27. Makan Malam

Weda meringis sambil memijat pundaknya. Latihan fisik pagi ini semakin menguras tenaganya. Padahal, beberapa hari ini ia merasa kurang istirahat akibat polah Galoeh yang aktif ketika tidur pada malam sebelumnya dan semalam ia juga tak bisa terlelap karena harus tidur di kamar depan beralas tikar pandan bersama keempat temannya berhubung pembicaraan mereka berlangsung hingga tengah malam. Terpaksa ia merelakan kasur kapuknya untuk Harti agar bisa tidur dengan Galoeh. 

Gala kemudian datang dengan membawa dua gelas berisi air putih dan menyodorkan pada Weda. Weda lalu mengambilnya dan meneguk isinya hingga tandas. 

“Makanan kemarin enak sekali. Nyonya Weda yang memasak?” tanya Gala.

“Bukan. Harti.” Weda menyeka bibirnya yang basah setelah minum. “Mana bisa Galoeh masak seenak itu?” Weda tersenyum miring.

“Bung, kenapa kamu membandingkan Galoeh dan Harti? Kalau Galoeh tahu, dia pasti kecewa sekali.” Gala menepuk punggung Weda dengan menggeleng-geleng kepala.

“Lha kenyataannya memang seperti itu.”

Belum sempat Gala menanggapi, Pantja muncul dengan menenteng rantang. “Oh, ya, Dok, terima kasih nasi gurihnya. Enak. Kemarin lupa saya bawa.”

Alis Weda mengernyit. “Nasi gurih apa?”

“Dari Mbak Galoeh.” Pantja mengulurkan rantang yang diterima Weda. “Kemarin lupa bawa.”

“Galoeh?”

“Iya. Waktu kamu ke Malangdjiwan itu dia datang membawa makanan. Trus Pantja malah bilang kamu ke Malangdjiwan menjemput Harti.”

Pantja menggaruk kepalanya sambil meringis. “Saya pikir kemarin itu adiknya Dokter. Jebul istrinya to? Tiwas mau saya dekati.”

“Gara-gara Panci satu ini, Galoeh langsung lesu. Matanya berkaca-kaca.” Gala menimpali.

“Kenapa berkaca-kaca?”

“Kemasukan debu!” Gala menyahut jengkel. “Cemburulah! Istri mana yang mau diduakan?”

“Diduakan bagaimana?” Weda tak paham. 

Gala menggeleng pelan. “Weda, Weda … Galoeh itu kan tahu Harti kekasih kamu! Kamu ndak lihat apa sewaktu kumpul kemarin. Galoeh ada di pojokan? Dia cuma lihat kamu sama Harti.”

“Tapi, waktu kemarin kumpulan, Dokter Harti malah kelihatan seperti istrinya Dokter Weda lho,” ucap Pantja spontan.

Gala mengusap wajah Pantja dengan telapak tangannya. “Kamu nglindur? Kalau Galoeh dengar, bisa patah hati dia. Aku ndak mau sahabat Tika yang aku suka terluka.”

“Apanya yang patah hati? Dia itu nikah terpaksa, Gal!” Weda terkekeh sumbang. Ia mengelak ucapan Gala yang mengada-ada. “Aneh-aneh wae!”

“Kamu ini memang ndak peka sama perempuan, Wed!” Gala menggeleng-gelengkan kepala prihatin. 

Gara-gara omongan Gala, kepala Weda dipenuhi bayangan Galoeh dan Harti. Di hadapan dua gadis itu, Weda jadi merasa serba salah. Laki-laki itu teringat sewaktu ia tak sengaja bertemu Harti di rumah Mbok Panti. Jujur, Weda kaget melihat Galoeh tiba-tiba datang. Apalagi Galoeh seolah tak mengenalnya. Siang itu ia tak enak meninggalkan Harti pulang sendirian. Di sisi lain, Weda pun tak bisa membiarkan Galoeh. 

Weda pikir semalam semuanya telah cair. Harti dan Galoeh bisa saling berinteraksi. Weda membawa Harti pun karena tak ingin Galoeh kerepotan memasak seorang diri. Tapi, kenapa Gala malah berpikir Galoeh cemburu? 

***

Siang ini, Harti datang menemuinya dengan membawakan serantang ayam rica. Katanya, rica itu titipan ibu tirinya untuk Irawan dan ia sengaja juga membawakan untuk Weda seperti yang sudah-sudah 

“Kamu yang masak ya?” Weda mencolek kuah rica yang masih ada di rantang itu dengan ujung jari kelingking.

Harti mengangguk. Matanya melirik  senang sambil menyendokkan nasi di tutupan rantang. “Kok tahu, Mas?”

“Rasanya pas. Khas buatanmu.” Weda menatap sisa nasi di rantang dan ayam rica di atasnya. “Kamu cuma makan sedikit?”

“Iya. Kenyang. Mas makan saja.” 

Tanpa basa-basi lagi, Weda melahap nasi dan ayam yang begitu lembut dagingnya biarpun ayam kampung. 

“Tambah lagi, Mas.” Harti menyendokan potong daging ayam dan meletakkan ke dalam rantang yang ada di hadapan Weda. 

Weda tak menolak. Makanan ini terlalu nikmat untuk ditampik. Harti memang pandai sekali mengolah makanan. Bahkan Bubur Asia Raja pun akan terasa nikmat bila Harti yang mengolahnya. 

“Mas, ngomong-ngomong soal pernikahan Mas dengan Galoeh ….” Harti menyibak anak rambutnya ke belakang telinga. Ia menghindari tatapan mata Weda yang tertuju ke arahnya. 

“Ada apa dengan pernikahanku dengan Galoeh?” Weda menambah satu suapan makanan lagi hingga pipinya menggelembung. 

“Ehm, Galoeh bilang pernikahan kalian hanya pura-pura ….”

Seketika Weda terbatuk mendengar tutur Harti. Alisnya mengernyit. “Galoeh bilang begitu?”

“Iya. Kemarin ….” Harti menggigit bibirnya, mengulurkan gelas yang berisi air putih yang tinggal tersisa setengah. 

Wajah Weda perlahan memerah. Bisa-bisanya Galoeh mengatakan hal itu pada Harti. “Galoeh memang ndak setuju dengan kebohongan Ibu. Tapi, tetap saja kami sudah mencatatkan pernikahan kami.” Weda lalu meneguk sisa air dari gelas yang disodorkan Harti. seolah ingin menggelontorkan keterkejutannya. Ia benar-benar tak menyangka Galoeh akan sepolos itu mengatakan hal pribadi dalam pernikahan mereka. Kalau sampai Ibu Lastri tahu, ia yakin wanita yang melahirkannya itu akan memarahinya. 

“Apa mungkin kalian akan berpisah?”

***

Percakapan dengan Harti siang tadi membuat Weda tak nyaman. Namun, saat ia menceritakan pada Gala, sahabatnya itu tergelak. “Betul Galoeh ngomong seperti itu?” 

“Kata Harti,” sahutnya sambil memasukkan buku rekapan penggunaan obat ke dalam tasnya.

Gala mengerucutkan bibir berpikir keras. “Apa dia menyukai laki-laki lain?”

Weda mengernyit. “Mana aku tahu? Yang aku tahu, dia masih ingin sekolah dan ndak pingin nikah. Apalagi nikah dengan cara seperti ini.”

“Tapi mendengar ceritamu, sepertinya Harti masih berharap,” ungkap Gala. 

“Mana ada?” Weda mencibir. Melihat Harti yang berharga diri tinggi karena dididik sebagai wanita bangsawan yang berpikiran luas, gadis itu jelas memilih mundur. Harti pernah bercerita ingin jadi satu-satunya wanita bagi sang suami. Tidak seperti ibunya yang hanya menjadi wanita teman tidur romonya yang tak mempunyai status. “Harti sudah mundur sejak dia mengakui aku suami Galoeh, sewaktu diinterogasi.”

Tidak mungkin Harti masih berharap padanya karena kondisi mereka tak lagi sama. Walau Weda tahu Harti sangat menyayanginya dan perhatian Harti pun masih sama seperti dulu, tapi gadis itu rela melepasnya saat ia sudah resmi menjadi suami Galoeh. 

“Ya sudah, kamu jalani saja pernikahan ini,” ungkap Gala.

“Begitulah. Mau bagaimana lagi?” Weda mengembuskan napas pasrah. “Tapi kami masih hanya sebatas status saja.”

“Aku punya ide!” Gala menjentikkan jari dengan senyum lebar. Ia lalu mendekat dan membisikkan sesuatu.

Mata Weda membulat. Wajahnya serius mendengarkan Gala sambil sesekali mengangguk paham.

***

Setibanya di depan rumah, jantung Weda tiba-tiba berdetak kencang. Ia hanya berdiri mematung menatap kosong pintu yang masih tertutup. Ia menghela napas dulu saat akan mengayunkan lengan untuk membuka pintu yang akan membawanya ke sebuah dunia baru bersama Galoeh. Ide yang dibisikkan Gala kembali menyusup di otaknya. Namun, belum sempat ia menepis pikirannya, tiba-tiba daun pintu terbuka menguak sosok gadis yang mengurai senyuman lebar.

“Mas Weda sudah pulang?” Galoeh menarik pintu hingga daunnya menempel tembok, memberi jalan Weda memasukkan sepeda. Basa-basi Galoeh hanya ditanggapi dengan  anggukan.

“Mas sudah makan?” tanya Galoeh setelah menutup pintu.

“Sudah. Tadi.” Weda menurunkan standar sepeda melangkahkan kaki ke ruang tengah.

Ketika mendapati tudung saji yang ada di meja makan, ia menghampiri meja dan membukanya. Ada bakul anyaman bambu berisi nasi yang masih mengepulkan uap, sayur bayam bening dalam periuk, dan … benda kotak cokelat tua di atas piring blek.

“Kamu masak?” Weda meletakkan tudung saji itu di atas kursi.

“Saya pikir Mas belum makan. Kalau begitu biar saya makan.” Galoeh mengambil piring dan mengisi dengan nasi dan sayur. 

Weda menatap Galoeh yang kini duduk di sekitar meja, lalu ke belakang untuk mencuci tangan. Ia penasaran rasa masakan Galoeh. Saat Weda hendak mengambil piring, Galoeh menahannya. Ia menggeleng.

“Mas sebaiknya ndak usah makan ini.”

“Kenapa?”

Galoeh meringis. “Rasanya ndak enak. Nasinya nglenthis dan sayurnya keasinan. Tadi saya takut kebanyakan air, jadi saya kurangi airnya. Trus awalnya sayurnya kemanisan, habis itu saya kasih garam. Ndak tahunya setelah dingin kerasa sekali asinnya.”

“Aku tetap mau coba. Eman-eman nasi sebanyak ini ndak dimakan.” Weda duduk dan menanti Galoeh yang akhirnya melayaninya mengambil makanan.

Begitu sepiring nasi bayam dan tahu tersaji, hati Weda tercubit saat ia merasakan rasa asin kuah sayur bayam bercampur dengan pahitnya bagian tahu yang sedikit gosong. Ia kemudian berpikir bagaimana Galoeh bisa bertahan hidup sendiri dalam kondisi tidak bisa mengolah makanan dengan baik seperti ini? Apa gadis itu hanya membakar ubi atau merebus jagung dan telur saja seperti awal ia menemukan Galoeh di Mertojoedan? Walau rasanya ngalor-ngidul, Weda tetap makan dengan tenang walau wajahnya memerah. Setiap suapannya selalu dibarengi satu tegukan air. Untung sewaktu slup-slupan kemarin yang memasak Harti. Bisa jadi kalau Galoeh memasak, teman-temannya bisa sakit perut.

“Mas, ndak usah dipaksakan makan. Bagaimana kalau Mas keracunan?” Galoeh meringis lalu menarik piring Weda yang tinggal separuh.

Weda menahan pergerakan tangan Galoeh. Setelah dengan susah payah menelan makanannya, ia lalu berkata, “Aku belum habiskan. Kasihan nanti ayamnya mati.”

“Kita ndak punya ayam, Mas.”

“Kasihan nanti Dewi Srinya nangis karena nasinya dibuang-buang,” ralat Weda sekenanya.

“Tapi ini ndak enak.” Galoeh terlihat merasa bersalah. 

“Ini masakan pertama istriku.” Saat Weda akan menarik kembali piringnya, ia mendapati telapak tangan Galoeh yang memerah. Laki-laki itu kemudian menengadahkan tangannya. “Kenapa telapak tanganmu?”

Galoeh menarik cepat tangannya dan menyembunyikannya di bawah meja. “Ndak pa-pa.”

Setelah menghabiskan piringnya, Weda menambahkan tahu dan memasukkan semua sayur bayam. “Aku habiskan ya?”

“Mas … bagaimana nanti kalau Mas Weda sakit perut?” tanya Galoeh khawatir.

Tarikan bibir Weda mengembang. “Masih banyak orang yang ndak bisa makan. Aku ndak mau buang-buang makan. Kamu juga makan yang banyak.”

Weda geli sendiri dengan rasa masakan Galoeh. Apakah Galoeh sama sekali tidak diajari bekal dasar seorang perempuan yang harus menjalankan fungsi memasak selain macak dan manak? Dalam filosofi Jawa, dapur, sumur, dan kasur adalah tempat kerja perempuan, di mana seorang perempuan memang dilahirkan untuk menguasai urusan domestik rumah sementara laki-laki lebih berurusan dengan lingkungan luar untuk mencari nafkah agar sang istri bisa menyajikan sesuap nasi bagi keluarga. 

“Loeh, apa kamu ndak pernah diajari belajar masak sama ibumu?” Weda akhirnya melontarkan rasa ingin tahunya.

“Diajari, Mas. Tapi, saya lebih tertarik buku-buku yang dibelikan Romo untuk saya.” Galoeh menyilangkan sendok dan garpu saat ia menjeda makannya untuk menjawab Weda. Dari caranya makan, Romo Tjokro benar-benar mendidik Galoeh untuk bisa menguasai tata cara makan ala barat. Badannya yang tegap dengan siku kedua tangan yang memegang peralatan makan tidak  menempel ke atas meja. “Lagipula, saya pikir saya ndak akan menikah secepat ini.”

“Ya sudah, mulai besok aku ajari kamu masak. Begini-begini aku pinter masak karena sewaktu di Amsterdam terpaksa masak sendiri.” Weda mengelap bibirnya dengan ibu jarinya. “Kalau seperti ini terus, bisa-bisa aku mati muda karena hipertensi. Heran aku,  kamu taruh berapa sendok garam ke sayurnya? Nah, ini lagi …” Weda menunjuk piring bekas tahu bacem. “Kupikir ini tadi batu saking hitam—”

Galoeh berdeham. “Kalau ndak enak kenapa dimakan?” potong Galoeh cepat dan datar. 

“Aku makan supaya ndak mubazir.” Weda menepuk perut yang sudah penuh. Tadi siang ia menghabiskan makanan yang terlampau lezat dan sekarang ia terpaksa menghabiskan masakan Galoeh demi menghargai jerih payah gadis itu.

“Kalau sudah habis kenapa harus mengeluhkan rasanya?”

“Aku ngomong begini, supaya kamu bisa belajar!” Weda tak pernah mau kalah. “Kamu mau kebohongan manis atau kejujuran pahit tapi kamu bisa belajar?” tanya Weda.

💕Dee_ane💕

Di KK, partnya udah banyak. Yang ngikutin di sini kasih jejaknya kuy😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top