangannya pada pangkuan, "Mungkin pernyataanku barusan terdengar bergurau. Tidak, Ran. Aku melakukannya dengan tanganku sendiri. Jadi ... kamu masih sanggup untuk mendengar penuturanku lebih lanjut? Aku tidak akan mencegahmu, sebab semuanya akan terdengar semakin gila."

Batin Ranita bergejolak, Jelas ini sudah sangat gila. Bagaimana ini bisa menjadi lebih gila lagi?

Tapi ia percaya, Priskila belum mengatakan semuanya.

"Aku siap, Pris. Aku mau tahu semuanya."

Priskila menarik utas bibirnya dengan lembut dan ramah.

"Yang kamu lihat di foto itu adalah aku, Ran. Mungkin ini konyol bagimu, faktanya aku dulu seorang atlet. Judoka—atlet yang terlatih menggunakan bumi sebagai senjata."

Sembari berkata demikian, Priskila memperlihatkan telapak tangannya. Samar-samar masih tersisa bekas guratan dan kapalan yang mulai pudar. Ranita menelusuri fisik Priskila berkali-kali, apa benar gadis bertubuh ramping ini mantan petarung?

"Tanpa melebih-lebihkan, aku bangga mengakui kalau aku adalah salah satu yang terbaik di masaku; mungkin akulah yang terbaik. Selama dua tahun, aku menjuarai berbagai kompetisi hingga tingkat nasional. Kamu pasti tidak tahu, Ran, karena di sini judo tidak terlalu tenar—dan aku berharap kamu tidak mencari tahunya. Walaupun begitu aku bukan petarung jalanan, tujuanku adalah kejuaraan-kejuaraan resmi. Kenapa? Karena aku tidak mendapat kepuasan dari perkelahian murahan. Aku adalah pembunuh; mangsaku adalah kebanggaan dan harga diri lawanku.

Seorang atlet harus mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk mencapai puncak—tidak terkecuali aku. Namun, jerih payah orang lain terlihat seperti buah manis yang menggiurkan bagiku; ada sesuatu yang lebih memuaskan daripada berada di puncak, yaitu melahap hasil jerih payah mereka. Membunuh impian, kebanggaan, dan perjuangan mereka membuatku menjadi orang yang berbahagia. Teriakan ippon seperti musik bagiku dan pemandangan yang paling indah adalah keputusasaan di wajah lawanku. Tangisan tanpa harapan mereka adalah candu, sehingga aku rela menelusuri berbagai kejuaraan yang tidak terkenal sekalipun untuk memburu kepuasanku. Tanpa sadar, aku sudah menjadi pembunuh berantai; begitu sadar, aku semakin menikmatinya. Seolah-olah malaikat maut meminjamkan sabitnya padaku. Mungkin kamu tidak mengerti betapa hebatnya perasaan itu, Ran."

Kalbu Ranita ingin menolak penuturan Priskila. Tidak mungkin sahabatnya itu, sosok terhangat yang pernah ia kenal, sedemikian keji. Terdengar seakan sedang menceritakan orang lain.

"Yah... Semuanya berakhir, Ran, ketika aku melakukan pembunuhan yang tidak kuinginkan. Suatu malam dalam perjalanan pulang dari hall, singkatnya aku pun tiba di suatu gang yang menghubungkan daerah perumahanku. Di situ aku mendapati beberapa laki-laki sedang mengerumuni seorang wanita. Dari seragamnya aku tahu mereka masih SMA sepertiku. Tentu saja aku tidak mengacuhkan mereka dan terus menyusuri gang. Aku kenal wanita itu, dia seorang 'penjaja.' Dari percakapan mereka, sepertinya dia ditipu dan dipaksa menambah porsi dengan cuma-cuma. Aku berniat membiarkan mereka, sampai wanita itu melihatku dan berusaha menarik jaketku. Saat itu aku bisa melihat air mukanya yang ketakutan dan kelelahan, mungkin karena bekerja keras, dan sekarang dia dipermainkan oleh klien. Belum sempat aku bertindak, salah satu dari mereka menariknya dan mengusirku. Sebenarnya aku tidak peduli, tapi aku tahu bagaimana susahnya mencari uang. Entah apa yang merasukiku, aku berbalik dan menyuruh mereka membayar sesuai tagihan menu.

Tidak heran kalau mereka marah. Wanita itu menyelinap dan bersembunyi di belakangku. Aku pun bersikeras agar mereka membayar atau pulang, sampai akhirnya sosok yang dianggap 'bos' maju seraya mencengkeram bajuku. Tinjunya ditempelkan ke pipiku disertai ocehan mengancam, sementara yang lain ingin melibatkanku untuk menjinakkan pangkal paha mereka. Selagi bergeming, aku menyuruh wanita itu lari dan tindakanku itu tidak menyenangkan mereka. Si 'bos'—dengan ceroboh—menarik tinjunya lalu mengayunkannya ke wajahku. Aku menangkap bahunya dan tinjunya pun tertahan. Aku merasa terancam, sehingga aku dengan tangkas menjepit tubuhnya dengan kedua kakiku dan menariknya ke tanah—Kani-Basami, teknik terlarang dalam judo. Aku ingin menyelesaikan ini dengan cepat.

Nahas, si tolol itu—alih-alih meredam jatuh, tidak kusangka Ia justru menahan tarikanku—membiarkan berat tubuhku bertumpu pada kakinya. Alhasil, ankle kirinya remuk, lutut serta tulang keringnya patah. Kesadarannya terputus seketika akibat tidak bisa menahan trauma, sementara banci-banci yang bersamanya langsung kabur. Aku sendiri tidak mau berurusan dengan hal ini, sehingga menyuruh wanita tadi memanggil warga setelah membekalinya dengan ancaman."

Cerita itu membuat Ranita menyingkap kedua kelopak mata, memaksanya membuka mulut dengan ragu, "Jadi ... kamu membunuhnya?"

Priskila menghela napas dan menautkan pandangannya.Saat itu, untuk pertama kalinya, Ranita melihat penyesalan yang luar biasa bertengger pada pupil sahabatnya.

"Secara fisik, hanya sebagian. Dia selamat dan dilarikan ke rumah sakit. Aku kenal laki-laki itu, anak SMA biasa yang berlagak preman. Namun, setelah kejadian itu, aku tidak mengenalinya lagi. Aku bahkan menduga, mungkin dia benar-benar mati dan rumah sakit menggantinya dengan orang yang serupa. Dia cacat permanen dan matanya kosong seperti mayat.

Aku selalu menikmati keputusasaan lawanku, tapi kali ini berbeda. Hal yang membuat rasa bersalahku menjadi besar adalah ketika aku melihat orang tuanya, menangis meratapinya. Aku tidak hanya membunuh masa depan laki-laki itu, tapi juga seluruh harapan dan impian orang tuanya. Aku tidak mau pembunuhan yang seperti itu. Di saat bersamaan aku sadar, apa yang kulakukan pada lawan-lawan tandingku pun tidak jauh berbeda. Bodoh dan naif, aku hanya memandang puluhan orang yang menangis di depanku tanpa sadar pada ribuan yang menangis di belakangku.

Rasa bersalah menguasaiku sehingga aku berhenti menjadi judoka. Tidak hanya sampai di situ, aku mulai mempertanyakan kewarasanku dan kehilangan tujuan. Bulan-bulan kulalui dengan luapan rasa berdosa, kejayaanku luntur bersama akalku. Aku selalu membaca koran dan menguping, apakah mereka akan mencari pelakunya? Di satu sisi aku lega, sebab anak mereka tidak mengenali wajahku saat itu; di satu sisi aku ingin melenyapkan semua saksi kejadian tersebut; akhirnya aku tidak berdaya. Aku terus berdoa, sampai aku tidak peduli apakah doa itu diterima Tuhan. Dalam doa, aku hanya berkhayal seolah-olah dosaku sudah diampuni."

Priskila menarik band karet yang selalu menutupi pergelangan tangan kirinya. Melintang dua pahatan luka yang kentara.

"Dua kali aku mencoba kabur; kehidupan dan kematian hanya terpisah 1 milimeter. Tapi agaknya, aku tidak cukup suci untuk bertemu Tuhan dan belum cukup jahat untuk menghadap iblis. Aku harus menanggung dosaku secara utuh. Tahun itu kuhabiskan dengan ancaman pedang karma yang tergantung di atas kepalaku, tangisan-tangisan yang dulu begitu nikmat menjelma menjadi momok. Aku kehilangan segalanya kecuali rasa bersalahku, sampai aku menerima amplop itu, yang disemat bersama bunga crocus. Mungkin inilah 'kota pelarian' yang Tuhan tunjukkan padaku. Ibu—satu-satunya yang paham bebanku—menghadiahkan nail art set yang baru sebelum aku berangkat. Mungkin ia tahu tentang pertemuan kita?" Priskila tertawa kecil, namun jemarinya mengusap tetesan yang membasahi tahi lalat mungil di pipinya.

"Aku yang pertama tiba di sini, Ran. Aku menyadari kedatanganmu, gerak-gerikmu, dan ketakutanmu. Semuanya seperti cermin kosmik, seperti melihat diriku. Cogitatio, sebuah puisi singkat berbahasa Spanyol, itulah yang terlintas dalam benakku. Saat itu aku sadar bahwa aku bisa menebus dosa ini dengan mencegahmu tenggelam ke dalam rasa bersalah yang sama. Tidak ada yang luput dari kesalahan dan setiap orang pun berhak menebus kesalahannya. Rasa bersalah adalah penebusan awal, tetapi sangat buas dan tidak mungkin ditaklukkan sendirian. Oleh sebab itu Ranita, keberadaanmu yang menyelamatkanku dan aku mau menyelamatkanmu. Maaf, aku baru bisa mengatakan semuanya sekarang."

Penuturan Priskila melucuti lidah Ranita. Ia tidak bisa menyelami penderitaan di balik rona gadis yang selalu tenang itu. Ranita merasa tertampar, ketika di hadapannya ada seseorang yang sangat sengsara dan orang itu masih sanggup menolongnya. Ia tahu sahabatnya itupunya pilihan yang lebih mudah, tapi Ia memilih yang terhormat. Rasa panas terbit dari dada Ranita, merayap hingga pipi dan matanya. Ia bangkit dan memeluk gadis itu, setidaknya dengan begitu Ranita ingin Priskila yakin bahwa ia tidak sendirian.

Kini Ranita mengerti makna teka-teki itu: manusia dilahirkan bersama kepingan cermin kecil, yaitu cogitatio. Setiap orang membawa dan membandingkan kepingannya dengan milik orang lain, meleburkannya, dan menciptakan kepingan baru. Seiring berjalannya waktu, pertemuan dan perpisahan yang berulang menciptakan sebuah cermin cogitatio raksasa, dengan sisi yang tidak terbatas. Pada akhirnya yang tersisa hanya pilihan: dari sisi yang mana seseorang ingin menilai dirinya dan dari sisi yang mana ia ingin menilai orang lain.

Hal yang Ia ketahui kemudian adalah sapuan lembut jemari Priskila pada kelopak matanya, Ranita bahkan tidak tahu kapan air mata itu meluap. Priskila memandang ke atas seraya berbisik.

"Ran, aku suka langit malam ini. Cerah sekali."

Ia pun menengadah pada bentangan tirai langit yang muram—pertama kalinya setelah sekian lama. Benar, malam itu sangat cerah hingga bulan bundar tampak seperti fajar. Cahayanya melingkupi puncak asrama, ranting pohon-pohon tamariska, dan desiran lembut udara hampa. Ranita dan Priskila melihat langit malam yang hening, tanpa terusik oleh pedang-pedang yang berdentang.

Pesan dari penulis:

· Terima kasih untuk semua penulis chapter sebelumnya, yang sudah menitipkan tokoh dan alur cerita yang luar biasa.

· Penulis tidak mendukung aktivitas kekerasan dan pelanggaran hukum, serta melarang keras para pembaca untuk mempraktikannya.

· Kani-Basami (Capit Kepiting) termasuk dalam Kinshi-Waza, dilarang dalam kompetisi judo internasional karena risiko cedera yang fatal sehingga tidak boleh dipraktikkan tanpa pengawasan instruktur ahli.

Author: KimNyanden

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top